Sintesa Dan Karakterisasi Beberapa Senyawa Alkanolamida Turunan Asam Oleat

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alam, M., Alok, R., Raydan, A. 2009. Sinthesis, Characterization and Performance of Amine Modified Linseed Oil Fatty Amide Coatings. J. Am. Oil. Chem. Soc. Vol. 86.

Anon. 2005. Instruction Manual Malvern Zeta Sizer, Biotech. Germany.

Anonimous. 1976. The Merck Index. An Encyclopedia of Chemical and Drugs. Ninth Edition. USA : Merck And CO, Inc.

Anasri. 2009. Pembuatan Alkanolamida dari Hasil Amidasi RDBPKO, RBDOlein dan RBDStearin dengan Dietanolamina. Skripsi. Jurnal Kimia FMIPA-USU, Medan.

Bahl, A. 2004. Organic Chemistry. New Delhi : S. Chand and Company LTD.

Besari, I., Sulistowati, E dan Ishak, M. 1982. Kimia Organik. Bandung : Armico (AMC).

Belizt, H. D., Grosch, W. 1986. Food Chemistry. Berlin Heidelberg : Springer-Verlag Charlon and Chang. 1985. Chemistry. Five Edition. New York : McGraw-Hill.

Endo, Y. H. Sanae and F. Kenshiro. 1997. “Autooksidation of Synthetic Isomers of Tryacylglycerol Containing Eicosapentaenoic Acid”, Dalam Tarigan, J. 2002.

Ester Asam Lemak. Digitized by USU Digital Library FMIPA USU.

Fessenden, R. J dan Fessenden, J. S. 1999. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Gandhi, R. 1997. “Aplicattion of Lipase”, Dalam Tarigan, J. 2002. Ester Asam lemak Digitized by USU Digital Library FMIPA USU.

Genaro, R. A. 1990. Rhemington’s Pharmaceutical Science. 18th Edition. Pensilva : Macle Printing Company, Easton.

Ginting, C. H. 2012. Sintesis Etanolamida dan Dietanolamida Campuran dari Metil Ester Asam Lemak Bebas Minyak Kelapa dengan Senyawa Etanolamina dan Dietanolamina Menggunakan Katalis Natrium Metoksida. Medan : Skripsi Sekolah Sarjana USU.

Goud, V. V., Pradhan, N. C dan Padwardhan, A. V. 2006. Epoxidation of Karanja Oil by H2O2. J. Am. Oil. Chem. Soc. Vol 83.635.

Guodung, D.U., Tekin, A., Hammond, E.G and Woo, K. K. 2004. Catalitic Epoxidation of Methyl Linoleate. J. Am. Oil Chem. Soc.,81,4.


(2)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Nama alat Merek

Gelas beaker 250 mL Pyrex

Gelas ukur 100 mL Pyrex

Gelas ukur 25 mL Pyrex

Gelas ukur 10 mL Pyrex

Neraca kaki tiga O’Hauss

Neraca analitis Mettler PM 480

Hotplate stirrer Thermolyne

Pengaduk magnetik -

Statif dan Klem -

Labu leher dua 500 mL Pyrex Labu leher tiga 500 mL Pyrex

Alat vakum Fisons

Corong pisah 500 mL Pyrex

Corong penetes 50 mL Pyrex

Kertas saring biasa -

Termometer 110oC Pyrex

Kondesor bola -

Corong -

Stopper -

Tabung CaCl2

Spektrofotometer FT-IR Shimadzu


(3)

Melting point apparatus Gallenkamp

Spatula -

Rotarievavorator Heidolph

Tensiometer CMC -

Gelas Erlenmeyer250 mL Pyrex

Labu takar 10 mL Pyrex

Pipet tetes -

Botol vial -

Teflon -

3.2. Bahan-bahan

Bahan –bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Metanol absolut p.a E’merck

CaCl2 anhidrous p.a E’Merck

Asam sulfat 98% p.a E’Merck

n-Heksan p.a E’Merck

Natrium metoksida p.a E’merck

Akuades -

Asam oleat p.a E’Merck

Natrium sulfat anhidrous p.a E’Merck

Natrium klorida p.a E’Merck

Etanolamina p.a E’Merck

Dietanolamina p.a E’Merck

Asam pormiat 90% p.a E’Merck

Asam peroksida 30% p.a E’Merck

Dietil eter p.a E’Merck


(4)

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan metil oleat dari asam oleat

Kedalam labu alas bulat leher dua volume 1000 ml dimasukkan sebanyak 100 gram asam oleat kemudian ditambahkan 120 ml metanol absolut dan 120 ml benzena sambil diaduk dengan magnetik stirer. Dirangkai alat refluks, diteteskan 1,5 ml H2SO4(p)

dengan corong penetes, direfluks pada suhu 80-90oC selama 5 jam kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotarievavorator. Residunya diekstraksi dengan 100 ml n-Heksan, dicuci dengan 10 ml akuades sebanyak 2 kali. Lapisan atas dikeringkan dengan CaCl2 anhidrous kemudian disaring, lalu dikeringkan dengan Na2SO4

anhidrous dan disaring. Filtrat diuapkan dengan menggunakan rotarievavorator selanjutnya metil oleat yang diperoleh dianalisa dengan spektroskopi FT-IR dan penentuan nilai bilangan iodin melalui titrasi iodometri.

3.3.2 Pembuatan alkanolamida sebelum hidroksilasi 3.3.2.1 Amidasi metil oleat dengan etanolamina

Kedalam labu alas bulat leher dua volume 500 ml dimasukkan sebanyak 0,05 mol metil oleat kemudian ditambahkan 0,1 mol etanolamina dan diaduk dengan mengunakan stirer. Dirangkai alat refluks, kemudian ditambahkan natrium metoksida sebanyak 5 gram dalam 20 ml metanol. Kemudian direfluks pada suhu 80-90oC sambil distirer selama 5 jam. Diuapkan kelebihan pelarut dengan rotarievavorator dimana residu yang diperoleh diekstraksi dengan 100 ml dietil eter dan dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing-masing 25 ml. Setelah itu, lapisan atasnya ditambahkan Na2SO4 anhidrous kemudian disaring. Filtrat diuapkan dengan

rotarievavorator kemudian residunya dianalisa (senyawa alkanolamida) dengan spektroskopi FT-IR, dilanjutkan pengujian untuk penentuan nilai CMC dengan metode cincin du Nouy dan juga penentuan titik lebur.


(5)

3.3.2.2 Amidasi metil oleat dengan dietanolamina

Kedalam labu alas bulat leher dua volume 500 ml dimasukkan sebanyak 0,05 mol metil oleat kemudian ditambahkan 0,1 mol dietanolamina dan diaduk dengan mengunakan stirer. Dirangkai alat refluks, kemudian ditambahkan natrium metoksida sebanyak 5 gram dalam 20 ml metanol. Direfluks pada suhu 80-90oC sambil distirer selama 5 jam. Diuapkan kelebihan pelarut dengan rotarievavorator dimana residu yang diperoleh diekstraksi dengan 100 ml dietil eter dan dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing-masing 25 ml. Setelah itu, lapisan atasnya ditambahkan Na2SO4 anhidrous kemudian disaring. Filtrat diuapkan dengan rotarievavorator.

Residunya dianalisa (senyawa alkanolamida) dengan spektroskopi FT-IR, dilanjutkan pengujian untuk penentuan nilai CMC dengan metode cincin du Nouy dan juga penentuan titik lebur.

3.3.3 Pembuatan metil 9.10-dihidroksi stearat

Kedalam labu alas bulat leher tiga volume 500 ml, dimasukkan sebanyak 30 ml asam formiat 90%, kemudian ditambahkan 15 ml peroksida 30% dan 1,5 ml H2SO4(p)

setetes demi setetes melalui corong penetes. Diaduk selama 1 jam pada suhu konstan antara 40oC-45oC. Kemudian ditambahkan 30 gram metil oleat setetes demi setetes menggunakan corong penetes. Campuran tersebut diaduk pada suhu 40-45oC selama 2 jam. Didiamkan selama 1 malam kemudian dirotarievavorasi. Residunya diekstraksi dengan 100 ml dietil eter, dicuci dengan 10 ml NaOH 0,1 N dan 10 ml akuades sebanyak 2 kali. Lapisan atas, dikeringkan dengan CaCl2 anhidrous dan disaring lalu

dikeringkan dengan NaSO4 anhidrous dan disaring kemudian dirotarievavorasi hingga

pelarutnya habis. Residu yang diperoleh dianalisa dengan spektroskopi FT-IR dan penentuan nilai bilangan iodin melalui titrasi iodometri.


(6)

3.3.4 Pembuatan alkanolamida sesudah hidroksilasi

3.3.4.1 Amidasi metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina

Kedalam labu alas bulat leher dua volume 500 ml dimasukkan sebanyak 0,05 mol metil-9,10-dihidroksi stearat kemudian ditambahkan 0,1 mol etanolamina dan diaduk dengan mengunakan stirer. Dirangkai alat refluks lalu ditambahkan natrium metoksida sebanyak 5 gram dalam 20 ml metanol. Direfluks pada suhu 80-90oC sambil distirer selama 5 jam. Diuapkan kelebihan pelarut dengan rotarievavorator, residu diekstraksi dengan 100 ml dietil eter dan dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing-masing 25 ml. Setelah itu lapisan atasnya ditambahkan Na2SO4anhidrous dan

disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotarievavorator. Residunya dianalisa (senyawa alkanolamida) dengan spektrokopi FT-IR dilanjutkan pengujian untuk penentuan nilai CMC dengan metode cincin du Nouy dan juga penentuan titik lebur.

3.3.4.2 Amidasi metil-9,10-dihidroksi stearat dengan dietanolamina

Ke dalam labu alas bulat leher dua volume 500 ml dimasukkan sebanyak 0,05 mol metil-9,10-dihidroksi stearat kemudian ditambahkan 0,1 mol dietanolamina dan diaduk dengan mengunakan stirer. Dirangkai alat refluks, kemudian ditambahkan natrium metoksida sebanyak 5 gram dalam 20 ml metanol. Direfluks pada suhu 80-90oC sambil distirer selama 5 jam. Diuapkan kelebihan pelarut dengan rotarievavorator kemudian residu diekstraksi dengan 100 ml dietil eter dan dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing-masing 25 ml. Setelah itu lapisan atasnya ditambahkan Na2SO4 anhidrous dan disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan

dengan rotarievavorator. Residunya dianalisa (senyawa alkanolamida) dengan spektroskopi FT-IR dilanjutkan pengujian untuk penentuan nilai CMC dengan metode cincin du Nouy dan juga penentuan titik lebur.


(7)

3.3.5 Analisa hasil reaksi

a. Analisa dengan spektrofotometer FT-IR

Untuk masing-masing cuplikan yaitu metil oleat yang berwujud cair dioleskan pada plat NaCl hingga terbentuk lapisan tipis dan beberapa alkanolamida berwujud padat dicampurkan dengan KBr anhidrous selanjutnya dicetak hingga bentuk pellet yang transparan kemudian diukur spektrumnya dengan alat spektrofotometer FT-IR.

b. Penentuan titik lebur

Penentuan titik lebur ini dilakukan terhadap alkanolamida dari hasil amidasi metil oleat dengan etanolamina atau dietanolamina dan hasil amidasi poliol dengan etanolamina atau dietanolamina. Alkanolamida yang diperoleh, diambil sedikit mungkin dengan spatula kemudian diletakkan diatas melting point apparatus lalu dicatat perubahan titik leburnya.

c. Penentuan konsentrasi misel kritis dengan metode cincin du Nouy

Analisa ini dilakukan terhadap alkanolamida dari hasil amidasi metil oleat maupun metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina atau dietanolamina. Alkanolamida yang diperoleh diencerkan dengan variasi konsentrasi 1% , 2%, 3%, 4%, 5%, 6%. Kemudian diukur tegangan permukaan larutan alkanolamida dan sebagai kontrol air (pelarut) dengan alat tensiometer.

d. Analisis bilangan iodin

Analisis ini dilakukan terhadap metil oleat dan metil-9,10-dihidroksi stearat.

Ditimbang sampel sebanyak 0,314 gram kedalam gelas Erlenmeyer 250 ml yang bertutup lalu ditambahkan 20 mL sikloheksana kemudian dikocok/diguncang untuk memastikan sampel telah benar-benar larut. Ditambahkan 25 mL larutan Wijs kedalamnya kemudian ditutup dan dikocok agar campuran telah benar-benar bercampur dan disimpan bahan tersebut dalam ruang gelap selama 30 menit. Diambil bahan tersebut dari tempat penyimpanan dan ditambahkan 25 mL larutan KI 10% dan 150 mL akuades. Dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai warna kuning


(8)

dan dititrasi kembali sampai warna biru hilang. Dilakukan hal yang sama terhadap larutan blanko selanjutnya nilai bilangan iodin (IV) dihitung dengan rumus :

Bilangan iodin = (B-S) x N x 12,69 Massa sampel (gram)

Dimana : B = Volume Titrasi Blanko (mL) S = Volume Titrasi Sampel (mL) N = Normalitas Na2S2O3


(9)

1.3Bagan Penelitian

3.4.1 Pembuatan metil oleat dengan asam oleat

100 gram asam oleat

Dimasukkan kedalam labu leher dua Ditambahkan 120 ml Metanol absolut Ditambahkan 120 ml benzena

Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2 Ditambahkan 1,5 ml H2SO4(p) secara perlahan-lahan melalui corong penetes

Direfluks selama 5 jam pada suhu 80-90 oC sambil diaduk Campuran

Didinginkan pada suhu kamar

Diuapkan kelebihan metanol dengan rotarievavorator Residu

Diekstraksi dengan 100 ml n-Heksan

Dicuci dengan akuades sebanyak dua kali masing-masing 10 ml Lapisan n-Heksan

Dikeringkan dengan CaCl2 anhidrous /selama 1 jam Disaring

Lapisan n-Heksan

Dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous / selama 1 jam Disaring

Lapisan n-Heksan

Dirotarievavorasi hingga pelarutnya habis

Analisa FT-IR

Residu

Residu Destilat

Residu

Metil oleat


(10)

3.4.2 Pembuatan alkanolamida sebelum hidroksilasi 3.4.2.1 Amidasi metil oleat dengan etanolamina

0,05 mol Metil Oleat

Dimasukkan kedalam labu leher dua

Ditambahkan 0,1 mol Etanolamina

Ditambahkan 0,093 mol CH

3

ONa ( 5 gram dalam 20 ml metanol)

Dirangkai alat refluks

Direfluks pada suhu 80-90

o

C sambil distirer selama 5 jam

Campuran

Dirotarievavorasi

Residu

Destilat

Diekstraksi dalam 100 ml dietil eter

Dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing- masing 25 ml

Lapisan dietil eter

residu

Dikeringkan dengan Na

2

SO

4

anhidrous / selama 1 jam

Disaring

Lapisan dietil eter

Residu

Dirotarievavorasi

alkanolamida


(11)

3.4.2.2 Amidasi metil oleat dengan dietanolamina

0,05 mol Metil Oleat

Dimasukkan kedalam labu leher dua

Ditambahkan 0,1 mol Dietanolamina

Ditambahkan 0,093 mol CH

3

ONa ( 5 gram dalam 20 ml metanol)

Dirangkai alat refluks

Direfluks pada suhu 80-90

o

C sambil distirer selama 5 jam

Campuran

Dirotarievavorasi

Residu

Destilat

Diekstraksi dalam 100 ml dietil eter

Dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing- masing 25 ml

Lapisan dietil eter

residu

Dikeringkan dengan Na

2

SO

4

anhidrous / selama 1 jam

Disaring

Lapisan dietil eter

Residu

Dirotarievavorasi

alkanolamida


(12)

3.4.3 Pembuatan metil-9,10-dihidroksi stearat

30 mL HCOOH 90%

Dimasukkan kedalam labu leher tiga

Ditambahkan 15 mL H2O2 30 % setetes demi setetes melalui corong penetes

Ditambahkan 1 mL H2SO4(p)

Ditambahkan 20 gram Metil Oleat setets demi setetes Campuran

Diaduk pada suhu 40-45 oC selama 2 jam Didiamkan selama 1 malam

Dirotarievavorasi

Residu Destilat

Ditambahkan 100 mL dietil eter Dicuci dengan 10 mL NaOH 0,1 N

Dicuci dengan Akuades sebanyak 2 kali masing-masing 10 mL

Dikeringkan dengan CaCl2 anhidrous / selama 1 jam Disaring

Residu

Dikeringkan dengan Na2so4 anhidrous /selama 1 jam Disaring

Residu Dirotarievavorasi

Analisa FT-IR

Di refluks pada suhu 80-90 oC selama 1 jam

Lapisan dietil eter residu

Lapisan dietil eter

metil 9,10 dihidroksi stearat Lapisan dietil eter


(13)

3.4.4 Pembuatan alkanolamida sesidah hidroksilasi

3.4.4.1 Amidasi metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina

0,05 mol metil-9,10-dihidroksi stearat

Dimasukkan kedalam labu leher dua

Ditambahkan 0,1 mol etanolamina

Ditambahkan 0,093 mol CH

3

ONa ( 5gram dalam 20 mL metanol)

Dirangkai alat refluks

Direfluks pada suhu 80-90

o

C sambil diaduk selama 5 jam

Campuran

Dirotarievavorasi

Residu

Destilat

Diekstraksi dengan 100 mL dietil eter

Dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing-masing 25 mL

Ditambahkan Na

2

SO

4

anhidrous /selama 1 jam

Disaring

Residu

Dirotarievavorasi

Analisa FT-IR

Penentuan CMC

Penentuan titik lebur

Lapisan dietil eter

Residu

Lapisan dietil eter


(14)

3.4.4.2 Amidasi meti-9,10-dihidroksi stearat dengan dietanolamina

0,05 mol metil-9,10-dihidroksi stearat

Dimasukkan kedalam labu leher dua

Ditambahkan 0,1 mol dietanolamina

Ditambahkan 0,093 mol CH

3

ONa ( 5gram dalam 20 mL metanol)

Dirangkai alat refluks

Direfluks pada suhu 80-90

o

C sambil diaduk selama 5 jam

Campuran

Dirotarievavorasi

Residu

Destilat

Diekstraksi dengan 100 mL dietil eter

Dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing-masing 25 mL

Ditambahkan Na

2

SO

4

anhidrous /selama 1 jam

Disaring

Residu

Dirotarievavorasi

Analisa FT-IR

Penentuan CMC

Penentuan titik lebur

Lapisan dietil eter

Residu

Lapisan dietil eter


(15)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Pembuatan metil oleat dari asam oleat

Pembuatan metil oleat secara esterifikasi dari asam oleat dengan metanol dalam pelarut benzena dengan menggunakan katalis asam sulfat pekat pada suhu 80-90oC. Dari sebanyak 100 gram asam oleat yang digunakan diperoleh metil oleat sebanyak 91,56 gram (87,1%). Hasil yang diperoleh dianalisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak-puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3465,16 cm-1, 3004,30 cm-1, 2854,42-2925,34 cm-1, 1743,53 cm-1, 1435,97-1463,97 cm-1, 1361,85 cm-1, 1245,49 cm-1, 1171,19-1196,58 cm-1, 1119,77 cm-1, 1016,57-1094,76 cm-1, 968,25 cm-1, 880,71 cm-1, 723,35 cm-1

Gambar 4.1. Spektrum FT-IR metil oleat.


(16)

Adapun hasil analisa spektroskopi FT-IR dari asam oleat memberikan spektrum dengan puncak serapan pada daerah gelombang 3006,34 cm-1, 2855,21 cm-1-2924,19 cm-1, 2673,59 cm-1, 1713,21 cm-1, 1464,41 cm-1, 1412,46 cm-1, 1377,68 cm-1, 1285,46 cm-1, 1246,51 cm-1, 1118,77 cm-1, 1090,78 cm-1, 938,59 cm-1, 723,59 cm-1, 723,62 cm-1, 477,88cm-1

Gambar 4.2. Spektum FT-IR asam oleat.

4.1.2 Pembuatan senyawa alkanolamida sebelum hidroksilasi 4.1.2.1 Pembuatan N-bis-(2-hidroksietil) oleat

(Gambar 4.2).

Senyawa N-bis-(2-hidroksietil) oleat dapat dihasilkan dari hasil amidasi antara senyawa metil oleat dengan etanolamina dalam pelarut metanol dengan bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90oC. Dari sebanyak 14,8 gram metil oleat yang digunakan diperoleh etanolamida sebanyak 13,19 gram (81,1%). Hasil yang


(17)

diperoleh dianalisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak-puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3296,42 cm-1, 2850,40-291,35 cm-1, 1644,42 cm-1, 1557,41 cm-1, 1463,54 cm-1, 1212,64 cm-1, 1121,69 cm-1, 1034,65-1059,64 cm-1, 923,70 cm-1, 721,61 cm-1

Gambar 4.3. Spektrum FT-IR N-bis-(2-hidroksietil) oleat

(Gambar 4.3).

4.1.2.2Pembuatan N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat

Senyawa N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat dapat dihasilkan dari hasil amidasi antara senyawa metil oleat dengan dietanolamina dalam pelarut metanol dengan bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90oC. Dari sebanyak 14,8 gram metil oleat yang digunakan diperoleh dietanolamida sebanyak 13,69 gram (74,2%). Hasil yang diperoleh dianalisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak- puncak


(18)

serapan pada daerah bilangan gelombang 3401,26 cm-1, 3006,41 cm1, 2853,26-2923,21 cm-1, 1557,27 cm-1, 1463,37 cm-1, 1071,44 cm-1, 721,42 cm-1

Gambar 4.4. Spektrum FT-IR N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat

(Gambar 4.4).

4.1.3Pembuatan metil-9,10-dihidroksi stearat

Senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat dapat dihasilkan dengan cara mereaksikan metil oleat dengan asam performat (HCOOOH) yang diperoleh dari reaksi antara HCOOH 90% dengan H2O2 30% kemudian dikuti dengan proses hidrolisis sehingga dihasilkan

metil-9,10-dihidroksi stearat. Asam formiat dan hidrogen peroksida direaksikan akan membentuk asam performat pada suhu 40-45% dengan bantuan katalis H2SO4(p). Dari

hasil analisa metil-9,10-dihidroksi stearat dengan menggunakan spektroskopi FT-IR diperoleh spektrum dengan puncak-puncak serapan daerah bilangan gelombang 3445,31 cm-1, 2855,18-2922,18 cm-1, 1732,16 cm-1, 1436,26-1463,25 cm-1, 1376,29 cm-1, 1176,21 cm-1, 723,46 cm-1, 601,58 cm-1 (Gambar 4.5).


(19)

Gambar 4.5. Spektrum FT-IR metil-9,10-dihidroksi stearat.

4.1.4 Pembuatan senyawa alkanolamida sesudah hidroksilasi 4.1.4.1 Pembuatan 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat

Senyawa 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat dapat dihasilkan dari hasil amidasi antara senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina dalam pelarut metanol dengan bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90oC . Senyawa 9,10-N-bis (2-Hidroksietil) stearat yang diperoleh sebanyak 83,7%. Hasil yang diperoleh dianalisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak-puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3295,10 cm-1, 2849,10-2918,9 cm-1, 1642,11 cm-1, 1555,15 cm-1, 1463,17 cm-1, 1217,25 cm-1, 1068,21 cm-1, 720,20 cm-1, 634,24 cm-1, 534,26 cm- 1 (Gambar 4.6).


(20)

Gambar 4.6. Spektrum FT-IR 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat

4.1.4.2 Pembuatan 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat

Senyawa 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat dapat dihasilkan dari amidasi antara senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina dalam pelarut metanol dengan bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90oC. Dari sebanyak 16,4 gram metil-9,10-dihidroksi stearat yang digunakan diperoleh dihisroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat sebanyak 14,6 gram (78%). Dari hasil analisa 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat dengan menggunakan spektroskopi FT-IR diperoleh spektrum dengan puncak-puncak serapan daerah bilangan gelombang 3349,18 cm-1, 2849,18-2919,18 cm-1, 2190,46 cm-1, 1618,20 cm-1, 1468,22 cm-1, 1361,25 cm-1, 1191,29-1206,29 cm-1, 1068,21 cm-1, 891,30 cm-1, 859,26 cm-1, 720,25 cm-1 (Gambar 4.7).


(21)

Gambar 4.7. Spektrum FT-IR 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat.

4.1.3.1Hasil Pengujian Bilangan Iodin Metil Oleat dan Metil-9,10-Dihidroksi Stearat

Tabel 4.1 Data Hasil Penentuan Bilangan Iodin terhadap Metil Oleat dan Metil- 9,10-Dihidroksi Stearat.

No Sampel Parameter Nilai Bilangan Iodin (IV)

IV1 IV2 IV3 IVrata-rata

1 Metil oleat 36,51 36,56 36,56 36,54


(22)

4.1.6 Uji Titik Lebur

Penentuan titik lebur ini dilakukan terhadap senyawa alkanolamida turunan asam oleat baik sebelum hidroksilasi maupun sesudah hidroksilasi.

Tabel 4.2. Data Hasil Titik Lebur Alkanolamida sebelum dan sesudah Hidroksilasi

Parameter Sampel

Titik Lebur (o

N-bis-(2-hidroksietil) Oleat

C)

N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat

85-90 130-135

86,5-91 132-135

85-91 130-134

Titik Lebur (o

9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil stearat

C)

9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat 56-64

56-60 55-59

43-35 42-45 42-45

4.1.6 Hasil penentuan CMC (Critical Micelle Concentration) Alkanolamida dengan Menggunakan Alat Tensiometer

Penentuan CMC ini dilakukan terhadap alkanolamida dari hasil amidasi senyawa metil oleat maupun metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina atau dietanolamina. Alkanolamida yang diperoleh diencerkan dengan variasi konsentrasi 1%-6% dimana meningginya konsentrasi surfaktan dalam larutan air menyebabkan tegangan permukaan larutan turun sampai konsentrasi tertentu hingga konstan meskipun konsentrasi surfaktan semakin tinggi. Penambahan surfaktan selanjutnya yang melebihi konsentrasi ini akan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi dimana misel ini terbentuk disebut dengan konsentrasi misel kritis (CMC).


(23)

Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan (η) Larutan N-bis-(2-Hidroksietil) Oleat dengan Tensiometer Metode Cincin du Nouy.

Konsentrasi (C) Tegangan permukaan (dyne/cm)

ηx FK (dyne/cm)

Log C

1% 32,57 67,75 0

2% 31,9 66,35 0,30

3% 31,49 65,5 0,477

4% 31,48 65,48 0,60

5% 31,46 65,43 0,69

6% 31,44 65,40 0,77

Faktor Koreksi : 2,08

Tabel 4.4. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan (η) Larutan N,N-Bis-(2-Hidroksietil) Oleat dengan Tensiometer dengan Metode Cincin du Nouy.

Konsentrasi (C) Tegangan permukaan (dyne/cm)

ηx FK (dyne/cm)

Log C

1% 31,1 64,68 0

2% 31,05 64,58 0,30

3% 30,38 63,2 0,477

4% 30,36 63,14 0,60

5% 30,34 63,1 0,69

6% 30,3 63,02 0,77


(24)

Tabel 4.5. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan (η) Larutan 9,10-Dihidroksi-N-Bis-(2-Hidroksietil) Stearat dengan Tensiometer Metode Cincin du Nouy.

Konsentrasi (C) Tegangan permukaan (dyne/cm)

ηx FK (dyne/cm)

Log C

1% 33,6 67,54 0

2% 31,7 65,93 0,30

3% 31,067 64,62 0,477

4% 29,80 62,0 0,60

5% 29,71 61,8 0,69

6% 29,70 61,78 0,77

Faktor Koreksi : 2,08

Tabel 4.6. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan (η) Larutan 9,10-Dihidroksi-N,N-Bis-(2-Hidroksietil) Stearat dengan Tensiometer Metode Cincin du Nouy.

Konsentrasi (C) Tegangan permukaan (dyne/cm) ηx FK Log C

1% 30,5 63,48 0

2% 29,88 62,16 0,30

3% 29,24 62,025 0,477

4% 28,85 60,82 0,60

5% 28,81 59,92 0,69

6% 28,80 59,90 0,77


(25)

4.2. Pembahasan

4.2.1 Pembuatan metil oleat dari asam oleat

Asam oleat yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam oleat komersial dengan kadar 85,9%-88%. Kemudian asam oleat tersebut diesterifikasi dengan metanol dalam pelarut benzene menggunakan katalis asam sulfat pekat pada suhu 80-90oC sehingga menghasilkan senyawa metil oleat dengan rendemen 87,1%. Reaksi esterifikasi ini dapat dilihat dalam mekanisme reaksi dibawah ini (gambar 4.8 ) :

C17H33C

O OH H O S H O O O

δ+ δ

-C17H33C

O

O H

H

CH3 O H

HSO4

-C17H33 C

O O O H H H H3C

C17H33 C

O O OCH3

H H H+, HSO4

--HSO4

-C17H33 C O OCH3 O H H H -H2O

C17H33 C

O H

OCH3

HSO4

-C17H33 C

O

OCH3

+ H2SO4

Asam oleat menerima proton dari katalis asam kuat

Metanol menyerang karbonil yang terprotonasi menjadi intermediet tetrahedral atau

addisi nukleofilik Melepaskan proton

dari atom oksigen Menerima proton

dari oksigen lain

Melepaskan molekul air Ester terprotonasi

Eliminasi Nukleofilik

-H2SO4

Metil Oleat

Gambar 4.8 Mekanisme reaksi pembentukan metil oleat (Scudder, 1992; Riswiyanto, 2009).

Hasil analisa spektroskopi FT-IR menunjukkan puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 1743,53 cm-1yang merupakan pita serapan khas dari gugus C=O ester dan didukung oleh pita serapan pada bilangan gelombang 1245,49 cm-1 yang menunjukkan serapan khas C-C(=O)-O ester. Pita C-C(=O)-O merupakan getaran tak


(26)

simetrik yang terkopelkan dari getaran ulur C-O. Adanya 3 corak pita 1119,77 cm-1, 1171,19 cm-1, 1196,58 cm-1, menunjukkan bahwa senyawa ini adalah metil oleat rantai panjang, dimana pita yang berada pada daerah bilangan gelombang 1171,31 cm-1 adalah yang terkuat. Spektrum ini didukung dengan tidak munculnya puncak serapan pada daerah bilangan gelombang diatas 3006,34 cm-1 yang merupakan puncak melebar serapan khas gugus OH.

Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 2925,34 cm-1 merupakan serapan khas getaran ulur tak simetrik C-H sp3 dan daerah bilangan gelombang 2854,42 cm-1 merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp3 yang didukung oleh getaran tekuk tak simetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1463,97 cm-1 dan getaran tekuk simetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1361,85 cm-1. Spektrum pada daerah bilangan gelombang 723,35 cm-1 adalah getaran rocking gugus metilena (CH2)n dari alkana berantai lurus yang terdiri dari tujuh atom

karbon atau lebih (Silverstein, 1963).

Hal ini juga didukung dengan adanya penentuan nilai bilangan iodin untuk metil oleat sebesar 36,53 yang menunjukkan adanya ikatan rangkap.

4.2.2 Pembuatan senyawa alkanolamida sebelum hidroksilasi 4.2.2.1 Pembuatan senyawa N-bis-(2-hidroksietil) oleat

Senyawa N-bis-(2-hidroksietil) oleat dapat dihasilkan dari hasil amidasi antara metil oleat dengan etanolamina dalam pelarut metanol dengan bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90oC.

Berdasarkan prinsip HSAB, amidasi senyawa metil oleat dapat menghasilkan etanolamida oleat dimana H+ dari NH2 yang berasal dari etanolamina merupakan

asam keras (Hard Acid) yang mudah bereaksi dengan –OCH3 yang merupakan basa

keras (Hard base) dan N- dari etanolamina yang merupakan basa lunak (Soft Base) yang akan bereaksi dengan gugus asil R-C+=O yang merupakan asam lunak (Soft Acid)). Berdasarkan prinsip diatas, maka mekanisme amidasi antara metil oleat dengan etanolamina dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 4.9) :


(27)

C17H33 C O

OCH3

+ H N

H

CH2 CH2 OH

δ

-δ+

C17H33 C

O Na

OCH3 N

H

Na+-OCH3

OCH3 CH3OH NaOCH3

-C17H33C

O N H H2 C H2 C OH H H2 C H2 C HO (Soft B

ase)

(Sof t Aci

d)

(Hard Acid) (Hard Base)

Gambar 4.9 Mekanisme reaksi pembentukan N-bis-(2-hidroksietil) oleat (Scudder, 1992).

Hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan puncak serapan kuat pada daerah bilangan gelombang 3296,42 cm-1 yang menunjukkan getaran ulur N-H dan getaran ulur O-H yang saling berhimpit sehingga tidak tampak jelas dalam spektrum. Selain uluran O-H pita khas spektrum alkohol juga dihasilkan oleh getaran uluran C-O yang berada pada daerah bilangan gelombang 1059,64 cm-1 (alkohol primer). Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 1644,42 cm-1 merupakan serapan khas dari pita gugus C=O pada serapan amida sekunder yang dihasilkan oleh tekukan N-H. Bilangan gelombang 1557,41 cm-1 menunjukkan pita amida taksiklik sekunder dimana pita ini dihasilkan oleh interaksi antara tekukan N-H dengan uluran C-N gugus C-N-H. Pita pendukung amida sekunder muncul pada bilangan gelombang 1121,69 cm-1

Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 2921,35 cm

(puncak lebih lemah) yang juga dihasilkan oleh tekukan N-H dan uluran C-N.

-1

merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp3 dan daerah bilangan gelombang 2850,40 cm-1 merupakan serapan khas dari getaran tekuk simetrik C-H sp3 yang didukung oleh getaran taksimetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1464,59 cm-1 dan getaran tekuk simetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1212,64 cm-1. Spektrum pada daerah bilangan gelombang 721,61 cm-1 adalah getaran rocking


(28)

gugus metilena (CH2)n dari alkana berantai lurus yang terdiri dari tujuh atom karbon

atau lebih (Silverstein, 1963).

4.2.2.2 Pembuatan senyawa N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat

Senyawa N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat dapat dihasilkan dari hasil reaksi amidasi antara senyawa metil oleat dengan dietanolamina dalam pelarut methanol dengan bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90oC.

Berdasarkan prinsip HSAB, amidasi senyawa metil oleat dapat menghasilkan dietanolamida oleat dimana H+ dari NH yang berasal dari dietanolamina merupakan asam keras (Hard Acid) yang mudah bereaksi dengan –OCH3 yang merupakan basa

keras (Hard Base) dan N- dari dietanolamina yang merupakan basa lunak (Soft Base) yang akan bereaksi dengan gugus asil R-C+

C17H33 C

O

OCH3

+ HN

CH2

CH2 CH2 OH CH2 OH

Na+-OCH3 δ

-δ+

C17H33 C

O Na O CH3 N H

CH2 CH2 OH H2C

H2C HO OCH3

-CH3OH

NaOCH3

C17H33 C

O N

CH2 CH2

CH2 OH CH2 OH (Sof

t Aci d)

(So

ft B ase) (H

ard A cid)

(Har d B

ase)

=O yang merupakan asam lunak (Soft Acid). Berdasarkan teori diatas, maka mekanisme reaksi amidasi antara senyawa metil oleat dengan dietanolamina untuk menghasilkan senyawa dietanolamida oleat dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 4.10):


(29)

Hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan puncak serapan kuat pada daerah bilangan gelombang 3401,26 cm-1 yang menunjukkan getaran uluran O-H. Selain uluran O-H, pita khas spektrum alkohol juga dihasilkan oleh getaran uluran C-O yang berada pada daerah 1071,44 cm-1. Pada spektrum 1557,27 cm-1 merupakan serapan khas amida taksiklik sekunder dimana dihasilkan oleh interaksi antara tekukan N-H dengan uluran C-N gugus C-N-H. Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 2923,21 cm-1 merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp3 dan daerah bilangan gelombang 2853,26 cm-1 merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp3 yang didukung oleh getaran tekuk taksimetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1463,37 cm-1. Spektrum pada daerah bilangan gelombang 721,42 cm-1 adalah getaran rocking gugus metilena (CH2)n dari alkana berantai lurus

yang terdiri dari tujuh atom karbon atau lebih (Silverstein, 1963).

4.2.3 Pembuatan metil-9,10-dihidroksi stearat

Senyawa diol dapat dihasilkan dari hasil epoksidasi antara metil oleat dengan asam performat dengan bantuan katalis H2SO4(p). Asam formiat direaksikan dengan H2O2

30% akan membentuk senyawa performat dengan bantuan katalis H2SO4(p).

Selanjutnya diikuti dengan penambahan metil oleat yang direfluks pada suhu konstan 40-45oC. Dalam hal ini, ikatan π metil oleat yang tidak jenuh pada atom C9,10

H C

O OH

-+ + H+-OOH H C

O

O OH + H2O

Asam formiat Hidrogen peroksida Asam performat

Terjadi reaksi Addisi dan Eliminasi Nukleofilik

akan membentuk cincin epoksida dan selanjutnya diikuti hidrolisis menghasilkan senyawa diol 9,10-dihidroksi stearat.

Adapun mekanisme reaksi terbentuknya Epoksida yang didikuti oleh hidrolisis dapat dilihat seperti pada (Gambar 4.11) :


(30)

H C O

O O + H3C (CH2)7

H

C HC (CH2)7 C

O

OCH3

H3C (CH2)7HC HC O

(CH2)7C

O OCH3 H + C O OH metil oleat Asam formiat Epoksi

H+-OH

H3C (CH2)7 HC HC OH

(CH2)7

OH C O OCH3 Metil-9,10-dihidroksi stearat Asam performat H

H3C (CH2)7 H

C HC

O

(CH2)7C

O

OCH3

Epoksi terprotonasi H

Reaksi SN2

Transfer Oksigen ke alkena membentuk karbokation

Epoksi proton dari basa Lemah

-OH

H3C (CH2)7 H

C HC

O

(CH2)7C

O

OCH3

H3C (CH2)7 C C O

(CH2)7 C

O OCH3 H H O H C O H

Gambar 4.11 Mekanisme Reaksi Pembuatan Metil 9,10-Dihidroksi Stearat (Vogel, 1989; Fessenden dan Fessenden, 1999; Riswiyanto, 2009)

Hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3445,31 cm-1 yang menunjukkan serapan khas dari gugus hidroksi (OH). Puncak serapan ini diperoleh akibat terputusnya ikatan π pada ikatan rangkap metil oleat setelah mengalami epoksidasi dan selanjutnya


(31)

mengikat 2 gugus hidroksi (OH) setelah mengalami hidrolisis yang menyebabkan semakin melebarnya getaran ulur gugus hidroksi (OH) sehingga puncak pada daerah 3004,30 cm-1 C-H sp2 tidak kelihatan lagi. Hal ini juga didukung dengan adanya penurunan bilangan iodin dimana pada metil oleat sebesar 36,54 dan pada metil-9,10– dihidroksi stearat sebesar 3,01.

Pada daerah bilangan gelombang 2922,18 cm-1 merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp3 dan daerah bilangan gelombang 2855,18 cm-1 merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp3 yang didukung oleh getaran tekuk taksimetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1463,25 cm-1 dan getaran tekuk simetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1436,26 cm-1. Pada daerah bilangan gelombang 1732,16 cm -1 menunjukkan serapan khas (C(=O) ester. Gugus fungsi yang muncul menunjukkan senyawa epoksi alkanolamida telah terbentuk. Hal ini didukung dengan munculnya serapan khas C-O-C epoksi pada daerah bilangan gelombang 1176,21 cm-1. Selain itu didukung dengan tidak munculnya bilangan gelombang 1685-1660-an yang menyatakan serapan khas C=C. Pada daerah bilangan gelombang 723,46 cm-1 menunjukkan vibrasi rocking gugus metilena (CH2)n dari alkana berantai lurus yang terdiri dari tujuh atom karbon atau

lebih (Silverstein, 1963).

4.2.4 Pembuatan senyawa alkanolamida sesudah hidroksilasi

4.2.4.1 Pembuatan senyawa 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat

Senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat yang diperole diamidasi dengan menggunakan katalis natrium metoksida yang direfluks pada suhu 80-90oC sehingga terbentuk senyawa 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat.

Berdasarkan prinsip HSAB, amidasi senyawa 9,10-dihidroksi metil stearat dapat menghasilkan N-etanolamida 9,10-dihidroksi stearat dimana H+ dari NH2 yang

berasal dari etanolamina merupakan asam keras (Hard Acid) yang mudah bereaksi dengan –OCH3 (metoksi) yang merupakan basa keras (Hard Base) dan N- dari

etanolamina yang merupakan basa lunak (Soft Base) yang selanjutnya akan bereaksi dengan asil R-C+=O yang merupakan asam lunak (Soft Acid).


(32)

Berdasarkan teori diatas, maka mekanisme amidasi senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina untuk menghasilkan senyawa 9,10-metil- 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar.4.12) :

H3C (CH2)7

H C HC

OH OH

(CH2)7 C

O

OCH3

+

H2N CH2 CH2 OH

H3C (CH2)

H

C HC

OH OH

(CH2)7 C

O

OCH3

Na

Na+-OCH3

--OCH 3

CH3OH

NaOCH3

H3C (CH2)

H

C HC

OH OH

(CH2)7 C

O

N H

CH2 CH2 OH

N H

H CH2 CH2 OH

Hard Acid

Har d Ba

se

Soft base

Soft Acid

Gambar 4.12 Mekanisme reaksi pembentukan 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat (Scudder, 1992).

Dari hasil analisa spektroskopi FTIR memberikan spektrum dengan puncak -puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3295,10 cm-1 menunjukkan adanya gugus -OH dan gugus N-H yang saling berhimpit sehingga tidak tampak jelas pada spektrum. Selain uluran O-H, pita khas spektrum alkohol juga dihasilkan oleh getaran uluran C-O yang berada pada daerah bilangan gelombang 1068,21 cm-1. Pada daerah bilangan gelombang 2918,9 cm-1 merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp3 dan daerah bilangan gelombang 2849,10 cm-1 merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp3 yang didukung oleh getaran tekuk taksimetrik pada daerah bilangan gelombang 1463,17 cm-1. Spektrum pada daerah bilangan 1642,11 cm-1 merupakan serapan khas C=O amida sekunder yang dihasilkan oleh tekukan N-H. Bilangan gelombang 1555,15 cm-1 menunjukkan pita C=O amida taksiklik sekunder dimana pita ini dihasilkan oleh interaksi antara tekukan N-H dengan uluran C-N gugus C-N-H. Pita pendukung amida sekunder muncul pada daerah daerah bilangan gelombang 1217,25 cm-1 (puncak lebih lemah) yang juga dihasilkan oleh tekukan N-H dan uluran C-N. Pada daerah bilangan gelombang 720,20 cm-1 adalah


(33)

getaran rocking gugus metilena (CH2)n dari alkana berantai lurus yang terdiri dari

tujuh atom karbon atau lebih (silverstein, 1963).

4.2.4.2 Pembuatan senyawa 9,10-dihidroksi N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat.

Senyawa metil 9,10-dihidroksi stearat yang diperoleh kemudian diamidasi dengan dietanolamina dalam pelarut methanol dengan menggunakan katalis natrium metoksida yang direfluks pada suhu 80-90oC. Berdasarkan prinsip HSAB, amidasi senyawa dihidroksi metil stearat dapat menghasilkan N-dietanolamida 9,10-dihidroksi stearat dimana H+ dari NH yang berasal dari dietanolamina merupakan asam keras (Hard Acid) yang mudah bereaksi dengan -OCH3 (metoksi) yang

merupakan basa keras (Hard Base) dan N- dari dietanolamina yang merupakan basa lunak (Soft Base) yang selanjutnya akan bereaksi dengan gugus asil R-C+

H3C (CH2)7

H

C HC (CH2)7

OH C O OCH3 OH HN CH2 CH2

CH2 OH

CH2 OH

-H3C (CH2)7

H

C HC (CH2)7

OH OH C O Na OCH3 N CH2 H

CH2 OH

H2C

H2C

HO

H3C (CH2)7

H C HC OH OH

(CH2)7 C

O N

CH2

CH2 CH2 OH

CH2 OH

-OCH

3

CH3OH

NaOCH3

Na+-OCH3

Soft Acid Hard Acid So ft B ase Hard Bas e =O yang merupakan asam lunak (Soft Acid). Berdasarkan prinsip diatas, maka mekanisme reaksi amidasi antara senyawa metil 9,10-dihidroksi stearat dengan dietanolamina untuk menghasilkan senyawa 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat sebagai berikut (Gambar 4.13) :


(34)

Dari hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan puncak serapan kuat pada daerah bilangan gelombang 3349,18 cm-1 yang menujukkan getaran uluran O-H. Selain uluran O-H, pita khas spektrum alkohol juga dihasilkan oleh getaran uluran C-O yang berada pada daerah bilangan gelombang 1068,21 cm-1 (alkohol primer). Puncak serapan daerah bilangan gelombang 2919,18 cm-1 merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp3 dan daerah bilangan gelombang 2849,18 cm-1 merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp3 yang didukung oleh getaran tekuk taksimetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1468,22 cm-1 dan daerah tekuk simetrik C-H sp3 pada daerah bilangan gelombang 1361,25 cm-1. Spektrum pada daerah bilangan gelombang 1618,20 cm-1 merupakan serapan khas C=O amida tersier yang dihasilkan oleh tekukan N-H. Pita pendukung C=O amida tersier ini muncul pada daerah bilangan gelombang 1206,29 cm-1 (puncak lebih lemah)yang dihasilkan oleh tekukan N-H dan uluran C-N. Pada daerah bilangan gelombang 720,25 cm-1menunjukkan puncak vibrasi rocking (CH2)n dari asam lemak

(Silverstein, 1963).

4.2.5 Penentuan Tegangan Permukaan (η)

Dari hasil analisis penentuan tegangan permukaan, maka diperoleh hasil titik konsentrasi misel kritis (CMC) sebagai berikut : Nilai CMC untuk etanolamida dan dietanolamida sebelum hidroksilasi berada pada konsentrasi 4% dengan nilai tegangan permukaan 65,48 dyne/cm (CMC = 0,119 mol/L) dan 63,14 dyne/cm (CMC = 0,1042 mol/L). Sedangkan Nilai CMC untuk etanolamida dan dietanolamida sesudah hidroksilasi berada pada konsentrasi 4% dengan nilai tegangan permukaan 62,0 dyne/cm (CMC = 0,1056 mol/L) dan 60,82 dyne/cm (CMC = 0,093 mol/L).

Naiknya konsentrasi surfaktan dalam larutan air menyebabkan menurunnya tegangan permukaan larutan sampai konsentrasi tertentu hingga menjadi konstan. Penambahn surfaktan selanjutnya yang melebihi konsentrasi ini, maka akan mengaggregasi membentuk konsentrasi misel kritis (CMC). Berikut ditunjukkan grafik nilai tegangan permukaan vs logaritma konsentrasi senyawa (Gambar 4.14 dan 4.15).


(35)

Gambar 4.14. Grafik nilai tegangan permukaan (y) vs logaritma konsentrasi

senyawa N-bis-(2-hidroksietil) oleat dan N,N-bis-(2-hidroksietil) Oleat (x). y1= N-bis-(2-hidroksietil) oleat ; y2= N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat

Gambar 4.15 Grafik nilai tegangan permukaan (y) vs logaritma konsentrasi senyawa 9,10- dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat dan 9,10-dihidoksi-N,N-bis(2-hidroksietil stearat (x).

y1 = 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat; y2 = 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat

60 61 62 63 64 65 66 67 68 69

0 0,3 0,477 0,6 0,69 0,77

Te g a ng a n pe rm uk a a n (dy ne /c m ) Log konsentrasi y1 y2 56 58 60 62 64 66 68 70

0 0,3 0,477 0,6 0,699 0,77

Te g a ng a n pe rm uk a a n (dy ne /c m ) Log Konsentrasi y1 y2


(36)

Gambar 4.16 Grafik nilai tegangan permukaan (y) Vs Logaritma konsentrasi senyawa alkanolamida (x).

y1 = N-bis-(2-hidroksietil) oleat; y2= N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat; y3= 9,10–dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat y4=9,10- dihidroksi-N,N-bis-(2-9,10–dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat

Nilai tegangan permukaan dan CMC dari senyawa alkanolamida baik sebelum maupun sesudah hidroksilasi dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.16 berikut :

Tabel 4.7 Nilai Tegangan Permukaan dan Nilai CMC Alkanolamida

Alkanolamida Nilai tegangan

permukaan (dyne/cm)

Nilai CMC (mol/L)

N-bis-(2-hidroksietil) oleat 65,48 0,119

N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat 63,14 0,1042

9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat 62,0 0,1056 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat 60,82 0,093

Dari (Gambar 4.16) dan (Tabel 4.7) diatas, terlihat bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan maka kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena konsentrasi surfaktan berpengaruh terhadap pembentukan misel. Konsentrasi surfaktan semakin besar, maka tegangan permukaaan semakin rendah sehingga misel yang terbentuk juga semakin banyak sampai tegangan permukaan yang dihasilkan konstan pada suatu konsentrasi. Pada konsentrasi 1%

54 56 58 60 62 64 66 68 70

0 0,3 0,477 0,6 0,699 0,77

y1 y2 y3 y4 Tega n ga n P er mu k a a n ( d y n e/ cm) Log Konsentrasi


(37)

mulai terjadi penurunan tegangan permukaan sampai diperoleh titik awal CMC pada konsentrasi 3%.Pada konsentrasi 4%, 5% dan 6%, tegangan permukaan tidak mengalami penurunan ataupun disebut konstan (Anon, 2005; Porter, 1994).

- Harga CMC alkanolamina sebelum hidroksilasi a. N-bis-(2-hidroksietil) oleat

CMC = ant log 0,59 = 3,89 / 100 mL

= 3,89 / 100 mL

325

= 0,0119mol/ 100 mL mol

= 0,119 mol/L b. N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat

CMC = ant log 0,585 = 3,845/ 100 mL

= 3,845 / 100 mL 368

= 0,01044 mol

mol /100 mL = 0,1044 mol/L

c. 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat

CMC =

= 3,79/ 100 mL

= 3,79 / 100 mL

359

= 0,01056 mol/ 100 mL mol

= 0,1056 mol/L ant log 0,579

d. 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-hidroksietil) stearat

CMC = ant log 0,56 = 3,63 / 100 mL

= 3,63 / 100 mL

389

= 0,0093 mol/ 100 mL mol


(38)

4.2.6 Uji Titik Lebur

Uji titik lebur dilakukan untuk menganalisa kemurnian senyawa amida yang diperoleh. Pada umumnya titik lebur untuk oleamida 72oC-75oC. Dari hasil penelitian, diperoleh titik lebur senyawa etanolamida atau dietanolamida sebelum dihidroksilasi berada pada kisaran 85oC-91oC dan 130oC-134oC. Hal ini disebabkan etanolamida dan dietanolamida sebelum dihidroksilasi, yang sangat berpengaruh dalam titik lebur alkanolamida tersebut adalah rantai karbonnya. Menurut Krischenbaeur (1960) asam lemak selalu menunjukkan kenaikan titik cair dengan semakin panjangnya rantai karbon dimana bahan dasar yang digunakan untuk memperoleh senyawa alkanolamida adalah asam oleat dengan titik cair 14oC, dimana ikatan rangkap yang dimiliki oleh asam oleat tersebut juga berpengaruh dalam penurunan titik lebur. Sedangkan pada etanolamida dan dietanolamida sesudah hidroksilasi diperoleh titik lebur sebesar 56oC-64oC dan 42oC-45oC. Hal ini dikarenakan etanolamida dan dietanolamida sesudah dihidroksilasi, yang sangat berpengaruh dalam titik lebur alkanolamida tersebut adalah jumlah gugus hidroksi yang melekat pada alkanolamida yang diperoleh dimana semakin banyak jumlah gugus hidroksi dalam suatu amida maka kepolaran dari amida tersebut juga semakin besar. Bahan dasar yang digunakan adalah asam oleat dengan kadar 85,9%-88% dimana asam oleat ini jika mengalami epoksidasi yang diikuti dengan hidrolisis maka akan menghasilkan asam stearat yang tidak memiliki ikatan rangkap dengan titik lebur sebesar 70oC (Ketaren, 2008; Tambun, 2006).


(39)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Senyawa alkanolamida turunan asam oleat dapat disintesa dari metil oleat maupun metil-9,10-dihidroksi stearat dengan maupun dietanolamina menghasilkan senyawa alkanolamida dengan rendemen masing-masing 81,1%, 74,2%, 83,7% dan 78%.

2. Dari hasil analisa penentuan tegangan permukaan, maka diperoleh hasil titik konsentrasi misel kritis (CMC) sebagai berikut : nilai CMC untuk N-bis-(2-hidroksietil) oleat, N,N-bis-(2-N-bis-(2-hidroksietil) oleat, 9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat dan 9,10-dihidroksi-N,N-bis-(2-9,10-dihidroksi-N-bis-(2-hidroksietil) stearat adalah masing-masing sebesar 0,119 mol/mL 65,48 dyne/cm), 0,1044 mol/mL (63,14 dyne/cm), 0,1056 mol/mL(62,0 dyne/cm) dan 0,093 mol/mL (60,82 dyne /cm).

5.2 Saran

Diharapakan kepada peneliti berikutnya untuk melakukan sintesa senyawa alkanolamida dengan variasi asam lemak lainnya. Demikian juga untuk melakukan pengujian dari bahan hasil sintesa pembuatan material untuk diaplikasikan dalam bahan surfaktan.


(40)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak merupakan salah satu kelompok yang termasuk golongan lipida. Satu sifat yang khas dan mencirikan golongan lipida (termasuk lemak dan minyak) adalah daya larutnya dalam pelarut organik (misalnya eter, benzen, chloroform) atau sebaliknya ketidak larutannya dalam pelarut air. Lemak dan minyak secara kimiawi adalah trigliserida yang merupakan bagian terbesar dari kelompok lipida. Trigliserida ini merupakan senyawa hasil kondensasi satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak (Sudarmadji dan Haryono, 1989).

O

O C

C O

O

R1

R2

H+, OH

-(R1), (R2) dan R3-C +

OH

OH

OH O C

O R3

O

OH

Trigliserida (Lemak) Asam Lemak Gliserol

Gambar 2.1. Hasil Hidrolisis Trigliserida menjadi Asam Lemak dengan Gliserol.

(Bahl, 2004).

Lemak dan minyak tidak larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol, terutama minyak dengan berat molekul rendah, kecuali minyak jarak (castor oil). Minyak dan lemak dapat larut sempurna dalam eter, hidrokarbon, benzena, karbon disulfida dan pelarut-pelarut organik lainnya. Kelarutan minyak atau lemak dalam suatu pelarut ditentukan oleh sifat polaritas asam lemaknya. Asam lemak yang bersifat polar cenderung larut dalam pelarut polar, sedangkan asam lemak non polar larut


(41)

dalam pelarut non polar. Sebagai contoh ialah asam lemak berantai pendek (misalnya asam butirat) pada lemak susu bersifat polar cenderung larut dalam air sedangkan asam lemak berantai karbon panjang tidak larut dalam air. Sifat dan daya kelarutan ini digunakan sebagai dasar praktek pada pengujian-pengujian analitis dan ekstraksi minyak dengan pelarut. Sifat minyak dan lemak yang larut dalam pelarut tertentu dipergunakan dalam pengolahan minyak secara komersil. Daya kelarutan asam asam lemak biasanya lebih tinggi dari komponen gliseridanya dan dapat larut dalam pelarut organik yang bersifat polar dan non polar. Semakin panjang rantai karbon maka minyak dan lemak tersebut semakin sukar larut (Ketaren, 2008).

2.2 Oleokimia

Oleokimia pada dasarnya merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari trigliserida menjadi asam lemak dan gliserin serta turunan asam lemak baik dalam bentuk ester, amida, sulfat, sulfonat, alkohol, alkoksi, maupun sabun. Asam lemak bersama-sama dengan gliserol merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak ini mudah dijumpai dalam minyak masak (minyak goreng), margarin atau lemak hewan dan dapat menentukan nilai gizinya. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas (karena lemak yang terhidrolisis) maupun yang terikat dari gliserida. Asam lemak merupakan salah satu dasar oleokimia (Tambun, 2006).

Oleokimia merupakan turunan gliserol dengan asam lemak yang berubah dalam bentuk turunannya yang digunakan baik sebagai surfaktan, detergen, polimer, aditif bahan bakar dan sebagainya. Bahan dasar oleokimia seperti gliserol, asam lemak, amina asam lemak dan alkohol dapat diperoleh dengan mengubah lipida baik yang berasal dari hewan maupun tumbuhan menjadi gliserol dan turunan asam lemak. Penggunaan terbesar dari asam lemak adalah dengan mengubahnya menjadi alkohol asam lemak, plastik dan nilon (hampir mencapai 40% dari total penggunaannya). Penggunaan terbesar berikutnya sebesar 30% untuk dijadikan sabun, detergen, kosmetik. Asam lemak juga digunakan sebagai bahan dasar pembuatan resin dan cat


(42)

sekitar 15% sisanya digunakan dalam industri pembuatan ban, tekstil, kulit kertas, pelumas dan lilin (Richtler and Knaut, 1984).

Tabel 2.1. Diagram Alur Proses Oleokimia dari Bahan Dasar Minyak atau Lemak menjadi Oleokimia dan Turunan Oleokimia

Bahan Dasar Bahan Dasar Oleokimia Turunan

Oleokimia

Minyak / Lemak

Asam Lemak Diikuti reaksi-reaksi

seperti : Aminasi Klorinasi Dimerisasi Epoksidasi Etoksidasi Guebetisasi Hidrogenasi Kuarternisasi Sulfasi

Transesterifikasi Esterifikasi Saponifikasi Amina Asam Lemak

Alkohol Asam Lemak

Amina Asam Lemak

Metil Ester Asam Lemak

Propilen, Parafin dan Etilen

Sumber : Richtler and Knaut, 1984

: Alami : Sintesis

Gliserol

2.3 Asam Lemak dan Turunannnya

Asam lemak merupakan asam karboksilat alifatis berantai panjang. Asam yang mempunyai berat molekul yang paling besar didalam molekul gliserida juga merupakan bagian yang reaktif. Hingga dapat dimengerti bahwa asam lemak mempunyai pengaruh besar terhadap lemak dan minyak. Asam lemak yang menyusun lemak ini dapat dibedakan antara asam lemak jenuh dan tak jenuh. Asam lemak


(43)

disebut jenuh bila semua atom C dalam rantainya diikat tidak kurang daripada dua atom H, hingga dengan demikian tidak ada ikatan rangkap. Asam-asam lemak jenuh yang telah dapat diidentifikasi sebagai bagian dari lemak mempunyai atom C4 hingga

C26. C H H C C H H H H C O OH

Adapun struktur umum rantai karbon dari asam lemak jenuh adalah sebagai berikut:

Asam-asam lemak yang didalamnya rantai karbonnya mengandung ikatan rangkap. Derajat ketidakjenuhan dari minyak tergantung pada jumlah rata-rata dari ikatan rangkap didalam asam lemak.Pada asam lemak tak jenuh, masih dibedakan antara asam lemak yang mempunyai bentuk “non-conjugated” yaitu ikatan rangkap dalam rantai C selalu dipisahkan oleh dua ikatan tunggal. Bentuk yang lain adalah asam yang “conjugated”, dimana antara atom-atom C tertentu terdapat ikatan tunggal dan ikatan rangkap berganti-ganti.

C

H

H

C C C

H H O

OH

Rantai karbon dari asam lemak tak jenuh

C C H

H

C H H

C C C

H H H C H C H H C C H C H H C H C C H O OH C H O OH

Rantai asam lemak yang “non-conjugated” Rantai asam lemak yang (tak terkonjugasi) “conjugated” (terkonjugasi)

(Sastrohamidjojo, 2005).

Hampir semua asam lemak yang terdapat dalam alam mempunyai jumlah atom karbon yang genap karena asam ini dibiosintesis dari gugus asetil berkarbon dua dalam asetil koenzim A.

dua atom karbon CH3C

O

SCoA

8

asetil koenzim A

banyak tahap

CH3(CH2)14CO2H asam palmitat

jumlah atom karbon genap


(44)

Asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang penting, terdapat dalam minyak dan lemak dapat dilihat dalam tabel 2.2. dan 2.3 berikut:

Tabel 2.2 Asam Lemak Jenuh yang Terdapat dalam Lemak dan Minyak

Asam lemak jenuh Rumus kimia Sumber (Asal)

Titik cair (oC)

n- Butirat CH3(CH2)2COOH lemak susu sapi, mentega -7,6

n-Kaproat CH3(CH2)4COOH

mentega, minyak kelapa, minyak

kelapa sawit -1,5

n-Kaprilat CH3(CH2)6COOH Domba 1,6

Kaprat CH3(CH2)8COOH

susu sapi dan kambing, minyak kelapa, minyak kelapa sawit 31,5

Laurat CH3(CH2)10COOH

susu, minyak inti sawit, spermaseti, mnyak laural, minyak kelapa 44

Miristat CH3(CH2)12COOH

minyak pala, susu ternak, dan lemak nabati; minyak babi dan minyak ikan hiu

58

Palmitat CH3(CH3)14COOH

sebagian besar terdapat dalam lemak hewani dan minyak nabati 64

Stearat CH3(CH3)16COOH Domba 69,4


(45)

Tabel 2.3 Asam Lemak Tidak Jenuh yang Terdapat dalam Lemak dan Minyak

Asam lemak tak jenuh

Rumus kimia Sumber

(asal)

Titik cair (oC)

Palmitoleat CH3(CH2)5-CH(CH2)7COOH

minyak kacang dan jagung

33

Oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH

disebagian besar minyak dan lemak

14

Linoleat CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH

Minyak biji kapas, biji lin, biji poppy

-11

Linolenat CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COO

H

Minyak perilla, biji lin

-

Sumber : Ketaren, 2008

(Ketaren, 2008).

2.3.1 Asam Oleat

Asam oleat merupakan penyusun dari lemak-lemak tanaman atau hewan. Asam oleat dapat dipisahkan dari zat tersebut dengan cara hidrolisis, sebagian asam oleat berada bersama-sama dengan asam stearat dan asam palmitat. Struktur asam oleat adalah CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH. Asam lemak yang tidak jenuh ini masing-masing

mempunyai bentuk cis yaitu asam oleat dan trans dari asam elaidat sering juga disebut asam allooleat. Asam oleat membentuk cis karena mempunyai titik lebur yang rendah dan pembakaran yang tinggi. Bentuk struktur asam oleat dalam bentuk cis dan trans yakni sebagai berikut:


(46)

C C H

(CH2)7COOH

H CH3(CH2)7

C C

H (CH2)7COOH

H

CH3(CH2)7

Asam oleat Asam oleat

(Asam cis-9-oktadekanoat) (Asam trans-9-oktadekanoat) (Sastrohamidjojo, 2005). Konfirmasi disekitar ikatan rangkap dalam asam lemak alamiah adalah cis,

suatu konfigurasi yang menyebabkan titik leleh lemak itu rendah. Asam lemak jenuh mebentuk rantai “zig-zag” yang dapat cocok satu sama lain secara mampat, sehingga gaya tarik van der waalsnya tinggi, oleh karena itu lemak-lemak jenuh itu bersifat padat. Jika beberapa ikatan rangkap cis terdapat dalam rantai, molekul ini tak dapat membentuk kisi yang rapid dan mampat, tetapi cenderung untuk melingkar (Fessenden dan Fessenden, 1999).

Adapun sifat fisika dan sifat kimia dari asam oleat adalah seperti pada tabel 2.4 dan 2.5 berikut :

Tabel 2.4 Sifat Fisik Asam Oleat

Sifat Asam Oleat

Berat molekul Wujud

Kelarutan

Titik lebur Titik didih Densitas Viskositas Panas sesifik

282,4614 g/mol

Cairan berwarna,kuning pucat atau kuning kecokelatan

Tidak larut dalam air, larut dalam alkohol,eter dan beberapa pelarut organik 13- 14 oC

360(760 mmHg) 0,895 g/mol

27,64(25 ) ; 4,85(90) 2,046


(47)

Tabel 2.5 Sifat Kimia Asam Oleat

( Sumber : www. Alifelessweet .blogspot. com).

2.3.2 Ester Asam Lemak

Ester adalah turunan asam karboksilat yang dibentuk oleh gugus alkoksi dan asil merupakan salah satu dari kelas-kelas senyawa organik yang sangat berguna, dapat diubah melalui berbagai proses menjadi aneka ragam senyawa lain (Fessenden dan Fessenden, 1999). Rumus umum ester adalah RCOOR’

Sifat Asam Oleat

, merupakan senyawa seperti garam yang berasal dari asam karboksilat. Sama dengan asamnnya, tetapi kata asam diganti nama gugus alkilnya yang menggantikan atom hidrogen dari gugus karboksilnya. Contohnya adalah metil asetat atau metil etanoat , propil asetat. Pada umumnya terdapat pada organisme hidup (Besari dkk, 1982). Ester-Ester umumnya mempunyai bau yang enak, seperti rasa buah dan wangi buah-buahan atau bagian tumbuhan yang lain yang memiliki aroma bau yang enak (Hart, 1990).

Ester asam lemak terdapat dalam bentuk ester antara gliserol dengan asam lemak ataupun dengan phospat seperti phospolipid. Disamping itu ada juga ester antara asam lemak dengan alkoholnya yang membentuk monoester terdapat pada minyak jojoba. Ester asam lemak sering dimodifikasi baik untuk bahan makan maupun untuk bahan surfaktan, aditif, detergen dan lain sebagainya (Endo et al, 1997).

Karsinogenitas Batas eksploisivitas Kereaktifan

Produk samping yang berbahaya Polimerisasi yang berbahaya

Tidak karsinogen LEL :3,3% ; UEL:19%

Reaktif terhadap kelembaban, logam alkali, amonia, agen pengoksida, peroksida

Karbon dioksida, karbon monoksida Tidak akan muncul


(48)

Senyawa ester dapat dibentuk dengan cara :

a. Esterifikasi yaitu reaksi antara asam karboksilat dengan alkohol menghasilkan ester dengan hasil samping air.

R C

O

OH + R' C

O

O R' + H2O

R OH

b. Interesterifikasi yaitu reaksi antara ester yang satu dengan ester yang lain menghasilkan ester yang baru.

R C

O

O R + R" C O

O R

' *

R C

O

O R + R C O

O R

* " '

c. Alkoholisis yaitu reaksi antara ester dengan alkohol menghasilkan suatu ester baru.

R C

O

OR' + R" OH R C

O

OR" + R' OH d. Asidolisis yaitu reaksi pembentukan suatu ester baru antara asam karboksilat

dengan ester yang lain .

R C

O

OR' + R C

O

OH R C

O OR

" " ' + R C

O OH

Ketiga reaksi yang terakhir diatas dikelompokkan menjadi reaksi transesterfikasi (Gandhi, 1997).

2.3.3 Epoksidasi Asam Lemak

Epoksida (oksirana) ialah eter siklik dengan cincin beranggota tiga yang mengandung satu atom oksigen (Hart, 1990). Senyawa oksida pada sintesa organik merupakan zat antara yang potensial dimanfaatkan untuk beragam bentuk senyawa dengan berbagai keperluan sehingga penelitian tentang epoksidasi baik kondisi reaksi, berkelanjutan hasil reaksi maupun manfaat hasil reaksi terus dikembangkan (Wisewan, 1983).

Epoksidasi terhadap ikatan rangkap adalah salah satu modifikasi kimia

terhadap senyawa yang memiliki ikatan π. Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi


(49)

berbagai senyawa kimia yakni alkohol, alkohol amin, senyawa karbanil, ester, bahan polimer. Minyak nabati yang memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh merupakan sumber menarik untuk diperbaharui dalam menghasilkan produk baru yang berguna tetapi kereaktifannya perlu ditingkatkan melalui penambahan gugus fungsi kedalam molekul asam lemaknya, dengan demikian melalui berbagai reaksi kimia maupun biokimia telah dilakukan berbagai cara pengubahan menjadi produk yang lebih berharga (Charlon dan Chang, 1985).

Epoksidasi dari minyak nabati merupakan hal yang penting dan sangat berguna terutama dalam hal sebagai stabilisator dan plastisasi bahan polimer. Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi dan cincin oksiran, epoksidasi juga dapat dipakai untuk berbagai bahan kimia yaitu alkohol, glikol, alkanolamin, senyawa karbonil, senyawa olefin dan polimer seperti poliester, poliuretan (Goud et al, 2006). Dalam proses industri, hasil epoksidasi terhadap asam lemak beserta turunanya telah umum digunakan sebagai plastizer dan stabilizer dalam pembuatan polimer (Lutz, 1980). Adapun reaksi epoksidasi terhadap gugus olefin pada senyawa alkena dan menghasilkan senyawa diol adalah sebagai berikut :

+

H

2

O

2

H

C

O

O OH

+

H

2

O

Peroksida

Asam performat/peracid

H

C O

O OH

+

HC CH

+

H

C O OH

Asam formiat

H

C O OH

Asam formiat

Asam performat/peracid

olefin

H C

O

Epoksida

H

+

H

2

O

H C HC

OH Diol OH H C H C O Epoksida H C

Gambar 2.2 Reaksi pembentukan dioldenganepoksidasi dan hidrolisis (Goud et al, 2006).


(50)

2.4 Senyawa Amina

Senyawa amina dan turunannya terdapat tersebar di alam. Metil dan etil amina terdapat pada ikan asin, tri metil amina terdapat pada tets dari gula beet disamping itu di dan tri metil amina terdapat pada ikan laut yang busuk. Sifat fisika dari amina yakni metil amina, di etil amina dan tri etil amina adalah suatu gas, sedikit larut dalam air. Metil amina baunya seperti ikan, merupakan gas yang sukar terbakar. Amina tersusun dari gugus alkil yang rantai karbonnya panjang berupa larutan padat yang sukar larut dalam air dan juga berat molekulnya (BM) tinggi (Besari dkk, 1982).

Amina dapat berstruktur primer, sekunder dan tersier. Amina adalah turunan senyawa organik dari amonia. Amina dapat disebut primer (1o), sekunder (2o) atau tersier (3o

Amoniak Amina 1o Amina 2o

Amina 3o

H N

H

H R N

H

H R N

H

R' R N

R R " ) tergantung pada jumlah gugus R yang melekat pada nitrogen.

(Marham, 2010). Istilah primer, sekunder atau tersier disingkat 1o,2o,3o

1. Reaksi dari alkil halida dengan amoniak : atom hidrogen dalam amoniak dapat digantikan oleh kelompok alkil dengan pemanasan larutan alkohol dari amoniak dengan alkil halida. Ini adalah metode yang kurang baik karena campuran dari amina primer, sekunder, tersier dengan garam kuartener diproduksi dan reaksi ini sukar diawasi.

. Primer, sekunder dan tersier mempunyai arti yang sangat berbeda dengan alkohol. Pada alkohol jumlah gugus karbon yang melekat pada karbon pengemban fungsi hidroksil sedangkan pada amina merujuk pada jumlah gugus karbon yang melekat pada nitrogen amina (Wilbraham, 1992).


(51)

NH3 RX

HX R NH2

RX HX

R2NH RX HX

R3N RX R4NX Amina 1o Amina 2o Amina 3o Garam kuartener 2. Reaksi dari alkohol dengan ammonia : secara umum, amina primer diperoleh

dengan mereaksikan alkohol primer amina dengan bantuan katalis alumina pada suhu 350o

R OH + NH3 Al2O3 R NH2 + H2O

C.

3. Reduksi dari campuran nitro : amina primer dapat diperoleh dengan mereduksi nitro alkana dengan Sn/HCl; H2/Ni atau LiAlH

R NO2

LiAlH4

R NH2

H2/Ni

Sn/HCl atau

4.

4. Reduksi dari nitril : amina primer dapat dibentuk dengan mereduksi nitril H2/Ni atau LiAlH

R X R C N R CH2NH2

NaCN

LiAlH4

H2/Ni 4.

( Bahl, 2004).

2.4.1 Etanolamina

Etanolamina (NH2-(CH2)2-OH) merupakan cairan yang higroskopis, kental, berbau

amoniak, mampu mengabsorpsi CO2 dan larut dalam air, metanol serta aseton.

Etanolamina dikenal juga dengan nama 2-aminoetanol, monoethanolamina, etilolamina, β-Aminoetilalkohol dan β-hidroksiletillamina. Etanolamina dapat digunakan untuk menghilangkan CO2, H2S dari gas alam ataupun gas lainnya.

Etanolamina dapat juga digunakan sebagai sintesis pembuatan surfaktan (Anonimous, 1976).


(52)

2.4.2 Dietanolamina

Pada umumnya, dietanolamina berbentuk cairan kental, sedikit berbau amoniak dan larut dalam air, metanol, serta aseton. Dietanolamina diproduksi bersamaan dengan monoetanolamina dan trietanolamina melalui amonolisis etilen oksida. Dietanolamina dapat digunakan sebagai emulsifier, dalam pembuatan surfaktan, agen pendispersi, dalam bidang kosmetik dan juga dalam bidang farmasi (Anonimous,1976).

Dietanolamina adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Dietanolamina juga dikenal dengan nama bis-(hidroksietil)-amina, dietilolamina, hidroksidietilamina, diolamina dan 2,2-iminodietanol.

Sifat-sifat dietanolamina adalah sebagai berikut : a. Rumus molekul : C4H11NO

b. Berat molekul : 105,1364 g/mol

2

c. Densitas : 1,090 g/cm d. Titik leleh : 28ºC (1atm)

3

e. Titik didih : 268,8ºC (1atm) f. Kelarutan : H2

Dietanolamina banyak digunakan dalam produk kosmetik dan detergen karena mampu menciptakan tekstur yang lembut dan foaming agent (Wikipedia, 2007).

O, alkohol, eter

2.5Alkanolamida

Amida umumnya dibuat dengan jalan mereaksikan suatu klorida asam dengan amina, amonia, amina monosubstitusi atau amina disubstitusi. Pemberian nama senyawa amida yaitu dengan mengganti akhiran -oat atau -at dari asam karboksilat dengan amida. Jika atom nitrogen suatu amida berikatan dengan gugus alkil atau aril, maka gugus yang berikatan pada amida ditunjukkan dengan N- (Riswiyanto, 2009).


(53)

R C O

NH2 R C

O

NH R' R C

O N R'

R"

Amida Primer Amida Sekunder Amida Tersier

(Ouellette, 1994).

Amida juga dapat dibuat dari reaksi ammonia atau amina dengan turunan asam karboksilat, ester terutama metil ester dan anhidrida asam. Jika ester digunakan sebagai bahan baku, terbentuk alkohol sebagai hasil samping reaksi. Jika digunakan anhidrida asam, hasil sampingnya adalah asam karboksil (Wilbraham, 1992).

Nama amida sama dengan asamnya, dengan menghilangkan kata asam dan menambah akhiran amida atau sesuai dengan nama alkananya diberi akhiran amida.

Contohnya :

CH3 C

NH2

C2H5 C

NH2 O O

- asetamida - propionamida - etanamida - propanamida Sifat-sifat fisika :

- Pada umumnya berupa zat padat yang tidak berwarna, kecuali formamida (H-CO-NH2

H

3

C

CH2 C C

O

NH2 C

Br

CH3 CH3

H ) yang berupa cair.

- Asetamida merupakan senyawa higroskopis, dapat larut dalam air - Dapat berfungsi sebagai obat penenang. Misalnya Neodorm.


(54)

Pembuatan amida antara lain :

a. Reaksi asam karboksilat dengan amoniak

HOH CH3 C

O OH

+ NH3 CH3 C

OH OH NH2

CH3 C O

NH2 +

b. Dalam perdagangan didapat dari garam amoniumnya dipanaskan pada temperatur 100 -200 oC

100-200 oC

H2O +

CH3 C O

ONH4

CH3 C

O

NH2

c. Dengan mereaksikan anhidrida asam dengan amoniak

H NH2

+ H3C C

O

NH2

+ CH3 C

O

OH

H3C C

O O C

O H3C

d. Dengan menghidrolisa senyawa nitril, yakni pada reaksi sebelum terbentuknya asam karboksilat, terbentuk dahulu amida sebagai salah satu hasil antara.

HOH

+

+ H2O

CH3 C CH

3 C

O

NH2

CH3 C

O

NH2

CH3 C

O OH N

+ NH3

(Besari dkk, 1982).

Alkanolamida adalah surfaktan bukan ionik dimana gugus hidroksil yang dimilikinya tidak cukup hidrofilik untuk membuat alkanolamida larut dalam air. Alkanolamida digunakan sebagai bahan pembusa (foam boosting) dalam pembuatan shampoo (Nuryanto, 2002). Untuk membuat senyawa alkanolamida dengan menggunakan dietanolamina melalui reaksi amidasi langsung dengan trigliserida akan menghasilkan senyawa alkanolamida yang memiliki dua gugus hidroksi (poliol) seperti yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya (Anasri, 2009).


(55)

2.5.1 Monoetanolamida

Monoetanolamida asam lemak memiliki banyak kegunaan khususnya dalam detergen dan kosmetik. Fungsi utama dari monoetanolamida adalah sebagai penstabil busa, meningkatkan viskositas dan emulsifier. Secara komersial metil ester asam lemak atau trigliserida dengan monoetanolamina dapat menghasilkan monoetanolamida pada temperatur dan tekanan tetentu seperti gambar 2.3 berikut (Rahman, 2003) :

+ O O C C O O R1 R2 O C O R3 OH OH OH R C O N

CH2 CH2 OH

+ 3

H2N

H2 C H2 C OH 3 H

Trigliserida Monoetanolamina Monoetanolamida Gliserol

Gambar 2.3. Reaksi Pembentukan Monoletanolamida.

(Hughes and Lew, 1970).

2.5.2 Dietanolamida

Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama kritchevsky sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150o

+ O O C C O O R1 R2 O C O R3 OH OH OH R C O N

CH2 CH2

CH2 CH2

OH

OH

+ HN

CH2

CH2 CH2

CH2 OH

OH

3 3

C selama 6-12 jam seperti pada gambar 2.4 berikut (Herawan, 1999) :

Trigeliserida Dietanolamina Dietanolamida Gliserol

Gambar 2.4. Reaksi Pembentukan Dietanolamida.


(56)

2.6 Tegangan Permukaan dan Surfaktan

Tegangan pemukaan (η) suatu cairan dapat didefinisikan banyaknya kerja yang

dibutukan untuk memperluas permukaaan cairan persatu satuan luas. Molekul yang ada didalam cairan akan mengalami gaya tarik menarik (gaya Van Der Waals) yang sama besarnya kesegala arah. Namun molekul pada permukaaan cairan akan mengalami resultan gaya yang mengarah kedalam cairan itu sendiri karena tidak ada lagi molekul diatas permukaan dan akibatnya luas permukaan cairan cenderung untuk menyusut. Pengukuran tegangan permukaan dengan metode cincin du Nouy didasarkan atas penentuan gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat cincin platina atau iridium dari permukaan cairan. Gaya ini diukur dengan jalan mencelupkan cincin yang digantung pada lengan neraca dan perlahan-lahan mengangkatnya sampai cincin tersebut meninggalkan cairan. Metode ini tidak hanya dapat digunakan untuk mengukur tegangan permukaan cairan udara, tetapi juga digunakan untuk mengukur tegangan antar muka cairan-cairan seperti tegangan antar muka (minyak-air, kloroform-air).. Gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat cincin dari permukaan cairan dapat dihitung dari persamaan :

Gaya = 4πRɤ

Dengan R adalah jari-jari cincin. Keliling 2πR harus dikalikan dua mengingat bahwa ada batas dalam dan batas luar antara cairan dan kawat. Perumusan tensiometer du Nouy ditulis dalam persamaan :

skala yang terbaca 2 x keliling lingkaran

x Faktor koreksi =

η

Faktor koreksi diperoleh dengan menghitung nilai tegangan permukaan teori air (72,75 dyne/cm) dibagikan dengan tegangan permukaan air praktek (Tony, 1993).

Surfaktan merupakan suatu molekul dengan rantai hidrokarbon panjang dengan gugus ujung bersifat polar atau ionik. Bagian rantai hidrokarbon dari molekul ini bersifat hidrofobik dan larut dalam cairan non polar, sedangkan gugus ujung polar/ionik bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Berdasarkan klasifikasinya surfaktan dapat dibagi menjadi dua kelompok bagian yaitu surfaktan yang larut dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air. Struktur molekul surfaktan terdiri atas dua bagian, yaitu,bagian ”kepala” dan bagian “ekor”. Bagian “kepala” berupa molekul


(57)

yang bersifat terlarut dalam air namun tidak dapat larut dalam minyak, disebut bagian hidrofilik. Bagian kepala dapat berupa anion, kation atau non ionik. Bagian ”ekor” berupa rantai hidrokarbon yang bersifat larut dalam minyak namun tidak larut dalam air dan disebut sebagai bagian hidrofobik. Apabila terdapat kotoran yang mengandung minyak, surfaktan akan mengelilingi kotoran. Bagian yang bermuatan akan terdapat dipermukaan kotoran sehingga menyebabkan kotoran menjadi bermuatan (Fessenden dan Fessenden, 1999).

Surfaktan adalah senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan air/larutan. Aktivitas surfaktan diperoleh karena memiliki sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki sifat polar (gugus hidrofilik) dapat dengan mudah larut didalam air dan sifat non polar (gugus hidrofobik) yang mudah larut dalam minyak. Jika proses interaksi dengan fasa air lebih kuat dibandingkan dengan fasa minyak, hal ini menunjukkan bahwa jumlah gugus hidrofiliknya lebih banyak. Sebagai akibatnya, tegangan permukaan air akan menjadi lebih rendah sehingga dengan mudah menyebar dan menjadi fasa kontinu. Demikian sebaliknya, jika interaksi dengan fasa minyak lebih kuat dibandingkan dengan fasa air, yang diakibatkan oleh jumlah gugus hidrofobik yang lebih banyak sehingga akan mengakibatkan tegangan permukaaan minyak menjadi lebih rendah dan dengan mudah menyebar dan menjadi kontinu. Bila penambahan surfaktan melebihi konsentrasi kritis tertentu, maka surfaktan akan mengalami agregasi dan mebentuk struktur misel. Penambahan surfaktan tersebut tidak akan mempengaruhi tegangan permukaan walaupun konsentrasi surfaktan terus ditingkatkan. Konsentrasi kritis terbentuknya misel ini disebut sebagai Critical Consentration Micelle (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Penambahan konsentrasi surfaktan lebih tinggi dari CMC tidak akan menurunkan tegangan permukaan, yang menunjukkan bahwa permukaan cairan telah menjadi jenuh, dimana misel tidak terbentuk dan berada dalam kesetimbangan dinamis dengan monomernya (Genaro, 1990).

Critical Micelle Concentration atau CMC merupakan salah satu sifat penting surfaktan yang menunjukkan batas konsentrasi kitis surfaktan dalam suatu larutan. Diatas konsentrasi tersebut akan terjadi pembentukan misel atau agregat. Pada prakteknya kemampuan optimum surfaktan ditetapkan disekitar harga CMC.


(1)

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION SOME ALKANOLAMIDE OLEIC ACID DERIVATIVES

ABSTRACT

Alkanolamide has been synthesized before and after hydroxylated by amidation methyl oleate or methyl-9,10-dihydroxy stearat with ethanolamine or diethanolamine using a catalyst NaOCH3 at 80-90 oC produce yield 81,1%, 74,2%, 83,7% and 78%

respectively. The alkanolamide compound was analyzed melting point apparatus determination, CMC through ring du Nouy method and analysing with FT-IR spectroscopy. The melting point for N-bis-(2-Hidroxyethyl) Oleate, N,N-bis-(2-hydroxyethyl) oleate, dihydroxy-N-bis-(2-hidroxyethyl) stearate and 9,10-dihydroxy-N,N-bis-(2-hydroxyethyl) stearate are 85-91oC, 130-135oC, 55-59oC and 42-45oC respectively. The CMC value of these products are 0,0119 mol/L, 0,1044 mol/L, 0,1056 mol/L and 0,093 mol/L respectively. Analysis FT-IR spectroscopy of N-bis-(2-hidroxyethyl) oleate are 3294,9 cm-1, 1644,2 cm-1, 1557,41 cm-1 show characteristic absorption of secondary amide; for N,N-bis-(2-hydroxyethyl) oleat are 3401,26 cm-1, 1557,27 cm-1, show characteristic absorption of tertier amide, for 9,10-dihydroxy-N-bis-(2-hydroxyethyl) stearate are 3295,10 cm-1, 1642,11 cm-1, 1555,15 cm-1 show characteristic absorption of secondary amide and 9,10-dihydroxy-N,N-bis-(2-hydroxyethyl) stearate are 3349,18 cm-1, 1618,20 cm-1 show characteristic absortion of tertier amide.


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan iii

Pernyataan iv

Penghargaan v

Abstrak vii

Abstract viii

Daftar Isi ix

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Bab 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 3

1.3. Pembatasan Masalah 3

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 4

1.6. Metodologi Penelitian 4

1.7. Lokasi penelitian 5

Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lemak dan Minyak 6

2.2. Oleokimia 7

2.3. Asam Lemak dan Turunannya 9

2.3.1. Asam Oleat 11

2.3.2. Ester Asam Lemak 13 2.3.3. Epoksida Asam Lemak 14

2.4. Senyawa Amina 16

2.4.1. Etanolamina 17

2.4.2. Dietanolamina 18

2.5. Alkanolamida 18

2.10.1. Monoetanolamida 21

2.10.2. Dietanolamida 21

2.6. Tegangan Permukaan dan Surfaktan 22

Bab 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat 26

3.2. Bahan 27

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pembuatan Metil Oleat dari Asam Oleat 28 3.3.2. Pembuatan Alkanolamida sebelum Hidroksilasi


(3)

3.2.2.1. Amidasi Metil Oleat dengan Dietanolamina 29 3.3.3. Pembuatan Metil-9,10-Dihidroksi Stearat 29 3.3.4. Pembuatan Alkanolamida sesudah Hidroksilasi

3.3.4.1. Amidasi Metil-9,10-Dihidroksi Stearat 30 dengan Etanolamina

3.3.4.2. Amidasi Metil-9,10-Dihidroksi Stearat 30 dengan Dietanolamina

3.2.5. Analisa Hasil Reaksi

a. Analisa dengan Spektroskopi FT-IR 31

b. Penentuan Titik Lebur 31

c. Penentuan Konsentrasi Misel Kritis dengan Metode 31 Cincin du Nouy

d. Analisis Bilangan Iodin 31 3.3. Bagan Penelitian

3.4.1. Pembuatan Metil Oleat dengan Asam Oleat 33 3.4.2. Pembuatan Alkanolamida sebelum Dihidroksilasi

3.4.2.1. Amidasi Metil Oleat dengan Etanolamina 34 3.4.2.2. Amidasi Metil Oleat dengan Dietanolamina 35 3.4.3. Pembuatan Metil 9,10-Dihidroksi Stearat 36 3.4.4. Pembuatan Alkanolamida Sesudah Hidroksilasi

3.4.4.1. Amidasi Metil 9,10-Dihidroksi Stearat 37 dengan Etanolamina

3.4.4.2. Amidasi Metil 9,10-Dihidroksi stearat 38 dengan Dietanolamina

Bab 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Pembuatan Metil Oleat dengan Asam Oleat 39 4.1.2. Pembuatan Senyawa Alkanolamida sebelum Hidroksilasi

4.1.2.1. Pembuatan N-Bis-(2-Hidroksietil) Oleat 40 4.1.2.2. Pembuatan N,N-Bis-(2-Hidroksietil) Oleat 41 4.1.3. Pembuatan Metil 9,10-dihidroksi Stearat 42 4.1.4. Pembuatan Senyawa Alkanolamida Sesudah Hidroksilasi

4.1.4.1. Pembuatan 9,10-Dihidroksi-N-Bis-(2-hidroksietil) 43 Stearat

4.1.4.2. Pembuatan 9,10-Dihidroksi-N,N-Bis-(2-Hidroksietil) 44 Stearat 4.1.5. Hasil Pengujian Bilangan Iodin Metil Oleat dan 45

Metil 9,10-Dihidroksi Stearat

4.1.6. Uji Titik Lebur 46

4.1.7. Hasil Uji CMC (Critical Micelle Concentration) 46 Alkanolamida dengan Menggunakan Alat Tensiometer

4.2. Pembahasan

4.2.1. Pembuatan Metil Oleat dari Asam Oleat 49 4.2.2. Pembuatan Alkanolamida sebelum Dihidroksilasi 4.2.2.1. Pembuatan Senyawa N-Bis-(2-Hidroksietil) Oleat 50

4.2.2.2. Pembuatan Senyawa N,N-Bis-(2-Hidroksietil) Oleat 52 4.2.3. Pembuatan Metil 9,10-Dihidroksi Stearat 53 4.2.4. Pembuatan Senyawa Alkanolamida sesudah Hidroksilasi


(4)

4.2.4.1. Pembuatan Senyawa 9,10-Dihidroksi-N-Bis-(2- 55 Hidroksietil) Stearat 4.2.4.2. Pembuatan senyawa 9,10-Dihidroksi-N,N-Bis- 57 (2-Hidroksietil) Stearat

4.2.5. Penentuan Tegangan Permukaan 58

4.2.6. Uji Titik lebur 60

Bab 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 63

5.2. Saran 63


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Diagram Alur Proses Oleokimia dari Bahan Dasar Minyak 8 Atau Lemak menjadi Oleokimia dan Turunan Oleokimia

Tabel 2.2. Asam Lemak Jenuh yang Terdapat dalam Lemak dan 10 Minyak

Tabel 2.3. Asam Lemak Tidak Jenuh yang Terdapat dalam Lemak 11 Dan Minyak

Tabel 2.4. Sifat Fisika Asam Oleat 12 Tabel 2.5. Sifat Kimia Asam Oleat 13 Tabel 4.1. Tabel Data Hasil Uji Bilangan Iodin antara Metil Oleat 45

dan Metil 9,10-Dihidroksi Stearat

Tabel 4.2. Data Hasil Titik lebur Alkanolamida sebelum dan sesudah 46 Hidroksilasi

Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Tegangan permukaan Larutan N-bis- 47 (2-hidroksietil) Oleat

Tabel 4.4. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan Larutan N,N-Bis- 48 (2-Hidroksietil) Oleat

Tabel 4.5. Pengukuran Tegangan Permukaan Larutan 9,10-Dihidroksi 48 -N-Bis-(2-Hidroksietil) Stearat

Tabel 4.6. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan Larutan 9,10-Dihidroksi48 -N,N-Bis-(2-Hidroksietil) Stearat

Tabel 4.7. Nilai Tegangan Permukaan dengan NIlai CMC Alkanolamida 60


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Hasil Hidrolisis Trigliserida menjadi Asam Lemak dengan 6 Gliserol

Gambar 2.2. Reaksi Epoksidasi terhadap Gugus Olefin pada Senyawa 15

Alkena dan Menghasilkan Senyawa Diol Gambar 2.3. Reaksi Pembentukan Monoetanolamida 21

Gambar 2.4. Reaksi Pembentukan Dieatnolamida 22

Gambar 4.1. Spektrum FT-IR Metil Oleat 39

Gambar 4.2. Spektrum FT-IR Asam Oleat 40

Gambar 4.3. Spektrum FT-IR Etanolamida 41

Gambar 4.4. Spektrum FT-IR Dietanolamida 42

Gambar 4.5. Spektrum FT-IR Metil 9,10-Dihidroksi Stearat 43

Gambar 4.6. Spektrum FT-IR 9,10-Dihidroksi-N-Bis-(2-Hidroksietil) 44

Stearat Gambar 4.7. Spektrum FT-IR 9,10-Dihidroksi-N,N-Bis-(2-Hidroksietil) 45

Stearat Gambar 4.8. Mekanisme Reaksi Pembentukan Metil Oleat 49

Gambar 4.9. Mekanisme Reaksi Pembentukan N-bis-(2-hidroksietil) oleat 51

Gambar 4.10. Mekanisme Reaksi Pembentukan N,N-bis-(2-hidroksietil) oleat 52

Gambar 4.11. Mekanisme Reaksi Pembentukan Senyawa Metil 9,10 53

-Dihidroksi Stearat Gambar 4.12. Mekanisme Reaksi Pembentukan Senyawa 9,10-Dihidroksi 56

-N-Bis (2-Hidroksietil) Stearat Gambar 4.13. Mekanisme Reaksi Pembentukan 9,10-Dihidroksi-N,N-Bis- 57

(2-hidroksietil) Stearat Gambar 4.14. Grafik Nilai Tegangan Permukaan (y) Vs Logaritma 59

Konsentrasi Senyawa Etanolamida dan Dietanolamida Gambar 4.15. Grafik Nilai Tegangan Permukaan (y) Vs Logaritma 59

Konsentrasi Senyawa 9,10-Dihidroksi-N-Bis(2-Hidroksietil) Stearat Gambar 4.16. Grafik Nilai tegangan Permukaan (y) Vs Logaritma Konsentrasi 60