Keadilan Distributif Landasan Teori

49 kesejahteraan yang baik. Harapan-harapan tersebut kemudian berkembang menjadi tuntutan yang diajukan karyawan terhadap perusahaan sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Dengan semakin tingginya tuntutan terhadap organisasi, maka semakin penting peran komitmen karyawan terhadap organisasi. Hal ini mempengaruhi keputusannya untuk tetap bergabung dan memajukan perusahaan, atau memilih tempat kerja yang lebih menjanjikan Robbins, 1998. Para karyawan mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika menerima penghargaan finansial misalnya gaji atau bonus yang diterima dari rencana pembagian keuntungan dalam pertukaran pekerjaan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi Chi dan Han, 2008. Pada model ekstrinsik, ketika para karyawan merasa diperlakukan secara adil setelah berpartisipasi dalam rencana pembagian keuntungan, mereka mengalami perasaan dari keadilan distributif. Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja, penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja Yusnaini, 2007. Hal ini menunjukkan bahwa respon sikap dan perilaku terhadap penghasilan berkaitan dengan penghasilan yang didasarkan pada persepsi mengenai keadilan. Pendapat mengenai keadilan distributif terbentuk ketika suatu kelompok membandingkan penghasilan mereka dengan pihak lain. 50 Keadilan distributif menyangkut alokasi keluaran dan reward pada anggota perusahaan. Pegawai menginvestasikan sesuatu kedalam organisasi atau perusahaan misalnya usaha, keahlian dan kesetiaan serta perusahaan memberikan penghargaan kepada pegawai atas investasi tersebut. Cara lain untuk menyatakan hal ini adalah bahwa perusahaan mendistribusikan penghargaan kepada para pegawainya tersebut berdasarkan beberapa skema atau persamaan. Para pegawai membentuk opini yang berkaitan dengan skema pendistribusian apakah penghargaan itu adil atau tidak. Perhatian mengenai keadilan distributif dirasakan adil dari penempatan hasil-hasil atau pemberian penghargaan kepada para anggota perusahaan. Ada banyak perbedaan definisi adil dalam distribusi pemberian penghargaan. Salah satu definisi tersebut didasarkan atas kepantasan. Orang yang bekerja keras atau produktif akan pantas apabila mendapatkan penghargaan terbesar. Hal ini dinamakan merit or equity norm. Definisi lain didasarkan atas dugaan persamaan equality yaitu setiap anggota akan mendapatkan bagian yang sama dari penghargaan, tanpa memandang usahanya. Definisi terakhir, keadilan dapat diperoleh berdasarkan atas equity norm yaitu menerima penghargaan sesuai dengan proporsi terhadap kebutuhan needs mereka Gilliand Chan, 2001. Keadilan distributif merupakan keadilan yang berasal dari hasil-hasil yang diterima seseorang. Keadilan distributif menurut karyawan jika hasil yang mereka terima sama jika dibandingkan dengan hasil yang diterima orang lain. Keadilan ini menunjuk pada keadilan yang diterima karyawan 51 dalam hasil Santosa, 2010. Distributive justice diturunkan dari equity theory yang dikemukakan oleh Adam pada tahun 1965. Premise equity theory mengemukakan bahwa seseorang cenderung untuk menilai status sosial mereka dengan penghasilan seperti rewards dan sumber daya yang mereka terima Greenberg, 1987. Jika di dalam suatu lingkungan sosial terdapat keadilan distributif yang bisa teraplikasikan secara baik maka akan bisa mengurangi dampak diskriminasi di dalam lingkungan pekerjaan, penerimaan jabatan atau posisi tertentu atas dasar agama atau etnis, dan jika terabaikan maka hal-hal tersebut bisa mempengaruhi kegiatan organisasi secara struktural Haryatmoko, 2002. Jenis keadilan yang terakhir adalah keadilan interaksional interactional fairness yang fokus pada perlakuan hubungan interaksi antara karyawan penyedia jasa layanan dengan pelanggan selama proses pemulihan layanan berlangsung. Penelitian sebelumnya menunjukkan permintaan maaf dari karyawan penyedia jasa layanan memiliki hubungan erat dengan persepsi pelanggan dalam keadilan interaksional Smith, Bolton dan Wagner, 1999. Keadilan interaksional merupakan kunci terbentuknya motivasi kerja dan komitmen terhadap organisasi. Keadilan interaksional terkait dengan kombinasi antara kepercayaan seorang bawahan terhadap atasannya dengan keadilan yang nampak dalam lingkungan kerja sehari-hari Bass, 2003. Dalam keadilan interaksional diasumsikan bahwa manusia sebagai anggota 52 kelompok masyarakat sangat memperhatikan tanda-tanda atau simbolsimbol yang mencerminkan posisi mereka dalam kelompok Tyler dalam Faturochman, 2002. Oleh karenanya, manusia berusaha memahami, mengupayakan, dan memelihara hubungan sosial dalam kelompok atau organisasi.

5. Keefektifan Kerja

Karyawan yang bekerja di suatu perusahaan pasti menghasilkan sesuatu. Hal ini disebut kinerja. Kinerja sangat dipengaruhi oleh kondisi dan cara bekerja karyawan. Bila mereka bekerja dengan baik maka menghasilkan hasil atau kinerja yang baik pula, sebaliknya jika mereka bekerja dengan buruk atau malas-malasan maka hasilnya akan kurang. Kinerja adalah suatu hasil prestasi kerja optimal yang dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok ataupun badan usaha. Pengukuran kinerja secara tradisional adalah pengukuran kinerja yang berorientasi kepada bidang keuangan dan kemampuan untuk mendapatkan laba. Suatu perusahaan dikatakan mempunyai kinerja yang baik kalau dalam laporan keuangannya mendapat keuntungan, sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya Mulyadi, 2001. Istilah kinerja didefinisikan oleh Mangkunegara 2005 sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab atau target yang diberikan kepadanya. Hasibuan 2003 mengemukakan bahwa kinerja 53 adalah suatu hasil yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kualitas kerja diukur dengan melihat ketepatan ketelitian, kerapihan, dan keberhasilan hasil pekerjaan sesuai dengan standar kualitas yang diharapkan. Kinerja dilihat dari kemampuan karyawan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan tenggat waktu yang telah diberikan. Menurut Wirawan 2009 kriteria ini menentukan keterbatasan waktu untuk memproduksi produk, membuat sesuatu atau melayani sesuatu, dalarn hal ini adalah pekerjaan yang karyawan lakukan. Ketepatan waktu diukur melalui keinginan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Manfaat dari employee engagement diungkapkan oleh Siddhanta dan Roy 2010 yang menyatakan bahwa employee engagement dapat meciptakan kesuksesan bagi perusahaan melalui hal-hal yang berkaitan dengan kinerja karyawan, produktivitas, keselamatan kerja, kehadiran dan retensi, kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, hingga profibilitas. Kinerja karyawan menjadi salah satu hal yang menjadi akibat dari terciptanya employee engagement yang tinggi. Hal tersebut diungkapkan pula oleh Robinson et al dalam Little 2006 menyatakan bahwa karyawan yang memiliki kaitan kuat dengan perusahaan akan meningkatkan performansi dalam pekerjaannya untuk keuntungan perusahaan. Pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai 54 dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya Mangkunegara, 2005. Penilaian kerja yang dilakukan perusahaan bertujuan untuk mengetahui tingkat kinerja, yaitu gambaran mengenai hasil pencapaian target dalam atau perusahaan. Kinerja yang baik dapat dilihat dari keefektifannya. Hal ini yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Robbins 1998 mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai suatu tingkat untuk dapat merealisasikan tujuannya. Sedangkan menurut Handoko dalam Zuliyanti 2005 efektivitas kerja terdiri dari kata efektivitas dan kerja. Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tercapainya efektivitas kerja, menurut Zuliyanti 2005. Pertama adalah karakteristik organisasi. Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi organisasi. Struktur merupakan cara untuk suatu organisasi menyusun orang-orangnya untuk menciptakan sebuah organisasi yang meliputi jumlah spesialisasi pekerjaan, desentralisasi pengendalian untuk penyelesaian pekerjaan. Teknologi merupakan suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah menjadi keluaran jadi. Faktor yang kedua adalah karakteristik lingkungan. Lingkungan mencakup dua aspek yang berhubungan yaitu lingkungan intern dan ekstern. Lingkungan intern dikenal dengan iklim organisasi yang meliputi atribut lingkungan kerja seperti kepuasan dan prestasi. Lingkungan ekstern 55 menyangkut kekuatan yang timbul diluar batas organisasi yang mempengaruhi tindakan dalam organisasi seperti adanya peraturan pemerintah. Karakteristik pekerja merupakan faktor selanjutnya. Dalam hal ini, pekerja mempunyai pandangan, tujuan, kebutuhan dan kemampuan yang berbeda-beda sehingga akan menyebabkan perbedaan perilaku antara orang satu dengan orang lain. Prestasi merupakan modal utama di dalam organisasi yang akan berpengaruh besar terhadap efektivitas, sebab meskipun teknologi yang dipergunakan canggih jika tanpa prestasi tidak ada gunanya. Faktor terakhir adalah kebijakan dan praktek manajemen. Manajer memegang peranan sentral dalam keberhasilan suatu organisasi melalui perencanaan, koordinasi dan memperlancar kegiatan. Sehingga manajer berkewajiban menjamin struktur organisasi konsisten dan menguntungkan untuk teknologi dan lingkungan yang ada. Selain itu manajer juga bertanggungjawab untuk menetapkan suatu sistem imbalan yang pantas sehingga dapat memuaskan kebutuhan pekerja dan tujuan pribadinya dalam mengejar sasaran organisasi. Jika setiap faktor yang telah disebutkan diatas dipenuhi dengan baik maka akan tercipta hasil yang efektif. Selain itu ada beberapa indikator untuk mengukur efektivitas kerja menurut Richard dan M. Steers dalam Zuliyanti 2005 yang meliputi: pertama, kemampuan menyesuaikan diri. Kemampuan manusia terbatas dalam segala hal, sehingga dengan 56 keterbatasannya itu menyebabkan manusia tidak dapat mencapai pemenuhan kebutuhannya tanpa melalui kerjasama dengan orang lain. Setiap organisasi yang masuk dalam organisasi dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang yang bekerja di dalamnya maupun dengan pekerjaan dalam organisasi tersebut. Jika kemampuan menyesuaikan diri tersebut dapat berjalan maka tujuan organisasi dapat tercapai. Selanjutnya efektivitas dapat diukur dengan prestasi kerja. Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan dan waktu mengacu Hasibuan dalam Zuliyanti, 2005. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi kerja adalah hasil yang dicapai pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan mutu dan sasaran serta batas waktu yang telah ditentukan.

B. Peneliti Terdahulu

Table 1.1 : Peneliti Terdahulu Hipotesis Penulis Nama Peneliti Terdahulu Judul Penelitian Pengaruh yang diteliti Kontrak psikologis employee engagement Jyotsna Bhatnagar dan Soumendu Biswas The mediator analysis of psychological contract: relationship with employee engagement and organisational commitment Kontrak psikologis memprediksi level engagement karyawan. 57 Tabel 1.1, lanjutan Keadilan distributif employee engagement Alan M. Saks Antecedents and consequences of employee engagement Pengaruh karakteristik pekerjaan, persepsi dukungan organisasi, persepsi dukungan atasan, penghargaan dan pengakuan, keadilan prosedural, dan keadilan distributif terhadap employee engagement Employee engagement Keefektifan kerja Heather K, Piotr Wilk, Julia Cho, and Paula Greco Empowerment, engagement and perceived effectiveness in nursing work environments: does experience matter? Pengaruh employee engagement terhadap keefektifan C. Hipotesis Kontrak psikologis dipandang sebagai hal yang relevan dalam menjelaskan fenomena yang terjadi dalam perusahaan. Rousseau 1995 menyatakan bahwa kontrak psikologis merupakan kepercayaan individu terhadap perjanjian pertukaran antara perusahaan tersebut dengan karyawan. Pelanggaran kontrak psikologis terjadi ketika karyawan yang bersangkutan tidak menerima balas jasa yang sesuai dengan yang dijanjikan oleh perusahaan Zottoli, 2003. Pelanggaran kontrak psikologis terkait dengan efektifitas manajemen retensi karena sementara manajemen retensi merujuk 58 pada imbalan yang diberikan oleh perusahaan dalam rangka mengurangi turnover nyata karyawan, kontrak psikologis pada karyawan berfokus pada evaluasi terhadap imbalan yang diberikan perusahaan dan bagaimana hal ini mempengaruhi tekad mereka untuk tetap berada di perusahaan. Ketika karyawan mengevaluasi bahwa imbalan yang dijanjikan perusahaan tidak terpenuhi, pelanggaran kontrak psikologis terjadi dan manajemen retensi akan gagal. Jadi, dapat diasumsikan bahwa pelanggaran kontrak psikologis berhubungan positif dengan intensi turnover pada karyawan. Hal serupa juga dikemukakan Turnley dan Feldman 1998 bahwa persepsi akan adanya pelanggaran kontrak psikologis dapat mengarah pada keengganan untuk berkontribusi dalam perusahaan Konsep kontrak psikologis adalah kepercayaan dari individu dalam kewajiban timbal-balik dengan pemilik pekerjaan. Kepercayaan ini menyatakan tentang pemahaman terhadap janji-janji yang dibuat dan menawarkan pertimbangan-pertimbangan dalam perubahan yang mengikat antara pekerja dan organisasi dalam rangka menyusun sebuah kewajiban timbal-balik. Selain itu, kepercayaan tersebut muncul ketika individu masuk dalam organisasi atau perusahaan dengan membuat kontrak tidak tertulis yang harus dipatuhi. Kontrak ini mengenai harapan timbal-balik, pekerja dan pemilik pekerjaan. Kontrak psikologis didasarkan pada pemahaman antara pekerja dan pemilik pekerjaan dalam pemenuhan kontribusi masing- masing, sehingga dengan adanya proses timbal balik mengenai harapan antara pekerja dengan pemilik pekerjaan ini, menimbulkan adanya