diungkapkan Yosef 2005 bahwa perawat yang memiliki taraf kecerdasan spiritual tinggi mampu lebih bahagia dalam menjalani hidup termasuk juga
dalam pekerjaannya sehingga ia akan berupaya memaknai bahwa mencari karunia Tuhan dengan memperhatikan dan meringankan beban klien. Begitu
pula dengan penelitian Rudyanto 2010 yang menyatakan bahwa perawat yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan sangat menghargai profesinya
dengan cara bersikap positif terhadap pekerjaannya bahkan mampu memberi makna kehidupan dalam bekerja. Bekerja bukan hanya rutinitas yang
membosankan tetapi justru menyediakan kesempatan untuk perkembangan pribadi.
2.2. Perilaku Caring Perawat Berdasarkan Sepuluh Faktor Karatif di
Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan
Hasil analisis data perilaku caring perawat berdasarkan sepuluh faktor karatif tabel 6 dapat dilihat bahwa pada komponen membentuk sistem nilai
humanistic-altruistic mayoritas perawat menunjukkan perilaku yang baik. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Watson 2005 dalam Alligood Tomey,
2006 bahwa caring merupakan suatu sikap moral yang ideal yang harus dimiliki perawat dalam membina hubungan interpersonal dan
mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu pula halnya dengan pendapat Watson dalam Asmadi, 2008 bahwa dengan filosofi humanistik
dan sistem nilai dapat memberi fondasi yang kokoh bagi ilmu keperawatan. Berdasarkan komponen menanamkan keyakinan dan harapan faith -
hope perilaku perawat pada umumnya masih dalam kategori cukup, tentulah hal ini belum dapat dikatakan baik. Seharusnya perawat diharapkan dapat
Universitas Sumatera Utara
lebih memotivasi klien dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Hal ini diungkapkan Watson 1979 dalam Alligood Tomey, 2006 yang
menyatakan bahwa perawat harus dapat menfasilitasi klien dalam membangkitkan perasaan optimis, harapan, dan rasa percaya sehingga dapat
membantu meningkatkan perilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan.
Pada komponen mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain pada umumnya perilaku yang ditampilkan perawat dalam kategori
cukup. Hasil penelitian ini belum sesuai dengan pendapat Watson 1979 dalam Alligood Tomey, 2006 yang mengungkapkan bahwa perawat harus
memahami perasaan klien sehingga lebih peka, murni dan tampil apa adanya. Selain itu perawat juga harus mampu memberikan kesempatan kepada orang
lain untuk mengekspresikan perasaan mereka. Perawat adalah tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan manusia Asmadi, 2008.
Perawat juga harus melihat klien sebagai manusia secara holistik dan unik. Oleh sebab itu perawat harus sadar dan mengetahui akan dirinya yang sedang
dalam memberikan perawatan atau menjalin hubungan dengan klien. Perawat harus dapat mempelajari dirinya sendiri dengan mengkaji dan terbuka
terhadap diri sediri, karena dengan pemahaman dan penerimaan perawat terhadap diri sendiri akan membuat ia menerima keunikan individu dan
menghargai orang lain. Analisa diri merupakan dasar utama perawat untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas dan membina
hubungan yang harmonis dan terapeutik. Jadi, kunci keberhasilan perawat
Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan asuhan keperawatan adalah dirinya sendiri Riyadi Purwanto, 2009.
Perilaku caring perawat yang ditampilkan perawat pada komponen membina hubungan saling percaya dan saling bantu helping-trust
berdasarkan hasil analisis data dalam kategori cukup. Keadaan ini sesuai dengan pandangan The Audit Commission 1993 dalam Morrison Burnard,
2009 yang menilai kurangnya informasi dan masalah dalam komunikasi dengan profesional kesehatan sebagai daftar teratas yang menjadi perhatian
klien. Kondisi ini belum sesuai dengan pendapat Creasia Parker 2001 bahwa perilaku caring juga meliputi membina kedekatan dengan klien.
Begitu pula Mayeroff 1972 dalam Morrison, 2008 berpandangan bahwa caring sebagai suatu proses yang berorientasi pada tujuan membantu orang
lain berkembang dan mengaktualisasikan diri. Komunikasi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan
perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Dalam menjalin hubungan antara perawat dengan klien tehnik komunikasi
menjadi lebih bermakna karena merupakan modal dasar dalam mengimplementasikan proses keperawatan. Oleh karena itu, Achir Yani
dalam Erlinafsiah, 2010 mengatakan bahwa dalam membina hubungan saling percaya dengan klien sangat tergantung pada kemampuan dan
keterampilan komunikasi terapeutik perawat. Selain itu dengan adanya komunikasi yang baik dapat mencegah terjadinya masalah legal dan dapat
memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan citra profesi keperawatan. Perawat juga harus dapat menerapkan ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap sesama
manusia yang memerlukan bantuan, karena perilaku menolong sesama ini perlu dilatih dan dibiasakan sehingga menjadi bagian dari kepribadian
perawat itu sendiri Erlinafsiah, 2010. Perawat harus menerima perasaan orang lain serta memahami perilaku
mereka. Perawat juga harus siap mendengarkan segala keluhan klien, harus siap untuk perasaan negatif, berbagi perasaan duka cita, cinta dan kesedihan
Blais, 2007. Hal ini sesuai dengan hasil analisis data bahwa perilaku caring perawat pada komponen meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan
positif dan negatif dalam kategori baik. Hasil analisis data perilaku caring perawat pada komponen
menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis masih relatif cukup. Seharusnya pada komponen ini perawat dapat menunjukkan perilaku
yang lebih dari sekedar cukup baik, mengingat mayoritas responden memiliki latar belakang pendidikan pada level pendidikan tinggi. Berdasarkan
hasil analisis data karakteristik responden pada tabel 4 mayoritas pendidikan perawat pada level pendidikan tinggi yaitu DIIIAkper dan kemudian Sarjana
Keperawatan S1. Menurut Husin 1999 dalam Alimul, 2002 bahwa kurikulum pendidikan tinggi adalah bertujuan mendidik dan mengembangkan
keterampilan perawat dalam berfikir dan melakukan praktek keperawatan ilmiah serta penyelesaian masalah secara ilmiah. Begitu juga pendapat
Asmadi 2008 bahwa asuhan keperawatan tidak dilakukan berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
intuisi atau kebiasaan semata melainkan dilandasi oleh pengetahuan ilmiah. Proses keperawatan merupakan metode ilmiah yang sistematik yang terdiri
dari beberapa tahap yang digunakan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien guna mencapai dan mempertahankan keadaan bio-
psiko-sosio-spiritual yang optimal. Proses keperawatan juga merupakan tanggung jawab dan tanggung gugat perawat oleh karena itu semua hal yang
dilakukan perawat harus terdokumentasi dengan baik dan benar. Apalagi menurut Watson 1979 dalam Alligood Tomey, 2006 fokus utama
keperawatan adalah pada faktor karatif yang bermula dari persfektif humanistik yang dikombinasikan dengan dasar pengetahuan ilmiah.
Perilaku caring perawat pada komponen meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal juga dalam kategori cukup. Padahal bila dilihat dari
peran utama perawat salah satunya adalah pendidik dalam keperawatan. Sebagai pendidik, perawat bertugas memberikan pendidikan kesehatan
kepada klien sebagai upaya menciptakan perilaku klien yang kondusif bagi kesehatan Asmadi, 2008.
Pendidikan kesehatan adalah fungsi keperawatan yang vital dan mendasar Mason, 2001 dalam Arnold Boggs, 2007. Tujuan utama dari
pendidikan kesehatan adalah untuk membantu klien dan keluarga untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang mereka
butuhkan untuk promosi dan pemulihan kesehatan, kesejahteraan, dan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka Arnold Boggs, 2007. Leininger
1984, 1988, 1991 dalam Blais, 2007 juga mengatakan bahwa perilaku
Universitas Sumatera Utara
caring perawat mencakup memandirikan klien, tindakan konsultasi kesehatan, dan pemeliharaan kesehatan. Faktor ini merupakan konsep yang
penting dalam keperawatan yang membedakan caring dengan curing. Berdasarkan faktor karatif pada komponen menyediakan lingkungan
yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental, sosiokultural, dan spiritual, perilaku caring perawat pada komponen ini umumnya masih dalam
kategori cukup. Komponen ini terkait dengan kemampuan perawat dalam mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain, yang mana
perilaku responden pada komponen tersebut juga dalam kategori cukup. Bagaimana perawat dapat optimal dalam menyediakan lingkungan yang
mendukung bila sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain pun belum optimal. Menurut Nightingale dalam Basford Slevin, 2006 bahwa faktor
yang kritis dalam proses penyembuhan adalah lingkungan. Perawat harus dapat memberikan lingkungan yang bersih, nyaman, dan aman tempat klien
dapat memulihkan diri. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Potter Perry 2009 yang menekankan bahwa perawat harus dapat menciptakan
kebersamaan, keindahan, kenyamanan, kepercayaan dan kedamaian. Perawat harus menyadari bahwa lingkungan internal dan eksternal berpengaruh
terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien. Hasil analisis data perilaku caring perawat pada komponen membantu
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, didapati masih dalam kategori cukup. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan harus memandang
manusia sebagai makhluk holistik dengan kebutuhan biologis, psikologis,
Universitas Sumatera Utara
sosial, dan spiritual Alimul, 2009. Menurut Asmadi 2008 setiap manusia memiliki karakteristik yang unik dan memiliki kebutuhan dasar yang bersifat
heterogen walaupun pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama. Untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia perawat perlu
mengenali karakteristik kebutuhan dasar klien dan menyesuaikannya dengan prioritas masing-masing.
Mengembangkan faktor kekuatan eksistensial-fenomenologis dapat membantu klien dalam menemukan kekuatan dan keberanian untuk
menghadapi kehidupan dan kematian. Hal ini akan membantu perawat untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain Asmadi, 2008. Dari hasil analisis
data perilaku caring perawat dalam mengembangkan kedua faktor ini masih dalam kategori cukup. Henderson 1955 dalam Blais, 2007 menjelaskan
fungsi unik perawat adalah membantu individu sehat atau sakit dalam melaksanakan aktivitas yang berperan pada kesehatan atau pemulihan
kesehatan atau untuk menghadapi kematian dengan tenang. Hasil analisis deskriptif perilaku caring perawat berdasarkan sepuluh
faktor karatif pada tabel 6 dapat dilihat mayoritas pada beberapa komponen perilaku caring yang ditunjukkan responden masih dalam kategori cukup. Hal
ini belum dapat dikatakan baik, namun ini mungkin disebabkan adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan perilaku caring berdasarkan beberapa
faktor karatif belum maksimal pelaksanaannya. Seperti halnya penelitian Amrulloh 2008 mengenai persepsi perawat terhadap perilaku caring di
BRSD RAA Soewondo Pati menyatakan bahwa kadang kala perawat tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat menunjukkan perilaku caring dengan baik karena adanya faktor-faktor lain. Hal ini diperkuat dengan penelitian Sobirin 2006 yang menemukan
bahwa beban kerja dan motivasi perawat mempengaruhi penerapan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan.
2.3. Perilaku Caring Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang