Dampak Motivasi yang Melahirkan Tingkah Laku Keagamaan

16

BAB II LANDASAN TEORI

A. Dampak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dampak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik negatif maupun positif. 1 Bimbingan mental spiritual merupakan salah satu layanan sosial terhadap warga binaan sosial WBS yang ada di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger. Dengan bimbingan mental spiritual ini diharapkan bisa memberikan dampak positif terhadap warga binaan sosial WBS terutama terhadap keberagamaannya, dengan keberagamaan yang kuat warga binaan sosial WBS dapat menjalankan kehidupannya secara normal dan tidak kembali hidup di jalanan.

B. Bimbingan Mental Spiritual

1. Pengertian Bimbingan

Bimbingan dalam kamus besar adalah petunjuk, penjelasan, atau tuntunan cara mengerjakan sesuatu. 2 Secara etimologi, kata bimbingan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “guidance” yang berarti: “menunjukkan, memberi jalan, menuntun, membimbing, membantu, mengarahkan, pedoman dan petunjuk.” Kata dasar atau kata kerja dari “guidance” adalah “to guide”, yang artinya “menunjukkan, menuntun, mempedomani, menjadi peetunjuk 1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 2007, h. 234. 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1994, cet. Ke-2, h. 580. jalan dan mengemudikan.” Dan yang paling umum digunakan adalah pengertian memberikan bimbingan, bantuan dan arahan. 3 Menurut Arthur J. Jones, seperti dikutip oleh DR. Tohari Musnamar 1985 : 4 “Bimbingan sebagai pertolongan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal membuat pilihan-pilihan, penyesuaian diri dan pemecahan problem-problem. Tujuan bimbingan ialah membantu orang tersebut untuk tumbuh dalam hal kemandirian dan kemampuan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri. ” DR. Moh Surya 1986 : 6 mengemukakan definisi bimbingan sebagai berikut : “Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengerahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan. ” Dari definisi yang dikutip di atas dapat diambil beberapa prinsip sebagai berikut: 1. Bimbingan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, sehingga bantuan itu diberikan secara sistematis, berencana, terus menerus dan terarah kepada tujuan tertentu. 2. Bimbingan merupakan proses membantu individu. Dengan menggunakan kata “membantu” berarti dalam kegiatan bimbingan tidak terdapat adanya unsur paksaan. 3. Bantuan diberikan kepada setiap individu yang memerlukannya dalam proses perkembangannya. Artinya proses bimbingan ini memberikan 3 Prof. H. M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama Jakarta: Golden Trayon Press, 1994, cet. Ke-5, h. 1. bantuannya kepada setiap individu, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun orang tua. 4. Bantuan yang diberikan melalui pelayanan bimbingan bertujuan agar individu dapat mengembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. 5. Yang menjadi sasaran bimbingan adalah agar individu dapat mencapai kemandirian yakni tercapainya perkembangan yang optimal dan dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. 6. Untuk mencapai tujuan bimbingan sebagaimana dikemukakan di atas, digunakan pendekatan pribadi atau kelompok dengan memanfaatkan berbagai teknik dan media bimbingan. 7. Layanan bimbingan dengan menggunakan berbagai macam media dan teknik tersebut dilaksanakan dalam suasana asuhan yang normatif. 8. Untuk melaksanakan kegiatan bimbingan diperlukan adanya personil- personil yang memiliki keahlian dan pengalaman khusus dalam bidang bimbingan. 4 Berdasarkan definisi bimbingan yang telah dikemukakan para ahli di atas serta prinsip-prinsip yang terkandung di dalam pengertian bimbingan maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan adalah usaha membantu orang lain dengan mengungkapkan dan membangkitkan potensi yang dimilikinya. Sehingga dengan potensi itu ia akan memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya secara wajar dan optimal, yakni dengan cara memahami dirinya, maupun mengambil keputusan untuk hidupnya, 4 Dra. Hallen A, Bimbingan dan Konseling Jakarta: Ciputat Pers , 2002 , h. 3-9. maka dengan itu ia akan dapat mewujudkan kemandirian diri, kehidupan yang lebih baik, dengan demikian individu dapat bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya. Adapun secara umum tujuan bimbingan adalah membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan secara khusus sebagai berikut: a. Membantu individu agar tidak menghadapi masalah. b. Membantu individu mengatasi masalah yang sedang dihadapi. c. Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik atau yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain. 5 Fungsi bimbingan adalah sebagai berikut: a. Pemahaman, yaitu membantu individu mengembangkan potensi dirinya secara optimal. b. Preventif, yaitu mencegah klien agar tidak melakukan perbuatan yang bisa merugikan dan membahayakan dirinya. c. Pengembangan, yaitu menciptakan situasi belajar yang kondusif dan memfasilitasi perkembangan klien. d. Perbaikanpenyembuhan, yaitu memberikan bantuan pada klien yang sedang mengalami masalah, baik yang berkaitan dengan pribadinya, sosial, belajar, maupun karirnya. 5 Aunur Rahman Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam Yogyakarta: UII Press, 2001, cet ke-2, h. 35. e. Penyaluran, yaitu membantu klien agar mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kemampuan pada bidang dan keahlian yang dimilikinya. f. Adaptasi, yaitu membantu klien agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, orang lain, tempat pendidikannya dan dimana ia tinggal. g. Penyesuaian, yaitu membantu klien agar dapat menyesuaikan diri dimanapun ia tinggal dan berada. 6 Metode-metode yang biasa digunakan dalam bimbingan adalah sebagi berikut: a. Wawancara, yaitu cara atau teknik yang digunakan untuk mengetahui mengenai fakta-fakta mental atau kejiwaan psikis yang ada pada diri yang dibimbing dengan cara tanya jawab secara face to face. b. Observasi, yaitu cara atau teknik yang digunakan untuk mengamati secara langsung sikap dan perilaku yang tampak pada saat-saat tertentu, yang muncul sebagai pengaruh dari kondisi mental atau kejiwaannya. c. Tes kuisioner, yaitu merupakan serangkaian pertanyaan yang disiapkan beberapa alternatif jawaban pilihan. Metode ini untuk mengetahui fakta dan fenomena kejiwaan yang tidak bisa diperoleh melalui wawancara dan observasi. d. Bimbingan kelompok Group Guidance, yaitu: teknik bimbingan melalui kegiatan bersama kelompok, seperti kegiatan diskusi, ceramah, seminar dan sebagainya. 6 Dr. Syamsu Yusuf dan Dr. A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, cet. Ke-2, h. 7. e. Psikoanalisis analisa kejiwaaan, yaitu teknik yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa dan pengalaman kejiwaan yang pernah dialami anak bimbingan. Misalnya perasaan takut dan tertekan. f. Non direktif teknik tidak mengarahkan, dalam teknik ini mengaktifkan klien dalam mengungkapkan dan memecahkan masalah dirinya. g. Direktif bersifat mengarahkan, teknik ini dapat digunakan bagi klien bimbingan dalam proses belajar. h. Rasional-Emotif, dalam bimbingan ini dimaksudkan untuk mengatasi pikiran-pikiran yang tidak logis yang disebabkan dorongan emosi yang tidak stabil. i. Bimbingan klinikal, yaitu dengan berorientasi pada kemampuan personal secara keseluruhan baik jasmani maupun rohani. 7 Selain metode yang diuraikan di atas, dalam perspektif Al-Quran ada metode yang biasa dilakukan, yaitu: bil-hikmah, bil-mauidzah hasanah dan bil-mujadalah. Seperti firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:                           “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. 7 Drs. M. Lutfi, MA, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhuan Konseling Islam Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 122-133. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang- orang yang mendapat petunjuk. ” 8 Ayat tersebut menjelaskan bahwa mengajak atau membimbing manusia kepada jalan Allah, hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang yang dibimbing atau diajak, karena daya tangkap atau respon seseorang terhadap ajaran yang disampaikan banyak dipengaruhi oleh realitas kehidupan dan karakteristik diri pribadinya. a. Metode “bil-hikmah”, metode ini digunakan dalam menghadapi orang-orang terpelajar, intelek, dan memiliki tingkat rasional yang tinggi, yang kurang yakin akan kebenaran ajaran agama. b. Metode “bil mujadalah”, perdebatan yang digunakan untuk menunjukkan dan membuktikan kebenaran ajaran agama, dengan menggunakan dalil-dalil Allah yang rasional. c. Metode “bil mauidzah”, dengan menunjukkan contoh yang benar dan tepat, agar yang dibimbing dapat mengikuti dan menangkap dari apa yang diterimanya secara logika dan penjelasan akan teori yang masih baku. 9

2. Pengertian Mental

Mental berasal dari kata Latin mens, mentis yang artinya jiwa, sukma, roh, semangat. 10 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 8 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 388-389. 9 Drs. M. Lutfi, MA, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhuan Konseling Islam, h. 135-136. 10 Kartini Kartono, Hygiene Mental Bandung: Mandar Maju, 2000, h. 3. mental diartikan sebagai suatu hal yang berhubungan dengan batin dan watak manusia yang bukan bersifat tenaga. 11 H. M. Arifin menyatakan, arti mental adalah sesuatu kekuatan yang abstrak tidak tampak serta tidak dapat dilihat oleh panca indera tentang wujud dan dzatnya, melainkan yang tampak adalah hanya gejalanya saja dan gejala inilah yang mungkin dapat dijadikan sasaran penyediaan ilmu jiwa atau lainnya. 12 Mental adalah cara berfikir dan berperasaan berdasarkan nurani petunjuk yang berasal dari agama, petunjuk atau pedoman hidup. Dalam khasanah Islam, nafs sendiri banyak pengertian: jiwa soul, nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan ghadhab, kpribadian dan substansi psikofisik manusia. Namun maksud bahasan ini adalah pengertian terakhir, dimana nafs memiliki natur gabungan jasadi dan rohani psikofisik. 13 M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky mengatakan bahwa, apabila hamba Allah telah berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa mental, seperti yang ditulis maka ia akan dapat mencapai tingkat kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu akan tersingkap; 1. Kesempurnaan Jiwa, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah yang tentram, jiwa radhiyah jiwa yang meridhoi dan jiwa yang mardhiyah jiwa yang diridhoi sehingga memiliki stabilitas emosional yang tinggi 11 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 2007, h. 733. 12 H. M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Ruhaniah Manusia, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, cet, ke-2, h. 17. 13 Muhammad Mahmud, ‘Ilm al-Nafs al-Ma’ashir di Dha’i al-Islam Jeddah: Dar al- Syuruq, 1984. dan tidak mudah mengalami stress, depresi dan frustasi. Jiwa ini akan selalu mengajak pada fitrah Illahiyah Tuhannya. Indikasi hadirnya jiwa ini akan terlihat pada perilaku, sikap dan gerak-geriknya yang tenang, tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang, tepat dan benar, tidak terburu-buru untuk bersikap apriori dan berprasangka negatif. Jiwa radhiyah akan mendorong diri bersikap lapang dada, tawakkal, tulus, ikhlas dan sabar dalam mengaplikasikan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya dan menerima dengan lapang dada segala ujian dan cobaan yang datang dalam hidup dan kehidupannya, dalam artian hampir-hampir tidak pernah mengeluh, merasa susah, sedih dan takut menjalani kehidupan ini. 14 Firman Allah dalam Surat Yunus ayat 62-64.                                   Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat janji-janji Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besa r.” 15 Sedangkan jiwa mardhiyah adalah jiwa yang telah memperoleh title dan gelar kehormatan dari Allah. Sehingga keimanan, keislaman 14 Notosoedirjo, Moeljono Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, Malang: UMM Press, 2001, cet. Ke-2. 15 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Jamunu, 1969, h. 316. dan keikhsanannya tidak akan pernah mengalami erosi, dekadensi dan distorsi. Dalam hal ini diberikan otoritas penuh kepada jiwa untuk berbuat, berkarya dan beribadah di dalam ruang dan waktu Tuhannya yang terlepas dari jangkauan makhluk. 16 Allah berfirman dalam Surat Al-Fajr ayat 27-30 yang berbunyi:                  Artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku .” 17 2. Kecerdasan Uluhiyah, yaitu kemampuan fitrah seseorang hamba yang shaleh untuk melakukan interaksi vertikal dengan Tuhannya; kemampuan mentaati segala apa yang diperintahkan dan menjauhi diri dari apa yang yang dilarang dan dimurkai-Nya serta tabah terhadap ujian dan cobaan-Nya. Sehingga dengan kecerdasan ini akan terhindar dari sikap menyekutukan Allah syirik, sikap menganggap remeh hukum-hukum-Nya atau sikap menunda-nunda diri untuk melakukan kebaikan dan kebenaran fasiq, sikap suka melanggar hukum Allah zhalim, sikap mendua dihadapan-Nya nifaq, dan sikap suka mengingkari atau mendustakan ayat-ayat-Nya kufur. Kedekatan Allah akan membuat hamba-Nya menyaksikan kebesaran dan kesucian-Nya ihsan dengan interaksi vertikal yang bersifat transendental. Empirik 16 Notosoedirjo, Moeljono Latipun, Malang: UMM Press, 2001 17 Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004, cet. Ke-33. h. 903. dan hidup, bukan spekulasi dan ilusi. 18 Allah berfirman dalam Surat Qaaf ayat 16:                 Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya .” 19 3. Kecerdasan Rububiyah, yaitu kemampuan fitrah seorang hamba yang shaleh dalam memelihara dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupannya, mendidik diri agar menjadi hamba yang pandai menemukan hakikat citra diri dengan kekuatan ilmu, membimbing diri secara totalitas patuh dan tunduk kepada Allah SWT serta dapat memberikan kerahmatan pada diri dan lingkungannya. Menyembuhkan dan menyucikan diri dari penyakit dan gangguan yang dapat melemahkan bahkan menghancurkan potensi jiwa, akal pikiran, qalbu dan inderawi didalam menangkap dan memahami kebenaran- kebenaran hakiki dengan melakukan pertaubatan perbaikan diri seutuhnya. 20 Allah berfirman dalam Surat An-Nisa: 108:                        Artinya: “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika 18 Notosoedirjo, Moeljono Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, Malang: UMM Press, 2001, cet. Ke-2. 19 Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi 17 Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 151. 20 Notosoedirjo, Moeljono Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, Malang: UMM Press, 2001, cet. Ke-2. pada suatu malam mereka menetapkan Keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. dan adalah Allah Maha meliputi ilmu-Nya terhadap apa yang mereka kerjakan .” 21 4. Kecerdasan ubudiyah, yaitu kemampuan fitrah seseorang yang shaleh dalam mengaplikasikan ibadah dengan tulus tanpa merasa terpaksa dan dipaksa, akan tetapi menjadikan ibadah sebagai kebutuhan yang sangat primer dan merupakan makanan bagi ruhani dan jiwanya, firman Allah Al-Anbiyaa: 73 yang berbunyi:                  Artinya: “Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan Telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah. ” 22 . 5. Kecerdasan Khuluqiyah, ialah kemampuan fitrah seseorang yang shaleh dalam berprilaku, bersikap dan berpenampilan terpuji. Dalam hal ini terintegrasi dalam akhlak yang baik. Suatu perbuatan atau perilaku dapat diikatakan sebagai akhlak, perbuatan timbul karena terpaksa atau setelah dipikirkan atau dipertimbangkan secara matang, tidaklah disebut akhlak. Akhlak Islamiyah mempunyai ciri yaitu kebaikannya bersifat mutlak al-khairiyah al-muthlaqah, kebaikannya bersifat menyeluruh as-salahiyyah al- ‘ammah, tetap, langgeng dan mantap, kewajiban yang harus dipatuhi al-ilzam al-mustajab, dan pengawasan 21 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 710. 22 Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi 17 Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 815. menyeluruh ar-raqabah al muhithah. 23 Firman Allah dalam Surat al- Qalam ayat 4:      Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. ” 24 Keterkaitan penjelasan di atas dengan penelitian ini yaitu bimbingan mental diharapkan bisa menstabilkan emosi warga binaan sosial WBS sehingga dengan demikian mereka mampu mengatasi stres, bersikap lapang dada, tulus dan sabar serta mampu mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

3. Pengertian Spiritual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan rohani, batin. 25 W. H. Thomas mengemukakan pendapatnya melalui teori “The Four Wishes”, “bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama spiritual adalah enam macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia yaitu: 1. Keinginan untuk keselamatan security 2. Keinginan untuk mendapat penghargaan recognition 3. Keinginan untuk ditanggapi response 23 Notosoedirjo, Moeljono Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, Malang: UMM Press, 2001, cet. Ke-2. 24 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 321 25 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 2007, h. 1087. 4. Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru new experience. 26 Bimbingan spiritual diartikan oleh Yusuf sebagai proses pemberian bantuan kepada individu agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan fitrahnya sebagai makhluk beragama homo religions, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama berakhlak mulia, dan mengatasi masalah-masalah kehidupan melalui pemahaman, keyakinan, dan praktik-praktik ibadah ritual agama yang dianutnya. Selanjutnya, tujuan umjum bimbingan spiritual adalah kesadaran spiritualitasnya dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Noor berpendapat bahwa tujuan utama intervensi spiritual kerohanianagama dalam bimbingan adalah untuk meningkatkan proses penyesuaian dan pertumbuhan spiritual bimbingan. Hal ini terjadi karena bimbingan yang sehat spiritualnya akan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupannya. Kategori intervensi tersebut meliputi kognitif, afektif, tingkah laku dan interpersonal dengan sang pencipta. Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bimbingan mental spiritual yaitu proses pemberian bantuan kepada individu untuk senantiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama berakhlak mulia, dan mampu menstabilkan emosi sehingga dengan demikian individu tersebut mampu menjalani kehidupan secara normal. 26 Dr. Jalaluddin dan Dr. Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1993, cet. Ke-2, h. 25.

C. Keberagamaan

1. Pengertian Keberagamaan

Keagamaan terwujud berdasarkan kesadaran dan pengalaman beragama pada diri sendiri. Keagamaan merupakan interaksi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama dan perilaku keagamaan dalam diri seseorang. 27 Keagamaan juga merupakan ekspresi jiwa yang terlihat pada sikap dan perilaku para pemeluk agama atau suatu sistem, simbol yang terlaksana dari berbagai dimensi keagamaan, mulai dari dimensi keyakinan, praktik agama, pengalaman, pengetahuan agama dan pengamalan serta konsekuensinya. 28

2. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Manusia

a. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Masa Dewasa Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaannya. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan nilai- nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seseorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Jika pun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang matang. 27 Dr. H. Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, h. 83. 28 Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, h. 76. Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan. 2. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku. 3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan. 4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup. 5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas. 6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani. 7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya. 8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang. 29 29 Prof. Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, h. 106-108. b. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Masa Usia Lanjut Pada usia ini manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan, yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari kondisi penurunan kemampuan fisik ini menyebabkan mereka yang berada pada usia lanjut merasa dirinya tidak berharga atau kurang dihargai, sehingga dalam kondisi seperti ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sisa-sisa umur menunggu datangnya kematian. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi akhirat. 30 Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah: 1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan. 2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan. 3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh. 4. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur. 5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya. 31 30 Jalaluddin, Psikologi Agama Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, cet ke-4, h. 97. 31 Prof. DR. Jalaluddin, Psikologi Agama Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi, h. 112-113.

3. Kriteria Orang yang Matang Beragama

William James melihat adanya hubungan antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan tingkah laku keagamaan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu: 1. Tipe orang yang sakit jiwa The Sick Soul Sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia anak-anak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin yang mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin atau sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah. Penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor intern dan faktor ekstern. a. Faktor Intern Faktor intern yang menjadi penyebab timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah: 1. Temperamen Temperamen merupakan salah satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari kehidupan kejiwaan seeorang. Tingkah laku yang didasarkan kondisi temperamen memegang peranan penting dalam sikap keberagamaan seseorang. 2. Gangguan Jiwa Sikap keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampikan oleh seseorang yang mengalami gangguan jiwa ditampilkan tergantung dari gejala gangguan jiwa yang mereka idap. 3. Konflik dan Keraguan Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap dan keyakinan keagamaannya. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatik ataupun agnostis hingga ke atheis. 4. Jauh dari Tuhan Orang yang dalam kehidupannya jauh dari agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat mengalami cobaan. Ia seakan merasa tersisih dari curahan rahmat Tuhan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih dekat dengan Tuhan serta berupaya mengabdikan diri secara sungguh- sungguh. Hal ini menyebabkan terjadinya semacam perubahan sikap keagamaan pada dirinya. Pada umumnya orang yang mengalami kelainan kejiwaan cenderung menampilkan sikap pesimis, introvet, menyenangi paham yang ortodoks dan mengalami proses keagamaan secara nograduasi proses pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba. b. Faktor Ekstern 1. Musibah Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang. Keguncangan jiwa ini seringpula menimbulkan kesadaran pada diri manusia berbagai macam tafsiran. Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang cukup umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan Tuhan kepada dirinya. Tafsiran seperti sering memberi wawasan baru baginya untuk kembali hidup ke jalan agama, sehingga semakin berat musibah yang dialaminya akan semakin tinggi tingkat ketaatannya kepada agama. 2. Kejahatan Mereka yang menekuni kehidupan di lingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku maupun sebagai pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami keguncangan batin dan rasa berdosa. Persaan-perasaan tersebut biasanya mendorong mereka untuk mencari penyaluran yang menurut penilaiannya dapat memberi ketentraman batin. Lazimnya mereka akan kembali pada agama. Kesadaran ini sering mendorong orang untuk bertobat. Sebagai penebus terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya, banyak orang-orang seperti ini kemudian menjadi penganut agama yang taat dan fanatik. 2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa healty-minded-ness Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah: a. Optimis dan gembira b. Ekstrovet dan tak mendalam. Mereka selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari ikatan ajaran keagamaan yang terlampau rumit. Sebagai akibatnya, mereka kurang senang mendalami ajaran agama. c. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung: 1. Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku. 2. Menunjukkan prilaku keagamaan yang lebih bebas. 3. Tidak menyenangi implikasi penebusan dan kehidupan kebiaraan. 4. Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama. 5. Selalu berpandangan positif. 32

4. Sikap Keagamaan

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong sisi orang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya 32 Jalaluddin, Psikologi Agama Memahami Prilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, h. 123-131. konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif, perasaan terhadap agama sebagai komponen afektif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen psikomotorik. Pembentukan sikap keagamaan sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama. Sikap fanatis, sikap toleran, sikap pesimis, sikap optimis, sikap tradisional, sikap modern, sikap fatalisme, dan sikap free will dalam beragama banyak menimbulkan dampak negatif dan positif dalam meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat dalam beragama. 33 Tiga komponen psikologis dalam sikap keagamaan: a. Aspek kognitif Kesadaran sikap beragama yang berkenaan dengan aspek kognitif yaitu apabila seseorang mempercayai ajaran agama atas dasar pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Zakiah Daradjat bahwa: “Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya waktu kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Misalnya seseorang dilarang melakukan sesuatu karena agama, ia tidak puas kalau alasannya hanya dengan dalil-dalil dan hukum-hukum mutlak yang diambilkan dari ayat-ayat kitab suci atau hadis-hadis Nabi. Mereka ingin menjadikan agama, sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, karenanya ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja. ” 34 Jadi seseorang beragama itu berdasarkan atas kepercayaan ajaran agama yang bersumber dari Al- Qur’an dan Hadis serta didasarkan pada pertimbangan pemikiran yang matang. 33 Dr. H. Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama Jakarta: Kalam Mulia, 2002, h. 81-82. 34 Prof. DR. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama Jakarta: Bulan Bintang, 1970, h. 93. b. Aspek Konatif Keadaan diri seseorang yang berkaitan dengan aspek konatif adalah hal-hal yang berhubungan dengan kecenderungan berprilaku atau bertindak terhadap ajaran agama, dalam arti kecenderungan untuk mengamalkan ajaran agama. c. Aspek Afektif Keadaan diri seseorang yang berkenaan dengan aspek afektif adalah apabila seseorang bersikap positif terhadap ajaran agama dan norma-norma agama. Seseorang dikatakan bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama apabila dalam dirinya terdapat rasa kepedulian terhadap ajaran dan norma-norma agama itu sendiri. 35

5. Tingkah Laku Kegamaan

Tingkah laku keagamaan adalah aktivitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya. Tingkah laku kegamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa jiwa keagamaan berdasarkan kesadaran dan pengalaman beragama pada diri sendiri. Agama bagi manusia, memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan batinnya. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang banyak menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya tingah laku keagamaan yang diekspresikan seseorang. 35 Jalaluddin, Pengantar Ilmu Jiwa Agama Jakarta: Kalam Mulia, 1998, h. 131. Tingkah laku keagamaan itu sendiri pada umumnya didorong oleh adanya suatu sikap keagamaan yang merupakan keadaan yang ada pada diri seseorang. Sikap keagamaan merupakan konsistensi antara kepercayaan terhadap semua agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsur psikomotorik. Oleh karena itu, sikap keagamaan merupakan interaksi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama dan tindak keagamaan dalam diri seseorang. Dengan sikap itulah akhirnya lahir tingkah laku keagamaan sesuai dengan kadar ketaatan seseorang terhadap agama yang diyakininya. 36 Selanjutnya Glock and Stark menyatakan ada lima dimensi keagamaan, yaitu: 1. Dimensi keyakinan, dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan, dimana orang beragama berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui doktrin-doktrin tersebut. 2. Dimensi praktik agama, dimensi ini mencakup perilaku pemujaan dan ketaatan yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. 3. Dimensi pengalaman, yaitu memperhatikan fakta-fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, persepsi- persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang. 36 Dr. H. Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, h. 83-84. 4. Dimensi pengetahuan agama, yaitu mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus dan tradisi-tradisi. 5. Dimensi pengamalan dan konsekuensi, yaitu mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. 37

6. Ketaatan Beragama

Ketaatan beragama membawa dampak positif terhadap kesehatan mental. Karena seseorang yang taat beragama selalu mengingat Allah SWT. Dengan banyak mengingat Allah jiwanya menjadi suci, dan untuk mensucikan jiwa adalah salah satunya dengan beribadah. Semakin sering seseorang melaksanakan ibadah, maka hatinya akan semakin tentram. Menurut penelitian Webber pengaruh stratifikasi sosial terhadap sifat agama seseorang sesuai dengan kedudukannya di masyarakat terbagi atas beberapa macam, yaitu: 1. Golongan petani, lebih religius dibandingkan dengan golongan masyarakat lainnya. Cara penyampaian ajaran ini sesuai dengan lingkungannya dapat lebih dimengerti bila disesuaikan dengan keadaan ciri: a. Dengan cara sederhana dan menghindari hal-hal yang abstrak. b. Menggunakan lambang dan perumpamaan yang ada di lingkungan. c. Tidak terikat dengan waktu dan tenaga. 37 Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, h. 77-78. d. Kurang menyenangi menjadi penyebar agama yang aktif. 2. Golongan pengrajin dan pedagang kecil, sifat agamanya dilandasi dengan perhitungan ekonomi dan rasional. Ketaatan beragam golongan ini banyak dilandasi oleh unsur agama yang etis dan rasional, sehingga unsur emosi kurang memainkan peranannya yang penting. 3. Golongan karyawan, golongan ini memiliki kecenderungan religius yang serba untung dan enak opportunistic utilitarian kecenderungan yang demikian itu semakin beranjak sesuai dengan tingkat dan kedudukannya, makin tinggi kedudukan seseorang ketaatan beragamanya akan semakin cenderung berbentuk formalitas. 4. Golongan kaum buruh, ketaatan beragama bagi kaum buruh terutama bagi yang tertindas lebih cenderung kepada etika pembebasan. Keyakinan mereka terhadap agama banyak dipengaruhi oleh ajaran yang memproyeksikan kepentingan mereka untuk menghindarkan mereka dari penindasan sehingga ajaran agama yang bermotifkan pembebasan lebih disenangi. 5. Golongan elit dan hartawan, golongan ini lebih cenderung ke arah sifat santai. Perhatian mereka tentang sifat kasih sayang, kerendahan hati, sosial, dosa maupun keselamatan sangat kecil, namun mereka sangat haus akan kehormatan. Karena itu penundaan ajaran agama yang selalu mengikat kebebasan bergerak dan tidak mendatangkan reputasi pribadi kurang disenangi. Selain itu golongan ini untuk menunda pengabdian kepada ajaran agama disaat usia menua. 38

D. Motivasi yang Melahirkan Tingkah Laku Keagamaan

Motivasi bahasa Inggris: motive dari kata motion adalah istilah yang lebih umum digunakan untuk m enggantikan “motif-motif” yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak sehingga kata motivasi ini erat hubungannya dengan “gerak”, yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam psikologi, motivasi ini berarti rangsangan atau dorongan untuk bertingkah laku Ramayulis, 2004:79. Motivasi memiliki beberapa peran dalam kehidupan manusia, diantaranya adalah: a. Sebagai pendorong manusia dalam melakukan sesuatu. b. Sebagai penentu arah dan tujuan. c. Sebagai penyeleksi perbuatan yang akan dilakukan oleh manusia. d. Sebagai penguji sikap manusia dalam berbuat, termasuk dalam perbuatan beragama. 39 Menurut Nico Syukur Dister, terdapat empat hal yang menyebabkan seseorang memunculkan tingkah laku keagamaan, yaitu: 1. Untuk mengatasi frustasi Orang yang mengalami frustasi dapat menimbulkan perilaku keagamaan. Mereka mengalihkan arah kebutuhan dan keinginan yang bersifat duniawi seperti harta benda, kehormatan, penghargaan, 38 Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, h. 85-87. 39 Drs. Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama Bandung: Pustaka Setia, 2008, h. 132-133. perlindungan dan cinta kasih kepada keinginannya kepada Tuhan dan mengharapkan pemenuhan keinginannya tersebut dari Tuhan. Maka orang yang mengalami frustasi, tak jarang berkelakuan religius 2. Untuk menjaga kesusilaan serta tata tertib masyarakat Kebutuhan manusia akan suatu instansi yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam hidup moral dan sosial merupakan motif lain manusia dalam memunculkan tingkah laku keagamaan. Nilai-nilai moral yang bersifat otonom seperti keadilan, kejujuran, kesadaran, keteguhan hati digunakan untuk menjaga kesusilaan dan ketertiban hidup bermasyarakat. 3. Untuk memuaskan intelek yang ingin tahu Agama dapat memuaskan keinginan intelektual sejauh keinginan tersebut didasari atau dilatarbelakangi oleh kebutuhan vital, psikologis dan eksistensial. Hal ini berlaku secara istimewa untuk keinginan akan mengetahui jawaban atas petanyaan-pertanyaan dasar mengenai asal dan tujuan kehidupan. Maka dipandang dari sudut psikologi harus dikatakan bahwa agama memberi sumbangan istimewa kepada manusia dengan mengarahkannya kepada Allah. Dengan demikian, agama membuat manusia merasa aman dalam hidupnya. 4. Mengatasi ketakutan Ketakutan yang dimaksudkan disini adalah ketakutan yang tidak ada objeknya, yaitu seperti merasa takut tanpa ada sebab dan rasa cemas. Untuk menanggulangi rasa ketakutan dan kecemasan ini mereka menyerahkan diri kepada Allah dengan harapan yang didasarkan kepada iman akan kabar gembira yang dijanjikan oleh-Nya. 40 40 Dr. Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama h. 81-129. 45

BAB III GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA INSAN BANGUN

DAYA 2 CEGER JAKARTA TIMUR

A. Profil Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger

Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 adalah salah satu unit pelaksana teknis Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan penampungan dan pelayanan sementara bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS yang melanggar Peraturan Daerah Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum Tibum khususnya tertib sosial. Panti Sosial Bina Insan PSBI Bangun Daya 2 Ceger terletak di Jalan Raya Bina Marga No. 48 Kelurahan Ceger Kecamatan Cipayung Kotamadya Jakarta Timur. Luas lahan panti ini 15.000 M², dan luas bangunannya adalah 3.060 M² yang terdiri dari: 1 lokal aula, 2 lokal wisma, 3 lokal barak, 1 lokal dapur, 1 lokal mushola, 3 lokal rumah jaga, 2 kopel rumah dinas, dan 1 lokal ruang kantor. Daya tampung atau kapasitas panti adalah 250 orang. Adapun dalam penempatan warga binaan sosial WBS dipisah antara perempuan dan laki- laki, anak dan lasia, sedangkan untuk balita disediakan ruangan khusus. Biaya operasional Panti Sosial Bina Insan PSBI Bangun Daya 2 Ceger Jakarta Timur diperoleh dari: 1. Anggraan Pendapatan dan Belanja Daerah APBD DKI Jakarta yang diterima secara rutin.