34
kepyak, blencong dan sebagainya. Kemudian terdapat pada sususnan rumah
tradisional Jawa, seperti emper, pendhapa, omah mburi, gandhok senthog, dan ruangan untuk pertunjukan ringgit dalam bagian ruangan rumah tradisional.
Ringgit dalam bahasa Jawa berarti wayang, orang Jawa dalam membangun sebuah rumah sebuah rumah harus disediakan tempat untuk pergelaran wayang
Rizem Aizid, 2012: 26. UNESCO telah menetapkan bahwa wayang Indonesia merupakan warisan
peninggalan budaya dunia nonbenda yang perlu dilestarikan. Akhirnya menyiratkan pengakuan bahwa wayang Indonesia adalah seni budaya autentik
bangsa Indonesia. Tetapi karena system dokumentasi pada bangsa kita lemah, sehingga cukup sulit mendapatkan informasi atau data sejarah yang autentik
tentang wayang Indonesia. Prof. Dr. Soetarno sebagai pakar wayang berkeyakinan bahwa wayang merupakan produk asli bangsa Indonesia, istilah wayang
disebutkan di Kitab Bharatayuda pada bait 644 karya Empu Sedah di tahun 1157 Masehi Rizem Aizid, 2012: 35.
2.3.3. Legenda Cerita Gatotkaca
Gatotkaca adalah kesatria dari Pringgadani, putra Bima Werkudara dengan Dewi Arimbi, putri dari raja raksasa dari Pringgadani sekaligus penguasa
hutan. Gatotkaca mempunyai saudara seayah yaitu Antareja dan Antasena. Ketika masih kecil, Gatotkaca diberi nama Jabang Putut Tetuka.
Pada saat Gatotkaca lahir, sudah setahun dari kelahiran bayi yang bernama Jabang Tetuka mengalami kejadian aneh. Tali pusarnya tidak bisa dipotong, sudah
berbagai macam alat pemotong dan senjata yang digunakan untuk memotong tali pusarnya, tetapi tidak ada yang satupun yang berhasil. Raden Arjuna sebagai
paman ikut prihatin melihat keadaan keponakannya, kemudian ia memutuskan untuk pergi ke kahyangan untuk mencari senjata Sang Dewa.
Batara Guru yang mengetahui hal itu langsung mengutus Batara Narada untuk turun ke bumi menemui Arjuna dan memberikan pusaka yang bernama
Kunta Wijayandanu untuk memotong tali pusar si Jabang Tetuka. Tetapi, pada
saat yang bersamaan Adipatih Karna juga sedang bertapa. Dengan bantuan Batara Surya sebagai ayahnya, langit mendadak berubah menjadi gelap gulita. Karena
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
35
sosok Adipatih Karna mirip dengan Arjuna, Batara Narada salah memberikan pusaka tersebut kepada Adipatih Karna.
Setelah langit kembali terang, terlihatlah Karna. Batara Narada pun menyadari kesalahannya, setelah bertemu dengan Arjuna dia mengatakan bahwa
ia salah memberikan pusaka tersebutm kepada Adipatih Karna. Arjuna segera mengejar Karna, dan terjadilah pertarungan sengit antara dua kesatria. Tetapi,
Karna berhasil mendapatkan busur panahnya dan Arjuna mendapatkan sarung warangka pusaka tersebut. Namun, sarung Kunta Wijayandanu yang terbuat dari
kayu mastaba bisa digunakan untuk memotong tali pusar Gatotkaca, anehnya warangka tersebut masuk di perut Gatotkaca dan menyatu dengan tubuhnya.
Menurut Kresna itu akan menambah kekuatannya. Dewa menitahkan bahwa yang bisa membunuh Gatotkaca kelak hanya Karna, kerena Wijandanu akan mencari
warangkanya yang berada di perut Gatotkaca. Ketika itu di Kahyangan telah terjadi huru – hara akibat ulah Naga
Percona, karena niatnya untuk melamar Bidadari Dewi Supraba ditolak oleh Hyang Pramesti Batara Guru. Batara Narada meminjam si Jabang Tetuka untuk
melawan Naga Percona dari kerajaan Trabelasuket. Pada saat Naga Percona dihadapkan dengan Arimbiyatmaja nama lain Gatokaca, Naga Percona pun
segera menyerangnya. Tetapi semakin diahajar, bayi Arimbiyatmaja semakin bertambah kuat sehingga Arimbiyatmaja mengayunkan tangannya ke Naga
Percona dan spontan karena kesakitan, Naga Percona membanting Arimbiyatmaja hingga tewas.
Kemudian, Gatotkaca dijeburkan ke kawah Candradimuka di Gunung Jamurdipa. Gatotkaca kecilpun ditaburi dengan berbagai senjata pusaka oleh para
Dewa. Saat keluar dari kawah tersebut, Jabang Tetuka menjadi kesatria dewasa dan semua pusaka yang dilemparkan para Dewa tadi melebur menjadi satu di
dalam tubuhnya, karena tubuhnya tak bisa dilukai oleh senjata apapun Gatotkaca dijuluki “otot kawat tulang besi”. Pertarungan antara Gatotkaca dengan Kala
Precona berlangsung kembali. Pertarungan tidak berlangsung lama, Kala Precona langsung tewas.
Para Pandawa dan Sri Kresna kemudian datang ke Kahyangan memberi nasihat kepada Gatotkaca untuk tidak meneruskan perangai raksasanya,
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
36
bertarunglah secara kesatria dalam upacara tolak bala singkat gigi taring Gatotkaca dipotong. Khayangan bersuka cita, para Dewa dan Dewi bergembira.
Kemudian Batara Narada meruwat Jabang Tetuka dan mengganti namanya menjadi Gatotkaca, Batara Guru atau Sang Hyang memberikan tiga buah pusaka
sebagai rasa terimakasih kepada Gatotkaca. Tiga pusaka tersebut adalah Caping Basunada, caping ini yang membuta
pemakainya tidak terkena panas dan hujan sekalipun, Kontang Antrakusuma, bentuknya seperti rompi yang membuat pemiliknya bisa terbang tanpa
menggunakan sayap dan ketika malam memancarkan sinar yang berkobar-kobar saat terbang, Terompah Padakacarma, sepatu menetralisir energi negatif Aizid,
2012: 332. Setelah itu, Gatotkaca bersama Bima ayahnya dan keempat pamannya
serta Sri Kresna kembali turun ke bumi. Gatotkaca menjalankan hidupnya sebagai kesatira, saudara sepupunya Abi Manyu putra dari Arjuna adalah saudara
kesayangannya sampai-sampai kemana Abimanyu pergi, Gatotkaca mengikutinya layaknya pesawat pengintai yang terbang diatasnya.
Ketika Gatotkaca mengetahui saat Prabu Arjuna mengadakan sayembara memperebutkan putrinya yang bernama Dewi Perigwa, ia mengikuti sayembara
tersebut dan berhasil mengalahkan puluhan kesatria yang menjadi peserta sayembara, termasuk Laksamana Mandarakumara saudaranya sendiri karena ia
anak dari Prabu Duryudana pihak Kurawa. Dan kemudian Gatotkaca menikahi saudara sepupunya sendiri Dewi Perigwa, sampai pada akhirnya mereka punya
anak Sasikirana. “Pada saat Arimbi Ibundanya merasa putranya sudah dewasa, Gatotkaca
diangkat sebagai raja di Negeri Raksasa Pringgadani. Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, Kalabenda dan Brajadenta sebagai paman
Raksasanya itu menyayangi Gatotkaca terkecuali Brajadenta. Walaupun mereka semua Raksasa, tetapi mereka berbentuk bullet, kerdil, hatinya
mulia dan polos. Brajadenta sudah terhasut oleh Patih Sengkuni itu berontak karena yang seharusnya tahta itu jatuh ditangannya bukan
keponakannya yang masih seumur jagung. Ia diperintahkan untuk mencegah dan menyadarkan saudaranya, peperangan terjadi dimana kedua
pamannya sama – sama tewas. Arwah Brajamusti merasuk ke tangan kanan Gatotkaca dan Brajadenta masuk ke tangan kirinya, dengan itu
semakin bertambah kekuatan Gatotkaca.” anaknusantara.com, Gatotkaca: yang Punya Pringgadani, Roni, 27 Juli 2011
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
37
Pada perang Bharatayuda Gatotkaca menjadi Senapati. Tidak ada satupun prajurit Kurawa yang bisa mengalahkan Gatotkaca, banyak yang tewas akibat
hantaman Aji Narantaka, Brajamusti. Karena kekalahan Kurawa, Karna diangkat menjadi Senapati. Gatotkaca mengetahui dan ingat perintah Batara Narada, setiap
berhadapan langsung dengan Karna, Gatotkaca langsung bersembunyi dibalik awan karena Karna tidak bisa terbang. Akhirnya Karna melepaskan senjata Kunta
dan mengejar Gatotkaca, Gatotkaca pun terbang semakin tinggi. Panah itu tidak bisa menjangkau Gatotkaca yang terbang tinggi, tetapi sukma Kalabendana paman
Gatotkaca yang tidak sengaja terbunuh oleh Gatotkaca menyambut panah itu dan diteruskan untuk mengejar Gatotkaca.
Akhirnya senjata Kunta itu masuk di warangka atau pusar Gatotkaca sehingga ia gugur. Menyadari bahwa ajalnya telah tiba, ia yang tertembus Kunta
Wijayandanu kemudian segera merubah tubuhnya menjadi raksasa besar dan menjatuhkan dirinya dengan menukik dan menyambar kereta Adipati Karna dan
kubu Kurawa, sehingga menimpa di kubu Kurawa. Tetapi Karna berhasil menghindari dengan melompat agar tidak ikut tewas tertimpa Gatotkaca, dan
Gatotkaca Gugur sebagai pahlawan Pandawa Rizem Aizid, 2012: 332.
2.4. Studi Eksisting