Perubahan Manajemen Industri Rokok Kretek Kudus Dekade 1920-an

F. Perubahan Manajemen Industri Rokok Kretek Kudus Dekade 1920-an

1. Latar Belakang Masuknya Golongan Tionghoa dalam

Industri Rokok Kretek Kudus

Pada awalnya industri rokok kretek di Kudus berada di tangan pengusaha pribumi dan mengalami kemajuan yang pesat. Banyak para pengusaha memperoleh keuntungan yang berlimpah, prospek usaha yang ditawarkan industri rokok kretek Kudus sangat bagus. Nasib baik para pengusaha pabrik kretek pribumi pada waktu itu memunculkan kepercayaan orang untuk beradu nasib di bidang industri rokok kretek. Keberhasilan pengusaha pabrik kretek pribumi tersebut menarik golongan lain di luar pribumi yaitu etnis Tionghoa untuk beradu nasib pada industri rokok kretek. Akibat kesulitan fiskal (baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan), kesukaran untuk mendapatkan cengkeh yang sebagian besar didatangkan dari daerah luar, serta persaingan dengan pusat-pusat produksi rokok kretek di luar wilayah Kudus menjadi penyebab kegagalan pabrik kecil milik pengusaha pribumi dan menguntungkan munculnya perusahaan bermodal besar. Dalam waktu yang relatif singkat, pengusaha pabrik kretek Tionghoa berusaha mengikuti jejak keberhasilan pengusaha kretek pribumi. (Charles A Coppel : 1994, 39).

Golongan Tionghoa dengan kelebihannya, mengikuti jejak pengusaha pribumi dalam industri rokok kretek tersebut. Di Kudus, kelompok Tionghoa Golongan Tionghoa dengan kelebihannya, mengikuti jejak pengusaha pribumi dalam industri rokok kretek tersebut. Di Kudus, kelompok Tionghoa

Pada masa kolonial jelas masyarakat digolongkan menjadi tiga yaitu : (1) golongan priyayi atau pegawai, seperti : guru, dokter, dsb; (2) golongan pedagang; (3) golongan wong cilik, termasuk buruh, pelayan rumah tangga, dsb. Golongan orang Cina merupakan saatu golongan berbeda dalam fungsi ekonomi sama dengan wong dagang, tetapi secara kultural perbedaannya sangat menyolok (Lance Castle, 1982 : 88).

Berdirinya industri rokok kretek milik Tionghoa, secara tidak langsung berdampak negatif terhadap industri rokok kretek pribumi. Persaingan antara kedua pihak berlangsung dalam kondisi yang cukup berat. Industri rokok kretek pribumi banyak mengalami kerugian secara ekonomi, karena kekuatan modal Tionghoa yang dirasa cukup berat untuk diimbangi oleh pengusaha pribumi yang hanya mengandalkan modal kecil.

Munculnya industri rokok kretek milik Tionghoa mengakibatkan industri rokok kretek pribumi di Kudus mengalami kemunduran. Sebaliknya pengusaha Tionghoa industri rokok kretek Kudus berhasil memperkuat posisinya. Kebanyakan diantara mereka berhasil membangun pabrik-pabrik yang lebih besar daripada setiap pabrik milik pribumi yang pernah dibangun sebelumnya. Permodalan yang dimiliki pengusaha Tionghoapun lebih besar daripada milik pengusaha pribumi.

Dalam bidang perdagangan dan perusahaan, pribumi harus menghadapi kekuatan usaha Tionghoa yang lebih banyak jumlahnya dan berkedudukan kuat. Kelompok Tionghoa banyak menarik keuntungan dari sistem kolonial, ketika itu di Kudus pesaing usahanya adalah kelompok pengusaha pribumi terutama dalam persaingan pembuatan rokok kretek spesialisasi Kudus.

2. Kerusuhan 1918 di Kudus

Berdirinya industri rokok kretek milik Tionghoa, secara tidak langsung berdampak negatif terhadap industri rokok kretek pribumi. Persaingan antara kedua pihak berlangsung dalam kondisi yang cukup berat. Industri rokok kretek pribumi banyak mengalami kerugian secara ekonomi, karena kekuatan modal Tionghoa yang cukup berat untuk diimbangi oleh pengusaha pribumi yang hanya mengandalkan modal kecil.

Pada tahun 1918, persaingan pengusaha pabrik kretek pribumi dan pengusaha pabrik kretek Tionghoa mencapai puncaknya, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab munculnya kerusuhan hebat yang meledak di Kudus pada tanggal 31 Oktober 1918. Korban berjatuhan di antara kedua belah pihak, sejumlah rumah dan pabrik terbakar. Sekitar 50 rumah dihancurkan, 8 orang Tionghoa dibunuh dan sebagian besar mati karena dibakar, kira-kira 2000 orang Tionghoa di Kudus melarikan diri ke Semarang. Polisi dan tentara dikerahkan untuk menindak para perusuhnya. Dua orang perusuh meninggal dan 60 lainnya luka-luka. Sejumlah 75 orang ditangkap dan diinterogasi, kemudian 61 orang dijatuhi hukuman 9 bulan sampai 15 tahun. Laporan dari kedua pihak pribumi dan Tionghoa mengenai penyebab perusuhan sangat kontras. Laporan dari pihak pribumi mengatakan bahwa perusuhan terjadi karena orang Tionghoa memancing kemarahan karena membawa naga arak-arakan mereka melewati masjid Sunan ketika masjid dalam proses renovasi dan cara-cara Tionghoa lain yang dianggap pribumi menghina Nabi dan agama Islam. Selain itu alasan dari pihak Tionghoa, bahwa munculnya industri rokok kretek Tionghoa diduga memancing huru-hara karena pengusaha rokok kretek pribumi mengalami kerugian besar dalam pengusaha rokok kretek Tionghoa. Laporan dari pihak Tionghoa tersebut Pada tahun 1918, persaingan pengusaha pabrik kretek pribumi dan pengusaha pabrik kretek Tionghoa mencapai puncaknya, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab munculnya kerusuhan hebat yang meledak di Kudus pada tanggal 31 Oktober 1918. Korban berjatuhan di antara kedua belah pihak, sejumlah rumah dan pabrik terbakar. Sekitar 50 rumah dihancurkan, 8 orang Tionghoa dibunuh dan sebagian besar mati karena dibakar, kira-kira 2000 orang Tionghoa di Kudus melarikan diri ke Semarang. Polisi dan tentara dikerahkan untuk menindak para perusuhnya. Dua orang perusuh meninggal dan 60 lainnya luka-luka. Sejumlah 75 orang ditangkap dan diinterogasi, kemudian 61 orang dijatuhi hukuman 9 bulan sampai 15 tahun. Laporan dari kedua pihak pribumi dan Tionghoa mengenai penyebab perusuhan sangat kontras. Laporan dari pihak pribumi mengatakan bahwa perusuhan terjadi karena orang Tionghoa memancing kemarahan karena membawa naga arak-arakan mereka melewati masjid Sunan ketika masjid dalam proses renovasi dan cara-cara Tionghoa lain yang dianggap pribumi menghina Nabi dan agama Islam. Selain itu alasan dari pihak Tionghoa, bahwa munculnya industri rokok kretek Tionghoa diduga memancing huru-hara karena pengusaha rokok kretek pribumi mengalami kerugian besar dalam pengusaha rokok kretek Tionghoa. Laporan dari pihak Tionghoa tersebut

Pengusaha-pengusaha pribumi yang dicurigai berperan terhadap aksi tersebut diajukan ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman. Kondisi tersebut semakin memperburuk kedudukan pengusaha kretek pribumi yang telah kalang kabut dibuat karena kekuatan pengusaha pabrik kretek Tionghoa, hingga harus mengalami kemunduran. Berlawanan dengan kondisi pengusaha kretek pribumi, pengusaha kretek Tionghoa berhasil memperkuat posisi mereka dalam industri rokok kretek Kudus akibat peristiwa tersebut (Lance Castle : 1982, 103).

Terjadi ketidakseimbangan antara jumlah pengusaha dan jenis usaha yang dimiliki antara pribumi dan Tionghoa dalam industri rokok kretek Kudus. Pengusaha rokok kretek pribumi yang jumlahnya banyak memiliki perusahaan kecil dan menengah. Sedangkan pengusaha Tionghoa yang jumlahnya sedikit mempunyai perusahaan besar.

Perusahaan rokok kretek Kudus milik pribumi tidak mampu menyaingi perusahaan Tionghoa dalam kemajuan perusahaannya. Generasi muda pribumi jauh berbeda dengan golongan Tionghoa. Generasi muda pribumi tidak penah dibimbing dalam teknik perdagangan sesuai dengan tuntutan pasar yang semakin kompleks. Modal yang dimiliki pribumi masih kecil. Ketika pengusaha pribumi mencapai keberhasilan, mereka lebih memilih memboroskan harta merek auntuk kepentingan prestise semata (Marcell Bonneff, 1983 : 242).

Bagi golongan Tionghoa, semangat pembaharuan mereka tinggi. Kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan keadaan terkontrol berkat kemampuan mengelola keuangannya. Hubungan kekerabatan amat solid, kekerabatan secara turun-temurun bila ada saudaranya yang kesusahan maka akan saling bantu (Marcel Bonneff, 1983 : 243).

Keunggulan yang dimiliki golongan Tionghoa dan ketertarikan melihat keberhasilan golongan pribumi menarik mereka untuk ikut beradu nasib dalam industri rokok kretek Kudus.

2. Lahir dan Berkembangnya Industri Rokok Kretek Kudus Milik Tionghoa Perusahaan rokok kretek pertama milik Tionghoa tahun 1930 yang didirikan di Pati adalah pabrik rokok kretek Minak Djinggo milik Tionghoa Kho Djie Siong. Kho Djie Siong lahir di Kudus tahun 1910. Kho Djie Siong adalah anak seorang pedagang keliling Cina. Ketika usianya 15 tahun, Kho Djie Siong sudah bekerja kepada orang tuanya. Kho Djie Siong adalah pemuda cerdas terbukti usaha ayahnya maju pesat ketika Kho Djie Siong ikut mengelola usaha ayahnya. Namun, usahan ayah Kho Djie Siong mengalami ganjalan karena usahanya tertangkap oleh polisi rahasia Belanda yang mencium ketidakberesan toko yang dimilikinya (toko candu ilegal). Usaha toko milik keluarga Kho Djie Siong kemudian ditutup dan kekayaannya disita oleh Belanda (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Pada masa-masa itu Kho Djie Siong menganggur, dan akhirnya berkenalan dengan Karmaen yang pada waktu itu bekerja di perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik mertuanya Nitisemito. Kho Djie Siong dan Karmaen adalah teman lama, ketika mereka masih sama-sama sekolah di HIS Semarang. Melihat nasib sahabat lamanya yang tak menentu, Karmaen mengajaknya untuk ikut bekerja di perusahaan rokok kretek Nitisemito (http://bluedayax.multiply.com/journal/item : 13/3/2009).

Pekerjaan pertamanya di perusahaan rokok kretek Bal Tiga adalah sebagai petugas pengontrol pemasaran rokok kretek di berbagai daerah di seluruh Jawa. Pekerjaan tersebut dikerjakan dengan tekun dan jujur selama 2 tahun. Ketekunan Kho Djie Siong membuatnya diangkat sebagai agen perusahaan rokok kretek di daerah Pati. Jabatan kepercayaan ini digunakan, Kho Djie Siong sebagai titik tolaknya untuk menjalin kerjasama dengan sesama rekannya agen di seluruh Jawa Tengah untuk berusaha mendatangkan tembakau dan cengkih untuk dijual kepada perusahaan rokok kretek Bal Tiga melalui Karmaen.

Jabatan yang dipegang Kho Djie Siong sebagai agen secara resmi, merangkap pedagang tembakau di perusahaan rokok kretek Bal Tiga dan hubungannya semakin baik dengan Karmaen menumbuhkan keinginan untuk membunjuk Karmaen agar mau memberi bocoran mengenai seluk beluk Jabatan yang dipegang Kho Djie Siong sebagai agen secara resmi, merangkap pedagang tembakau di perusahaan rokok kretek Bal Tiga dan hubungannya semakin baik dengan Karmaen menumbuhkan keinginan untuk membunjuk Karmaen agar mau memberi bocoran mengenai seluk beluk

Tahun 1929, Kho Djie Siong memutuskan kembali ke Pati untuk membuka kembali usaha ayahnya. Atas saran dari rekan-rekan agen rokok kretek Bal Tiga , Kho Djie Siong diminta untuk mencoba membuat perusahaan rokok kretek di daerah Pati dengan bekal rahasia pembuatan rokok kretek Bal Tiga yang telah diperoleh Kho Djie Siong dari Karmaen.

Akhirnya, perusahaan rokok kretek Kho Djie Siong berdiri 1930 di Pati yang diberi cap Minak Jinggo. Berdasar dari kesenangannya terhadap satriya dari Blambangan Minakjinggo dan asal daerah istrinya dari Blambangan, maka Kho Djie Siong memberikan label Minak Jinggo pada produksi rokok kreteknya. Jenis produksi rokok klobot dengan cap : Auto Sedan, Kimar, Cabang (Trisula). Jumlah tenaga kerjanya baru sekitar 50 orang. Pemasarannya masih terbatas ke daerah : Jawa Tengah dan Jawa Barat (Solichin Salam, 1983 : 33).

Tahun 1932, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo dipindah ke Kudus jalan A.B.C (jalan dondong), karena tenaga kerja susah didapat di daerah Pati. Selain memproduksi rokok klobot, usahanya mulai memproduksi rokok jenis sigaret kretek. Masyarakatnya lebih tertarik untuk bekerja membatik, upah buruh cukup tinggi, biaya transportasi mahal. Alasan tersebut dipilih untuk memindah perusahaan rokok kretek Minak Jinggo ke Kudus untuk menghindari kerugian yang makin besar pada perusahaan yang baru saja berdiri (Solichin Salam, 1983 : 33).

Tahun 1932, perusahaan rokok kretek Bal Tiga mengalami perselisihan mengenai rencana penghibahan perusahaan rokok kretek kepada Sumadji Nitisemito, putra ke-empat Nitisemito yang ditentang oleh Karmaen menantu Nitisemito yang telah banyak memberikan sumbangsih. Kondisi yang memanas dalam tubuh intern keluarga Nitisemito ini, dimanfaatkan oleh Kho Djie Siong untuk memproduksi rokok kretek Minak Jinggo sebanyak mungkin untuk mengisi kekosongan stok rokok kretek Bal Tiga yang produksinya semakin menurun. Politik Kho Djie Siong memanfaatkan kondisi berhasil dengan baik, berkat Tahun 1932, perusahaan rokok kretek Bal Tiga mengalami perselisihan mengenai rencana penghibahan perusahaan rokok kretek kepada Sumadji Nitisemito, putra ke-empat Nitisemito yang ditentang oleh Karmaen menantu Nitisemito yang telah banyak memberikan sumbangsih. Kondisi yang memanas dalam tubuh intern keluarga Nitisemito ini, dimanfaatkan oleh Kho Djie Siong untuk memproduksi rokok kretek Minak Jinggo sebanyak mungkin untuk mengisi kekosongan stok rokok kretek Bal Tiga yang produksinya semakin menurun. Politik Kho Djie Siong memanfaatkan kondisi berhasil dengan baik, berkat

Tahun 1935, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo pindah lokasi di Jalan Nganguk No.11 Kudus. Sampai tahun 1940, pemasaran hasil produksi rokok kretek Bal Tiga mendapat saingan rokok kretek Minak Jinggo. Tahun 1940, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo mengalami perkembangan pesat, dan mengeluarkan produksi baru yang dikenal dengan nama Nojorono. Tahun 1960, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo terus berkembang menjadi salah satu perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus. Pemasaran rokok klobotnya melingkupi pulau Jawa, bahkan luar Jawa (Solichin Salam, 1983 : 34).

3. Ambruknya Industri Rokok Kretek Kudus Milik Pribumi ”Bal Tiga” Pasang surut dalam dunia industri rokok kretek merupakan suatu hal yang lazim terjadi dalam industri rokok kretek Kudus baik pribumi maupun Tionghoa. Khusus untuk perusahaan rokok kretek Bal Tiga konflik keluarga sangat mencolok. Ketika masa kolonial Hindia Belanda, akibat perselisihan hebat akhirnya diketahui bahwa perusahaan rokok kretek Bal Tiga memiliki pembukuan ganda. Hal ini sebenarnya dikatakan sudah lazim dikalangan pengusaha rokok kretek baik pribumi maupun non-pribumi. Pemerintah Hindia Belanda menuduh perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik Nitisemito ini belum membayar pajak yang harus disetorkan kepada pemerintah kolonial. Rumah dan mobil Nitisemito disita. Kebaikan hati penguasa kolonial, melihat jasa Nitisemito yang telah banyak membayar pajak kepada pemerintah sehingga sangat membantu keuangan pemerintah, maka perusahaan rokok kretek Bal Tiga diperbolehkan beroperasi kembali. Keputusan penguasa ini diambil dengan persetujuan dan pertimbangan 3. Ambruknya Industri Rokok Kretek Kudus Milik Pribumi ”Bal Tiga” Pasang surut dalam dunia industri rokok kretek merupakan suatu hal yang lazim terjadi dalam industri rokok kretek Kudus baik pribumi maupun Tionghoa. Khusus untuk perusahaan rokok kretek Bal Tiga konflik keluarga sangat mencolok. Ketika masa kolonial Hindia Belanda, akibat perselisihan hebat akhirnya diketahui bahwa perusahaan rokok kretek Bal Tiga memiliki pembukuan ganda. Hal ini sebenarnya dikatakan sudah lazim dikalangan pengusaha rokok kretek baik pribumi maupun non-pribumi. Pemerintah Hindia Belanda menuduh perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik Nitisemito ini belum membayar pajak yang harus disetorkan kepada pemerintah kolonial. Rumah dan mobil Nitisemito disita. Kebaikan hati penguasa kolonial, melihat jasa Nitisemito yang telah banyak membayar pajak kepada pemerintah sehingga sangat membantu keuangan pemerintah, maka perusahaan rokok kretek Bal Tiga diperbolehkan beroperasi kembali. Keputusan penguasa ini diambil dengan persetujuan dan pertimbangan

Terjadinya perselisihan intern antar anggota keluarga Nitisemito semakin memanas ketika Nitisemito yang sudah sepuh berniat menghibahkan perusahaannya kepada salah satu anggota keluarganya. Perselisihan intern keluarga harus dibayar mahal dengan kerugian perusahaan dan hancurnya perusahaan rokok kretek Bal Tiga Nitisemito. Ahwan Markum cucu Nitisemito yang diberi jabatan sebagai direktur perusahaan; Sumaji Nitisemito anak laki-laki (anak nomer empat) Nitisemito diberi jabatan kasir; M Karmaen menantu Nitisemito yang diberi jabatan kepala kantor. Ketiga orang ini adalah orang kepercayaan Nitisemito untuk mengelola perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik Nitisemito (Arsip Propinsi Jawa Tengah : M Nitisemito).

Nitisemito berencana menghibahkan perusahaan rokok kretek Bal Tiga miliknya kepada anak laki-lakinya Sumaji Nitisemito. Sumaji dianggap telah mampu dan lebih menonjol dibanding dua orang kepercayaannya yang lain. Sumaji telah menamatkan sekolah MULO-nya di Belanda. Alasan ini yang memantapkan keputusan Nitisemito menghibahkan perusahaan kepada Sumaji Nitisemito. Terlalu percaya kepada diploma Handelsschool, Nitisemito menyerahkan kekuasaaan kepada Sumaji Niitsemito. Ahwan Markum dan M Karmaen hanya boleh bantu-bantu saja di dalam perusahaan (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Ahwan Markum dan M Karmaen tidak menyetujui keputusan tersebut karena mengetahui bahwa Sumaji Nitisemito, belum berpengalaman sama sekali untuk mengelola perusahaan sebesar Bal Tiga. Dilihat dari pengalaman memang M Karmaenlah yang sudah sangat berpengalaman dalam mengelola perusahaan. Semua ide kemajuan perusahaan Bal Tiga, seperti : manajemen hadiah, pemasaran, master peracik bahan baku rokok kretek, hubungan dengan agen Ahwan Markum dan M Karmaen tidak menyetujui keputusan tersebut karena mengetahui bahwa Sumaji Nitisemito, belum berpengalaman sama sekali untuk mengelola perusahaan sebesar Bal Tiga. Dilihat dari pengalaman memang M Karmaenlah yang sudah sangat berpengalaman dalam mengelola perusahaan. Semua ide kemajuan perusahaan Bal Tiga, seperti : manajemen hadiah, pemasaran, master peracik bahan baku rokok kretek, hubungan dengan agen

Omset pemasaran hasil produksi perusahaan rokok kretek Bal Tiga di berbagai daerah selain disebabkan oleh faktor di atas, juga disebabkan banyaknya rokok kretek hasil produksi yang sudah lama di agen dijual lagi karena agen telah mengalami kesukaran untuk meminta kiriman rokok kretek baru. Keadaan semakin memburuk ketika bangsa ini berada di bawah jajahan Jepang, banyak aset perusahaan rokok kretek Bal Tiga disita oleh Jepang untuk memenuhi keperluan perang dan penjajahan mereka (http://bluedayax.multiply. com/journal/item/177 : 13/3/2009).

Ambruknya perusahaan rokok kretek Bal Tiga dipercepat dengan meninggalnya Nitisemito tahun 1952. Sumaji terbukti kurang cakap dalam mengelola perusahaan warisan orang tuanya, sebagai langkah selanjutnya karena sudah tidak ada keluarga yang cakap yang mampu mengelola perusahaan rokok kretek, maka harta yang tersisa dibagi rata kepada seluruh keluarga tahun 1955. Hasil sekolah tinggi saja tidak menjadikan garansi seseorang cakap memimpin suatu, terutama dalam hal ini perusahaan rokok kretek (Arsip Propinsi Jawa Tengah : pembagian aset keluarga Nitisemito).

4. Manajemen Kelompok Tionghoa dalam Industri Rokok Kretek Kudus Dalam mengelola perusahaan rokok kretek pengusaha rokok kretek Tionghoa, selalu memberi prioritas kepada kelompok masyarakat keturunan Tionghoa di sekitar mereka untuk bekerja di perusahaan yang dikelolanya. Ikatan kelompok yang begitu kuat antara kelompok Tionghoa, usaha pengusaha rokok kretek Tionghoa mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat Tionghoa. Tidak hanya keturunan Tionghoa dari daerah Kudus tapi meluas ke daerah lainnya. Hal ini terbukti dengan adanya buruh-buruh keturunan Tionghoa dari daerah Semarang, Pekalongan, Magelang, Surabaya yang bekerja pada perusahaan rokok kretek Minak Jinggo.

Sistem kekeluargaan juga diterapkan di kalangan masyarakat Tionghoa di daerah Kudus. Caranya dilakukan suatu sistem peminjaman modal kepada masyarakat Tionghoa atau pegawai perusahaan khususnya keturunan Tionghoa yang ingin mendirikan usaha rokok kretek. Pinjaman modal ini biasanya diberikan kepada buruh keturunan Tionghoa yang sudah duduk sebagai staf ahli. Sistem pengembalian pinjaman modal diatur berdasarkan sistem bagi hasil dan menjual hasil produksi rokok kretek ke perusahaan tempat ia dipinjami modal. Atau modal pinjaman dikembalikan bila perusahaannya telah sukses meraup keuntungan dari pemasaran rokok kretek yang telah diproduksi. Seandainya usaha yang dipinjami modal itu gagal, maka pihak yang mendapat pinjaman modal dapat kembali bekerja dalam perusahaan rokok kretek tempat semula ia bekerja.

Sistem tersebut berkembang dengan baik, terbukti bermunculan beberapa perusahaan rokok kretek Kudus milik keturunan Tionghoa. Beberapa perusahaan rokok kretek Kudus milik Tionghoa yang berhasil berdiri karena sistem ini, antara lain : perusahaan rokok kretek Gentong Gotri (1940) oleh Kho Ciang Hai, perusahaan rokok kretek Laras Hati (1940) oleh Lim Siong Hong, perusahaan rokok kretek Dami (1942) oleh Ngo Tik San.

Minak Djinggo melesat jauh disusul dengan kemajuan pabrik rokok kretek Tionghoa yang didirikan masyarakat Tionghoa dengan modal sendiri, antara lain : (1) perusahaan rokok kretek Kaki Tiga (1948) oleh Ong Tik San, (2) perusahaan rokok kretek Muria (1948) milik Sam Ling Tho, (3) perusahaan rokok kretek

Pompa (1950) oleh Ngo Tik San, (4) perusahaan rokok kretek Sri Hesti (1950) oleh Lim Sin Hong, (5) perusahaan rokok kretek Jarum (1951) oleh Oei Wie Gwan, (6) perusahaan rokok kretek Supiah (1952) oleh Kim Liong Wan (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Keberhasilan pengusaha Tionghoa dalam persaingan industri rokok kretek Kudus dengan golongan pribumi, disebabkan oleh beberapa faktor :

a) Orang Cina mempunyai bekal ilmu perusahaan yang lebih banyak.

b) Orang Cina lebih mampu untuk membaca pasar rokok kretek.

c) Orang Cina dalam mengadakan hubungan kerja berprinsip pada rasa saling percaya.

d) Orang Cina lebih terikat pada usaha sebagai cara hidupnya.

e) Orang Cina punya kekuatan modal yang besar.

f) Orang Cina lebih suka menerapkan sistem usaha kooperatif daripada sistem kekeluargaan agar mencegah perbuatan harta kelak nantinya.

g) Orang Cina lebih menguasai teknik yang lebih maju dalam industri rokok kretek Kudus (Lance Castle, 1982 : 143-144).

Dengan berbagai sistem pabrik modern mereka berhasil mengembangkan industri rokok kretek Kudus, hingga mampu bersaing dengan industri rokok kretek daerah lain. Djarum yang berdiri 1950 oleh Oei Wie Gwan menjadi pabrik rokok kretek Kudus terbesar dan terkemuka di Indonesia, bahkan di mancanegara. Pabrik rokok Djarum milik pengusaha pabrik kretek Tionghoa ini berkembang pesat sampai dengan pewarisan industri ini oleh generasi kedua tahun 1964, dengan mengembangkan kombinasi kerja padat karya yang mempekerjakan ratusan tenaga kerja dan padat modal yang dioperasikan tenaga profesional. Dalam pengolahan limbah, Djarum berhasil membangun saluran limbah ramah lingkungan. Dalam upaya mengembangkan usaha, peningkatan kesejahteraan pekerja, dan peningkatan kinerja, Djarum merekrut tenaga profesional dan terus melakukan pelatihan rutin pada mereka. Djarum juga menyediakan jasa transportasi untuk sarana antar jemput buruh. Penetapan standar upah bagi pekerja disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan seluruh anggota. Djarum juga Dengan berbagai sistem pabrik modern mereka berhasil mengembangkan industri rokok kretek Kudus, hingga mampu bersaing dengan industri rokok kretek daerah lain. Djarum yang berdiri 1950 oleh Oei Wie Gwan menjadi pabrik rokok kretek Kudus terbesar dan terkemuka di Indonesia, bahkan di mancanegara. Pabrik rokok Djarum milik pengusaha pabrik kretek Tionghoa ini berkembang pesat sampai dengan pewarisan industri ini oleh generasi kedua tahun 1964, dengan mengembangkan kombinasi kerja padat karya yang mempekerjakan ratusan tenaga kerja dan padat modal yang dioperasikan tenaga profesional. Dalam pengolahan limbah, Djarum berhasil membangun saluran limbah ramah lingkungan. Dalam upaya mengembangkan usaha, peningkatan kesejahteraan pekerja, dan peningkatan kinerja, Djarum merekrut tenaga profesional dan terus melakukan pelatihan rutin pada mereka. Djarum juga menyediakan jasa transportasi untuk sarana antar jemput buruh. Penetapan standar upah bagi pekerja disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan seluruh anggota. Djarum juga

Keberhasilan sistem managerial modern industri rokok kretek Kudus dapat dikatakan bahwa pribumi banyak mendukung keberhasilan industri rokok kretek Kudus milik Tionghoa. Semua jabatan dari buruh, pemegang pembukuan, mandor dipegang oleh orang-orang pribumi. Orang Cina sebagai golongan minoritas di tanah air ini, dalam penguasaan industrinya masih sangat bergantung pada kemurahan hati pelindung pribumi yang memegang kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Keberhasilan pengusaha Tionghoa disatu sisi membuka peluang bagi rakyat pribumi dan membawa kemajuan bagi industri rokok kretek di Kudus. Namun, disisi lain di bidang ekonomi pengusaha Tionghoa sedikit menutup pertumbuhan yang lebih baik bagi industri milik golongan menengah milik pribumi di Kudus. Industri rokok kretek kecil milik pengusaha pribumi pada akhirnya harus puas melayani konsumsi suatu daerah atau menyokong usaha Tionghoa dalam menyuplai produk, sedangkan Tionghoa berhasil memperoleh keuntungan yang lebih dominan ketimbang pengusaha pribumi. Kelemahan pengusaha rokok kretek pribumi adalah terlalu menjaga kerahasiaan perusahaan, rahasia pencampuran tembakau baik itu kepada keluarga, atau kepada siapapun. Akibatnya, ketika pengusaha yang menguasai rahasia perusahaan tersebut telah meninggal, maka habis pulalah perusahaan rokok kretek yang dikelolanya. Tidak ada generasi penerus yang diwarisi keahlian mengelola industri perusahaan secara utuh. Generasi penerus tidak cakap, mengakibatkan ambruknya perusahaan rokok kretek Kudus milik pribumi