Pengujian Hipotesis Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
88
dan kesejahteraannya sehingga karyawan semakin bersedia untuk terikat dan berhubungan baik dengan perusahaannya.
Sebaliknya, jika harapan karyawan tidak terpenuhi maka pelanggaran kontrak psikologis pun terjadi. Hal ini dikarenakan karyawan yang
bersangkutan tidak menerima balas jasa yang sesuai dengan yang dijanjikan oleh perusahaan. Pelanggaran kontrak psikologis berhubungan dengan
sejauh mana manajemen imbalan berjalan dengan baik sehingga setiap karyawan mendapatkan sesuai dengan kerjanya. Ketika karyawan
mengevaluasi bahwa imbalan yang dijanjikan perusahaan tidak terpenuhi, pelanggaran kontrak psikologis terjadi.
Morrinson dan Robinson dalam Hussain et al 2011 mendefinisikan pelanggaran terhadap kontrak psikologis sebagai kesenjangan antara
pandangan mengenai hal yang dijanjikan dengan apa yang diperoleh. Morrinson dan Robinson 2000 juga memaparkan bahwa terjadinya
pelanggaran kontrak psikologis disebabkan oleh dua akar utama, yaitu pengingkaran dan ketidaksesuaian. Pengingkaran terjadi ketika pihak
perusahaan menyadari keberadaan dari tanggung jawab yang dimaksud, namun gagal memenuhi tanggung jawabnya. Berbeda dengan itu,
ketidaksesuaian terjadi ketika karyawan memiliki perbedaan pandangan dengan pihak perusahaan mengenai tanggung jawab yang ada dalam
hubungan tenaga kerja. Perusahaan sebaiknya memahami dengan benar apa yang diinginkan
dan dibutuhkan oleh karyawannya. Hal ini penting karena dapat
89
menentukan perilaku dan tanggapan karyawan di tempat kerja. Saat kontrak psikologis telah rusak maka karyawan akan merasa bahwa pihak perusahaan
telah gagal dalam memenuhi janji dan komitmennya sehingga karyawan akan merasa enggan untuk melaksanakan kewajibannya pada perusahaan.
Hal ini akan memberikan dampak seperti hilangnya perasaan memiliki perusahaan hilangnya kepercayaan karyawan terhadap perusahaan,
menurunkan kepuasan kerja, kinerja karyawan, dan peningkatan tingkat absensi karyawan. Lebih lanjut lagi, pelanggaran kontrak ini juga dapat
mendorong kemarahan, menurunkan loyalitas, perasaan bertanggung jawab, bahkan melakukan penyelewengan dalam lingkungan kerja. Menurut
Hussain et al 2011 perilaku yang menyimpang dalam lingkungan kerja dapat dilakukan dalam taraf minim seperti pulang lebih cepat dan kurang
menghargai rekan kerja, hingga pada taraf yang membawa kerugian besar seperti melakukan tindak pencurian, membocorkan data perusahaaan pada
pihak lain, dan tidak bekerja dengan baik. Perilaku tersebut menunjukkan tingkat engagment karyawan yang rendah karena kontrak psikologis yang
telah rusak. Faktor pendukung employee engagement yang lainnya dalam
penelitian ini adalah keadilan distributif. Keadilan distributif berpengaruh pada employee engagement yang ditunjukkan oleh koefisien jalur sebesar
0,375. Hal ini didukung oleh Alan M. Saks yang meneliti bahwa keadilan distributif berpengaruh positif terhadap employee engagement. Akan tetapi,
beliau juga meneliti variable lainnya yaitu karakteristik pekerjaan, persepsi
90
dukungan organisasi, persepsi dukungan atasan, penghargaan dan pengakuan, dan keadilan prosedural yang juga berpengaruh positif terhadap
employee engagement. Selain itu, konsekuensi dari employee engagement juga diteliti dimana employee engagement berpengaruh positif terhadap
kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan organizational citizenship behaviour OCB dan berpengaruh negatif pada keinginan untuk berhenti.
Penelitian di bidang organizational justice menunjukkan bahwa ketika para karyawan diperlakukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan
perilaku yang baik. Sugiarti 2005 mendukung hal ini dan berpendapat ketika para karyawan diperlakukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan
perilaku yang dibutuhkan untuk keberhasilan perubahan organisasi bahkan dalam kondisi sulit sekalipun.
Keadilan distributif merupakan suatu anggapan mengenai keadilan hasil oleh organisasi dalam hubungannya dengan individu atau input
kelompok, dan keadilan ini didominasi oleh teori kesamaan Thornhill dan Saunders, 2003, khususnya dalam hal bagaimana individu mengevaluasi
dan bereaksi terhadap perlakuan yang berbeda. Keadilan distributif juga didefinisikan
oleh Homans
1961 yaitu
bagaimana seseorang
membandingkan antara masukan dengan hasil sedangkan menurut Greenberg dan Baron 2003 keadilan distributif adalah persepsi seseorang
terhadap keadilan atas pendistribusian sumber-sumber di antara para karyawan. Kreithner dan Kinicki 2003 menyatakan bahwa keadilan
distributif adalah keadilan sumberdaya dan imbalan penghargaan,
91
mencerminkan keadaan yang dirasakan mengenai bagaimana sumberdaya dan penghargaan dialokasikan. Dengan kata lain, merupakan pandangan
karyawan tentang pembagian imbalan di perusahaan. Hal ini berkaitan dengan apakah mereka menerima hasil yang pantas dan seimbang dengan
rekan kerjanya. Individu yang menerima hasil yang menguntungkan dalam artian yang obyektif masih bisa merasa tidak senang jika mereka
menganggap bahwa yang diterima orang lain lebih baik. Perusahaan yang baik adalah yang dapat memberikan kebutuhan
karyawannya secara adil. Upaya perusahaan untuk memberikan perlakuan maupun imbalan yang adil kepada setiap karyawannya agar tidak
memunculkan kemarahan dan kecemburuan sosial. Respon dan perilaku karyawan berkaitan dengan penghasilan didasarkan pada persepsi mengenai
keadilan. Para karyawan mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika menerima penghargaan finansial dalam pertukaran pekerjaan yang
mereka lakukan, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi. Ketika para karyawan merasa diperlakukan secara adil
setelah berpartisipasi dalam rencana pembagian keuntungan, mereka akan semakin berperilaku positif dan semakin engaged terhadap perusahaannya.
Sesuai dengan hasil mean keadilan distributif pada tabel yang menunjukkan nilai rata-rata 4,0 dari skala Likert. Hasil data ini
membuktikan secara keseluruhan persepsi karyawan hotel terhadap keadilan distributif cukup baik. Ketiga hotel tersebut dianggap telah cukup adil dalam
pendistribusian imbalan kepada karyawannya. Karyawan hotel merasakan
92
keadilan yang berkaitan dengan beberapa hal seperti gaji, tunjangan, kompensasi, serta pembagian tanggung jawab dan beban kerja. Semakin
keadilan distributif ditegakkan dan diterapkan oleh pihak hotel maka karyawan akan semakin engaged.
Meskipun kontrak psikologis dan keadilan distributif sama-sama mempengaruhi employee engagement, hasil penelitian membuktikan
pengaruh kontrak psikologis lebih besar dibangdingkan pengaruh keadilan distributif. Hal ini dapat dikarenakan cakupan kontrak psikologis yang lebih
luas. Karyawan hotel dan karyawan pada umumnya pasti memiliki banyak harapan terhadap perusahaannya. Harapan tersebut mencakup keinginan
untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat finansial seperti gaji, promosi, dan uang lembur dan yang bersifat psikologis seperti kepercayaan atasan,
didengarkan pendapatnya, dan dianggap keberadaannya. Kedua hal tersebut termasuk dalam dua dimensi kontrak psikologis yaitu transaksional dan
relasional. Sedangkan keadilan distributif, walaupun penting peranannya agar tidak menimbulkan rasa iri dan kecewa, proporsi pengaruhnya lebih
kecil karena cakupannya yang lebih sempit yaitu hanya menyangkut persepsi keadilan karyawan dalam pendistribusian imbalan.
Hasil penelitian ini juga telah membuktikan secara empiris bahwa kefektifan kerja tiga hotel di Yogyakarta yang diteliti dipengaruhi secara
positif oleh employee engagement. Implikasinya, semakin kuatnya employee engagement yang ada dalam diri karyawan, maka keefektifan kerja akan
cenderung meningkat. Sebaliknya, jika employee engagement menurun atau
93
rendah maka keefektifan kerja cenderung akan menurun. Pengaruh tersebut sebesar 80,6, yang berarti keefektifan kerja karyawan 80,6 ditentukan
oleh kuat lemahnya employee engagement karyawan di departemen tersebut; sedangkan sisanya 19.4 ditentukan oleh variabel-variabel lain
yang tidak tercakup dalam model penelitian ini. Beberapa contoh yang dapat menjadi variabel-variabel lain adalah kepemimpinan, imbalan, dan kepuasan
kerja. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian yang pernah
dilakukan oleh Heather K, Piotr Wilk, Julia Cho, and Paula Greco dimana employee engagement berpengaruh positif terhadap keefektifan kerja.
Penelitian tersebut meneliti pengaruh employee engagement terhadap keefektivan untuk perawat rumah sakit dan hubungannya dengan
pengalaman kerja. Employee engagement, menurut Cho et al 2013 adalah hubungan
positif dengan organisasinya yang dapat mengarah kepada kinerja dan profitabilitas yang lebih baik. Hal ini didukung oleh Blessing White 2008
dimana employee engagement meliputi rasa antusiasme atau gairah dan komitmen yang membuat seseorang mampu menginvestasikan dan
mengembangkan usahanya secara berkelanjutan sehingga dapat mendorong kesuksesan perusahaan.
Menurut Schaufeli Bakker 2008 employee engagement adalah sikap yang positif, penuh makna, dan motivasi yang memiliki 3
karakterisitik yaitu vigor dimana karyawan memiliki energi yang tinggi,
94
ketangguhan mental ketika bekerja, keinginan untuk memberikan usaha terhadap pekerjaan dan juga ketahanan dalam menghadapi kesulitan.
Dedication dikarakteristikan dengan rasa antusias, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. Absobtion dikarakterisitikan dengan berkonsentrasi penuh
dalam pekerjaan dan senang ketika dilibatkan dalam pekerjaan, sehingga waktu akan tersa berjalan dengan cepat.
Penting bagi perusahaan untuk memperhatikan employee engagement para karyawannya karena hal tersebut sangat berkaitan erat dengan outcome
bisnis penting seperti: kesediaan karyawan untuk tetap bekerja di perusahaan, produktivitas, keuntungan, loyalitas dan kenyamanan
pelanggan. Semakin karyawan memiliki rasa engagement yang tinggi dengan perusahaan, maka semakin meningkat pula pertumbuhan pendapatan
bisnis tersebut. Perusahaan yang karyawannya memiliki tingkat employee engagement tingkat ditandakan dengan karyawan yang terlibat secara aktif
dan perusahaan tersebut memiliki iklim kerja yang positif. Baumruk dan Gorman 2006 mengatakan jika karyawan memiliki
rasa engagement yang tinggi dengan perusahaan, hal tersebut akan meningkatkan tiga perilaku umum yang akan meningkatkan kinerja
perusahaan: 1 Say mengatakan
—karyawan akan memberikan masukan untuk organisasi dan rekan kerjanya, dan akan memberikan masukan mengenai
karyawan dan konsumen yang berpotensi
95
2 Stay tetap tinggal —karyawan tetap akan bekerja di organisasi
tersebut walaupun ada peluang utuk bekerja di tempat lain 3 Strive upaya
—karyawan akan memberikan lebih banyak waktu, usaha dan inisiatif untuk dapat berkontribusi demi kesuksesan organisasi.
Gallup 1998 berpendapat bahwa ada 4 dimensi employee engagement
yang diambil dari Gallup’s Q12, yaitu What do I give?, What do I get?, Do I belong?, dan how can We grow? Pada tingkat dasar Apa
yang aku dapatkan? karyawan ingin mengetahui apa yang diharapkan perusahaan terhadap dirinya serta apa yang ia dapatkan dari pekerjaannya.
Pada tingkat 1 Apa yang aku berikan? karyawan fokus pada kontribusi individu dan persepsi orang lain mengenai hal tersebut. Pada tingkat 2
Apakah aku cocok berada di sini? karyawan ingin mengetahui apakah dirinya cocok berada di perusahaan. Pada tingkat 3 Bagaimana kita semua
bisa berkembang? karyawan ingin membuat perusahaan menjadi lebih baik, berkeinginan untuk belajar, dan berinovasi. Jika karyawan telah mencapai
tingkat 3 maka dapat dikatakan karyawan tersebut sudah sangat engaged dengan perusahaannya.
Seorang karyawan yang engaged memiliki kesadaran terhadap bisnis, mau bekerja sama dengan rekan kerja untuk meningkatkan kinerja dalam
pekerjaan untuk keuntungan organisasi, dan memiliki antusiasme yang besar untuk bekerja, bahkan terkadang jauh melampaui tugas pokok yang tertuang
dalam kontrak kerja mereka. Kesadaran bisnis yang dimiliki oleh karyawan akan membuatnya memberikan upaya terbaik mereka dalam meningkatkan
96
kinerja mereka. Mereka sadar bahwa kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh kinerja mereka. Rasa engagement ini membuat mereka bekerja dengan
efektif demi kebaikan perusahaan. Keefektifan kerja dapat dilihat dari kemampuan karyawan untuk memilih tujuan atau peralatan yang tepat untuk
pencapaian tujuan yang ditetapkan Handoko dalam Zuliyanti, 2005. Sebaliknya jika rasa engagement tersebut tidak ada, maka akan
muncul perilaku seperti karyawan bekerja tidak efektif dan efisien, tidak menunjukkan komitmen penuh terhadap pekerjaannya, tidak tertarik untuk
melakukan perubahan dalam organisasi, serta selalu merasa khawatir terhadap segala bentuk evaluasi seperti survei kinerja Blessing White,
2008. Hasil kuesioner menunjukkan rata-rata employee engagement pada
ketiga hotel 3.9 dari 5 skala Likert. Hal ini membuktikan tingkat engagement karyawan yang cukup baik. Selain itu, nilai koefisien jalur
sebesar 0,898 yang menandakan besarnya pengaruh employee engagement terhadap kefektifan kerja. Namun, nilai pengaruh employee engagement
terhadap kefektifan kerja lebih rendah yaitu 80,6 dibandingkan pengaruh kontrak psikologis dan keadilan distributif terhadap employee engagement
yang sebesar 92,4. Melihat pentingnya meningkatkan tingkat employee engagement
karena dapat berpengaruh pada keefektifan kerja, maka ketiga hotel ataupun perusahaan lainnya dapat melakukan upaya untuk mempertahankan dan
97
meningkatkan kontrak psikologi dan keadilan distributif yang terbukti berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya employee engagement.
98