Perumusan Masalah Peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

1.2 Perumusan Masalah

Meskipun sumberdaya kelautan dan perikanan yang tersedia dan boleh dikatakan masih dalam tahap tingkat pemanfaatan yang belum optimal, ternyata kendala sumberdaya manusia menghalangi optimalisasi pembangunan sektor ini. Sumberdaya manusia memang adalah faktor penting dalam pembangunan. Aliran Cobb-Douglasian menempatkan sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi yang sangat penting, di samping modal atau kapital Cobb dan Douglas 1928. Optimasi suatu sistem produksi, baik pada tingkat industri maupun perusahaan, dicapai melalui pengelolaan atau manajemen sumberdaya manusia sedemikian rupa sehingga efisiensi bisa dicapai. Meskipun pada akhirnya aliran Cobb-Douglasian yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi ini dikritisi, namun kenyataannya optimasi produksi melalui pengaturan manajemen sumberdaya manusia tetap berlangsung. Aliran yang mengkritisi Cobb- Douglasian menilai manusia lebih tinggi dari sekedar faktor produksi. Manusia adalah objek bukan subjek pembangunan, bukan objek ekonomi tetapi subjek ekonomi. Karena pentingnya sumberdaya manusia, baik sebagai objek dan subjek pembangunan, maka otomatis keberadaannya menentukan kinerja pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Sumberdaya manusia yang rendah kualitasnya tentu saja mempengaruhi secara negatif kinerja pembangunan. Sebaliknya sumberdaya manusia yang tinggi kualitasnya, bila juga ditunjang kuantitas, akan secara positif menentukan kinerja pembangunan. Gejala menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia pada sektor perikanan terjadi secara global. Nikijuluw 2005, misalnya, memberi contoh tentang turunnya jumlah orang muda yang kuat dan berprestasi yang menjadi nelayan di Jepang dan Korea. Karena bisnis menangkap ikan dinilai sebagai bisnis yang memiliki sifat dangerous, dirty, dan desperate maka orang muda berhenti menjadi nelayan atau tidak mau masuk bekerja pada usaha ini. Disebut dangerous karena memang menangkap ikan penuh bahaya yang mengancam keselamatan. Disebut dirty karena usaha ini memang bernuansa dekil, bau amis, diterjang sinar matahari, dan tidak seperti pekerjaan di kantor. Disebut desparate karena menjalankan bisnis ini mengandung makna nekat dan aneh karena hanya mereka yang demikianlah yang mau tinggal berhari- hari di laut. Akibatnya, generasi muda Korea dan Jepang banyak yang tidak mau menjadi nelayan, sehingga yang bekerja di sektor perikanan adalah nelayan usia tua. Karena alasan kurang sumberdaya manusia usia muda maka Korea dan Jepang merekrut nelayan dari negara lain, utamanya Indonesia, Vietnam, Myanmar, dan Filipina, untuk mengoperasikan kapal-kapal perikanan laut dalam deep-sea fishing . Di tingkat nasional, minat generasi muda untuk bekerja pada usaha perikanan cenderung semakin berkurang, paling tidak dinilai dari kurangnya minat pemuda yang masuk sekolah kedinasan kejuruan perikanan. Bila dilihat dari alumni sekolah kejuruan perikanan, hanya sedikit yang ingin benar turun ke laut sebagai nelayan. Menurut Satria 2002 urbanisasi serta tersedia peluang kerja dan usaha di sektor lain adalah alasan kaum muda menurun minatnya pada pekerjaan sebagai nelayan. Disamping kecenderungan jumlah ge nerasi muda yang berkurang pada usaha perikanan, masalah lain yang dihadapi oleh industri perikanan Indonesia adalah kualitas sumberdaya manusia yang rendah, setidaknya dilihat dari tingkat pendidikan formal yang dijalani. Hanya tiga dari 10.000 orang nela yan yang pernah duduk di perguruan tinggi. Sementara, 79,50 nelayan tidak tamat Sekolah Dasar SD, sekitar 17,39 tamat SD, 1,90 tamat Sekolah Lanjutan Pertama SLTP dan 1,36 tamat Sekolah Lanjutan Atas atau SLTA DELP 2000 dan DKP 2004. Dengan kondisi kualitas sumberdaya manusia nelayan seperti ini, disertai dengan kecenderungan nelayan usia tua yang tinggal di dalam usaha perikanan, maka adalah salah satu upaya yang tidak ringan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dan pada akhirnya kinerja sektor perikanan Dalam skala lokal dan spektrum yang kecil, dampak kehadiran nelayan terhadap produksi perikanan sangat variatif Simbolon 2002. Misalnya, dalam penelitian tentang pengembangan perikanan pole and line di perairan Sorong menyimpulkan bahwa jumlah nelayan di suatu unit kapal tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan. Hasil tangkapan lebih ditentukan oleh ketersediaan umpan hidup dan musim penangkapan. Namun untuk kasus yang lain, hasil empiris menunjuk kan bahwa nelayan sangat mempengaruhi kinerja usaha perikanan dan mempengaruhi pembangunan pesisir pada spektrum yang lebih luas. Hasil penelitian empiris tersebut adalah sebagai berikut. Mangga Barani 2005 dalam penelitian tentang perikanan di wilayah padat tangkap Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa kehadiran nelayan dalam suatu unit penangkapan sangat mempengaruhi kinerja ekonomi usaha. Hasil yang sama juga diperoleh Bintoro 2005 pada saat melakukan penelitian tentang perikanan ikan tembang di Selat Madura. Sementara itu, untuk pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan dan terpadu, Lewaherilla 2006 menyimpulkan bahwa tersedianya sumberdaya manusia yang berkualitas adalah penentu utama kesenjangan implementasi kebijakan di lapangan. Akibat sumberdaya manusia yang tidak berkualitas, kebijakan pemerintah pusat dalam hal pembangunan pesisir diinterpretasikan dan diimplementasikan secara berbeda di tingkat daerah. Berdasarkan hasil penelitian empiris yang dirujuk ini, dapat dikatakan bahwa kehadiran nelayan masih memiliki arti penting dalam menentukan kinerja produksi perikanan. Pada spektrum lebih luas tentu saja kehadiran nelayan ikut mempengaruhi atau menentukan pembangunan perikanan serta pembangunan pesisir di suatu daerah. Dengan adanya kecenderungan turunnya kualitas nelayan, berkurangnya kuantitas nelayan usia muda, sementara di sisi lain, hasil penelitian empiris yang menunjukkan bahwa kehadiran nelayan masih sangat diperlukan maka hal tersebut merupakan suatu persoalan yang perlu dijawab. Bila trend penurunan jumlah nelayan usia muda terus berlanjut, padahal kehadiran mereka sangat diperlukan, maka hal tersebut akan sangat menentukan pembangunan kelautan dan perikanan di masa datang. Bukan tidak mungkin bahwa situasi ini akan membuat sumberdaya kelautan dan perikanan bukan dimanfaatkan oleh rakyat dan Bangsa Indonesia tetapi sebaliknya oleh negara asing melalui infiltrasi secara tidak legal. Dari sisi konstelasi politik, itu berarti bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan akan terganggu. Merupakan suatu hasil simplifikasi jika dikatakan bahwa pembangunan kelautan dan perikanan pesisir semata- mata tergantung pada ketersediaan sumberdaya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas. Karakter atau sifat intrinsik sumberdaya manusia tentu saja memiliki peranan yang besar dalam pembangunan. Secara komunal, sifat tersebut diwujudkan bersama dalam interaksi antar sesama manusia yang bisa dinilai sebagai cara pandang kolektif terhadap sumberdaya laut. Memang harus diakui bahwa kesadaran bangsa Indonesia terhadap sumberdaya laut masih sangat rendah. Bahkan, pemahaman dan pengetahuan bahwa Indonesia adalah suatu negara kepulauan juga masih sangat rendah. Umpamanya, Bachtiar 2002 mengatakan bahwa nama “Indonesia” sendiri pun bukan diberi oleh orang Indonesia, tetapi seorang Eropa yang bernama James Richardson. Mengikuti nama- nama yang diberikan pada rumpun-rumpun pulau di Lautan Pasifik, seperti Polynesia banyak pulau, Mikronesia pulau-pulau kecil, dan Melanesia pulau-pulau hitam, ia pun mengusulkan nama kepulauan Indonesia. Sebagai Indonesia, yaitu kepulauan yang berada di antara Asia dan Australia serta Lautan Hindia dan Lautan Pasifik maka sepantasnya oritentasi kehidupan manusianya bertumpu ke laut. Akan tetapi, meskipun sejarah kerajaan- kerajaan tua di Indonesia menunjukkan keperkasaan mereka di laut Ricklefs 2005, dalam kenyataannya keperkasaan dan kejayaan itu tidak dapat bertahan dan relatif mati pada masa setelah Indonesia merdeka. Atje et al. 2002 misalnya, menguraikan tentang kebijakan pembangunan masa setelah kemerdekaan yang bertumpu pada dua sumberdaya alam utama yaitu hutan dan minyak dan gas migas. Sumberdaya kelautan yang merupakan porsi terbesar negara ini, boleh dikatakan sama sekali diabaikan selama kurun waktu 50 tahun kemerdekaan. Tetapi desentralisasi pembangunan di era otonomi daerah saat ini memungkinkan beberapa daerah provinsi dan kabupatenkota melihat laut sebagai sumberdaya yang menjanjikan bagi ekonomi daerahnya. Tujuh dari 33 propinsi saat ini telah mendeklerasikan daerahnya sebagai provinsi kepulauan yang mengandalkan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai basis pembangunan ekonomi. Sementara itu, lebih dari 200 kabupaten-kota di Indonesia yang secara geografis memang berada di pesisir. Tampaknya dengan trend seperti ini, dimana sumberdaya hutan dan minyak yang sudah makin berkurang Atje et al. 2002 maka ke depan pembangunan kelautan dan perikanan akan lebih diperhatikan oleh bangsa ini. Bila ada kebijakan makro yang mendorong terbangun perspektif positif masyarakat terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan maka ke depan generasi muda bisa beralih memandang ke laut sebagai sumber kehidupan ekonomi mereka. Bila saja nilai- nilai kebaharian serta cinta laut yang ada pada suku-suku di Indonesia Pramono 2005 kembali digali dan diremajakan maka sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu luas dan besar ini dimanfaatkan dengan bijaksana bagi kemakmuran. Atas dasar adanya persoalan yang diuraikan ini maka penelitian ini dilakukan. Tentu saja suatu penelitian yang mencakup keseluruhan daerah secara nasional membutuhkan upaya yang sangat besar. Karena itu penelitian ini dilakukan pada kawasan dimana pembangunan kelautan dan perikanan memiliki arti penting serta sumberdaya alam ya ng tersedia dapat menjamin pengembangan di masa yang akan datang. Penelitian ini mengambil daerah pesisir Kabupaten Sukabumi sebagai daerah contoh atau kasus. Berdasarkan hasil penelitian empiris dari Kabupaten Sukabumi ini dilakukan proses induksi untuk menarik kesimpulan dan merumuskan implikasi kebijakan secara nasional. Alasan-alasan pengambilan Kabupaten Sukabumi sebagai contoh adalah sebagai berikut : 1. Sukabumi merupakan kabupaten pesisir yang memiliki potensi sumberdaya alam yang relatif tinggi karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia sebagai salah satu dari sembilan daerah penangkapan ikan Indonesia. Selain Samudera Hindia, daerah penangkapan ikan lainnya yang dimiliki Sukabumi namun umumnya dimanfaatkan oleh perikanan rakyat skala kecil adalah Teluk Pelabuhan Ratu. 2. Sukabumi memiliki sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang cukup lengkap, yaitu sumberdaya ikan laut untuk tujuan penangkapan dan sumberdaya budidaya laut. Benih ikan dan udang dihasilkan pula di daerah ini. Sampai tahun 2000, beberapa panti benih udang hatchery berlokasi di Sukabumi. Panti benih tutup sejalan dengan gugurnya industri budidaya udang windu. Di Kecamatan Cisolok masih beroperasi industri budidaya dan pembesaran sidat secara terpadu. 3. Sukabumi juga merupakan daerah yang banyak memiliki industri pengolahan, khususnya olahan tradisional. Produk pindang dan abon ikan adalah produk yang umum dihasilkan oleh pengusaha kecil Sukabumi. Dari Sukabumi, produk olahan ini dipasarkan ke daerah Jawa Barat lainnya, Jakarta serta kota-kota besar lainnya. Produk perikanan bernilai tambah tinggi dihasilkan oleh beberapa perusahaan yang terletak di Sukabumi. Produk tersebut umumnya diekspor ke Korea Selatan. 4. Selain kegiatan sumberdaya perikanan yang menjadi basis industri perikanan, Sukabumi juga merupakan kawasan wisata bahari. Pantai, gelombang, dan berbagai olahraga bahari adalah kegiatan yang menarik wisatawan. Dengan adanya industri pariwisata, penduduk khususnya pemuda dapat ikut serta langsung atau tidak langsung dalam industri ini. 5. Sukabumi adalah lokasi bagi Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Pelabuhan Ratu dan Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok. PPN Pelabuhan Ratu merupakan salah satu sentra produksi perikanan yang tersebar di pantai selatan Jawa yang juga dijadikan pangkalan bagi nelayan yang berasal dari Sibolga-Sumatera Utara, Cilacap-Jawa Tengah, Muara Baru-Jakarta, hingga Banyuwangi-Jawa Timur. 6. Dari sisi keikutsertaan pemuda dalam organisasi resmi kepemudaan, Sukabumi termasuk unik dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa Barat, yaitu relatif sedikitnya pemuda yang menjadi anggota organisasi kepemudaan yang dimaksud. Apakah ini berarti bahwa mereka juga tidak ikut berperan dalam bekerja memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut yang di sekitarnya untuk kebutuhan individu dan keluarga mereka, hal ini merupakan pertanyaan yang perlu dicari jawabannya. Secara spesifik, dan dengan menggunakan istilah pemuda untuk menggantikan usia muda, persoalan yang dirumuskan di atas dirinci dengan beberapa pertanyaan berikut: 1. Adakah pemuda berperan dalam pembangunan kelautan dan perikanan saat ini? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan peranan atau ketiadaan peranan tersebut? 3. Mungkinkah faktor- faktor tersebut digunakan sebagai peubah kebijakan dalam rangka meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan? 4. Bila mungkin, apa bentuk kebijakan yang perlu dirumuskan dan diimplementasikan sehingga pemuda akan semakin berperan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah diperolehnya suatu rumusan kebijakan yang melaluinya peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan dapat ditingkatkan. Dengan demikian, sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki Indonesia dapat digunakan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa dan negara. Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi dan mengkaji bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. 2. Mengkaji dan mensintesa faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembanguna n sektor kelautan dan perikanan. 3. Menentukan peubah kebijakan yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan. 4. Merumuskan kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

1.4 Manfaat Penelitian