Latar Belakang Masalah Pertenunan Boi-Tulus Tekstil Di Kecamatan Balige (1950-1998)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah adalah segala kejadian yang ada hubungannya dengan kegiatan manusia sedemikian rupa sehingga mengakibatkan adanya perubahan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada waktu serta tempat tertentu 1 barang-barang tenun . Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang memiliki keberagaman kehidupan dengan macam banyak peristiwa sejarah. Salah satunya adalah sejarah industri pertenunan tekstil. Menenun adalah proses pembuatan kain dari persilangan dua set benang dengan cara memasuk-masukkan benang pakan secara melintang pada benang- benang lungsin benang lusi. Sebelum menenun dilakukan penghanian, yakni pemasangan benang-benang lungsin secara sejajar satu sama lainnya di alat tenun sesuai lebar kain yang diingini 2 Indonesia adalah salah satu negara penghasil seni tenunan terbesar di dunia khususnya dalam hal keanekaragaman hiasan. Kreasi para penenun generasi terdahulu banyak dipengaruhi unsur-unsur budaya asing akibat pengaruh hubungan perdagangan dengan negara-negara tetangga yang telah berlangsung beratus-ratus . 1 Sutrasno, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Pradya Paramita,1975, hal. 8 2 W.J.C. Van Paassen dan J.H. Ruygrok, Barang Tekstil, Jakarta, J.B. Woltres, 1951, hal. 4-5 Universitas Sumatera Utara tahun yang silam. Kondisi tersebut memberikan sumbangan cukup besar bagi kekayaan keanekaragaman jenis tenunan bangsa Indonesia. 3 Perkembangan industri tenun di Indonesia tidak dapat diketahui secara pasti, namun kemampuan masyarakat Indonesia dalam hal menenun dan merajut pakaiannya sendiri sudah dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Dalam bentuk kerajinan, yaitu tenun-menenun dan membatik hanya berkembang disekitar lingkungan istana begitu pula hasil kerajinan membatik hanya ditujukan untuk kepentingan seni dan budaya serta dikonsumsidigunakan sendiri Indonesia merupakan negara yang kaya akan nilai kebudayaan dan kesenian. Nilai kebudayaan dan kesenian yang tinggi sangat erat hubungannya dengan pola sosial yang berkembang di masyarakat. Salah satu ciri sosial kemasyarakatan yang menjunjung tinggi kebudayaan dan keseniannya adalah adanya ritual dan aturan untuk setiap segi kehidupan bermasyarakat. Upacara ritual kemasyarakatan sarat dengan simbol yang mengarah kepada kedamaian dalam bermasyarakat. Salah satu simbol adalah adanya keberagaman pakaian adat atau pakaian khas daerah. Tiap daerah memiliki kekhasan dalam berbusana. 4 Sejarah pertekstilan Indonesia dimulai dari industri rumahan sejak tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan dan perajutan dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung TIB Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin ATBM yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan . 3 Dikutip dari: http:kampung-mandar.web.idartikeltenunan-mandar.html 4 Dikutip dari: www.egismy.wordpress.com, diakses pada tanggal 11 Juni 2013. Universitas Sumatera Utara produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen sabuk, dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin ATM yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat, dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935 5 Pada masyarakat Toba khususnya di Balige, kepandaian menenun juga sudah sejak lama ada tidak diketahui secara pasti. Hal ini dapat dilihat dari kepandaian dalam membuat Ulos. Peralatan yang digunakan masih sangat sederhana sekali yaitu dibuat dari kayu dan bambu alat tenun ini di Indonesia disebut dengan alat tenun gedogan. Bagi masyarakat Toba pada zaman dahulu, Ulos tidak saja digunakan untuk pakaian sehari-hari, tetapi juga untuk upacara adat. Selajan dengan itu tenunan tradisional khususnya kain Ulos terus diproduksi oleh masyarakat. Kegiatan menenun menjadi salah satu mata pencarian masyarakat khususnya kaum perempuan di daerah- daerah Toba, dan juga Balige. Bagi masyarakat Balige, disamping kain ulos terdapat pula sebuah kain yang menarik yaitu kain sarung. Kain ini lazim disebut dan dikenal dengan nama kain sarung Balige atau dalam bahasa Toba disebut dengan mandar Balige. Sarung balige ini mulai diproduksi di Balige sejak tahun 1930-an yaitu sejak berdirinya industri pertenunan modern ATBM Alat Tenun Bukan Mesin buatan Textile Inrichting Bandung TIB di Balige. Kain sarung ini merupakan ide dan kreatifitas dari para pengusaha Balige. . Dan sejak itu industri tenun tekstil di Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM. 5 Herlison Enie dan Koestini Karmayu, Pengantar Teknologi Tekstil, Jakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1980, hal: 6-8 Universitas Sumatera Utara Munculnya industri dan pengusaha tenun di Balige terjadi pada masa kolonial, yakni di tahun 1930-an. Ini berlangsung berkat diterapkannya kebijaksanaan pengembangan industri rakyat oleh Pemerintah kolonial. Dapat dikatakan, pada masa inilah munculnya para pengusaha perintis industri tenun di Balige. Pada tahun 1935 tercatat tiga pengusaha perintis yang cukup besar yaitu Baginda Pipin Siahaan, H.O. Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar. 6 6 Herry Gendut Janarto, Matiur M. Panggabean Bunga Pansur Dari Balige, Jakarta: PT Gramedia, 2010, hal: 7 Masing-masing mereka menggunakan alat tenun gedogan dan alat tenun bukan mesin ATBM. Setelah kemerdekaan perkembangan usaha tenun ini mendapat perhatian pemerintah pada tahun 1960-an. Pemerintah Soekarno kala itu menerapkan kebijakan penjatahan benang tenun pada paruh pertama tahun 1960-an. Kebijakan ini ditempuh dengan tujuan mempertahankan kelangsungan ekonomi rakyat sekaligus menjamin ketersediaan sandang murah. Benang tenun bersubsidi dijatah menurut jumlah pemilikan alat tenun. Usaha tenun di Balige semakain bertambah akibat kebijakan tersebut, dan industri yang mulai mengalami perkembangan pada masa itu salah satunya adalah industri Pertenun Boi-Tulus Tekstil yang menghasilkan produk utama adalah kain sarung dan ulos dengan merek cap Jempol. Universitas Sumatera Utara Puncak kejayaan usaha tenun di Balige dimulai pada 1950-an hingga tahun 1970. Pada masa-masa ini lah Balige sering dijuluki sebagai kota pertenunan. 7 Kemudian semakin dipersulit dengan adanya krisis ekonomi di tahun 1998. Seperti industri-industri lain di indonesia, industri di Balige pun mengalami dampak dari krisis ekonomi ini. Krisis ekonomi ini mengakibatkan sebagian pengusaha mengalami kebangkrutan karena penurunan pesanan dan kenaikan biaya produksi. Akibatnya banyak industri tenun di Balige yang tutup. Para pengusaha industri tenun Tetapi kemudian diawal tahun 1970-1998 industri tenun Balige mengalami pasang surut karena ketidak mampuan pengusaha lokal Balige dalam menghadapi persaingan pasar, terhentinya pasokan subsidi benang, kemudian dibarengi oleh perkembangan teknologi tekstil ATM. Sebenarnya memberikan keuntungan sebagian besar pada pengusaha lokal Balige terutama dalam hal proses produksi, dimana proses produksi menggunakan ATM lebih cepat dibandingkan dengan ATBM. Akan tetapi, berkembangnya teknologi ini tidak dibarengi dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan para pengusaha lokal dalam mengembangkan keterampilan. Sebagian pengusaha tidak menyiapkan generasi penerus secara baik, terbukti hampir tidak ada generasi penerus di Balige saat itu meneruskan pendidikan kesekolah tinggi teknologi tekstil. Akibatnya pengolahan usaha oleh generasi penerus tidak lebih baik dibandingkan oleh pendahulunya, sementara tantangan yang dihadapinya jauh lebih rumit. 7 Lihat juga di http:mysarimatondang.blogspot.com200711lain-balige-lain-jepara.html diakses pada 11 Juni 2013. Universitas Sumatera Utara tersebut beralih pada usaha lain yang lebih menjanjikan seperti berdagang, membuka pertokoan dan bahkan kembali pada sektor pertanian. Berbeda dengan industri tenun cap jempol pertenunan Boi-Tulus Tekstil yang sampai pada saat ini masih dapat bertahan dan menjadi salah satu industri tenun terbesar di Balige, walaupun pada tahun 1998 terkena imbas dari krisis ekonomi. Hal inilah yang menjadi daya tarik untuk mengkaji sejarah dan peranan industri ini. Kilang Tenun Boi-Tulus Tekstil ini didirikan oleh Julius Sianipar pada tahun 1950. Pada awal pendiriannya industri ini berada di Lumban Silintong tepatnya di Jln. Pelabuhan Balige kemudian dipindahkan ke Jalan utama kota yaitu Jalan Tarutung Balige pada tahun 1980. Pembangunan gedung baru dilakukan di atas areal tanah seluas 1.200 m 2 dengan bangunan semi permanen seluas 1.000 m 2 yang terdiri rumah pemilik, gedung produksi, dapur pencelupan, gudang, asrama karyawan, bengkel, dapur karyawan, kamar mandi. Serta dilengkapi dengan alat tenun mesin ATM dan alat bantu produksi lainnya seperti mesin kelos, mesin palet, mesin hank, dan mesin hanian dan menetap sampai saat ini. Akibat dari penambahan jumlah mesin-mesin tenun sehingga tempat awal semakin sempit dan tidak cocok lagi untuk proses produksi. Selain faktor tersebut, pemindahan ini bertujuan juga untuk mempermudah proses pemasaran karena jalan ini merupakan jalan utama dan dekat dengan onan Balige dengan jarak sekitar 0,5 km dan padat penduduk. Boi-Tulus Tekstil merupakan industri berskala menengah. Industri Skala menengah adalah industri yang mempekerjakan 20-90 orang dan memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 Jt Universitas Sumatera Utara hingga paling banyak Rp 10 M, atau memiliki hasil penjualan tahunan Rp 2,5 M sampai paling tinggi Rp 50 M 8 Industri pertenunan Boi-Tulus Tekstil merupakan salah industri tenun di Balige yang mampu bertahan sampai sekarang. Indusri mempunyai peranan dalam meningkatkan ekonomi terutama dalam penyerapan tenaga kerja, penyedia sandang, serta pengurangan kemiskinan, disamping itu juga merupakan salah satu produk khas dan dikategorikan sebagai produk andalan dan menjadi ikon kota Balige. . Industri ini memproduksi dua kain tenunan yaitu mandar kain sarung katun dan ulos. Sasaran dari industri tenun ini adalah seluruh lapisan masyarakat, ini dilihat dari harga yang terjangkau dan murah. Kain tenun mandar bisa dibentuk, dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan banyak mempunyai ragam fungsi yaitu untuk pakaian Sholat, untuk kain lampin atau pembungkus bayi agar tetap hangat, taplak meja, gorden pintu dan jendela, sarung bantal, seprei tempat tidur, bahkan kain tenun ini dapat dibentuk menjadi pakaian modern baik untuk pria dan wanita. Sedangkan kain Ulos memiliki nilai potensi yang cukup besar karena memiliki nilai sejarah dan ciri khas tersendiri. Kain ulos didominasi oleh masyarakat adat Batak. Meskipun jumlah tenunan ulos dari tahun ketahun cukup banyak, tetapi permintaan masyarakat khususnya untuk kegiatan upacara adat Batak masih tetap ada. Ini disebabkan bahwa dalam adat Batak ulos yang digunakan untuk acara adat tidak lazim digunakan lebih dari satu kali. Sehingga permintaan akan ulos akan tetap ada. 8 Tambunan, Tulus T.H, UMKM di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009 , hal. 16 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan berbagai masalah dan pemikiran di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkajinya. Maka penelitian ini diberi judul “ Pertenun Boi-Tulus Tekstil Di Kecamatan Balige 1950-1998 ”. Adapun alasan penulis membatasi penulisan mulai dari tahun 1950-1998, disebabkan karena pada tahun 1950 kilang tenun ini didirikan oleh pemiliknya yaitu bapak Julius Sianipar dengan Alat Tenun Bukan Mesin ATBM sebanyak 10 unit. Dengan jumlah tenaga kerja upahan sebanyak 12 orang dan dibantu oleh angota keluarga sendiri. Sedangkan tahun 1998 sebagai akhir dari penulisan ini disebabkan karena pada tahun tersebut industri tenun Boi-Tulus memilih berhenti berproduksi untuk sementara guna untuk mengatasi terjadinya kerugian yang fatal karena diakibatkan oleh krisis ekonomi.

1.2. Rumusan Masalah