Dampak Bimbingan Mental Spiritual Terhadap Keberagamaan Warga Binaan Sosial (Wbs) Di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger Jakarta Timur

(1)

SOSIAL (WBS) DI PANTI SOSIAL BINA INSAN

BANGUN DAYA 2 CEGER JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

Ai Dede Novian

NIM: 109052000039

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H./2013 M.


(2)

SOSIAL (WBS) DI PANTI SOSIAL BINA INSAN

BANGUN DAYA 2 CEGER JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

Ai Dede Novian

NIM: 109052000039

Pembimbing:

NIP: 19780114 200912 1 002

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H./2013 M.


(3)

Skripsi berjudul DAMPAK BIMBINGAN MENTAL SPIRITUAL TERHADAP KEBERAGAMAAN WARGA BINAAN SOSIAL (WBS) DI PANTI SOSIAL BINA INSAN BANGUN DAYA 2 CEGER JAKARTA TIMUR telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis 29 Agustus 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

Jakarta, 29 Agustus 2013 Sidang Munaqosyah


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 20 Juni 2013


(5)

i Ai Dede Novian

Dampak Bimbingan Mental Spiritual terhadap Keberagamaan Warga Binaan Sosial (WBS) Di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger Jakarta Timur

Warga binaan sosial (WBS) merupakan orang-orang penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) hasil penertiban dan penjangkauan sosial. Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) tersebut meliputi gelandangan, pengemis, pengamen, wanita tuna susila (WTS), waria, psycotik, jockey three in one, parkir liar, pengedar kotak amal, penyandang cacat, pedagang asongan, pemulung dan orang terlantar (Perda Provinsi DKI Jakarta No 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum).

Dalam banyak kajian bimbingan agama umumnya berkontribusi positif bagi masyarakat. Misalnya dapat meningkatkan khualitas ibadah dan dapat meningkatkan motivasi masyarakat dalam mengamalkan ajaran agama. Namun penilaian penulis belum ada kajian yang membahas pada aspek dampak bimbingan mental spiritual terhadap keberagamaan warga binaan sosial (WBS). Hal ini dipandang penting karena pemulihan mental dan spiritual bagi warga binaan sosial (WBS) merupakan kunci kesiapan individu menjalani hidupnya secara normal.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu informasi yang dikumpulkan dideskripsikan berdasarkan ungkapan, cara berpikir, pandangan dan interpretasi para informan penelitian itu sendiri, sehingga terungkapkan sampai dengan apa yang tersembunyi di balik perilaku keberagamaan warga binaan sosial (WBS). Informan penelitian dalam penelitian ini terdiri dari pembimbing, warga binaan sosial (WBS) dan pekerja sosial yang ada di panti.

Metode yang digunakan pembimbing dalam bimbingan mental spiritual yaitu metode ceramah, tanya jawab dan nonton bareng. Adapun materi yang disampaikan mencakup seluruh ajaran agama Islam secara umum dalam segala aspek kehidupan manusia. Dari penggunaan metode dalam penyampaian materi proses bimbingan mental spiritual berjalan dengan cukup baik. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara penulis menemukan bahwa bimbingan mental spiritual berdampak positif terhadap keberagamaan warga binaan sosial (WBS), baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.


(6)

i Ai Dede Novian

Effect of mental spiritual guidance on social inmates’ religious behavior at Bina Insan Bangun Daya 2 Social Institution Ceger East Jakarta.

Social inmates are people with social welfare issues which are taken in during a social outreach or a raid. People with social welfare issue include homeless drifters, beggars, street singers, whores, shemales, psychotic, three in one jockey, illegal parker, illegal street fundraiser, peoples with disabilities, hawkers, scavengers, and displaced persons. (DKI Jakarta Province regulation No 8 year 2007 concerning public order).

In many discussions, religious guidance generally contributes positively to the society. For example, it can improve their worship quality and public motivation to practice their dogma. However, based on writer’s evaluation, there has not been any study that examines the effect of mental spiritual guidance on social inmates’ religious behavior. This is important because mental and spiritual recovery of inmates is the key to their readiness to live normally.

Research method that is used in this study is descriptive qualitative, in which information gathered is described based on research informants’ expression, way of thinking, view, and interpretation, so that what lies behind religious behavior of social inmates is revealed. Research informants in this study are advisers, social inmates, and social workers in the institution.

Methods used by advisers in guiding inmates mentally and spiritually are through lecturing, discussing, and watching movie. The content material given includes all general islam dogma in every aspect of human life. The use of method and the process of the guidance run well. Based on writer’s observation and interview, she found that mental and spiritual guidance contributes positively to social inmates’ religious behavior on cognitive, affective, and psychomotoric aspect.


(7)

ii

Segala puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas nikmatNya penulis selalu diberikan kesehatan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan skripsi yang berjudul

“Dampak Bimbingan Mental Spiritual terhadap Keberagamaan Warga Binaan Sosial (WBS) Di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger

Jakarta Timur.”

Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Terutama dari orang tua bapak Odih Muhidin dan umi Yanti, terima kasih yang tak terhingga untuk kasih sayang kalian yang tak henti-hentinya mendoakan dan mendukung penulis. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Arif Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku Ketua Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Sugiharto, MA selaku Sekretaris Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen penguji skripsi ini.


(8)

iii

penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Drs. H. Mahmud Jalal, MA selaku dosen penguji skripsi ini, terima kasih untuk masukannya.

6. Terima kasih untuk Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa kepada kami.

7. Nurul Hidayati, M.Pd selaku dosen Penasehat Akademik, M. Lutfi, MA, Ade Irma Soleha, Asep Usman Ismail dan para dosen Bimbingan dan Penyuluhan Islam yang telah mengajarkan ilmunya dengan tulus dan ikhlas,

8. Purwono, SH. M.Si selaku Kepala Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger Jakarta Timur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di panti.

9. Abdul Khair, S.Ag. M.Si selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha, terima kasih atas kebaikan dan arahannya.

10.Muhammad Kurniawan, S.Sos, Lukman Hakim, Rahma dan semua Pekerja Sosial, terima kasih atas kebaikan kalian telah membantu dan mendampingi penulis selama penelitian di panti.

11.Ustadz Ahmad Munzir dan para warga binaan sosial (WBS), terima kasih untuk informasi yang kalian berikan.

12.Kepada kakak-kakak ku, A Iyad, A Agus, A Umar dan A Apik terima kasih untuk motivasinya. Keponakan ku yang ganteng-ganteng yang


(9)

iv

Thanks for all.

13.Teman-teman BPI/K 2009 (Koplakers) semuanya yang telah bersama-sama mengarungi suka duka menjadi mahasiswa beasiswa. Spesial terima kasih untuk Peppy Mutawallie yang selalu memberikan motivasi dan menemani penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik untuk kalian semua. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat kepada penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Ciputat, 20 Juni 2013


(10)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... ... 7

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

A. Dampak ... 16

B. Bimbingan Mental Spiritual ... 16

1. Pengertian Bimbingan ... 16

2. Pengertian Mental ... 22

3. Pengertian Spiritual ... 28

C. Keberagamaan ... 30

1. Pengertian Keberagamaan ... 30

2. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Manusia ... 30

3. Kriteria Orang yang Matang Beragama ... 33


(11)

vi

6. Ketaatan Beragama ... 40

D. Motivasi yang Melahirkan Tingkah Laku Keagamaan ... 42

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA ... 45

A. Profil Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger ... 45

B. Kelembagaan Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger ... 46

C. Program Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger ... 50

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA ... 52

A. Karakteristik Informan ... 52

B. Kegiatan Bimbingan Mental Spiritual ... 57

C. Analisa Data ... 64

BAB V PENUTUP ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisme, industrialisasi dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri tehadap masyarakat modern yang hyperkompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjusment menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri, demi kepentingan sendiri dan mengganggu atau merugikan orang lain.1

Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar warga masyarakatnya. Hal itu disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan norma dan nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dapat dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik. Salah satu masalah sosial yang sangat krusial adalah masalah kemiskinan.2

1

Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1981), h. v.

2

Drs. Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya 1995), cet.1, h. 1.


(13)

Di Indonesia masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan masih hadir di tengah-tengah kita saat ini, melainkan pula karena kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia.3

Masalah kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendasar untuk ditangani, salah satu ciri umumnya adalah kondisi masyarakatnya yang miskin tidak memiliki sarana dan prasarana, dan pemukiman yang tidak memadai, kualitas lingkungan yang kumuh dan tidak layak huni. Sehingga banyak terjadi penyandang masalah kesejahteraan sosial, dimana masalah kemiskinan adalah merupakan faktor utama. Kemiskinan pula merupakan akibat dari sifat malas, kurangnya kemampuan intelektual, kelemahan fisik, kurangnya keterampilan dan rendahnya kemampuan untuk menanggapi persoalan disekitarnya.4

Berdasarkan studi SMERU Suharto (2004: 7-8) menunjukkan sembilan kriteria yang menandai kemiskinan:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).

2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

3

Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 131.

4


(14)

4. Kerentaan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9. Ketidamampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita

korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).5

Menurut David Cox dalam Edi Suharto membagi kemiskinan dalam empat dimensi:

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang diakibatkan oleh hakikat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

5


(15)

4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskina yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.6

Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) jalanan sebagai akibat dari kemiskinan, urbanisasi, terbatasnya lapangan pekerjaan, pendidikan rendah dengan keterampilan terbatas, sehingga perlu penertiban sosial dan panti sosial. Di Jakarta sendiri penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) cenderung meningkat. Hal ini ditandai dengan banyaknya permasalahan sosial yang dihadapi. Para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) tidak mempunyai skill (tidak berkualitas). Mayoritas dari mereka adalah para gelandangan, pengemis, pengamen, WTS (wanita tuna susila), waria, joki three in one, parkir liar, pengedar kotak amal, psycotik, penyandang cacat, asongan, pemulung, orang terlantar dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya.7

Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang terkena penertiban sosial dibawa ke panti sosial untuk diberikan berbagai layanan sosial, salah satunya yaitu bimbingan mental spiritual. Bimbingan mental spiritual adalah serangkaian kegiatan atau tuntunan untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain dengan cara mempelajari berbagai ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keagamaan yang didukung dengan

6

Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat, h. 133.

7


(16)

pelatihan dan pemahaman cara berpikir positif serta praktik kegiatan ibadah, demi terwujudnya kebahagiaan di dunia dan akhirat.8

Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberagamaan warga binaan sosial (WBS) adalah melalui bimbingan mental spiritual. Bimbingan mental spiritual dapat dilakukan dengan berbagai cara baik secara materiil maupun moril dalam meningkatkan kualitas keberagamaan. Artinya bimbingan mental spiritual diharapkan dapat meningkatkan keberagamaan sehingga dapat dipastikan warga binaan sosial (WBS) akan mengamalkan ajaran-ajaran religi sebagai kendali dalam hidupnya.

Keagamaan dalam pengertian Glock and Stark (1996) seperti yang di kutip oleh Djamaludin Ancok adalah keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Dengan demikian agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak, yaitu sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlambangkan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Karenanya perilaku keagamaan sesungguhnya merupakan ekspresi

8

Abdul Rahman dan Nuhri Sulaeman, Panduan Bimbingan Mental Spiritual (Jakarta: Kementrian Sosial, 2011), h. 1.


(17)

jiwa yang terlihat pada sikap dan perilaku para pemeluk agama atau suatu sistem, simbol yang terlaksana dari berbagai dimensi keagamaan.9

Dari pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa perilaku keagamaan seseorang tidak hanya bisa dilihat dari kegiatan ritual ibadahnya saja, baik yang nampak maupun tidak nampak. Tetapi juga dari kegiatan-kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari, seperti bersosialisasi antar sesama manusia dan mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Dari hasil pengamatan awal penulis pada Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger terdapat bimbingan mental spiritual, tetapi nampaknya bimbingan tersebut masih bersifat formal yang hanya dibutuhkan dalam sebuah lembaga pembinaan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Yayasan Amal Mulia Cipulir pada lansia, disana terdapat bimbingan rohani Islam secara rutin setiap seminggu sekali. Penelitian lain juga dilakukan di Panti Sosial Tresna Werda Budi Mulia 3 Ciracas, di panti ini terdapat bimbingan Islam yang rutin setiap empat kali dalam seminggu.

Berdasarkan permasalahan kesejahteraan sosial warga binaan sosial (WBS) yang berada di panti, maka penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai keberagamaan mereka dengan melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang judul “Dampak Bimbingan Mental Spiritual terhadap Keberagamaan Warga Binaan Sosial (WBS) di Panti Sosial Bina Insan

Bangun Daya 2 Ceger Jakarta Timur”.

9

Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 76.


(18)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dari sekian banyak layanan sosial yang dilaksanakan di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger, penulis membatasi layanan sosial pada aspek bimbingan mental spiritual dengan warga binaan sosial (WBS) yakni mengetahui dampak bimbingan mental spiritual terhadap keberagamaan warga binaan sosial (WBS).

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rincian masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana proses bimbingan mental spiritual warga binaan sosial (WBS) di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger?

2. Bagaimana dampak bimbingan mental spiritual terhadap keberagamaan warga binaan sosial (WBS)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisa proses bimbingan mental spiritual warga binaan sosial (WBS) di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger.

b. Untuk mengetahui dan menganalisa dampak bimbingan mental spiritual terhadap warga binaan sosial (WBS).


(19)

2. Manfaat Penelitian a. Secara akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan mengenai proses bimbingan mental spiritual dan dampak bimbingan tehadap perilaku keberagamaan warga binaan sosial (WBS) di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan:

 Untuk bahan evaluasi dalam pelaksanaan layanan bimbingan mental spiritual di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger.

 Untuk menambah rujukan tentang kajian bimbingan mental spiritual dan hubungannya dengan keberagamaan warga binaan sosial (WBS).

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini sebelumnya penulis melakukan penelitian lebih lanjut dan terdapat dua skripsi yang berhubungan dengan dampak bimbingan terhadap keberagamaan, namun penulis pertegas perbedaan antara masing-masing judul dan masalah yang dibahas antara lain:

1. Riduan Haryati NIM 9952017498, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2003. Dengan judul skripsi “Pengaruh Bimbingan Rohani Islam terhadap Perilaku Keberagamaan Lansia di Yayasan Amal Mulia Cipulir Jakarta Selatan.” Dalam penelitian ini dijelaskan tentang


(20)

pengaruh bimbingan rohani islam terhadap perilaku keberagamaan lansia, materi bimbingan lebih difokuskan pada masalah ibadah khususnya shalat. Minat lansia dalam mengikuti bimbingan sangat besar, karena selain untuk mengisi waktu luang juga untuk mempersiapkan kehidupan di akhirat. Dari penelitian ini bimbingan rohani islam berpengaruh terhadap perilaku keberagamaan lansia. Para lansia menjadi lebih rajin dalam melaksanakan shalat lima waktu, bahkan ada yang melaksanakan shalat lebih awal sebelum waktunya, perasaan mereka juga menjadi lebih tenang dan tentram. Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan dari kuantitatif dan kualitatif.

2. Mikkah Nismawati NIM 0052019834, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004. Dengan judul skripsi “Pengaruh bimbingan islam terhadap perilaku keagamanaan manula di Panti Sosial Tresna Werda Budi Mulia 3 Ciracas Jakarta Timur.” Dalam penelitian ini dijelaskan tentang pengaruh bimbingan islam terhadap perilaku keberagamaan manula, materi yang diberikan tentang bimbingan ibadah praktis, yaitu meliputi praktik wudhu dan shalat, bimbingan aqidah dan bimbingan akhlak. Metode yang digunakan ceramah dan nasihat serta praktik ibadah. Dalam penelitian ini bimbingan islam berpengaruh terhadap perilaku keberagamaan manula, hal ini terlihat dari motivasi manula untuk mengamalkan apa yang didapat setelah mengikuti bimbingan, baik dalam pelaksanaan ibadah shalat lima waktu maupun


(21)

perbaikan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis.

Dari kedua penelitian di atas yang membedakan dengan penelitian ini adalah dampak bimbingan mental spiritual terhadap keberagamaan bagi warga binaan sosial (WBS) di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger Jakarta Timur. Dalam penelitian ini membahas tentang bimbingan mental spiritual serta hubungannya dengan keberagamaan warga binaan sosial (WBS) yang berada di Panti Sosial Bina Insan Bagun Daya 2 Ceger Jakarta Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diterangkan sebelumnya, maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yaitu informasi yang dikumpulkan dideskripsikan berdasarkan ungkapan, cara berpikir, pandangan dan interpretasi para informan penelitian itu sendiri, sehingga terungkapkan sampai dengan apa yang tersembunyi di balik perilaku keberagamaan warga binaan sosial (WBS).10

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian berlokasi di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Jl. Raya Bina Marga Ceger No.48 Cipayung Jakarta Timur. Adapun waktu penelitian dilaksanakan mulai dari 19 April 2013 s/d 27 Mei 2013.

10

Prof. Dr. Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan penelitian (Malang: UMM Press, 2008), h. 154.


(22)

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah target informan yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Pengambilan informan dilakukan secara purposif sampling, yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.11 Subjek yang dijadikan informan yaitu ustadz Ahmad Munzir sebagai pembimbing, Muhammad Kurniawan dan Lukman Hakim sebagai pekerja sosial dan Rowi, Ibarahim, Pebe Biyem, Idah, Alwi, Dedi Kusmana dan Eka Krestianti sebagai warga binaan sosial (WBS) di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger.

4. Sumber Data

a. Data primer (primary data), adalah data yang dihimpun secara langsung dari sumbernya dan diolah sendiri oleh lembaga bersangkutan untuk dimanfaatkan. Data primer dapat berbentuk opini subjek secara individual atau kelompok, dan hasil observasi terhadap karakteristik benda (fisik), kejadian, kegiatan dan hasil suatu pengujian tertentu. Ada dua metode yang dipergunakan untuk pengumpulan data primer, yaitu melalui observasi dan wawancara.

b. Data sekunder (secondary data), adalah data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara (dihasilkan pihak lain) atau digunakan oleh lembaga lainnya yang bukan merupakan pengolahnya, tetapi dapat dimanfaatkan dalam suatu penelitian

11

Prof. Dr. Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan penelitian, h. 89.


(23)

tertentu.12 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah brosur, left let, buku panduan dan data-data kelembagaan dari Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.13 Wawancara dilakukan dengan cara face to face atau berhadapan langsung dengan pembimbing bimbingan mental spiritual yaitu ustadz Ahmad Munzir, pekerja sosial yaitu Muhammmad Kurniawan S.Sos, Lukman Hakim dan warga binaan sosial (WBS) yaitu Rowi, Ibarahim, Pebe Biyem, Idah, Alwi, Dedi Kusmana dan Eka Krestianti.

b. Observasi

Observasi yaitu aktivitas pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan alat indera.14 Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan cara berkunjung langsung ke Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger dan mengikuti kegiatan bimbingan mental spiritual untuk memperoleh

12

Rosady Ruslan, Metode Penelitian Publik Relations dan Komunikasi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), h. 137-139.

13

Prof. Dr. Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial Edisi 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 55

14

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Ssuatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Karya, 1996), h. 145.


(24)

data penelitian. Peneliti melakukan kunjungan minimal 2 kali dalam seminggu selama 2 bulan.

c. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah dengan pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. Data-data yang diperoleh berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber, dokumen formal, buku-buku, artikel dan lain sebagainya.15 Dokumen dalam penelitian ini terdiri dari brosur, left let, buku panduan dan data-data kelembagaan dari Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger.

6. Teknik Analisa Data

Data atau informasi yang telah dikumpulkan perlu diuji keabsahannya melalui teknik-teknik berikut:

a. Triangulasi metode, yaitu menguji data atau informasi dengan menggunakan metode yang berbeda.

b. Triangulasi peneliti, yaitu memeriksa data atau informasi dengan peneliti yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk menguji kejujuran, subjektivitas dan kemampuan merekam data oleh peneliti di lapangan. c. Triangulasi sumber, yaitu membandingkan hasil wawancara dengan isi

suatu dokumen yang berkaitan. Hasil dari perbandingan yang diharapkan adalah berupa kesamaan atau alasan-alasan terjadinya perbedaan.

15

Prof. Dr. Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial Edisi 2, h. 69.


(25)

d. Triangulasi situasi, yaitu bagaimana penuturan seorang responden jika dalam keadaaan ada orang lain dibandingkan dengan dalam keadaan sendiri.

e. Triangulasi teori, yaitu apakah ada hubungan penjelasan dan analisis atau tidak antara satu teori dengan teori yang lain terhadap data hasil penelitian.16

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi triangulasi sumber, yaitu melakukan pengecekan data antara pembimbing, pekerja sosial dan warga binaan sosial (WBS) dan triangulasi situasi, yaitu melakukan pengecekan terhadap kenyataan lapangan dengan penuturan pembimbing, pekerja sosial dan warga binaan sosial (WBS).

7. Teknik Penulisan Skripsi

Dalam penulisan ini peneliti menggunakan teknik penulisan yang didasarkan pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,

Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian.

BAB II TINJAUAN TEORITIS, yang terdiri dari landasan teori yaitu dampak, bimbingan mental spiritual, keberagamaan yang meliputi: kriteria

16

Prof. Dr. Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan penelitian, h. 68.


(26)

orang yang matang beragama, sikap keagamaan, tingkah laku keagamaan dan ketaatan beragama. Motivasi yang melahirkan tingkah laku keagamaan. BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA, yang terdiri dari Profil Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger yang meliputi: latar belakang berdirinya. Kelembagaan Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger yang meliputi: visi dan misi, dasar hukum, susunan organisasi Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger, kedudukan, tugas dan fungsi. Program Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger.

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA, yang berisi tentang temuan data yang terdiri dari karakteristik informan, kegiatan bimbingan mental spiritual, analisa data dan pembahasan analisa data.


(27)

16

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Dampak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dampak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif).1 Bimbingan mental spiritual merupakan salah satu layanan sosial terhadap warga binaan sosial (WBS) yang ada di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger. Dengan bimbingan mental spiritual ini diharapkan bisa memberikan dampak positif terhadap warga binaan sosial (WBS) terutama terhadap keberagamaannya, dengan keberagamaan yang kuat warga binaan sosial (WBS) dapat menjalankan kehidupannya secara normal dan tidak kembali hidup di jalanan.

B. Bimbingan Mental Spiritual 1. Pengertian Bimbingan

Bimbingan dalam kamus besar adalah petunjuk, penjelasan, atau tuntunan cara mengerjakan sesuatu.2

Secara etimologi, kata bimbingan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “guidance” yang berarti: “menunjukkan, memberi jalan, menuntun, membimbing, membantu, mengarahkan, pedoman dan petunjuk.” Kata dasar atau kata kerja dari “guidance” adalah “to guide”, yang artinya “menunjukkan, menuntun, mempedomani, menjadi peetunjuk

1

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa IndonesiaEdisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 234.

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-2, h. 580.


(28)

jalan dan mengemudikan.” Dan yang paling umum digunakan adalah pengertian memberikan bimbingan, bantuan dan arahan.3

Menurut Arthur J. Jones, seperti dikutip oleh DR. Tohari Musnamar (1985 : 4)

“Bimbingan sebagai pertolongan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal membuat pilihan-pilihan, penyesuaian diri dan pemecahan problem-problem. Tujuan bimbingan ialah membantu orang tersebut untuk tumbuh dalam hal kemandirian dan kemampuan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri.”

DR. Moh Surya (1986 : 6) mengemukakan definisi bimbingan sebagai berikut :

“Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengerahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.”

Dari definisi yang dikutip di atas dapat diambil beberapa prinsip sebagai berikut:

1. Bimbingan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, sehingga bantuan itu diberikan secara sistematis, berencana, terus menerus dan terarah kepada tujuan tertentu.

2. Bimbingan merupakan proses membantu individu. Dengan menggunakan kata “membantu” berarti dalam kegiatan bimbingan tidak terdapat adanya unsur paksaan.

3. Bantuan diberikan kepada setiap individu yang memerlukannya dalam proses perkembangannya. Artinya proses bimbingan ini memberikan

3

Prof. H. M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama (Jakarta: Golden Trayon Press, 1994), cet. Ke-5, h. 1.


(29)

bantuannya kepada setiap individu, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun orang tua.

4. Bantuan yang diberikan melalui pelayanan bimbingan bertujuan agar individu dapat mengembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

5. Yang menjadi sasaran bimbingan adalah agar individu dapat mencapai kemandirian yakni tercapainya perkembangan yang optimal dan dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.

6. Untuk mencapai tujuan bimbingan sebagaimana dikemukakan di atas, digunakan pendekatan pribadi atau kelompok dengan memanfaatkan berbagai teknik dan media bimbingan.

7. Layanan bimbingan dengan menggunakan berbagai macam media dan teknik tersebut dilaksanakan dalam suasana asuhan yang normatif. 8. Untuk melaksanakan kegiatan bimbingan diperlukan adanya

personil-personil yang memiliki keahlian dan pengalaman khusus dalam bidang bimbingan.4

Berdasarkan definisi bimbingan yang telah dikemukakan para ahli di atas serta prinsip-prinsip yang terkandung di dalam pengertian bimbingan maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan adalah usaha membantu orang lain dengan mengungkapkan dan membangkitkan potensi yang dimilikinya. Sehingga dengan potensi itu ia akan memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya secara wajar dan optimal, yakni dengan cara memahami dirinya, maupun mengambil keputusan untuk hidupnya,

4


(30)

maka dengan itu ia akan dapat mewujudkan kemandirian diri, kehidupan yang lebih baik, dengan demikian individu dapat bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya.

Adapun secara umum tujuan bimbingan adalah membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan secara khusus sebagai berikut:

a. Membantu individu agar tidak menghadapi masalah.

b. Membantu individu mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

c. Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik atau yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.5

Fungsi bimbingan adalah sebagai berikut:

a. Pemahaman, yaitu membantu individu mengembangkan potensi dirinya secara optimal.

b. Preventif, yaitu mencegah klien agar tidak melakukan perbuatan yang bisa merugikan dan membahayakan dirinya.

c. Pengembangan, yaitu menciptakan situasi belajar yang kondusif dan memfasilitasi perkembangan klien.

d. Perbaikan/penyembuhan, yaitu memberikan bantuan pada klien yang sedang mengalami masalah, baik yang berkaitan dengan pribadinya, sosial, belajar, maupun karirnya.

5

Aunur Rahman Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), cet ke-2, h. 35.


(31)

e. Penyaluran, yaitu membantu klien agar mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kemampuan pada bidang dan keahlian yang dimilikinya.

f. Adaptasi, yaitu membantu klien agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, orang lain, tempat pendidikannya dan dimana ia tinggal. g. Penyesuaian, yaitu membantu klien agar dapat menyesuaikan diri

dimanapun ia tinggal dan berada.6

Metode-metode yang biasa digunakan dalam bimbingan adalah sebagi berikut:

a. Wawancara, yaitu cara atau teknik yang digunakan untuk mengetahui mengenai fakta-fakta mental atau kejiwaan (psikis) yang ada pada diri yang dibimbing dengan cara tanya jawab secara face to face.

b. Observasi, yaitu cara atau teknik yang digunakan untuk mengamati secara langsung sikap dan perilaku yang tampak pada saat-saat tertentu, yang muncul sebagai pengaruh dari kondisi mental atau kejiwaannya.

c. Tes (kuisioner), yaitu merupakan serangkaian pertanyaan yang disiapkan beberapa alternatif jawaban pilihan. Metode ini untuk mengetahui fakta dan fenomena kejiwaan yang tidak bisa diperoleh melalui wawancara dan observasi.

d. Bimbingan kelompok (Group Guidance), yaitu: teknik bimbingan melalui kegiatan bersama (kelompok), seperti kegiatan diskusi, ceramah, seminar dan sebagainya.

6

Dr. Syamsu Yusuf dan Dr. A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling


(32)

e. Psikoanalisis (analisa kejiwaaan), yaitu teknik yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa dan pengalaman kejiwaan yang pernah dialami anak bimbingan. Misalnya perasaan takut dan tertekan.

f. Non direktif (teknik tidak mengarahkan), dalam teknik ini mengaktifkan klien dalam mengungkapkan dan memecahkan masalah dirinya.

g. Direktif (bersifat mengarahkan), teknik ini dapat digunakan bagi klien bimbingan dalam proses belajar.

h. Rasional-Emotif, dalam bimbingan ini dimaksudkan untuk mengatasi pikiran-pikiran yang tidak logis yang disebabkan dorongan emosi yang tidak stabil.

i. Bimbingan klinikal, yaitu dengan berorientasi pada kemampuan personal secara keseluruhan baik jasmani maupun rohani.7

Selain metode yang diuraikan di atas, dalam perspektif Al-Quran ada metode yang biasa dilakukan, yaitu: bil-hikmah, bil-mauidzah hasanah dan bil-mujadalah. Seperti firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:









“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

7

Drs. M. Lutfi, MA, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhuan (Konseling) Islam


(33)

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”8

Ayat tersebut menjelaskan bahwa mengajak atau membimbing manusia kepada jalan Allah, hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang yang dibimbing atau diajak, karena daya tangkap atau respon seseorang terhadap ajaran yang disampaikan banyak dipengaruhi oleh realitas kehidupan dan karakteristik diri pribadinya.

a. Metode “bil-hikmah”, metode ini digunakan dalam menghadapi orang-orang terpelajar, intelek, dan memiliki tingkat rasional yang tinggi, yang kurang yakin akan kebenaran ajaran agama.

b. Metode “bil mujadalah”, perdebatan yang digunakan untuk

menunjukkan dan membuktikan kebenaran ajaran agama, dengan menggunakan dalil-dalil Allah yang rasional.

c. Metode “bil mauidzah”, dengan menunjukkan contoh yang benar dan tepat, agar yang dibimbing dapat mengikuti dan menangkap dari apa yang diterimanya secara logika dan penjelasan akan teori yang masih baku.9

2. Pengertian Mental

Mental berasal dari kata Latin mens, mentis yang artinya jiwa, sukma, roh, semangat.10 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

8 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath

-Thabari, Tafsir Ath-Thabari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 388-389.

9

Drs. M. Lutfi, MA, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhuan (Konseling) Islam, h. 135-136.

10


(34)

mental diartikan sebagai suatu hal yang berhubungan dengan batin dan watak manusia yang bukan bersifat tenaga.11

H. M. Arifin menyatakan, arti mental adalah sesuatu kekuatan yang abstrak (tidak tampak) serta tidak dapat dilihat oleh panca indera tentang wujud dan dzatnya, melainkan yang tampak adalah hanya gejalanya saja dan gejala inilah yang mungkin dapat dijadikan sasaran penyediaan ilmu jiwa atau lainnya.12

Mental adalah cara berfikir dan berperasaan berdasarkan nurani petunjuk yang berasal dari agama, petunjuk atau pedoman hidup. Dalam khasanah Islam, nafs sendiri banyak pengertian: jiwa (soul), nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan ghadhab, kpribadian dan substansi psikofisik manusia. Namun maksud bahasan ini adalah pengertian terakhir, dimana nafs memiliki natur gabungan jasadi dan rohani (psikofisik).13

M. Hamdani Bakran Adz-Dzakymengatakan bahwa, apabila hamba Allah telah berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa (mental), seperti yang ditulis maka ia akan dapat mencapai tingkat kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu akan tersingkap;

1. Kesempurnaan Jiwa, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah (yang tentram), jiwa radhiyah (jiwa yang meridhoi) dan jiwa yang mardhiyah

(jiwa yang diridhoi) sehingga memiliki stabilitas emosional yang tinggi

11

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 733.

12

H. M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Ruhaniah Manusia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), cet, ke-2, h. 17.

13

Muhammad Mahmud, ‘Ilm al-Nafs al-Ma’ashir di Dha’i al-Islam (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984).


(35)

dan tidak mudah mengalami stress, depresi dan frustasi. Jiwa ini akan selalu mengajak pada fitrah Illahiyah Tuhannya. Indikasi hadirnya jiwa ini akan terlihat pada perilaku, sikap dan gerak-geriknya yang tenang, tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang, tepat dan benar, tidak terburu-buru untuk bersikap apriori dan berprasangka negatif. Jiwa radhiyah akan mendorong diri bersikap lapang dada, tawakkal, tulus, ikhlas dan sabar dalam mengaplikasikan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya dan menerima dengan lapang dada segala ujian dan cobaan yang datang dalam hidup dan kehidupannya, dalam artian hampir-hampir tidak pernah mengeluh, merasa susah, sedih dan takut menjalani kehidupan ini.14 Firman Allah dalam Surat Yunus ayat 62-64.



















Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”15

Sedangkan jiwa mardhiyah adalah jiwa yang telah memperoleh

title dan gelar kehormatan dari Allah. Sehingga keimanan, keislaman

14

Notosoedirjo, Moeljono & Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan,

(Malang: UMM Press, 2001), cet. Ke-2.

15


(36)

dan keikhsanannya tidak akan pernah mengalami erosi, dekadensi dan distorsi. Dalam hal ini diberikan otoritas penuh kepada jiwa untuk berbuat, berkarya dan beribadah di dalam ruang dan waktu Tuhannya yang terlepas dari jangkauan makhluk.16 Allah berfirman dalam Surat Al-Fajr ayat 27-30 yang berbunyi:















Artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku.”17

2. Kecerdasan Uluhiyah, yaitu kemampuan fitrah seseorang hamba yang shaleh untuk melakukan interaksi vertikal dengan Tuhannya; kemampuan mentaati segala apa yang diperintahkan dan menjauhi diri dari apa yang yang dilarang dan dimurkai-Nya serta tabah terhadap ujian dan cobaan-Nya. Sehingga dengan kecerdasan ini akan terhindar dari sikap menyekutukan Allah (syirik), sikap menganggap remeh hukum-hukum-Nya atau sikap menunda-nunda diri untuk melakukan kebaikan dan kebenaran (fasiq), sikap suka melanggar hukum Allah

(zhalim), sikap mendua dihadapan-Nya (nifaq), dan sikap suka mengingkari atau mendustakan ayat-ayat-Nya (kufur). Kedekatan Allah akan membuat hamba-Nya menyaksikan kebesaran dan kesucian-Nya

(ihsan) dengan interaksi vertikal yang bersifat transendental. Empirik

16

Notosoedirjo, Moeljono & Latipun, (Malang: UMM Press, 2001)

17

Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), cet. Ke-33. h. 903.


(37)

dan hidup, bukan spekulasi dan ilusi.18 Allah berfirman dalam Surat Qaaf ayat 16:





Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”19

3. Kecerdasan Rububiyah, yaitu kemampuan fitrah seorang hamba yang shaleh dalam memelihara dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupannya, mendidik diri agar menjadi hamba yang pandai menemukan hakikat citra diri dengan kekuatan ilmu, membimbing diri secara totalitas patuh dan tunduk kepada Allah SWT serta dapat memberikan kerahmatan pada diri dan lingkungannya. Menyembuhkan dan menyucikan diri dari penyakit dan gangguan yang dapat melemahkan bahkan menghancurkan potensi jiwa, akal pikiran, qalbu dan inderawi didalam menangkap dan memahami kebenaran-kebenaran hakiki dengan melakukan pertaubatan perbaikan diri seutuhnya.20 Allah berfirman dalam Surat An-Nisa: 108:

















Artinya: “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika

18

Notosoedirjo, Moeljono & Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan,

(Malang: UMM Press, 2001), cet. Ke-2.

19

Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi (17) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 151.

20

Notosoedirjo, Moeljono & Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan,


(38)

pada suatu malam mereka menetapkan Keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. dan adalah Allah Maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.”21

4. Kecerdasan ubudiyah, yaitu kemampuan fitrah seseorang yang shaleh dalam mengaplikasikan ibadah dengan tulus tanpa merasa terpaksa dan dipaksa, akan tetapi menjadikan ibadah sebagai kebutuhan yang sangat primer dan merupakan makanan bagi ruhani dan jiwanya, firman Allah Al-Anbiyaa: 73 yang berbunyi:









Artinya: “Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan Telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.”22

.

5. Kecerdasan Khuluqiyah, ialah kemampuan fitrah seseorang yang shaleh dalam berprilaku, bersikap dan berpenampilan terpuji. Dalam hal ini terintegrasi dalam akhlak yang baik. Suatu perbuatan atau perilaku dapat diikatakan sebagai akhlak, perbuatan timbul karena terpaksa atau setelah dipikirkan atau dipertimbangkan secara matang, tidaklah disebut akhlak. Akhlak Islamiyah mempunyai ciri yaitu kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyah al-muthlaqah), kebaikannya bersifat menyeluruh

(as-salahiyyah al-‘ammah), tetap, langgeng dan mantap, kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzam al-mustajab), dan pengawasan

21Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath

-Thabari, Tafsir Ath-Thabari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 710.

22

Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi (17) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 815.


(39)

menyeluruh (ar-raqabah al muhithah).23 Firman Allah dalam Surat al-Qalam ayat 4:





Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”24

Keterkaitan penjelasan di atas dengan penelitian ini yaitu bimbingan mental diharapkan bisa menstabilkan emosi warga binaan sosial (WBS) sehingga dengan demikian mereka mampu mengatasi stres, bersikap lapang dada, tulus dan sabar serta mampu mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

3. Pengertian Spiritual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin).25 W. H. Thomas mengemukakan pendapatnya melalui teori “The Four Wishes”, “bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama (spiritual) adalah enam macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia yaitu:

1. Keinginan untuk keselamatan (security)

2. Keinginan untuk mendapat penghargaan (recognition)

3. Keinginan untuk ditanggapi (response)

23

Notosoedirjo, Moeljono & Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan,

(Malang: UMM Press, 2001), cet. Ke-2.

24Abu Ja’

far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 321

25

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 1087.


(40)

4. Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience).26

Bimbingan spiritual diartikan oleh Yusuf sebagai proses pemberian bantuan kepada individu agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan fitrahnya sebagai makhluk beragama (homo religions), berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), dan mengatasi masalah-masalah kehidupan melalui pemahaman, keyakinan, dan praktik-praktik ibadah ritual agama yang dianutnya. Selanjutnya, tujuan umjum bimbingan spiritual adalah kesadaran spiritualitasnya dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Noor berpendapat bahwa tujuan utama intervensi spiritual (kerohanian/agama) dalam bimbingan adalah untuk meningkatkan proses penyesuaian dan pertumbuhan spiritual bimbingan. Hal ini terjadi karena bimbingan yang sehat spiritualnya akan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupannya. Kategori intervensi tersebut meliputi kognitif, afektif, tingkah laku dan interpersonal dengan sang pencipta.

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bimbingan mental spiritual yaitu proses pemberian bantuan kepada individu untuk senantiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), dan mampu menstabilkan emosi sehingga dengan demikian individu tersebut mampu menjalani kehidupan secara normal.

26

Dr. Jalaluddin dan Dr. Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), cet. Ke-2, h. 25.


(41)

C. Keberagamaan

1. Pengertian Keberagamaan

Keagamaan terwujud berdasarkan kesadaran dan pengalaman beragama pada diri sendiri. Keagamaan merupakan interaksi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama dan perilaku keagamaan dalam diri seseorang.27

Keagamaan juga merupakan ekspresi jiwa yang terlihat pada sikap dan perilaku para pemeluk agama atau suatu sistem, simbol yang terlaksana dari berbagai dimensi keagamaan, mulai dari dimensi keyakinan, praktik agama, pengalaman, pengetahuan agama dan pengamalan serta konsekuensinya.28

2. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Manusia

a. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Masa Dewasa

Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaannya. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seseorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Jika pun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang matang.

27

Dr. H. Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, h. 83.

28

Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, h. 76.


(42)

Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran

yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.

2. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.

3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.

4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.

5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.

6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.

7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.

8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.29

29

Prof. Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 106-108.


(43)

b. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Masa Usia Lanjut

Pada usia ini manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan, yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari kondisi penurunan kemampuan fisik ini menyebabkan mereka yang berada pada usia lanjut merasa dirinya tidak berharga atau kurang dihargai, sehingga dalam kondisi seperti ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sisa-sisa umur menunggu datangnya kematian. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).30

Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah: 1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat

kemantapan.

2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan. 3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat

secara lebih sungguh-sungguh.

4. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.

5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya. 31

30

Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet ke-4, h. 97.

31

Prof. DR. Jalaluddin, Psikologi Agama Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi, h. 112-113.


(44)

3. Kriteria Orang yang Matang Beragama

William James melihat adanya hubungan antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya.

Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan tingkah laku keagamaan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:

1. Tipe orang yang sakit jiwa (The Sick Soul)

Sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia anak-anak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin yang mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin atau sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.

Penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

a. Faktor Intern

Faktor intern yang menjadi penyebab timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah:

1. Temperamen

Temperamen merupakan salah satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari kehidupan kejiwaan seeorang. Tingkah laku yang didasarkan


(45)

kondisi temperamen memegang peranan penting dalam sikap keberagamaan seseorang.

2. Gangguan Jiwa

Sikap keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampikan oleh seseorang yang mengalami gangguan jiwa ditampilkan tergantung dari gejala gangguan jiwa yang mereka idap.

3. Konflik dan Keraguan

Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap dan keyakinan keagamaannya. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatik ataupun agnostis hingga ke atheis.

4. Jauh dari Tuhan

Orang yang dalam kehidupannya jauh dari agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat mengalami cobaan. Ia seakan merasa tersisih dari curahan rahmat Tuhan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih dekat dengan Tuhan serta berupaya mengabdikan diri secara sungguh-sungguh. Hal ini menyebabkan terjadinya semacam perubahan sikap keagamaan pada dirinya.

Pada umumnya orang yang mengalami kelainan kejiwaan cenderung menampilkan sikap pesimis, introvet, menyenangi


(46)

paham yang ortodoks dan mengalami proses keagamaan secara nograduasi (proses pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba). b. Faktor Ekstern

1. Musibah

Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang. Keguncangan jiwa ini seringpula menimbulkan kesadaran pada diri manusia berbagai macam tafsiran. Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang cukup umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan Tuhan kepada dirinya. Tafsiran seperti sering memberi wawasan baru baginya untuk kembali hidup ke jalan agama, sehingga semakin berat musibah yang dialaminya akan semakin tinggi tingkat ketaatannya kepada agama.

2. Kejahatan

Mereka yang menekuni kehidupan di lingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku maupun sebagai pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami keguncangan batin dan rasa berdosa. Persaan-perasaan tersebut biasanya mendorong mereka untuk mencari penyaluran yang menurut penilaiannya dapat memberi ketentraman batin. Lazimnya mereka akan kembali pada agama. Kesadaran ini sering mendorong orang untuk bertobat. Sebagai penebus terhadap dosa-dosa yang telah


(47)

diperbuatnya, banyak orang-orang seperti ini kemudian menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.

2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (healty-minded-ness)

Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya

Religion Psychology adalah: a. Optimis dan gembira

b. Ekstrovet dan tak mendalam. Mereka selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari ikatan ajaran keagamaan yang terlampau rumit. Sebagai akibatnya, mereka kurang senang mendalami ajaran agama.

c. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal

Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung:

1. Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku. 2. Menunjukkan prilaku keagamaan yang lebih bebas.

3. Tidak menyenangi implikasi penebusan dan kehidupan kebiaraan. 4. Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama. 5. Selalu berpandangan positif.32

4. Sikap Keagamaan

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong sisi orang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya

32

Jalaluddin, Psikologi Agama Memahami Prilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 123-131.


(48)

konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif, perasaan terhadap agama sebagai komponen afektif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen psikomotorik. Pembentukan sikap keagamaan sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama. Sikap fanatis, sikap toleran, sikap pesimis, sikap optimis, sikap tradisional, sikap modern, sikap fatalisme, dan sikap free will dalam beragama banyak menimbulkan dampak negatif dan positif dalam meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat dalam beragama.33

Tiga komponen psikologis dalam sikap keagamaan: a. Aspek kognitif

Kesadaran sikap beragama yang berkenaan dengan aspek kognitif yaitu apabila seseorang mempercayai ajaran agama atas dasar pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Zakiah Daradjat bahwa:

“Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya waktu kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Misalnya seseorang dilarang melakukan sesuatu karena agama, ia tidak puas kalau alasannya hanya dengan dalil-dalil dan hukum-hukum mutlak yang diambilkan dari ayat-ayat kitab suci atau hadis-hadis Nabi. Mereka ingin menjadikan agama, sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, karenanya ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja.”34

Jadi seseorang beragama itu berdasarkan atas kepercayaan ajaran agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis serta didasarkan pada pertimbangan pemikiran yang matang.

33

Dr. H. Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 81-82.

34


(49)

b. Aspek Konatif

Keadaan diri seseorang yang berkaitan dengan aspek konatif adalah hal-hal yang berhubungan dengan kecenderungan berprilaku atau bertindak terhadap ajaran agama, dalam arti kecenderungan untuk mengamalkan ajaran agama.

c. Aspek Afektif

Keadaan diri seseorang yang berkenaan dengan aspek afektif adalah apabila seseorang bersikap positif terhadap ajaran agama dan norma-norma agama. Seseorang dikatakan bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama apabila dalam dirinya terdapat rasa kepedulian terhadap ajaran dan norma-norma agama itu sendiri.35

5. Tingkah Laku Kegamaan

Tingkah laku keagamaan adalah aktivitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya. Tingkah laku kegamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa jiwa keagamaan berdasarkan kesadaran dan pengalaman beragama pada diri sendiri.

Agama bagi manusia, memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan batinnya. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang banyak menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya tingah laku keagamaan yang diekspresikan seseorang.

35


(50)

Tingkah laku keagamaan itu sendiri pada umumnya didorong oleh adanya suatu sikap keagamaan yang merupakan keadaan yang ada pada diri seseorang. Sikap keagamaan merupakan konsistensi antara kepercayaan terhadap semua agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsur psikomotorik. Oleh karena itu, sikap keagamaan merupakan interaksi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama dan tindak keagamaan dalam diri seseorang. Dengan sikap itulah akhirnya lahir tingkah laku keagamaan sesuai dengan kadar ketaatan seseorang terhadap agama yang diyakininya.36

Selanjutnya Glock and Stark menyatakan ada lima dimensi keagamaan, yaitu:

1. Dimensi keyakinan, dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan, dimana orang beragama berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui doktrin-doktrin tersebut.

2. Dimensi praktik agama, dimensi ini mencakup perilaku pemujaan dan ketaatan yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

3. Dimensi pengalaman, yaitu memperhatikan fakta-fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang.

36


(51)

4. Dimensi pengetahuan agama, yaitu mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus dan tradisi-tradisi. 5. Dimensi pengamalan dan konsekuensi, yaitu mengacu pada

identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.37

6. Ketaatan Beragama

Ketaatan beragama membawa dampak positif terhadap kesehatan mental. Karena seseorang yang taat beragama selalu mengingat Allah SWT. Dengan banyak mengingat Allah jiwanya menjadi suci, dan untuk mensucikan jiwa adalah salah satunya dengan beribadah. Semakin sering seseorang melaksanakan ibadah, maka hatinya akan semakin tentram.

Menurut penelitian Webber pengaruh stratifikasi sosial terhadap sifat agama seseorang sesuai dengan kedudukannya di masyarakat terbagi atas beberapa macam, yaitu:

1. Golongan petani, lebih religius dibandingkan dengan golongan masyarakat lainnya. Cara penyampaian ajaran ini sesuai dengan lingkungannya dapat lebih dimengerti bila disesuaikan dengan keadaan (ciri):

a. Dengan cara sederhana dan menghindari hal-hal yang abstrak. b. Menggunakan lambang dan perumpamaan yang ada di lingkungan. c. Tidak terikat dengan waktu dan tenaga.

37

Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 77-78.


(52)

d. Kurang menyenangi menjadi penyebar agama yang aktif.

2. Golongan pengrajin dan pedagang kecil, sifat agamanya dilandasi dengan perhitungan ekonomi dan rasional. Ketaatan beragam golongan ini banyak dilandasi oleh unsur agama yang etis dan rasional, sehingga unsur emosi kurang memainkan peranannya yang penting.

3. Golongan karyawan, golongan ini memiliki kecenderungan religius yang serba untung dan enak (opportunistic utilitarian) kecenderungan yang demikian itu semakin beranjak sesuai dengan tingkat dan kedudukannya, makin tinggi kedudukan seseorang ketaatan beragamanya akan semakin cenderung berbentuk formalitas.

4. Golongan kaum buruh, ketaatan beragama bagi kaum buruh terutama bagi yang tertindas lebih cenderung kepada etika pembebasan. Keyakinan mereka terhadap agama banyak dipengaruhi oleh ajaran yang memproyeksikan kepentingan mereka untuk menghindarkan mereka dari penindasan sehingga ajaran agama yang bermotifkan pembebasan lebih disenangi.

5. Golongan elit dan hartawan, golongan ini lebih cenderung ke arah sifat santai. Perhatian mereka tentang sifat kasih sayang, kerendahan hati, sosial, dosa maupun keselamatan sangat kecil, namun mereka sangat haus akan kehormatan. Karena itu penundaan ajaran agama yang selalu mengikat kebebasan bergerak dan tidak mendatangkan


(53)

reputasi pribadi kurang disenangi. Selain itu golongan ini untuk menunda pengabdian kepada ajaran agama disaat usia menua.38

D. Motivasi yang Melahirkan Tingkah Laku Keagamaan

Motivasi (bahasa Inggris: motive dari kata motion) adalah istilah yang lebih umum digunakan untuk menggantikan “motif-motif” yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak sehingga kata motivasi ini erat hubungannya dengan “gerak”, yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam psikologi, motivasi ini berarti rangsangan atau dorongan untuk bertingkah laku (Ramayulis, 2004:79).

Motivasi memiliki beberapa peran dalam kehidupan manusia, diantaranya adalah:

a. Sebagai pendorong manusia dalam melakukan sesuatu. b. Sebagai penentu arah dan tujuan.

c. Sebagai penyeleksi perbuatan yang akan dilakukan oleh manusia.

d. Sebagai penguji sikap manusia dalam berbuat, termasuk dalam perbuatan beragama.39

Menurut Nico Syukur Dister, terdapat empat hal yang menyebabkan seseorang memunculkan tingkah laku keagamaan, yaitu:

1. Untuk mengatasi frustasi

Orang yang mengalami frustasi dapat menimbulkan perilaku keagamaan. Mereka mengalihkan arah kebutuhan dan keinginan yang bersifat duniawi seperti harta benda, kehormatan, penghargaan,

38

Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, h. 85-87.

39

Drs. Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 132-133.


(54)

perlindungan dan cinta kasih kepada keinginannya kepada Tuhan dan mengharapkan pemenuhan keinginannya tersebut dari Tuhan. Maka orang yang mengalami frustasi, tak jarang berkelakuan religius

2. Untuk menjaga kesusilaan serta tata tertib masyarakat

Kebutuhan manusia akan suatu instansi yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam hidup moral dan sosial merupakan motif lain manusia dalam memunculkan tingkah laku keagamaan. Nilai-nilai moral yang bersifat otonom seperti keadilan, kejujuran, kesadaran, keteguhan hati digunakan untuk menjaga kesusilaan dan ketertiban hidup bermasyarakat.

3. Untuk memuaskan intelek yang ingin tahu

Agama dapat memuaskan keinginan intelektual sejauh keinginan tersebut didasari atau dilatarbelakangi oleh kebutuhan vital, psikologis dan eksistensial. Hal ini berlaku secara istimewa untuk keinginan akan mengetahui jawaban atas petanyaan-pertanyaan dasar mengenai asal dan tujuan kehidupan. Maka dipandang dari sudut psikologi harus dikatakan bahwa agama memberi sumbangan istimewa kepada manusia dengan mengarahkannya kepada Allah. Dengan demikian, agama membuat manusia merasa aman dalam hidupnya.

4. Mengatasi ketakutan

Ketakutan yang dimaksudkan disini adalah ketakutan yang tidak ada objeknya, yaitu seperti merasa takut tanpa ada sebab dan rasa cemas. Untuk menanggulangi rasa ketakutan dan kecemasan ini mereka


(55)

menyerahkan diri kepada Allah dengan harapan yang didasarkan kepada iman akan kabar gembira yang dijanjikan oleh-Nya.40

40

Dr. Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama h. 81-129.


(56)

45

DAYA 2 CEGER JAKARTA TIMUR

A. Profil Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger

Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 adalah salah satu unit pelaksana teknis Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan penampungan dan pelayanan sementara bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum) khususnya tertib sosial.

Panti Sosial Bina Insan (PSBI) Bangun Daya 2 Ceger terletak di Jalan Raya Bina Marga No. 48 Kelurahan Ceger Kecamatan Cipayung Kotamadya Jakarta Timur. Luas lahan panti ini 15.000 M², dan luas bangunannya adalah 3.060 M² yang terdiri dari: 1 lokal aula, 2 lokal wisma, 3 lokal barak, 1 lokal dapur, 1 lokal mushola, 3 lokal rumah jaga, 2 kopel rumah dinas, dan 1 lokal ruang kantor.

Daya tampung atau kapasitas panti adalah 250 orang. Adapun dalam penempatan warga binaan sosial (WBS) dipisah antara perempuan dan laki-laki, anak dan lasia, sedangkan untuk balita disediakan ruangan khusus.

Biaya operasional Panti Sosial Bina Insan (PSBI) Bangun Daya 2 Ceger Jakarta Timur diperoleh dari:

1. Anggraan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta yang diterima secara rutin.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)