D. PembahasanB
Pembelajaran tentang hukum-hukum gas ideal menggunakan simulasi PhET dengan metode problem solving dilaksanakan di kelas eksperimen pada
dua sekolah, yakni SMA Negeri 1 Prambanan dan SMA Negeri 2 Klaten. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui apakah pembelajaran menggunakan
simulasi PhET dengan metode problem solving dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa, serta untuk mengetahui apakah dapat diterapkan pada sekolah
dengan kondisi yang menerapkan kurikulum berbeda yakni KTSP maupun Kurikulum 2013.
Berdasarkan uji menggunakan Paired Samples T-Test terhadap sikap ilmiah awal dan akhir siswa kelas eksperimen, didapatkan hasil pada kedua
sekolah bahwa |t | |
| yakni |−2,38| |2,04| pada SMA Negeri 1 Prambanan dan |−3,00| |2,04| pada SMA Negeri 2 Klaten. Hal tersebut
berarti terdapat peningkatan sikap ilmiah pada siswa di kelas eksperimen kedua sekolah, dimana awalnya pada SMA Negeri 1 Prambanan terdapat 6,06 siswa
kemudian menjadi 15,15 siswa yang memiliki sikap ilmiah sangat baik, dengan sikap respek terhadap data, berpikir kritis, kerjasama, dan skeptis yang
telah berkembang bila dibandingkan dengan keadaan awalnya. Sedangkan, pada SMA Negeri 2 Klaten terdapat 12,12 siswa kemudian menjadi 33,33
siswa yang memiliki sikap ilmiah sangat baik, dengan sikap respek terhadap data, berpikir kritis, berpikir terbuka, kerjasama, teliti dan skeptis yang telah
berkembang bila dibandingkan dengan keadaan awalnya.
Namun, untuk lebih meyakinkan apakah peningkatan tersebut benar-benar terjadi dikarenakan adanya penggunaan simulasi PhET dengan metode problem
solving, maka hasil tersebut perlu dibandingkan dengan kelas pembanding yakni kelas kontrol.
Pada SMA Negeri 1 Prambanan, berdasarkan uji menggunakan Independent Samples T-Test terhadap skor sikap ilmiah awal kelas eksperimen
dengan kelas kontrolnya didapatkan bahwa t
obs
t
crit
yakni 0,384 2,00. Hal
tersebut berarti tidak ada perbedaan antara sikap ilmiah awal siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrol, sehingga skor sikap ilmiah akhir antara kelas
eksperimen dengan kelas kontrol dapat langsung dibandingkan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan antara keduanya. Berdasarkan
uji menggunakan Independent Samples T-Test terhadap skor sikap ilmiah akhir kelas eksperimen dengan kelas kontrol didapatkan bahwa t
obs
t
crit
yakni 0,245 2,00. Hal tersebut berarti tidak ada perbedaan antara sikap ilmiah akhir siswa
kelas kontrol dengan kelas eksperimen atau dengan kata lain pembelajaran menggunakan simulasi PhET dengan metode problem solving ini belum
optimal dalam meningkatkan sikap ilmiah siswa kelas eksperimen tersebut. Pada SMA Negeri 2 Klaten, berdasarkan uji menggunakan Independent
Samples T-Test terhadap skor sikap ilmiah awal kelas eksperimen dengan kelas kontrolnya didapatkan bahwa t
obs
t
crit
yakni 8,57 2,00. Hal tersebut berarti
terdapat perbedaan antara sikap ilmiah awal siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrolnya, ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tingkat
kemampuan antar kelas di SMA Negeri 2 Klaten dan kelas yang memiliki
kemampuan lebih tinggi dipilihkan sebagai kelas eksperimen oleh guru pengampu pelajaran fisika. Oleh sebab itu, dalam hal ini meski hasil skor rata-
rata sikap ilmiah akhir kelas eksperimen 31,87 lebih tinggi dibanding kelas kontrol 28,83 tetapi hal tersebut belum sepenuhnya dapat disimpulkan
sebagai akibat pemberian treatment dalam kelas eksperimen. Berdasarkan pengujian gain score didapatkan bahwa peningkatan sikap ilmiah di kelas
kontrol ternyata lebih baik dari kelas eksperimen, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan simulasi PhET dengan metode problem
solving ini belum optimal dalam meningkatkan sikap ilmiah siswa kelas eksperimen tersebut.
Tidak terjadinya peningkatan yang signifikan terhadap sikap ilmiah siswa tersebut dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti keterbatasan waktu,
kurang baiknya pemahaman siswa tentang PhET, pendampingan yang kurang menyeluruh, pembagian kelompok yang kurang baik, gaya belajar siswa yang
berbeda, dan penggunaan sumber belajar yang kurang dioptimalkan. a Keterbatasan waktu saat pembelajaran untuk penelitian, yang disebabkan
karena adanya pengambilan instrumen awal dan akhir pembelajaran yang menghabiskan kurang lebih 1 JP. Hal ini menyebabkan proses belajar siswa
tidak berlangsung maksimal untuk mengembangkan sikap ilmiahnya karena saat pembelajaran hampir selesai siswa menjadi terburu-buru dalam
menyelesaikan kegiatannya. b Sedikitnya pertemuan dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan simulasi PhET dengan metode problem solving
untuk mengembangkan sikap ilmiah tersebut, dimana dalam penelitian ini
hanya dilaksanakan selama dua kali pertemuan saja saat coaching dan penelitian dalam waktu kurang lebih 180 menit 2x2 JP. Sedangkan menurut
Ambarjaya 2012 dan Harlen dalam Sayekti, 2012: 147, cukup sulit bagi siswa dalam mengubah kebiasaan belajar dengan mendengarkan dan menerima
informasi dari guru pembelajaran tradisional menjadi belajar dengan banyak berpikir memecahkan permasalahan, sehingga hasilnya tidak dapat langsung
diamati dalam jangka waktu yang relatif singkat. c masih kurangnya pemahaman siswa mengenai penggunaan simulasi PhET meski sebelumnya
telah diadakan satu kali coaching, hal ini ditandai dengan banyaknya pertanyaan siswa mengenai penggunaan simulasi tersebut saat penelitian
berlangsung sehingga dapat mempengaruhi ketertarikan siswa untuk lebih mencari tahu. d keterbatasan gurupeneliti dalam memfasilitasi siswa saat
berkegiatan dengan simulasi, dimana gurupeneliti tidak dapat membimbing satu per satu kelompok siswa sehingga hal ini menyebabkan beberapa siswa
yang mengalami permasalahan tetapi kurang aktif bertanya menjadi kesulitan dalam menentukan tindakannya. Hal ini terlihat dari hasil LKS siswa, dimana
terdapat kelompok yang kurang tepat dalam membuat hipotesis maupun dalam menganalisis. e kurang baiknya pembagian kelompok siswa yang hanya
dilakukan secara acak dan tidak memperhatikan ketersebaran siswa berdasarkan kemampuan kognitif maupun afektifnya disetiap kelompok,
sehingga hal ini menyebabkan adanya kelompok-kelompok yang tidak berjalan dengan efektif dalam bekerjasama selama berkegiatan. f adanya perbedaan
gaya belajar antar siswa yang juga dapat mempengaruhi. Menurut Corte dalam
Winkel, 2004: 313 terdapat siswa yang memang cocok dan tertarik dengan metode pembelajaran yang mengharuskan siswa lebih aktif dalam pemecahan
masalah, namun sebaliknya ada pula siswa yang merasa belum berani berinisiatif sendiri dan cepat kehilangan semangat untuk menjalankan
pembelajaran tersebut. g kurang dimaksimalkannya pengunaan buku panduan sebagai referensi bagi siswa selama melaksanakan kegiatan, dimana siswa
hanya berpedoman pada LKS yang diberikan gurupeneliti. Sementara menurut Ambarjaya 2012: 109 dalam pembelajaran problem solving memerlukan
berbagai sumber belajar. Selain melakukan analisis terhadap sikap ilmiah secara keseluruhan,
peneliti juga melakukan analisis terhadap masing-masing aspek sikap ilmiah untuk mengetahui sejauhmana pengembangan sikap ilmiah yang terjadi baik
pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Berdasarkan perhitungan, diketahui bahwa pada kedua sekolah terdapat hasil yang lebih baik di kelas
eksperimen dibanding kelas kontrol untuk beberapa aspek sikap ilmiah. Pada SMA Negeri 1 Prambanan, terdapat tiga aspek sikap ilmiah yang memiliki skor
lebih tinggi di kelas eksperimen dibanding kelas kontrol terutama dalam sikap respek terhadap data, hal ini dapat disebabkan karena dengan adanya simulasi
PhET tersebut dapat menjadi sarana bagi siswa dalam menemukan data-data atau fakta yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh siswa dalam membuat
keputusan. Sedangkan pada SMA Negeri 2 Klaten, sikap kerjasama siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Di kelas
eksperimen SMA Negeri 2 Klaten ini kerjasama antar siswa baik laki-laki
maupun perempuan telah terjalin dengan baik, dimana setiap siswa dalam kelompok saling membantu dan berdiskusi dalam kelompoknya.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat diketahui bahwa terdapat juga hal- hal positif yang terjadi dalam pembelajaran menggunakan simulasi PhET
dengan metode problem solving tersebut terutama dalam mengembangkan sikap respek terhadap data dan kerjasama siswa. Selain itu, berdasarkan
pengamatan saat pembelajaran berlangsung, secara keseluruhan teramati bahwa terdapat aktivitas belajar yang lebih aktif di kelas eksperimen kedua sekolah
tersebut dibandingkan dengan kelas kontrolnya. Pada kelas eksperimen kedua sekolah tersebut terjalin interaksi antar siswa dalam kelompoknya untuk
membahas materi ataupun mengenai kegiatan menggunakan simulasi PhET tersebut, meski proses diskusi tersebut belum terjalin baik antara siswa
perempuan dengan laki-laki yang berada dalam satu kelompok di SMA Negeri 1 Prambanan. Dalam kelas eksperimen tersebut juga terjadi interaksi-interaksi
antara siswa dengan gurupeneliti selama kegiatan berkelompok selama gurupeneliti melakukan pendampingan kepada siswa. Hal-hal positif yang
terjadi di kelas eksperimen tersebut tentunya sesuai dengan tujuan dari penerapan simulasi PhET yang menekankan adanya keterlibatan siswa dalam
proses pembelajaran dan meningkatkan kualitas belajar itu sendiri Perkins
dkk, 2006: 18 .
Kemudian untuk mengetahui bagaimana penerapan pembelajaran menggunakan simulasi PhET dengan metode problem solving pada kedua
sekolah, dilakukan pengujian terlebih dahulu. Berdasarkan uji menggunakan
Independent Samples T-Test terhadap skor sikap ilmiah awal kelas eksperimen SMA Negeri 1 Prambanan dengan SMA Negeri 2 Klaten didapatkan bahwa
terdapat perbedaan antara sikap ilmiah awal siswa kelas eksperimen kedua sekolah. Oleh sebab itu, meskipun skor rata-rata sikap ilmiah akhir yang
dimiliki siswa kelas eksperimen SMA Negeri 2 Klaten 31,87 lebih tinggi dibanding SMA Negeri 1 Prambanan 28,57 tetapi hal tersebut belum
sepenuhnya dapat dikatakan bahwa treatment tersebut dapat lebih baik diterapkan di SMA Negeri 2 Klaten untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa.
Berdasarkan pengujian gain score didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan sikap ilmiah pada kedua sekolah, sehingga diketahui bahwa
pembelajaran menggunakan simulasi PhET dengan metode problem solving dapat diterapkan di kedua sekolah dengan kondisi kurikulum yang berbeda
tersebut yakni KTSP dan Kurikulum 2013 dalam mengembangkan sikap ilmiah siswa.
E. KeterbatasanBPenelitianB