mengikuti fase atau tahap perkembangannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kemandirian emosional remaja akhir lebih tinggi daripada
kemandirian emosional remaja awal Pada masa remaja ini disebut pula masa revolusi dimana
hentakanledakan perkembangan dari kemampuan fisik dan psikis yang hebat. Namun pada masa ini juga terdapat gejala melemahnya ikatan
afektif dengan orang tua, pada masa ini sering timbul rasa tanggung jawab, rasa kebebasan dan juga rasa akuego-nya. Semua kejadian
tersebut menumbuhan rasa diri yang kuat. Dia mulai menyadari kekuatan sendiri, harga dirinya sebagai seorang individu atau sebagai aku yang
mandiri. Namun perasaan hidup yang positif kuat ini juga sering membawa
anak muda pada aktivitas mengasingkan diri, dalam artian menjauhkan diri dari kekuasaaan orang tua lalu menggerombol dengan teman yang
senasib dan seumuran, dalam usahanya mendapatkan pengakuan terhadap Aku-nya. Secara sadar remaja juga mulai melepaskan relasi dengan
lingkungannya dan kekuasaan orang tua atau orang yang dianggap memiliki kewibawaan terhadap dirinya.
5. Dampak Kemandirian Emosional pada Remaja
Pada umumnya
remaja belum
mandiri secara
emosional. Perkembangan kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari
interkasi antara remaja dengan orang tuanya. Orang tua merupakan lingkungan pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak
remajanya, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian emosional remaja.
Remaja sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kanak-kanaknya dengan orang tua secara logis dan objektif.
Tidak jarang ditemukan seorang remaja menentang, berdebat, beradu pendapat, atau mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tuanya.
Remaja berusaha mandiri secara emosi, bagi remaja tuntutan untuk memperoleh kemandirian emosional secara emosional merupakan
dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas dari perintah-perintah dan kontrol orang tua.
Menurut Prayitno dalam Jurnal Ilmiah Konseling Volume 1 No 1 September 2012 remaja yang mandiri secara emosi dapat meluapkan
emosinya dengan cara tidak berkelahi yang terjadi seperti masih dalam periode anak-anak. Melainkan dengan cara yang lebih sopan, yaitu diam,
pergi keluar, latihan fisik keras sebagai pelarian emosi mereka. Penelitian Lamborn dan Steinberg dalam Desmita 2013 : 218
menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi tampaknya berhasil dengan sangat baik dalam lingkungan keluarga yang secara
simultan memberikan dorongan dan kesempatan bagi remaja untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap
tergantung secara emosional pada orang tuanya mungkin dirinya selalu merasa enak, mereka terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri,
kurang berhasil dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan remaja
yang mencapai kebebasan emosional Dace Keny dalam Desmita, 2013 : 218
Remaja yang telah mencapai kemandirian emosional secara emosi bisa memahami dirinya sendiri, menentukan apa yang baik dan yang
buruk bagi dirinya sendiri. Remaja belum mencapai kemandirian emosional secara emosi terkadang merasa dirinya tidak puas sehingga
dapat memicu konflik.
6. Remaja dan Perkembangan Kemandirian Emosional