1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisme, industrialisasi dan urbanisasi, memunculkan
banyak masalah sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri tehadap masyarakat modern yang hyperkompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan
mengadakan adaptasi dan adjusment menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang
tersembunyi dan internal dalam batin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum,
atau berbuat semau sendiri, demi kepentingan sendiri dan mengganggu atau merugikan orang lain.
1
Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar warga masyarakatnya. Hal itu
disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan norma dan nilai serta standar moral
yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dapat dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik
fisik maupun non fisik. Salah satu masalah sosial yang sangat krusial adalah masalah kemiskinan.
2
1
Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1 Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1981, h. v.
2
Drs. Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya 1995, cet.1, h. 1.
Di Indonesia masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji terus menerus. Ini bukan saja karena
masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan masih hadir di tengah-tengah kita saat ini, melainkan pula karena kini gejalanya semakin meningkat sejalan
dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia.
3
Masalah kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendasar untuk ditangani, salah satu ciri umumnya adalah kondisi masyarakatnya yang
miskin tidak memiliki sarana dan prasarana, dan pemukiman yang tidak memadai, kualitas lingkungan yang kumuh dan tidak layak huni. Sehingga
banyak terjadi penyandang masalah kesejahteraan sosial, dimana masalah kemiskinan adalah merupakan faktor utama. Kemiskinan pula merupakan
akibat dari sifat malas, kurangnya kemampuan intelektual, kelemahan fisik, kurangnya keterampilan dan rendahnya kemampuan untuk menanggapi
persoalan disekitarnya.
4
Berdasarkan studi SMERU Suharto 2004: 7-8 menunjukkan sembilan
kriteria yang menandai kemiskinan:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar pangan, sandang
dan papan. 2.
Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi.
3. Ketiadaan jaminan masa depan karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga.
3
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat Bandung: PT. Refika Aditama, 2005, h. 131.
4
Drs. Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, h. 126.
4. Kerentaan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam.
6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan. 8.
Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9.
Ketidamampuan dan ketidakberuntungan sosial anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal
dan terpencil.
5
Menurut David Cox dalam Edi Suharto membagi kemiskinan dalam empat dimensi:
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan
pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin
terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten
kemiskinan akibat rendahnya pembangunan, kemiskinan pedesaan kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan,
kemiskinan perkotaan kemiskinan yang diakibatkan oleh hakikat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan.
3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak,
dan kelompok minoritas.
5
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat, h. 132.
4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskina yang terjadi akibat kejadian-
kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.
6
Penyandang masalah kesejahteraan sosial PMKS jalanan sebagai akibat dari kemiskinan, urbanisasi, terbatasnya lapangan pekerjaan,
pendidikan rendah dengan keterampilan terbatas, sehingga perlu penertiban sosial dan panti sosial. Di Jakarta sendiri penyandang masalah kesejahteraan
sosial PMKS cenderung meningkat. Hal ini ditandai dengan banyaknya permasalahan sosial yang dihadapi. Para penyandang masalah kesejahteraan
sosial PMKS tidak mempunyai skill tidak berkualitas. Mayoritas dari mereka adalah para gelandangan, pengemis, pengamen, WTS wanita tuna
susila, waria, joki three in one, parkir liar, pengedar kotak amal, psycotik, penyandang cacat, asongan, pemulung, orang terlantar dan penyandang
masalah kesejahteraan sosial PMKS lainnya.
7
Penyandang masalah kesejahteraan sosial PMKS yang terkena penertiban sosial dibawa ke panti sosial untuk diberikan berbagai layanan
sosial, salah satunya yaitu bimbingan mental spiritual. Bimbingan mental spiritual adalah serangkaian kegiatan atau tuntunan untuk dapat memahami
diri sendiri dan orang lain dengan cara mempelajari berbagai ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keagamaan yang didukung dengan
6
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat, h. 133.
7
Brosur Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Ceger.
pelatihan dan pemahaman cara berpikir positif serta praktik kegiatan ibadah, demi terwujudnya kebahagiaan di dunia dan akhirat.
8
Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberagamaan warga binaan sosial WBS adalah melalui bimbingan mental
spiritual. Bimbingan mental spiritual dapat dilakukan dengan berbagai cara baik secara materiil maupun moril dalam meningkatkan kualitas
keberagamaan. Artinya bimbingan mental spiritual diharapkan dapat meningkatkan keberagamaan sehingga dapat dipastikan warga binaan sosial
WBS akan mengamalkan ajaran-ajaran religi sebagai kendali dalam hidupnya.
Keagamaan dalam pengertian Glock and Stark 1996 seperti yang di kutip oleh Djamaludin Ancok adalah keberagamaan atau religiusitas
diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual beribadah,
tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan
dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi. Dengan demikian agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak, yaitu sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan
sistem perilaku yang terlambangkan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi ultimate
meaning. Karenanya perilaku keagamaan sesungguhnya merupakan ekspresi
8
Abdul Rahman dan Nuhri Sulaeman, Panduan Bimbingan Mental Spiritual Jakarta: Kementrian Sosial, 2011, h. 1.
jiwa yang terlihat pada sikap dan perilaku para pemeluk agama atau suatu sistem, simbol yang terlaksana dari berbagai dimensi keagamaan.
9
Dari pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa perilaku keagamaan seseorang tidak hanya bisa dilihat dari kegiatan ritual ibadahnya
saja, baik yang nampak maupun tidak nampak. Tetapi juga dari kegiatan- kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari, seperti bersosialisasi antar sesama
manusia dan mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dari hasil pengamatan awal penulis pada Panti Sosial Bina Insan
Bangun Daya 2 Ceger terdapat bimbingan mental spiritual, tetapi nampaknya bimbingan tersebut masih bersifat formal yang hanya dibutuhkan dalam
sebuah lembaga pembinaan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Yayasan Amal Mulia Cipulir pada lansia, disana terdapat bimbingan rohani
Islam secara rutin setiap seminggu sekali. Penelitian lain juga dilakukan di Panti Sosial Tresna Werda Budi Mulia 3 Ciracas, di panti ini terdapat
bimbingan Islam yang rutin setiap empat kali dalam seminggu. Berdasarkan permasalahan kesejahteraan sosial warga binaan sosial
WBS yang berada di panti, maka penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai keberagamaan mereka dengan melakukan penelitian dalam bentuk
skripsi yang judul
“Dampak Bimbingan Mental Spiritual terhadap Keberagamaan Warga Binaan Sosial WBS di Panti Sosial Bina Insan
Bangun Daya 2 Ceger Jakarta Timur”.
9
Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, h. 76.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah