BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Munculnya industri dan pengusaha tenun di Balige terjadi pada masa kolonial, yakni di tahun 1930-an. Ini berlangsung berkat diterapkannya kebijaksanaan
pengembangan industri rakyat oleh Pemerintah kolonial. Dapat dikatakan, pada masa inilah munculnya apa yang dinamai kelompok perintis industri tenun di Balige. Pada
tahun 1935 tercatat tiga pengusaha perintis yang cukup besar yaitu Baginda Pipin Siahaan, H.O. Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar. Masing-masing mereka
menggunakan alat tenun gedogan dan alat tenun bukan mesin ATBM. Pada tahun selanjutnya 1950 mulai bermunculan pengusaha-pengusaha tenun
yang baru hingga sampai pada tahun 1970 dan pada masa ini Balige menjadi pusat sentra industri tenun yang menghasilkan produk utamanya yaitu sarung dan ulos.
Kemunculan para pengusaha baru ini dipengaruhi oleh beberapa faktor dari dalam diri mereka untuk mengikuti jejak keberhasilan orang lain. Dalam masyarakat batak
Toba berlaku suatu umpasa pepatah sebagai berikut: Eme na masak di gagat ursa, ia i na masa ima niula Padai menguning dimakan rusa, jika itu yang berlaku secara
umum maka itulah yang dikerjakan. Umpasa ini merumuskan bahwa orang batak dengan cepat dan mudah meniru atau mengikuti kegiatan orang lain yang dinilai
dapat menguntungkan.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu industri pertenunan yang masih beroperasi di Balige sampai saat ini adalah Industri pertenunan Boi-Tulus Tekstil, produk utamanya Kain Sarung dan
Ulos dengan merek produk cap Jempol. Pemberian nama Boi-Tulus diambil dari nama anak Bapak Julius. Sedangkan untuk pemberian merek cap jempol
menunjukkan pada kualitas sarung yang bagus Industri tenun yang muncul pada masa itu salah satunya adalah pertenunan
BOI-TULUS Tekstil. Pada awal berdiri 1950 pertenunan Boi-Tulus hanya merupakan sebuah industri kecil ini terlihat dari jumlah alat tenun yang masih sedikit yang terdiri
dari Alat Tenun Bukan Mesin ATBM sebanyak 10 unit. Dengan jumlah tenaga kerja upahan sebanyak 12 orang dan dibantu oleh angota keluarga sendiri.
Pertenunan boi-tulus tektil mengalami perkembangan semenjak berdiri hingga sekarang perkembangan tersebut dapat dilihat sejak 1960 ketika pemerintah
memberlakukan kebijakan sistem kuota benang yang disalurkan melalui koperasi Tobatex dibawah koordinasi departemen perindustrian. Kemudian pada tahun 1967
perusahaan mengalami kendala produksi karena keterbatasan bahan baku yang disebabkan oleh terhentinya pasokan subsidi bahan baku benang dari pemerintah.
Untuk mempertahankan usahanya Julius Sianipar selaku pemilik perusahaan mencari distributor untuk penyediaan bahan baku benang dan bahan pembantu. Kerjasama
kemudian dilakukan dengan PD. MUTIARA. Sejak bekerja sama dengan PD. MUTIARA maka ketersediaan bahan baku
sangat terjamin dan lancar sehingga penggunaan teknologi pertenunan yang pada
Universitas Sumatera Utara
awalnya dari ATBM Alat Tenun Bukan Mesin berubah menjadi ATM Alat Tenun Mesin. Selain pergantian alat tenun perusahaan juga melakukan pembagunan gedung
baru untuk melakukan kegiatan produksi secara maksimal. Pertenunan Boi-Tulus Tekstil tentunya sangat berperan terhadap kota Balige.
Pengaruh tersebut adalah menambah pendapatan daerah yang memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Juga membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat Balige yang mengurangi jumlah pengangguran di daerah tersebut, sekaligus menjadi produk andalan dan menjadi salah satu ikon kota.
Universitas Sumatera Utara
5.2. Saran