Surfaktan kationik Surfaktan non-ionik Surfaktan ampoterik Zwitter ion Latar Belakang

Penggunaan banyaknya surfaktan yang jauh diatas harga CMC-nya mengakibatkan terjadinya emulsi balik, disamping itu juga secara ekonomis tidak menguntungkan. Cara yang umum untuk menetapkan CMC adalah dengan mengukur tegangan permukaan atau tegangan antar muka larutan surfaktan sebagai fungsi dari konsentrasi. Makin tinggi konsentrasi surfaktan menyebabkan tegangan antar muka makin rendah sampai mencapai suatu konsentrasi dimana tegangan antar muka konstan. Batas awal konsentrasi mulai konstan disebut CMC. Adsorpsi surfaktan pada permukaan tergantung konsentrasinya Porter, 1994. Pada konsentrasi yang sangat rendah, molekul-molekul bergerak bebas dan dapat berjajar datar diatas permukaan. Dengan meningkatnya konsentrasi, maka jumlah molekul surfaktan diatas permukaan juga meningkat. Harga CMC dari surfaktan dapat dihitung dari penurunan tegangan permukaan versus log konsentrasi Opawale dan Burges, 1998. Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu Rosen,1978 : a. Surfaktan anionik - Jenis surfaktan yang paling besar - Tidak bereaksi dengan jenis surfaktan lain - Sensitif terhadap air sadah atau hard water. Derajat sensitifitasnya : asam karboksilat pospat sulfat sulfonat. - Rantai pendek polioksietilen antara gugus anionik dan hidrokarbon meningkatkan kemampuan untuk bereaksi terhadap garam. - Rantai pendek polioksipropilen antara gugus anionik dan hidrokarbon meningkatkan kelarutan dalam pelarut organik. - Jenis sulfat mudah terhidrolisa oleh asam-asam dalam proses autokatalitik. Contohnya adalah - Sabun karboksilat RCOO - Sulfonat RSO - 3 - Sulfat RO SO - 3 - Phospat ROPOOH - 2 O

b. Surfaktan kationik

- - Jenis surfaktan yang banyak jumlahnya setelah anionik dan nonionik. - Pada umunya tidak bereaksi dengan jenis anionik. Universitas Sumatera Utara - Mempunyai sifat indeks bias yang lebih tinggi dibanding surfaktan jenis lain. - Mempunyai sifat adsorpsi permukaan yang baik Contohnya adalah . - Heksa decil trimetilamonium bromida CH 3 CH 2 15 N + CH 3 3 Br - Dodecilamina hidroklorida CH - 3 CH 2 11 NH 3 + Cl

c. Surfaktan non-ionik

- - Merupakan surfaktan kedua terbesar. - Dapat bereaksi dengan semua jenis surfaktan. - Sensitif terhadap air sadah. - Berbeda dengan surfaktan ionik, sifat fisik-kimia surfaktan ini tidak terpengaruh oleh penambahan elektrolit. - Sifat fisik-kimia senyawa etoksilat sangat tergantug pada temperatur. Contonya adalah : - Polioksietilen-p-tertocyl phenyleter C 8 H 17 C 6 H 4 OCH 2 CH 2 O 10

d. Surfaktan ampoterik Zwitter ion

H Surfaktan zwitter ion mengandung muatan yang berbeda dan dapat membentuk surfaktan amfoter. Perubahan muatan terhadap pH pada surfaktan ampoterik mempengaruhi pembentukan busa, pembasahan, sifat detergen dan lainnya. Contohnya adalah : N-Dodesil-N,N-Dimetil C 12 H 25 N + CH 3 2 CH 2 COO - Porter, 1994. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asam oleat adalah bahan oleokimia yang potensial tersedia dari berbagai sumber alam misalnya pada minyak zaitun 55-80 dan minyak sawit 39-45, Salmiah, 2007; Ketaren, 2008 yang merupakan bahan mentah yang paling penting untuk pengolahan hidroksi asam-asam lemak. Hidroksi asam-asam lemak dan turunannya banyak digunakan secara komersial untuk pengolahan berbagai jenis produk, sebagai zat aditif pada minyak pelumas, pengemulsi, poliol untuk pembuatan poliuretan dan surfaktan untuk detergen Koay et al, 2006. Asam oleat ini karena memiliki ikatan rangkap maka cukup potensial untuk dilakukan epoksidasi seperti yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya terhadap minyak kacang kedelai yang kaya asam lemak tidak jenuh demikian juga terhadap metil linoleat yang memiliki 2 buah ikatan rangkap Guodong et al, 2004. Adanya ikatan rangkap pada metil oleat yang diturunkan dari asam oleat, telah berhasil diepoksidasi dilanjutkan dengan hidrolisis untuk menghasilkan senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat Salmiah, 2007 melalui transformasi kimia secara komersial menjadi epoksida menggunakan oksidator senyawa asam peroksida. Terbentuknya epoksida ini dapat dilihat dari pemutusaan ikatan rangkap yang terepoksidasi yang dapat diketahui dari uji bilangan iodium, bilangan hidroksi dan uji spektroskopi inframerah Piazza and Foglia, 2006. Adanya gugus hidroksi akan meningkatkan sifat hidrofil suatu senyawa poliol Randal and Lee, 2002, dimana senyawa poliol atau polihidroksi dari berbagai sumber banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri seperti halnya ester poliol yang diperoleh dari senyawa sakarida dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan surfaktan dalam formulasi bahan makanan, kosmetik, maupun dalam Universitas Sumatera Utara bidang farmasi seperti obat-obatan. Demikian juga dalam bidang industri polimer, senyawa poliol digunakan untuk pembuatan bahan material seperti poli vinil klorida PVC, polietilen terepetalat PET, polietilen polipropilen, poliamida, poliester dan poliuretan banyak digunakan sebagai pemlastis, pelunak maupun pemantap Siddiqi et al, 1984. Senyawa poliol ini dapat diperoleh dari hasil industri petrokimia maupun langsung dari alam seperti selulosa, amilum, maupun dari hasil transformasi minyak nabati hasil olahan industri oleokimia. Senyawa poliol dari minyak nabati ini selain dapat diperbaharui, sumbernya mudah diperoleh juga akrab dengan lingkungan Guodung et al, 2004. Alkanolamida adalah surfaktan bukan ionik dimana gugus hidroksil yang dimilikinya tidak cukup hidrofilik untuk membuat alkanolamida larut dalam air Nuryanto dkk, 2002. Alkanolamida banyak digunakan sebagai bahan foam boosting dan dalam campuran bahan surfaktan lain berguna sebagai cairan pencuci piring dan juga dalam pembuatan shampoo. Selain itu alkanolamida merupakan bahan pelembut rambut, penstabil busa, bahan perekat dan bersama-sama dengan glikol stearat dapat mengkilaukan rambut Said dan Salimon, 2001. Pembuatan senyawa alkanolamida ini dilakukan dengan mereaksikan asam lemak dengan amina pada suhu 120 o C-180 o C. Sintesis senyawa alkanolamida yang telah dilakukan adalah melalui reaksi antara asam lemak dengan etanolamina ataupun dietanolamina dimana dalam hal ini sering terjadi persaingan antara terbentuknya amida dan ester apabila kondisi reaksi tidak diatur dengan baik Maag, 1984. Peneliti sebelumnya telah melakukan sintesis dan karakterisasi dari senyawa HELA N,N-bis-2-hidroksi ethyl linseed oil fatty amide yaitu dietanolamida yang diperoleh dari hasil amidasi antara minyak biji rami dengan dietanolamina dengan bantuan katalis CH 3 Ona melalui pemanasan Alam et al, 2009. Tarigan, 2009 telah meneliti mengenai sintesis pembuatan senyawa alkanolamida tetrahidroksi oktadekanoat yang diturunkan dari minyak kemiri demikian juga Singarimbun, 2010 telah meneliti mengenai sintesis 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat dari asam oleat. Ginting, 2012 juga telah meneliti mengenai sintesis etanolamida dan dietanolamida campuran dari metil ester asam lemak bebas minyak kelapa dengan senyawa etanolamina dan dietanolamina menggunakan katalis natrium metoksida. Universitas Sumatera Utara Atas dasar pemikiran tersebut peneliti tertarik ingin melakukan penelitian sintesa dan karakterisasi beberapa alkanolamida turunan asam oleat baik sebelum dilakukan hidroksilasi maupun sesudah hidroksilasi dalam bentuk senyawa diol, dimana asam oleat terlebih dahulu diesterifikasi menjadi metil oleat. Dengan adanya ikatan rangkap pada metil oleat dapat mengalami reaksi addisi elektrofilik ataupun epoksidasi yang selanjutnya dihidrolisis untuk membuka rantai epoksi yang menghasilkan poliol. Dengan demikian diharapkan metil oleat dapat diubah menjadi bahan surfaktan berbagai senyawa alkanolamida turunan asam oleat yang memiliki jumlah gugus hidrofil yang berbeda sehingga akan diperoleh nilai CMC yang bervariasi.

1.2 Permasalahan