3.3.5 Analisa hasil reaksi
a. Analisa dengan spektrofotometer FT-IR
Untuk masing-masing cuplikan yaitu metil oleat yang berwujud cair dioleskan pada plat NaCl hingga terbentuk lapisan tipis dan beberapa alkanolamida berwujud padat
dicampurkan dengan KBr anhidrous selanjutnya dicetak hingga bentuk pellet yang transparan kemudian diukur spektrumnya dengan alat spektrofotometer FT-IR.
b. Penentuan titik lebur
Penentuan titik lebur ini dilakukan terhadap alkanolamida dari hasil amidasi metil oleat dengan etanolamina atau dietanolamina dan hasil amidasi poliol dengan
etanolamina atau dietanolamina. Alkanolamida yang diperoleh, diambil sedikit mungkin dengan spatula kemudian diletakkan diatas melting point apparatus lalu
dicatat perubahan titik leburnya.
c. Penentuan konsentrasi misel kritis dengan metode cincin du Nouy
Analisa ini dilakukan terhadap alkanolamida dari hasil amidasi metil oleat maupun metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina atau dietanolamina. Alkanolamida
yang diperoleh diencerkan dengan variasi konsentrasi 1 , 2, 3, 4, 5, 6. Kemudian diukur tegangan permukaan larutan alkanolamida dan sebagai kontrol air
pelarut dengan alat tensiometer.
d. Analisis bilangan iodin
Analisis ini dilakukan terhadap metil oleat dan metil-9,10-dihidroksi stearat. Ditimbang sampel sebanyak 0,314 gram kedalam gelas Erlenmeyer 250 ml yang
bertutup lalu ditambahkan 20 mL sikloheksana kemudian dikocokdiguncang untuk memastikan sampel telah benar-benar larut. Ditambahkan 25 mL larutan Wijs
kedalamnya kemudian ditutup dan dikocok agar campuran telah benar-benar bercampur dan disimpan bahan tersebut dalam ruang gelap selama 30 menit. Diambil
bahan tersebut dari tempat penyimpanan dan ditambahkan 25 mL larutan KI 10 dan 150 mL akuades. Dititrasi dengan larutan Na
2
S
2
O
3
0,1 N sampai warna kuning hampir hilang kuning pucat. Ditambahkan 1-2 mL indikator amilum kedalamnya
Universitas Sumatera Utara
dan dititrasi kembali sampai warna biru hilang. Dilakukan hal yang sama terhadap larutan blanko selanjutnya nilai bilangan iodin IV dihitung dengan rumus :
Bilangan iodin = B-S x N x 12,69
Massa sampel gram Dimana : B = Volume Titrasi Blanko mL
S = Volume Titrasi Sampel mL N = Normalitas Na
2
S
2
O
3
Universitas Sumatera Utara
1.3 Bagan Penelitian 3.4.1 Pembuatan metil oleat dengan asam oleat
100 gram asam oleat Dimasukkan kedalam labu leher dua
Ditambahkan 120 ml Metanol absolut Ditambahkan 120 ml benzena
Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl
2
Ditambahkan 1,5 ml H
2
SO
4p
secara perlahan-lahan melalui corong penetes
Direfluks selama 5 jam pada suhu 80-90
o
C sambil diaduk Campuran
Didinginkan pada suhu kamar Diuapkan kelebihan metanol dengan rotarievavorator
Residu Diekstraksi dengan 100 ml n-Heksan
Dicuci dengan akuades sebanyak dua kali masing-masing 10 ml Lapisan n-Heksan
Dikeringkan dengan CaCl
2
anhidrous selama 1 jam Disaring
Lapisan n-Heksan Dikeringkan dengan Na
2
SO
4
anhidrous selama 1 jam Disaring
Lapisan n-Heksan Dirotarievavorasi hingga pelarutnya habis
Analisa FT-IR Residu
Residu Destilat
Residu
Metil oleat Penentuan nilai bilangan iodin
Universitas Sumatera Utara
3.4.2 Pembuatan alkanolamida sebelum hidroksilasi 3.4.2.1 Amidasi metil oleat dengan etanolamina
0,05 mol Metil Oleat Dimasukkan kedalam labu leher dua
Ditambahkan 0,1 mol Etanolamina Ditambahkan 0,093 mol CH
3
ONa 5 gram dalam 20 ml metanol Dirangkai alat refluks
Direfluks pada suhu 80-90
o
C sambil distirer selama 5 jam Campuran
Dirotarievavorasi Residu
Destilat Diekstraksi dalam 100 ml dietil eter
Dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing- masing 25 ml Lapisan dietil eter
residu Dikeringkan dengan Na
2
SO
4
anhidrous selama 1 jam Disaring
Lapisan dietil eter Residu
Dirotarievavorasi alkanolamida
Analisa FT-IR
Penentuan CMC
Penentuan Titik lebur
Universitas Sumatera Utara
3.4.2.2 Amidasi metil oleat dengan dietanolamina
0,05 mol Metil Oleat Dimasukkan kedalam labu leher dua
Ditambahkan 0,1 mol Dietanolamina Ditambahkan 0,093 mol CH
3
ONa 5 gram dalam 20 ml metanol Dirangkai alat refluks
Direfluks pada suhu 80-90
o
C sambil distirer selama 5 jam
Campuran Dirotarievavorasi
Residu Destilat
Diekstraksi dalam 100 ml dietil eter Dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing- masing 25 ml
Lapisan dietil eter residu
Dikeringkan dengan Na
2
SO
4
anhidrous selama 1 jam Disaring
Lapisan dietil eter Residu
Dirotarievavorasi alkanolamida
Analisa FT-IR
Penentuan CMC
Penentuan Titik lebur
Universitas Sumatera Utara
3.4.3 Pembuatan metil-9,10-dihidroksi stearat
30 mL HCOOH 90 Dimasukkan kedalam labu leher tiga
Ditambahkan 15 mL H
2
O
2
30 setetes demi setetes melalui corong penetes
Ditambahkan 1 mL H
2
SO
4p
Ditambahkan 20 gram Metil Oleat setets demi setetes Campuran
Diaduk pada suhu 40-45
o
C selama 2 jam Didiamkan selama 1 malam
Dirotarievavorasi Residu
Destilat Ditambahkan 100 mL dietil eter
Dicuci dengan 10 mL NaOH 0,1 N Dicuci dengan Akuades sebanyak 2 kali masing-masing 10 mL
Dikeringkan dengan CaCl
2
anhidrous selama 1 jam Disaring
Residu Dikeringkan dengan Na
2
so
4
anhidrous selama 1 jam Disaring
Residu Dirotarievavorasi
Analisa FT-IR Di refluks pada suhu 80-90
o
C selama 1 jam
Lapisan dietil eter residu
Lapisan dietil eter
metil 9,10 dihidroksi stearat Lapisan dietil eter
Penentuan bilangan iodin
Universitas Sumatera Utara
3.4.4 Pembuatan alkanolamida sesidah hidroksilasi 3.4.4.1 Amidasi metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina
0,05 mol metil-9,10-dihidroksi stearat Dimasukkan kedalam labu leher dua
Ditambahkan 0,1 mol etanolamina Ditambahkan 0,093 mol CH
3
ONa 5gram dalam 20 mL metanol Dirangkai alat refluks
Direfluks pada suhu 80-90
o
C sambil diaduk selama 5 jam Campuran
Dirotarievavorasi Residu
Destilat Diekstraksi dengan 100 mL dietil eter
Dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing-masing 25 mL
Ditambahkan Na
2
SO
4
anhidrous selama 1 jam Disaring
Residu Dirotarievavorasi
Analisa FT-IR Penentuan CMC
Penentuan titik lebur Lapisan dietil eter
Residu
Lapisan dietil eter
Alkanolamida
Universitas Sumatera Utara
3.4.4.2 Amidasi meti-9,10-dihidroksi stearat dengan dietanolamina
0,05 mol metil-9,10-dihidroksi stearat Dimasukkan kedalam labu leher dua
Ditambahkan 0,1 mol dietanolamina Ditambahkan 0,093 mol CH
3
ONa 5gram dalam 20 mL metanol Dirangkai alat refluks
Direfluks pada suhu 80-90
o
C sambil diaduk selama 5 jam Campuran
Dirotarievavorasi Residu
Destilat Diekstraksi dengan 100 mL dietil eter
Dicuci dengan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 kali masing-masing 25 mL
Ditambahkan Na
2
SO
4
anhidrous selama 1 jam Disaring
Residu Dirotarievavorasi
Analisa FT-IR Penentuan CMC
Penentuan titik lebur Lapisan dietil eter
Residu
Lapisan dietil eter
Alkanolamida
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pembuatan metil oleat dari asam oleat
Pembuatan metil oleat secara esterifikasi dari asam oleat dengan metanol dalam pelarut benzena dengan menggunakan katalis asam sulfat pekat pada suhu 80-90
o
C. Dari sebanyak 100 gram asam oleat yang digunakan diperoleh metil oleat sebanyak
91,56 gram 87,1. Hasil yang diperoleh dianalisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak-puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3465,16
cm
-1
, 3004,30 cm
-1
, 2854,42-2925,34 cm
-1
, 1743,53 cm
-1
, 1435,97-1463,97 cm
-1
, 1361,85 cm
-1
, 1245,49 cm
-1
, 1171,19-1196,58 cm
-1
, 1119,77 cm
-1
, 1016,57-1094,76 cm
-1
, 968,25 cm
-1
, 880,71 cm
-1
, 723,35 cm
-1
Gambar 4.1. Spektrum FT-IR metil oleat. Gambar 4.1.
Universitas Sumatera Utara
Adapun hasil analisa spektroskopi FT-IR dari asam oleat memberikan spektrum dengan puncak serapan pada daerah gelombang 3006,34 cm
-1
, 2855,21 cm
-1
-2924,19 cm
-1
, 2673,59 cm
-1
, 1713,21 cm
-1
, 1464,41 cm
-1
, 1412,46 cm
-1
, 1377,68 cm
-1
, 1285,46 cm
-1
, 1246,51 cm
-1
, 1118,77 cm
-1
, 1090,78 cm
-1
, 938,59 cm
-1
, 723,59 cm
-1
, 723,62 cm
-1
, 477,88cm
-1
Gambar 4.2. Spektum FT-IR asam oleat.
4.1.2 Pembuatan senyawa alkanolamida sebelum hidroksilasi 4.1.2.1 Pembuatan N-bis-2-hidroksietil oleat
Gambar 4.2.
Senyawa N-bis-2-hidroksietil oleat dapat dihasilkan dari hasil amidasi antara senyawa metil oleat dengan etanolamina dalam pelarut metanol dengan bantuan
katalis natrium metoksida pada suhu 80-90
o
C. Dari sebanyak 14,8 gram metil oleat yang digunakan diperoleh etanolamida sebanyak 13,19 gram 81,1. Hasil yang
Universitas Sumatera Utara
diperoleh dianalisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak-puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3296,42 cm
-1
, 2850,40-291,35 cm
-1
, 1644,42 cm
-1
, 1557,41 cm
-1
, 1463,54 cm
-1
, 1212,64 cm
-1
, 1121,69 cm
-1
, 1034,65-1059,64 cm
-1
, 923,70 cm
-1
, 721,61 cm
-1
Gambar 4.3. Spektrum FT-IR N-bis-2-hidroksietil oleat Gambar 4.3.
4.1.2.2 Pembuatan N,N-bis-2-hidroksietil oleat
Senyawa N,N-bis-2-hidroksietil oleat dapat dihasilkan dari hasil amidasi antara senyawa metil oleat dengan dietanolamina dalam pelarut metanol dengan bantuan
katalis natrium metoksida pada suhu 80-90
o
C. Dari sebanyak 14,8 gram metil oleat yang digunakan diperoleh dietanolamida sebanyak 13,69 gram 74,2. Hasil yang
diperoleh dianalisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak- puncak
Universitas Sumatera Utara
serapan pada daerah bilangan gelombang 3401,26 cm
-1
, 3006,41 cm
1
, 2853,26- 2923,21 cm
-1
, 1557,27 cm
-1
, 1463,37 cm
-1
, 1071,44 cm
-1
, 721,42 cm
-1
Gambar 4.4. Spektrum FT-IR N,N-bis-2-hidroksietil oleat Gambar 4.4
.
4.1.3 Pembuatan metil-9,10-dihidroksi stearat
Senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat dapat dihasilkan dengan cara mereaksikan metil oleat dengan asam performat HCOOOH yang diperoleh dari reaksi antara HCOOH
90 dengan H
2
O
2
30 kemudian dikuti dengan proses hidrolisis sehingga dihasilkan metil-9,10-dihidroksi stearat. Asam formiat dan hidrogen peroksida direaksikan akan
membentuk asam performat pada suhu 40-45 dengan bantuan katalis H
2
SO
4p
. Dari hasil analisa metil-9,10-dihidroksi stearat dengan menggunakan spektroskopi FT-IR
diperoleh spektrum dengan puncak-puncak serapan daerah bilangan gelombang 3445,31 cm
-1
, 2855,18-2922,18 cm
-1
, 1732,16 cm
-1
, 1436,26-1463,25 cm
-1
, 1376,29 cm
-1
, 1176,21 cm
-1
, 723,46 cm
-1
, 601,58 cm
-1
Gambar 4.5.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.5. Spektrum FT-IR metil-9,10-dihidroksi stearat.
4.1.4 Pembuatan senyawa alkanolamida sesudah hidroksilasi 4.1.4.1 Pembuatan 9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat
Senyawa 9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat dapat dihasilkan dari hasil amidasi antara senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina dalam
pelarut metanol dengan bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90
o
C . Senyawa 9,10-N-bis 2-Hidroksietil stearat yang diperoleh sebanyak 83,7. Hasil
yang diperoleh dianalisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak- puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3295,10 cm
-1
, 2849,10-2918,9 cm
-1
, 1642,11 cm
-1
, 1555,15 cm
-1
, 1463,17 cm
-1
, 1217,25 cm
-1
, 1068,21 cm
-1
, 720,20 cm
-1
, 634,24 cm
-1
, 534,26 cm
- 1
Gambar 4.6.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.6. Spektrum FT-IR 9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat
4.1.4.2 Pembuatan 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat
Senyawa 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat dapat dihasilkan dari amidasi antara senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina dalam pelarut
metanol dengan bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90
o
C. Dari sebanyak 16,4 gram metil-9,10-dihidroksi stearat yang digunakan diperoleh 9,10-dihisroksi-N-
bis-2-hidroksietil stearat sebanyak 14,6 gram 78. Dari hasil analisa 9,10- dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat dengan menggunakan spektroskopi FT-IR
diperoleh spektrum dengan puncak-puncak serapan daerah bilangan gelombang 3349,18 cm
-1
, 2849,18-2919,18 cm
-1
, 2190,46 cm
-1
, 1618,20 cm
-1
, 1468,22 cm
-1
, 1361,25 cm
-1
, 1191,29-1206,29 cm
-1
, 1068,21 cm
-1
, 891,30 cm
-1
, 859,26 cm
-1
, 720,25 cm
-1
Gambar 4.7.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.7. Spektrum FT-IR 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat.
4.1.3.1 Hasil Pengujian Bilangan Iodin Metil Oleat dan Metil-9,10-Dihidroksi Stearat
Tabel 4.1 Data Hasil Penentuan Bilangan Iodin terhadap Metil Oleat dan Metil- 9,10-Dihidroksi Stearat.
No Sampel
Parameter Nilai Bilangan Iodin IV
IV IV
1
IV
2
IV
3 rata-rata
1 Metil oleat
36,51 36,56
36,56 36,54
2 Metil 9,10-dihidroksi stearat
3,01 2,98
3,05 3,013
Universitas Sumatera Utara
4.1.6 Uji Titik Lebur
Penentuan titik lebur ini dilakukan terhadap senyawa alkanolamida turunan asam oleat baik sebelum hidroksilasi maupun sesudah hidroksilasi.
Tabel 4.2. Data Hasil Titik Lebur Alkanolamida sebelum dan sesudah Hidroksilasi
Parameter Sampel
Titik Lebur
o
N-bis-2-hidroksietil Oleat
C
N,N-bis-2-hidroksietil oleat
85-90 130-135
86,5-91 132-135
85-91 130-134
Titik Lebur
o
9,10-dihidroksi-N-bis-2- hidroksietil stearat
C
9,10-dihidroksi-N,N-bis- 2-hidroksietil stearat
56-64 56-60
55-59 43-35
42-45 42-45
4.1.6 Hasil penentuan CMC Critical Micelle Concentration Alkanolamida dengan Menggunakan Alat Tensiometer
Penentuan CMC ini dilakukan terhadap alkanolamida dari hasil amidasi senyawa metil oleat maupun metil-9,10-dihidroksi stearat dengan etanolamina atau
dietanolamina. Alkanolamida yang diperoleh diencerkan dengan variasi konsentrasi 1-6 dimana meningginya konsentrasi surfaktan dalam larutan air menyebabkan
tegangan permukaan larutan turun sampai konsentrasi tertentu hingga konstan meskipun konsentrasi surfaktan semakin tinggi. Penambahan surfaktan selanjutnya
yang melebihi konsentrasi ini akan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi dimana misel ini terbentuk disebut dengan konsentrasi misel kritis CMC.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan η Larutan N-bis-2-
Hidroksietil Oleat dengan Tensiometer Metode Cincin du Nouy.
Konsentrasi C Tegangan permukaan
dynecm ηx FK
dynecm Log C
1 32,57
67,75 2
31,9 66,35
0,30 3
31,49 65,5
0,477 4
31,48 65,48
0,60 5
31,46 65,43
0,69 6
31,44 65,40
0,77
Faktor Koreksi : 2,08
Tabel 4.4. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan η Larutan N,N-Bis-2-
Hidroksietil Oleat dengan Tensiometer dengan Metode Cincin du Nouy.
Konsentrasi C Tegangan permukaan
dynecm ηx FK
dynecm Log C
1 31,1
64,68 2
31,05 64,58
0,30 3
30,38 63,2
0,477 4
30,36 63,14
0,60 5
30,34 63,1
0,69 6
30,3 63,02
0,77
Faktor Koreksi : 2,08
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.5. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan η Larutan 9,10-Dihidroksi-
N-Bis-2-Hidroksietil Stearat dengan Tensiometer Metode Cincin du Nouy.
Konsentrasi C Tegangan permukaan
dynecm ηx FK
dynecm Log C
1 33,6
67,54 2
31,7 65,93
0,30 3
31,067 64,62
0,477 4
29,80 62,0
0,60 5
29,71 61,8
0,69 6
29,70 61,78
0,77
Faktor Koreksi : 2,08
Tabel 4.6. Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan η Larutan 9,10-Dihidroksi-
N,N-Bis-2-Hidroksietil Stearat dengan Tensiometer Metode Cincin du Nouy.
Konsentrasi C Tegangan permukaan dynecm
ηx FK Log C
1 30,5
63,48 2
29,88 62,16
0,30 3
29,24 62,025
0,477 4
28,85 60,82
0,60 5
28,81 59,92
0,69 6
28,80 59,90
0,77
Faktor Koreksi : 2,08
Universitas Sumatera Utara
4.2. Pembahasan 4.2.1 Pembuatan metil oleat dari asam oleat
Asam oleat yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam oleat komersial dengan kadar 85,9-88. Kemudian asam oleat tersebut diesterifikasi dengan metanol dalam
pelarut benzene menggunakan katalis asam sulfat pekat pada suhu 80-90
o
C sehingga menghasilkan senyawa metil oleat dengan rendemen 87,1. Reaksi esterifikasi ini
dapat dilihat dalam mekanisme reaksi dibawah ini gambar 4.8 :
C
17
H
33
C
O OH
H
O S
H
O O
O
δ
+
δ
-
C
17
H
33
C
O O
H H
CH
3
O H
HSO
4 -
C
17
H
33
C O
O O
H H
H H
3
C
C
17
H
33
C O
O OCH
3
H H
H
+
, HSO
4 -
-HSO
4 -
C
17
H
33
C O
OCH
3
O H
H
H
-H
2
O C
17
H
33
C O
H OCH
3
HSO
4 -
C
17
H
33
C O
OCH
3
+ H
2
SO
4
Asam oleat menerima proton
dari katalis asam kuat
Metanol menyerang karbonil yang terprotonasi menjadi
intermediet tetrahedral atau addisi nukleofilik
Melepaskan proton dari atom oksigen
Menerima proton dari oksigen lain
Melepaskan molekul air Ester terprotonasi
Eliminasi Nukleofilik
-H
2
SO
4
Metil Oleat
Gambar 4.8 Mekanisme reaksi pembentukan metil oleat Scudder, 1992; Riswiyanto, 2009.
Hasil analisa spektroskopi FT-IR menunjukkan puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 1743,53 cm
-1
yang merupakan pita serapan khas dari gugus C=O ester dan didukung oleh pita serapan pada bilangan gelombang 1245,49 cm
-1
yang menunjukkan serapan khas C-C=O-O ester. Pita C-C=O-O merupakan getaran tak
Universitas Sumatera Utara
simetrik yang terkopelkan dari getaran ulur C-O. Adanya 3 corak pita 1119,77 cm
-1
, 1171,19 cm
-1
, 1196,58 cm
-1
, menunjukkan bahwa senyawa ini adalah metil oleat rantai panjang, dimana pita yang berada pada daerah bilangan gelombang
1171,31 cm
-1
adalah yang terkuat. Spektrum ini didukung dengan tidak munculnya puncak serapan pada daerah bilangan gelombang diatas 3006,34 cm
-1
yang merupakan puncak melebar serapan khas gugus OH.
Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 2925,34 cm
-1
merupakan serapan khas getaran ulur tak simetrik C-H sp
3
dan daerah bilangan gelombang 2854,42 cm
-1
merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp
3
yang didukung oleh getaran tekuk tak simetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1463,97 cm
-1
dan getaran tekuk simetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1361,85 cm
-1
. Spektrum pada daerah bilangan gelombang 723,35 cm
-1
adalah getaran rocking gugus metilena CH
2 n
dari alkana berantai lurus yang terdiri dari tujuh atom karbon atau lebih Silverstein, 1963.
Hal ini juga didukung dengan adanya penentuan nilai bilangan iodin untuk metil oleat sebesar 36,53 yang menunjukkan adanya ikatan rangkap.
4.2.2 Pembuatan senyawa alkanolamida sebelum hidroksilasi 4.2.2.1 Pembuatan senyawa N-bis-2-hidroksietil oleat
Senyawa N-bis-2-hidroksietil oleat dapat dihasilkan dari hasil amidasi antara metil oleat dengan etanolamina dalam pelarut metanol dengan bantuan katalis natrium
metoksida pada suhu 80-90
o
C.
Berdasarkan prinsip HSAB, amidasi senyawa metil oleat dapat menghasilkan etanolamida oleat dimana H
+
dari NH
2
yang berasal dari etanolamina merupakan asam keras Hard Acid yang mudah bereaksi dengan
–
OCH
3
yang merupakan basa keras Hard base dan N
-
dari etanolamina yang merupakan basa lunak Soft Base yang akan bereaksi dengan gugus asil R-C
+
=O yang merupakan asam lunak Soft Acid. Berdasarkan prinsip diatas, maka mekanisme amidasi antara metil oleat
dengan etanolamina dapat digambarkan sebagai berikut Gambar 4.9 :
Universitas Sumatera Utara
C
17
H
33
C O
OCH
3
+ H
N H
CH
2
CH
2
OH
δ
-
δ
+
C
17
H
33
C O
Na OCH
3
N H
Na
+-
OCH
3
OCH
3
CH
3
OH NaOCH
3
- C
17
H
33
C
O N
H H
2
C H
2
C OH
H H
2
C H
2
C HO
So ft B
ase
S of
t A ci
d Hard Acid
Hard Base
Gambar 4.9 Mekanisme reaksi pembentukan N-bis-2-hidroksietil oleat Scudder, 1992.
Hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan puncak serapan kuat pada daerah bilangan gelombang 3296,42 cm
-1
yang menunjukkan getaran ulur N-H dan getaran ulur O-H yang saling berhimpit sehingga tidak tampak jelas dalam spektrum.
Selain uluran O-H pita khas spektrum alkohol juga dihasilkan oleh getaran uluran C-O yang berada pada daerah bilangan gelombang 1059,64 cm
-1
alkohol primer. Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 1644,42 cm
-1
merupakan serapan khas dari pita gugus C=O pada serapan amida sekunder yang dihasilkan oleh tekukan N-H.
Bilangan gelombang 1557,41 cm
-1
menunjukkan pita amida taksiklik sekunder dimana pita ini dihasilkan oleh interaksi antara tekukan N-H dengan uluran C-N gugus C-N-
H. Pita pendukung amida sekunder muncul pada bilangan gelombang 1121,69 cm
-1
Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 2921,35 cm puncak lebih lemah yang juga dihasilkan oleh tekukan N-H dan uluran C-N.
-1
merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp
3
dan daerah bilangan gelombang 2850,40 cm
-1
merupakan serapan khas dari getaran tekuk simetrik C-H sp
3
yang didukung oleh getaran taksimetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1464,59 cm
-1
dan getaran tekuk simetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1212,64 cm
-1
. Spektrum pada daerah bilangan gelombang 721,61 cm
-1
adalah getaran rocking
Universitas Sumatera Utara
gugus metilena CH
2 n
dari alkana berantai lurus yang terdiri dari tujuh atom karbon atau lebih Silverstein, 1963.
4.2.2.2 Pembuatan senyawa N,N-bis-2-hidroksietil oleat
Senyawa N,N-bis-2-hidroksietil oleat dapat dihasilkan dari hasil reaksi amidasi antara senyawa metil oleat dengan dietanolamina dalam pelarut methanol dengan
bantuan katalis natrium metoksida pada suhu 80-90
o
C.
Berdasarkan prinsip HSAB, amidasi senyawa metil oleat dapat menghasilkan dietanolamida oleat dimana H
+
dari NH yang berasal dari dietanolamina merupakan asam keras Hard Acid yang mudah bereaksi dengan
–
OCH
3
yang merupakan basa keras Hard Base dan N
-
dari dietanolamina yang merupakan basa lunak Soft Base yang akan bereaksi dengan gugus asil R-C
+
C
17
H
33
C O
OCH
3
+ HN
CH
2
CH
2
CH
2
OH CH
2
OH
Na
+-
OCH
3
δ
-
δ
+
C
17
H
33
C O
Na O
CH
3
N H
CH
2
CH
2
OH H
2
C H
2
C HO
OCH
3
-
CH
3
OH NaOCH
3
C
17
H
33
C O
N CH
2
CH
2
CH
2
OH CH
2
OH
S of
t A ci
d S
of t B
as e
H ard
A cid
H ar
d B
as e
=O yang merupakan asam lunak Soft Acid. Berdasarkan teori diatas, maka mekanisme reaksi amidasi antara senyawa metil
oleat dengan dietanolamina untuk menghasilkan senyawa dietanolamida oleat dapat
digambarkan sebagai berikut Gambar 4.10:
Gambar 4.10 Mekanisme reaksi pembentukan N,N-bis-2-hidroksietil oleat Scudder, 1992.
Universitas Sumatera Utara
Hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan puncak serapan kuat pada daerah bilangan gelombang 3401,26 cm
-1
yang menunjukkan getaran uluran O-H. Selain uluran O-H, pita khas spektrum alkohol juga dihasilkan oleh getaran uluran
C-O yang berada pada daerah 1071,44 cm
-1
. Pada spektrum 1557,27 cm
-1
merupakan serapan khas amida taksiklik sekunder dimana dihasilkan oleh interaksi antara
tekukan N-H dengan uluran C-N gugus C-N-H. Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 2923,21 cm
-1
merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp
3
dan daerah bilangan gelombang 2853,26 cm
-1
merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp
3
yang didukung oleh getaran tekuk taksimetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1463,37 cm
-1
. Spektrum pada daerah bilangan gelombang 721,42 cm
-1
adalah getaran rocking gugus metilena CH
2 n
dari alkana berantai lurus yang terdiri dari tujuh atom karbon atau lebih Silverstein, 1963.
4.2.3 Pembuatan metil-9,10-dihidroksi stearat
Senyawa diol dapat dihasilkan dari hasil epoksidasi antara metil oleat dengan asam performat dengan bantuan katalis H
2
SO
4p
. Asam formiat direaksikan dengan H
2
O
2
30 akan membentuk senyawa performat dengan bantuan katalis H
2
SO
4p
. Selanjutnya diikuti dengan penambahan metil oleat yang direfluks pada suhu konstan
40-45
o
C. Dalam hal ini, ikatan π metil oleat yang tidak jenuh pada atom C
9,10
H
C O
OH
- +
+
H
+-
OOH H
C O
O OH
+
H
2
O
Asam formiat Hidrogen peroksida
Asam performat
Terjadi reaksi Addisi dan Eliminasi Nukleofilik
akan membentuk cincin epoksida dan selanjutnya diikuti hidrolisis menghasilkan senyawa
diol 9,10-dihidroksi stearat.
Adapun mekanisme reaksi terbentuknya Epoksida yang didikuti oleh
hidrolisis dapat dilihat seperti pada Gambar 4.11 :
Universitas Sumatera Utara
H
C O
O O
+
H
3
C
CH
2 7
H C
H C
CH
2 7
C O
OCH
3
H
3
C
CH
2 7
H C
H C
O CH
2 7
C O
OCH
3
H
+
C O
OH metil oleat
Asam formiat
Epoksi
H
+-
OH
H
3
C
CH
2 7
H C
H C
OH CH
2 7
OH C
O OCH
3
Metil-9,10-dihidroksi stearat Asam performat
H
H
3
C
CH
2 7
H C
H C
O CH
2 7
C O
OCH
3 Epoksi terprotonasi
H
Reaksi S
N
2
Transfer Oksigen ke alkena membentuk karbokation
Epoksi proton dari basa Lemah
-
OH H
3
C
CH
2 7
H C
H C
O CH
2 7
C O
OCH
3
H
3
C
CH
2 7
C C
O CH
2 7
C O
OCH
3
H H
O H
C O
H
Gambar 4.11 Mekanisme Reaksi Pembuatan Metil 9,10-Dihidroksi Stearat Vogel, 1989; Fessenden dan Fessenden, 1999; Riswiyanto, 2009
Hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3445,31 cm
-1
yang menunjukkan serapan khas dari gugus hidroksi OH. Puncak serapan ini diperoleh akibat terputusnya ikatan
π pada ikatan rangkap metil oleat setelah mengalami epoksidasi dan selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
mengikat 2 gugus hidroksi OH setelah mengalami hidrolisis yang menyebabkan semakin melebarnya getaran ulur gugus hidroksi OH sehingga puncak pada daerah
3004,30 cm
-1
C-H sp
2
tidak kelihatan lagi. Hal ini juga didukung dengan adanya penurunan bilangan iodin dimana pada metil oleat sebesar 36,54 dan pada metil-9,10–
dihidroksi stearat sebesar 3,01. Pada daerah bilangan gelombang 2922,18 cm
-1
merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp
3
dan daerah bilangan gelombang 2855,18 cm
-1
merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp
3
yang didukung oleh getaran tekuk taksimetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1463,25 cm
-1
dan getaran tekuk simetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1436,26 cm
-1
. Pada daerah bilangan gelombang 1732,16 cm
-1
menunjukkan serapan khas C=O ester. Gugus fungsi yang muncul menunjukkan senyawa epoksi alkanolamida telah
terbentuk. Hal ini didukung dengan munculnya serapan khas C-O-C epoksi pada daerah bilangan gelombang 1176,21 cm
-1
. Selain itu didukung dengan tidak munculnya bilangan gelombang 1685-1660-an yang menyatakan serapan khas C=C.
Pada daerah bilangan gelombang 723,46 cm
-1
menunjukkan vibrasi rocking gugus metilena CH
2 n
dari alkana berantai lurus yang terdiri dari tujuh atom karbon atau lebih Silverstein, 1963.
4.2.4 Pembuatan senyawa alkanolamida sesudah hidroksilasi 4.2.4.1 Pembuatan senyawa 9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat
Senyawa metil-9,10-dihidroksi stearat yang diperole diamidasi dengan menggunakan katalis natrium metoksida yang direfluks pada suhu 80-90
o
C sehingga terbentuk senyawa 9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat.
Berdasarkan prinsip HSAB, amidasi senyawa 9,10-dihidroksi metil stearat dapat menghasilkan N-etanolamida 9,10-dihidroksi stearat dimana H
+
dari NH
2
yang berasal dari etanolamina merupakan asam keras Hard Acid yang mudah bereaksi
dengan –OCH
3
metoksi yang merupakan basa keras Hard Base dan N
-
dari etanolamina yang merupakan basa lunak Soft Base yang selanjutnya akan bereaksi
dengan asil R-C
+
=O yang merupakan asam lunak Soft Acid.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan teori diatas, maka mekanisme amidasi senyawa metil-9,10- dihidroksi stearat dengan etanolamina untuk menghasilkan senyawa 9,10-dihidroksi-
N-bis-2-hidroksietil stearat dapat dilihat pada gambar berikut Gambar.4.12 :
H
3
C
CH
2 7
H C
H C
OH OH
CH
2 7
C O
OCH
3
+
H
2
N CH
2
CH
2
OH
H
3
C
CH
2
H C
H C
OH OH
CH
2 7
C O
OCH
3
Na
Na
+-
OCH
3
-
-
OCH
3
CH
3
OH NaOCH
3
H
3
C
CH
2
H C
H C
OH OH
CH
2 7
C O
N H
CH
2
CH
2
OH N
H H
CH
2
CH
2
OH
Ha rd
A cid
H ar
d Ba
se
So ft
ba se
So ft
Ac id
Gambar 4.12 Mekanisme reaksi pembentukan 9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat Scudder, 1992.
Dari hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan spektrum dengan puncak - puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3295,10 cm
-1
menunjukkan adanya gugus -OH dan gugus N-H yang saling berhimpit sehingga tidak tampak jelas pada
spektrum. Selain uluran O-H, pita khas spektrum alkohol juga dihasilkan oleh getaran uluran C-O yang berada pada daerah bilangan gelombang 1068,21 cm
-1
. Pada daerah bilangan gelombang 2918,9 cm
-1
merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp
3
dan daerah bilangan gelombang 2849,10 cm
-1
merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp
3
yang didukung oleh getaran tekuk taksimetrik pada daerah bilangan gelombang 1463,17 cm
-1
. Spektrum pada daerah bilangan 1642,11 cm
-1
merupakan serapan khas C=O amida sekunder yang dihasilkan oleh tekukan N- H. Bilangan gelombang 1555,15 cm
-1
menunjukkan pita C=O amida taksiklik sekunder dimana pita ini dihasilkan oleh interaksi antara tekukan N-H dengan uluran
C-N gugus C-N-H. Pita pendukung amida sekunder muncul pada daerah daerah bilangan gelombang 1217,25 cm
-1
puncak lebih lemah yang juga dihasilkan oleh tekukan N-H dan uluran C-N. Pada daerah bilangan gelombang 720,20 cm
-1
adalah
Universitas Sumatera Utara
getaran rocking gugus metilena CH
2 n
dari alkana berantai lurus yang terdiri dari tujuh atom karbon atau lebih silverstein, 1963.
4.2.4.2 Pembuatan senyawa 9,10-dihidroksi N,N-bis-2-hidroksietil stearat.
Senyawa metil 9,10-dihidroksi stearat yang diperoleh kemudian diamidasi dengan dietanolamina dalam pelarut methanol dengan menggunakan katalis natrium
metoksida yang direfluks pada suhu 80-90
o
C. Berdasarkan prinsip HSAB, amidasi senyawa 9,10-dihidroksi metil stearat dapat menghasilkan N-dietanolamida 9,10-
dihidroksi stearat dimana H
+
dari NH yang berasal dari dietanolamina merupakan asam keras Hard Acid yang mudah bereaksi dengan -OCH
3
metoksi yang merupakan basa keras Hard Base dan N
-
dari dietanolamina yang merupakan basa lunak Soft Base yang selanjutnya akan bereaksi dengan gugus asil R-C
+
H
3
C
CH
2 7
H C
H C
CH
2 7
OH C
O OCH
3
OH
HN
CH
2
CH
2
CH
2
OH CH
2
OH
- -
H
3
C
CH
2 7
H C
H C
CH
2 7
OH OH C
O Na
OCH
3
N CH
2
H CH
2
OH H
2
C H
2
C HO
H
3
C
CH
2 7
H C
H C
OH OH CH
2 7
C O
N CH
2
CH
2
CH
2
OH CH
2
OH
-
OCH
3
CH
3
OH NaOCH
3
Na
+-
OCH
3
So ft
Ac id
Ha rd
A cid
So ft B
ase
Ha rd
B as
e
=O yang merupakan asam lunak Soft Acid. Berdasarkan prinsip diatas, maka mekanisme
reaksi amidasi antara senyawa metil 9,10-dihidroksi stearat dengan dietanolamina untuk menghasilkan senyawa 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat sebagai
berikut Gambar 4.13 :
Gambar 4.13 Mekanisme reaksi pembentukan 9,10-dihidroksi-N,N-bis -2hidroksietil stearat Scudder, 1992.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil analisa spektroskopi FT-IR memberikan puncak serapan kuat pada daerah bilangan gelombang 3349,18 cm
-1
yang menujukkan getaran uluran O-H. Selain uluran O-H, pita khas spektrum alkohol juga dihasilkan oleh getaran uluran
C-O yang berada pada daerah bilangan gelombang 1068,21 cm
-1
alkohol primer. Puncak serapan daerah bilangan gelombang 2919,18 cm
-1
merupakan serapan khas getaran uluran taksimetrik C-H sp
3
dan daerah bilangan gelombang 2849,18 cm
-1
merupakan serapan khas dari getaran uluran simetrik C-H sp
3
yang didukung oleh getaran tekuk taksimetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1468,22 cm
-1
dan daerah tekuk simetrik C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang 1361,25 cm
-1
. Spektrum pada daerah bilangan gelombang 1618,20 cm
-1
merupakan serapan khas C=O amida tersier yang dihasilkan oleh tekukan N-H. Pita pendukung C=O amida
tersier ini muncul pada daerah bilangan gelombang 1206,29 cm
-1
puncak lebih lemahyang dihasilkan oleh tekukan N-H dan uluran C-N. Pada daerah bilangan
gelombang 720,25 cm
-1
menunjukkan puncak vibrasi rocking CH
2 n
dari asam lemak Silverstein, 1963.
4.2.5 Penentuan Tegangan Permukaan η
Dari hasil analisis penentuan tegangan permukaan, maka diperoleh hasil titik konsentrasi misel kritis CMC sebagai berikut : Nilai CMC untuk etanolamida dan
dietanolamida sebelum hidroksilasi berada pada konsentrasi 4 dengan nilai tegangan permukaan 65,48 dynecm CMC = 0,119 molL dan 63,14 dynecm CMC = 0,1042
molL. Sedangkan Nilai CMC untuk etanolamida dan dietanolamida sesudah hidroksilasi berada pada konsentrasi 4 dengan nilai tegangan permukaan 62,0
dynecm CMC = 0,1056 molL dan 60,82 dynecm CMC = 0,093 molL.
Naiknya konsentrasi surfaktan dalam larutan air menyebabkan menurunnya tegangan permukaan larutan sampai konsentrasi tertentu hingga menjadi konstan.
Penambahn surfaktan selanjutnya yang melebihi konsentrasi ini, maka akan mengaggregasi membentuk konsentrasi misel kritis CMC. Berikut ditunjukkan
grafik nilai tegangan permukaan vs logaritma konsentrasi senyawa Gambar 4.14 dan 4.15.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.14. Grafik nilai tegangan permukaan y vs logaritma konsentrasi senyawa N-bis-2-hidroksietil oleat dan N,N-bis-2-hidroksietil Oleat x.
y1= N-bis-2-hidroksietil oleat ; y2= N,N-bis-2-hidroksietil oleat
Gambar 4.15 Grafik nilai tegangan permukaan y vs logaritma konsentrasi senyawa 9,10- dihidroksi-N- bis-2-hidroksietil stearat dan 9,10-dihidoksi-N,N-bis2-hidroksietil stearat x.
y1 = 9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat; y2 = 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat 60
61 62
63 64
65 66
67 68
69
0,3 0,477
0,6 0,69
0,77
Te g
a ng
a n pe
rm uk
a a
n
dy ne
c m
Log konsentrasi
y1 y2
56 58
60 62
64 66
68 70
0,3 0,477
0,6 0,699
0,77
Te g
a ng
a n pe
rm uk
a a
n
dy ne
c m
Log Konsentrasi
y1 y2
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.16 Grafik nilai tegangan permukaan y Vs Logaritma konsentrasi senyawa alkanolamida x.
y1 = N-bis-2-hidroksietil oleat; y2= N,N-bis-2-hidroksietil oleat; y3= 9,10–dihidroksi-N-bis-2- hidroksietil stearat y4=9,10- dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat
Nilai tegangan permukaan dan CMC dari senyawa alkanolamida baik sebelum maupun sesudah hidroksilasi dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.16 berikut :
Tabel 4.7 Nilai Tegangan Permukaan dan Nilai CMC Alkanolamida Alkanolamida
Nilai tegangan permukaan
dynecm Nilai
CMC molL
N-bis-2-hidroksietil oleat 65,48
0,119 N,N-bis-2-hidroksietil oleat
63,14 0,1042
9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat 62,0
0,1056 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat 60,82
0,093
Dari Gambar 4.16 dan Tabel 4.7 diatas, terlihat bahwa semakin besar
konsentrasi surfaktan maka kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena konsentrasi surfaktan berpengaruh terhadap
pembentukan misel. Konsentrasi surfaktan semakin besar, maka tegangan permukaaan semakin rendah sehingga misel yang terbentuk juga semakin banyak sampai tegangan
permukaan yang dihasilkan konstan pada suatu konsentrasi. Pada konsentrasi 1
54 56
58 60
62 64
66 68
70
0,3 0,477
0,6 0,699
0,77 y1
y2 y3
y4 Tega
n ga
n P
er mu
k a
a n
d y
n e
cm
Log Konsentrasi
Universitas Sumatera Utara
mulai terjadi penurunan tegangan permukaan sampai diperoleh titik awal CMC pada konsentrasi 3.Pada konsentrasi 4, 5 dan 6, tegangan permukaan tidak
mengalami penurunan ataupun disebut konstan Anon, 2005; Porter, 1994.
- Harga CMC alkanolamina sebelum hidroksilasi
a. N-bis-2-hidroksietil oleat
CMC = ant log 0,59
= 3,89 100 mL =
3,89 100 mL
325 = 0,0119mol 100 mL
mol
= 0,119 molL b.
N,N-bis-2-hidroksietil oleat CMC
= ant log 0,585 = 3,845 100 mL
= 3,845
100 mL 368
= 0,01044 mol
mol 100 mL = 0,1044 molL
c. 9,10-dihidroksi-N-bis-2-hidroksietil stearat
CMC =
= 3,79 100 mL =
3,79 100 mL
359 = 0,01056 mol 100 mL
mol
= 0,1056 molL ant log 0,579
d. 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat
CMC = ant log 0,56
= 3,63 100 mL =
3,63 100 mL
389 = 0,0093 mol 100 mL
mol
= 0,093 molL
Universitas Sumatera Utara
4.2.6 Uji Titik Lebur
Uji titik lebur dilakukan untuk menganalisa kemurnian senyawa amida yang diperoleh. Pada umumnya titik lebur untuk oleamida 72
o
C-75
o
C. Dari hasil penelitian, diperoleh titik lebur senyawa etanolamida atau dietanolamida sebelum dihidroksilasi
berada pada kisaran 85
o
C-91
o
C dan 130
o
C-134
o
C. Hal ini disebabkan etanolamida dan dietanolamida sebelum dihidroksilasi, yang sangat berpengaruh dalam titik lebur
alkanolamida tersebut adalah rantai karbonnya. Menurut Krischenbaeur 1960 asam lemak selalu menunjukkan kenaikan titik cair dengan semakin panjangnya rantai
karbon dimana bahan dasar yang digunakan untuk memperoleh senyawa alkanolamida adalah asam oleat dengan titik cair 14
o
C, dimana ikatan rangkap yang dimiliki oleh asam oleat tersebut juga berpengaruh dalam penurunan titik lebur. Sedangkan pada
etanolamida dan dietanolamida sesudah hidroksilasi diperoleh titik lebur sebesar 56
o
C-64
o
C dan 42
o
C-45
o
C. Hal ini dikarenakan etanolamida dan dietanolamida sesudah dihidroksilasi, yang sangat berpengaruh dalam titik lebur alkanolamida
tersebut adalah jumlah gugus hidroksi yang melekat pada alkanolamida yang diperoleh dimana semakin banyak jumlah gugus hidroksi dalam suatu amida maka
kepolaran dari amida tersebut juga semakin besar. Bahan dasar yang digunakan adalah asam oleat dengan kadar 85,9-88 dimana asam oleat ini jika mengalami
epoksidasi yang diikuti dengan hidrolisis maka akan menghasilkan asam stearat yang tidak memiliki ikatan rangkap dengan titik lebur sebesar 70
o
C Ketaren, 2008; Tambun, 2006.
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Senyawa alkanolamida turunan asam oleat dapat disintesa dari metil oleat
maupun metil-9,10-dihidroksi stearat dengan maupun dietanolamina menghasilkan senyawa alkanolamida dengan rendemen masing-masing 81,1,
74,2, 83,7 dan 78. 2.
Dari hasil analisa penentuan tegangan permukaan, maka diperoleh hasil titik konsentrasi misel kritis CMC sebagai berikut : nilai CMC untuk N-bis-2-
hidroksietil oleat, N,N-bis-2-hidroksietil oleat, 9,10-dihidroksi-N-bis-2- hidroksietil stearat dan 9,10-dihidroksi-N,N-bis-2-hidroksietil stearat adalah
masing-masing sebesar 0,119 molmL 65,48 dynecm, 0,1044 molmL 63,14 dynecm, 0,1056 molmL62,0 dynecm dan 0,093 molmL 60,82 dyne cm.
5.2 Saran