Employee engagement Landasan Teori

32 Ketiga adalah strive upaya dimana karyawan akan memberikan lebih banyak waktu, usaha dan inisiatif untuk dapat berkontribusi demi kesuksesan organisasi. Gallup 1998 berpendapat bahwa ada 4 dimensi employee engagement yang diambil dari Gallup’s Q12, yaitu what do I give?, what do I get?, do I belong?, dan how can we grow? a. Tingkat dasar: Apa yang aku dapatkan? Pada dimensi ini karyawan ingin mengetahui apa yang diharapkan perusahaan terhadap dirinya serta apa yang ia dapatkan dari pekerjaannya. b. Tingkat 1: Apa yang aku berikan? Pada dimensi ini karyawan fokus pada kontribusi individu dan persepsi orang lain mengenai hal tersebut. c. Tingkat 2: Apakah aku cocok berada di sini? Pada dimensi ini karyawan ingin mengetahui apakah dirinya cocok berada di perusahaan. d. Tingkat 3: Bagaimana kita semua bisa berkembang? Dimensi ini merupakan tahap yang paling menguntungkan dimana karyawan ingin membuat perusahaan menjadi lebih baik, berkeinginan untuk belajar, dan berinovasi. Pengertian employee engagement tersebut menegaskan perbedaannya dengan kepuasan kerja yang selama ini diyakini oleh kalangan akademisi maupun praktisi manajemen sebagai faktor penting untuk meningkatkan 33 pencapaian kinerja organisasi. Fernandez 2007 menunjukkan bahwa kepuasan kerja berbeda dengan employee engagement dalam pekerjaannya. Kepuasan kerja dibangun diatas landasan hubungan transaksional antara individu karyawan dan manajemen. Manajemen menggunakan sumber daya organisasi untuk mendorong upaya individu kearah pencapaian sasaran kerja tertentu seperti pencapaian volume penjualan tertentu atau waktu penyerahaan jasa standar dan kemudian menjanjikan imbalan yang sesuai dengan kebutuhan atau harapan individu karyawan tersebut. Saat ini dengan dinamika lingkungan persaingan yang ketat dan ketersediaan sumber daya organisasi yang makin terbatas. Tren restrukturisasi organisasi dalam kerangka peningkatan efisiensi beban operasional mengakibatkan jumlah jabatan struktural yang tersedia pada struktur organisasi makin terbatas dan penggabungan fungsi dalam struktur menjadi sarana untuk menjamin bahwa tugas terbagi habis. Kondisi ini menuntut kapasitas individu pemangku jabatan yang makin besar tapi tidak menjanjikan imbalan yang secara proporsional lebih besar searah dengan peningkatan beban kerja dan tanggung jawab. Dengan demikian manajemen tidak bisa mengandalkan kepuasan kerja individu sebagai dasar mendorong dan memelihara kinerja individu karyawan yang terbaik. Employee engagement merupakan prediktor kinerja individu yang lebih kuat dibandingkan dengan kepuasan kerja individu. Employee engagement juga berbeda dengan komitmen terhadap organisasi karena dalam pelaksanaan pekerjaan individu yang memiliki 34 engagement tinggi cenderung melibatkan komitmen intelektual dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Karyawan yang engaged sudah pasti berkomitmen pada pekerjaan dan organisasinya namun karyawan yang berkomitmen belum tentu engaged. Employee engagement memiliki keterkaitan dengan berbagai gagasan dalam perilaku organisasi namun tetap berbeda. Employee engagement bukan hanya sekedar sikap seperti komitmen organisasi tetapi merupakan tingkat seorang karyawan penuh perhatian dan melebur dengan pekerjaannya. Dalam literatur akademis, employee engagement telah didefinisikan sebagai konstruk yang unik dan berbeda yang mengandung komponen kognitif, emosi, dan perilaku yang berhubungan dengan kinerja individu Saks, 2006. Menurut Maslach et al dalam Saks 2006 terdapat enam hal yang mempengaruhi engagement yaitu beban kerja, kontrol, rewards dan recognition, dukungan komunitas dan sosial, keadilan yang diterima, dan nilai. Mereka berpendapat bahwa job engagement berhubungan dengan beban kerja yang seimbang sustainable workload, kebebasan memilih dan mengendalikan, upah dan penghargaan yang pantas, komunitas kerja yang mendukung, kewajaran fairness dan keadilan justice, serta pekerjaan yang berarti dan bernilai. Ahli lainnya seperti Schaufeli dan Bakker dan Sonnentag seperti dikutip Saks 2006, menemukan engagement memiliki hubungan positif terhadap komitmen organisasi dan memiliki hubungan negatif dengan 35 intention to quit dan dipercaya juga berhubungan dengan kinerja dan perilaku peran ekstra extra-role behaviour, yang sering juga disebut sebagai perilaku anggota organisasi atau Organization Citizenship Behaviour OCB Employee engagement seorang karyawan yang tinggi akan menampilkan kinerja yang sangat baik. Menurut Coffman 2000, untuk memulai pembentukan employee engagement maka yang harus dilakukan adalah memperkuat hubungan melalui sistem komunikasi yang lancar. Karyawan juga membutuhkan penguatan hubungan kerja dengan tim sehingga memunculkan komitmen yang kuat dalam organisasi. Manajer dapat memanfaatkan talenta karyawan untuk membangkitkan kekuatan karyawan serta mengembangkan tujuan dan target sehingga dapat meningkatkan kontribusi karyawan kepada perusahaan. Ketika hal-hal diatas dimiliki seorang karyawan maka karyawan tersebut bisa engaged employee. Karyawan yang engaged memiliki kesadaran terhadap bisnis, dan bekerja dengan rekan kerja untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi. Kesadaran bisnis yang dimiliki oleh karyawan akan membuatnya memberikan upaya terbaik mereka dalam meningkatkan kinerja mereka. Mereka sadar bahwa kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh kinerja mereka. 36

3. Kontrak Psikologis

Anoraga 2011 menyebutkan kontrak psikologis dalam suatu perusahaan adalah hal yang penting untuk menghasilkan komitmen yang baik antara karyawan dan perusahaan. Kontrak psikologis merupakan suatu kumpulan-kumpulan harapan tidak tertulis yang ada dalam diri setiap individu atau karyawan dalam perusahaan yang selalu ada sepanjang individu di sebuah perusahaan. Kunci dari kontrak psikologis adalah mutualitas di antara individu dengan individu, maupun individu dengan perusahaan. Mutualitas hanya terjadi dan muncul apabila masing-masing dari pihak yang berkepentingan atau bersangkutan memiliki tujuan dan yakin untuk dapat dicapai, serta menyeimbangkan kontrak psikologis pada kedua belah pihak bahwa mutualitas dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai. Menurut Amstrong dalam Hardiyanto 2011 kontrak psikologis adalah kontrak informal tidak tertulis, terdiri dari harapan karyawan dan atasannya mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal-balik. Artinya, kontrak psikologis muncul ketika karyawan meyakini bahwa kewajiban perusahaan pada karyawan akan sebanding dengan kewajiban yang diberikan karyawan kepada perusahaan, sebagai contoh karyawan berkeyakinan bahwa perusahaan akan menyediakan keamanan kerja dan kesempatan untuk berpromosi, serta berkomitmen terhadap perusahaan. Kontrak psikologis yang kuat merupakan suatu alasan sukses tidaknya suatu perusahaan, sebaliknya apabila kontrak psikologis diterapkan secara 37 tidak kuat atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan karyawan maka dapat menyebabkan timbulnya suatu masalah di perusahaan tersebut. Artinya, apabila perusahaan dapat memberikan jaminan-jaminan yang sesuai seperti jaminan hari tua, jaminan keamanan, dan lainnya dengan kebutuhan karyawan yang merupakan sebuah harapan, setidaknya karyawan dapat lebih termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik dan penuh semangat. Motivasi karyawan yang baik dapat memberikan kontribusi atau kinerja pada perusahaan untuk lebih maju dan berkembang. Sebaliknya, apabila perusahaan tidak memenuhi kebutuhan karyawan dengan baik, maka karyawan tidak dapat memberikan kinerja atau kontribusi yang baik pula. Hal tersebut dapat menghambat perkembangan dan kemajuan perusahaan yang bersangkutan. Maheswari 2008 mengatakan bahwa kontrak psikologis adalah serangkaian pengharapan karyawan mengenai apa yang akan mereka berikan kepada organisasi atau perusahaan biasa disebut dengan sumbangan atau kontribusi dan sebagai timbal-baliknya organisasi atau perusahaan akan memberikan penghargaan atas kontribusi tersebut dengan reward yang biasa disebut insentif. Turnley dan Feldman 1998 berasumsi bahwa karyawan membangun harapan akan kontrak psikologisnya berdasarkan tiga sumber utama, yaitu janji yang dibuat oleh representatif pihak perusahaan, persepsi akan kultur perusahaan, serta penyesuaian antara harapan dengan bagaimana perusahaan beroperasi. Kurangnya pemahaman ini mendorong karyawan baru untuk 38 secara aktif menginterpretasikan pengalaman pertamanya di lingkungan baru untuk memprediksi apa yang akan terjadi kelak serta membangun harapanharapannya terhadap hubungan kerja yang dilakukan Rousseau, 1995. Istilah kontrak psikologis berbeda dengan kontrak kerja. Robinson dan Morrison 2000 menyatakan bahwa kontrak kerja secara umum mengacu pada dokumen tertulis yang mengatur hak dan kewajiban seorang karyawan dan tunduk pada peraturan perusahaan. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa kontrak mengikat karyawan dan perusahaan dalam suatu persatuan kerja, mengatur perilaku masing-masing pihak dalam perusahaan serta memungkinkan pencapaian tujuan perusahaan. Istilah kontrak psikologis pertama kali diperkenalkan oleh dua orang psikolog, yaitu Argyris dan Menninger dalam Conway dan Briner 2005. Definisi mengenai kontrak psikologis mengalami perkembangan mulai dari awal teori ini diperkenalkan hingga saat ini. Berikut beberapa definisi yang dijelaskan para ahli mengenai kontrak psikologis. Kotler dalam Conway dan Briner 2005 menjelaskan bahwa kontrak psikologis merupakan sebuah kontrak yang bersifat implisit antara seorang individu dan organisasinya yang menspesifikkan pada apa yang masing-masing harapkan satu sama lain untuk saling memberi dan menerima dalam suatu hubungan kerja Menurut Griffin 2002 kontrak psikologis adalah serangkaian ekspektasi yang dimiliki seorang individu atas apa yang dia kontribusikan untuk organisasi dan apa yang akan diberikan organisasi sebagai balas jasa. 39 Tantangan mendasar yang dihadapi organisasi adalah kontrak psikologis, karena organisasi harus memastikan karyawan menyediakan nilai untuknya dan saat yang sama, organisasi juga harus memastikan karyawan mendapatkan insentif memadai Darmawan, 2013. Konsep kontrak psikologis adalah kepercayaan dari individu dalam kewajiban timbal-balik dengan pemilik pekerjaan. Kepercayaan ini menyatakan tentang pemahaman terhadap janji-janji yang dibuat dan menawarkan pertimbangan-pertimbangan dalam perubahan yang mengikat antara pekerja dan organisasi dalam rangka menyusun sebuah kewajiban timbal-balik. Kepercayaan tersebut muncul ketika individu masuk dalam organisasi atau perusahaan dengan membuat kontrak tidak tertulis yang harus dipatuhi. Kontrak ini mengenai harapan timbal-balik, pekerja dan pemilik pekerjaan. Kontrak psikologis didasarkan pada pemahaman antara pekerja dan pemilik pekerjaan dalam pemenuhan kontribusi masing-masing, sehingga dengan adanya proses timbal balik mengenai harapan antara pekerja dengan pemilik pekerjaan ini, menimbulkan adanya penerapan sistem kontrak psikologis. Terbentuknya kontrak psikologis antara pekerja dengan pemilik pekerjaan berasal dari hubungan timbal-balik mengenai harapan dan pemahaman mengenai pemenuhan kontribusi Subagyo, 2012. Secara garis besar, perusahaan hendaknya memahami apa yang karyawan inginkan dan butuhkan dalam menentukan perilaku dan tanggapan di tempat kerja, begitu pula sebaliknya. Karyawan akan 40 cenderung memiliki harapan yang implisit maupun eksplisit tentang apa yang akan mereka dapatkan dari perusahaan. Harapan inilah yang dapat dijadikan dasar kontrak psikologis yang melibatkan kewajiban timbal-balik antara karyawan dan perusahaan Gruman dan Saks, 2011. Menurut Rousseau 1995 kontrak psikologis mendasari kepercayaan mengenai kewajiban timbal balik antara pekerja dengan pemberi kerja. Menurut Rousseau 1995, kontrak psikologis terdiri dari 3 dimensi, yaitu transactional Contract, relational Contract dan balanced contract. a. Transactional Contract Pada dasarnya transactional contract atau kontrak transaksional bersifat jangka pendek short term dan berfokus pada aspek pertukaran ekonomis, jenis pekerjaan yang sempit narrow dan keterlibatan minimal karyawan dalam organisasi. Terdapat dua dimensi utama yang dikaji dalam kontrak transaksional, yaitu narrow dan short term. Narrow berarti karyawan diwajibkan untuk melakukan hanya serangkaian pekerjaan yang dalam kontrak merupakan pekerjaan yang diperhitungkan dalam imbal jasa. Organisasi membatasi keterlibatan karyawan dalam organisasi dan memberikan kesempatan terbatas untuk pelatihan dan pengembangan. Short term yaitu karyawan tidak memiliki kewajiban untuk tetap bekerja di organisasi selamanya dan berkomitmen untuk bekerja hingga batas waktu tertentu. Organisasi menawarkan hubungan kerja yang hanya untuk jangka waktu 41 tertentu dan tidak berkewajiban untuk menjamin karir karyawan jangka panjang. Kontrak transaksional dikarakteristikan dengan perjanjian yang bersifat moneter dengan keterlibatan karyawan yang terbatas dalam organisasi maupun hubungannya dengan individu lain di organisasi sehingga tampak perbedaan yang signifikan dengan konsep kontrak relasional. b. Relational Contract Relational Contract atau kontrak relasional memiliki jangka waktu yang panjang tetapi berakhirnya tidak dapat ditentukan. Jenis kontrak ini juga melibatkan faktor sosio-emosional, seperti kepercayaan, keamanan, dan loyalitas. Masing-masing pihak berharap terjadi hubungan timbale balik reciprocal. Kontrak relasional menyangkut dua dimensi, yaitu dimensi stability dan loyalty. Stability menyangkut karyawan diwajibkan untuk bekerja pada organisasi untuk jangka waktu yang relatif lama dan melakukan hal-hal lain untuk mempertahankan pekerjaannya. Organisasi dalam hal ini menawarkan paket kompensasi yang stabil dan hubungan kerja jangka panjang. Sedangkan loyalty adalah karyawan diwajibkan untuk mendukung organisasi, menunjukkan kesetiaan dan komitmen terhadap kebutuhan dan kepentingan organisasi. Selain itu, karyawan diharapkan menjadi anggota organisasi yang baik. Organisasi 42 sebaliknya memberikan komitmen untuk menjamin kesejahteraan dan kebutuhan karyawan beserta keluarganya. c. Balanced Contract Balanced Contract merupakan perpaduan antara sifat dari kontrak transaksional dan relasional. Balanced contract bersifat dinamis dan open-ended yang berfokus pada keberhasilan ekonomi perusahaan dan kesempatan karyawan untuk mengembangkan karir. Baik pihak karyawan maupun perusahaan saling memberikan kontribusi dalam pembelajaran dan pengembangan. Balanced Contract terdiri dari external employability, internal advancement dan dynamic performance. External employability meliputi pengembangan karir di luar organisasi. Pada aspek ini, karyawan memiliki kewajiban untuk mengembangkan keterampilan berharga di luar organisasi. Sedangkan kewajiban organisasi yaitu meningkatkan hubungan kerja jangka panjang baik di dalam maupun di luar organisasi. Internal advancement meliputi pengembangan karir dalam pasar tenaga kerja internal. Karyawan berkewajiban untuk mengembangkan keterampilan yang dihargai oleh organisasi saat ini. Di samping itu, organisasi berkewajiban untuk menciptakan kesempatan pengembangan karir kepada para pekerja di alam perusahaan. Dynamic performance meliputi kewajiban karyawan untuk melakukan hal-hal yang baru dan membantu perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan agar