Definisi Kemandirian Emosional Aspek-aspek Kemandirian Emosional

kontrol orang lain”. Sedangkan istilah autonomy = otonomi, Kamus Inggris Indonesia berarti kemampuan untuk memerintah sendiri, mengurus sendiri, atau mengatur kepentingan sendiri Steinberg, 1993:286.

1. Definisi Kemandirian Emosional

Steinberg 2002: 290 menyatakan bahwa kemandirian emosional adalah salah satu aspek yang berkaitan dengan perubahan hubungan kedekatan individu, terutama dengan orangtua. Kemandirian emosional menurut Douvan Adelson dalam Maya Puspaningtyas, 2008: 18 “The degree to which the adolescence has managed to cast off infantile ties to the family”.Suatu tingkat masa remaja yang telah berhasil melepaskan ikatan hubungan anak dengan keluarga. Steinberg Silverberg Sprinthall Collins: 1995 berpendapat bahwa kemandirian emosional menunjuk pada pengertian yang dikembangkan remaja mengenai individuasi dan melepaskan diri atas ketergantungan mereka dari orang tua. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian emosional merupakan aspek kemandirian yang berkaitan dengan perubahan kedekatan hubungan keluarga khususnya orang tua untuk berusaha melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan, mampu untuk tidak bergantung pada orang lain terutama orang tua dan berusaha melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan serta dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

2. Aspek-aspek Kemandirian Emosional

Terdapat aspek yang mempengaruhi kemandirian emosional seseorang. Menurut Steinberg 2002: 292 aspek-aspek kemandirian emosional tersebut, yakni: a. Kesadaran bahwa Orang Tua sebagai Pribadi yang tidak Ideal De- idealized Remaja yang mandiri secara emosional pada aspek de-idealized merupakan remaja yang tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui segala-galanya atau menguasai segala-galanya. De- idealized sendiri mempuyai arti bahwa remaja mempunyai pandangan tidak harus selalu sama dengan keinginan orang tuanya, remaja tidak memandang orang tuanya sebagai orang yang mengetahui dan menguasai segalanya Steinberg 2002: 293. Remaja mampu memandang orangtuanya sebagaimana adanya, maksudnya tidak memandangnya sebagai orang yang idealis dan sempurna. Sejauh mana remaja mengidealkan orang tua mereka. Ciri khas dari aspek ini yakni kadang-kadang orang tua juga membuat kesalahan. Menurut Zeman Shipman dalam Steinberg 2002 : 293 mempercayai bahwa de-idealization merupakan salah satu yang pertama untuk mengembangkan aspek kemandirian emosional, karena remaja menumpahkan kesan kekanak-kanakan mereka dari kesan orang tua mereka sebelumnya dan mengganti dengan yang lebih dewasa. Sehingga remaja tidak lagi tergantung kepada orang tua saat menentukan sesuatu. Remaja dapat memandang orang tua bahwa orang tuanya juga terkadang membuat kesalahan. Remaja tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang serba tahu, benar dan memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, pada saat menentukan sesuatu mereka tidak lagi bergantung kepada dukungan emosional orangtuanya. Remaja juga dapat mengerti keterbatasan orang tuanya. Remaja tengah madya memiliki kemungkinan lebih kecil dari pada remaja awal untuk mempertahankan gambaran idealized ketika orang tua melihat mereka sebagai individu, remaja pada usia 15-20 tahun belum tentu mandiri secara emosional dari pada usia 10 tahun. Pendapat dari Zeman Shipman sangat berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Smollar dan Younis pada tahun 1985 dalam Budiman, 2012 yang menyatakan tidak mudah bagi remaja untuk melakukan de-idealized karena mereka masih menganggap orang tua sebagai orang yang serba tahu, benar dan berhak atas dirinya sendiri. Bayangan masa kecil mereka tentang kehebatan orang tua tidak mudah dikritik. Kesulitan untuk melakukan de-idealized remaja terbukti dari hasil riset yang dilakukan Steinberg 2002: 293 yang menemukan bahwa masih banyak remaja awal yang sudah mandiri secara emosional. Mereka masih menganggap orang tua mereka sebagai orang yang serba tahu dan serba benar dan berkuasa atas dirinya. Mereka terkadang masih sulit untuk sekedar menerima pandangan bahwa orang tua terkadang melakukan kesalahan. Beberapa penulis telah menelusuri munculnya proses perbedaan pengembangan kemandirian emosional remaja yang mungkin karena akibat dari perceraian orang tua Feldman Quatman dalam Steinberg 2002: 293. Penulis serupa berpendapat bahwa perceraian orang tua mendorong para remaja untuk tumbuh cepat dewasa menuju de – idealized orang tua dari pada ketika mereka berada pada usia yang lebih dini. b. Memandang Orang Tuanya seperti Orang Dewasa Lainnya. Parent as people Remaja yang mandiri secara emosional dalam aspek parent as people yakni, mampu memandang dan berinteraksi dengan orang tua sebagai orang pada umumnya – bukan semata-mata sebagai orang tua Sejauh mana remaja melihat orang tuanya seperti orang dewasa lainnya. Dapat memandang orang tua sebagai orang dewasa lainnya berarti remaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orangtua, baik sebagai orangtua sesungguhnya maupun sebagai teman dalam mendiskusikan berbagai hal Steinberg, 2002: 291. Remaja dapat berdiskusi secara leluasa menyampaikan pikiran dan perasaanya kepada orang tuanya termasuk apabila terjadi perbedaan. Remaja dapat melihat orang tuanya sebagai seorang individu selain sebagai orang tuanya orang lain dan dapat berinteraksi dengan orang tua tidak hanya dalam hubungan antara orang tua anak tetapi juga dalam hubungan antar individu Budiman, 2012: 7. Di suatu sisi, remaja juga dapat menolak pendapat orang tua dan dapat mengungkapkan perasaannya dengan bebas pada orang tuanya. Selain itu, dalam berinteraksi dengan orang tua, remaja tetap dapat menampilkan emosi cinta kepada orang tua. Disisi lain remaja juga melihat orang tuanya bukan hanya sebagai sumber dukungan emosionalnya saja, namun sebagai pihak yang membutuhkan dukungan emosional saat mengalami kesusahan. c. Memiliki Sikap Ketidaktergantungan terhadap Orang Lain, terutama orang tua. Non – dependency Remaja yang mandiri secara emosional dalam aspek non- dependecy, yakni remaja tidak serta merta lari kepada orang tua ketika mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran atau membutuhkan bantuan. Ketika remaja mempunyai masalah, ia tidak selalu bergantung kepada orang tua untuk menyelesaikan masalah tersebut. Contoh, remaja yang memiliki sikap ketergantungan pada orang tuanya yakni ketika remaja tersebut dihadapkan pada sebuah pilihan untuk mengambil keputusan akan melanjutkan sekolah lanjutan Remaja bergantung kepada diri sendiri non-dependency merupakan suatu tingkat dimana remaja memiliki sikap yang lebih percaya kepada kemampuan sendiri daripada meminta bantuan orangtua Steinberg, 2002: 292. Remaja pada umumnya memiliki kekuatan emosi yang hebat untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di luar keluarga dan dalam kenyataannya remaja merasa lebih dekat dengan teman dibanding dengan orangtua Steinberg, 2002: 291. Remaja mampu untuk membuat keputusan dalam menyelesaikan masalahnya, meskipun demikian remaja dapat mendiskusikan dengan orang tuanya dan mampu mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang dipilihnya untuk mengatasi masalah-masalah pada dirinya sendiri. Remaja yang kemandirian emosionalnya tinggi, mampu menunda keinginannya untuk meluapkan apa yang sedang dirasakan pada orang lain, mampu menunda untuk meminta dukungan emosionalnya kepada orang tua atau orang lain ketika dia menghadapi masalah. Ketika remaja berbuat salah, remaja mampu mengatasi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. d. Berani Tampil sebagai Pribadi yang Unik Individuated Pada aspek individuated ini remaja yang mandiri emosionalnya, sering memiliki energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar kelurga dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman daripada orang tua. Dimana tidak semua yang terkait dengan pribadi saya, orang tua harus tahu. Contoh perilaku remaja yang mencerminkan rasa tanggung jawab atas dirinya sendiri, misalnya mampu mengelola uang jajan mereka dengan cara menabung tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Individuasi sendiri berarti berperilaku lebih bertanggung jawab. Ini didukung pendapat dari seorang Psikoanalis Peter Blos dalam Steinberg 2002: 292 individuasi menunjukkan bahwa orang yang terus berkembang untuk meningkatkan tanggungjawabnya dalam mengambil keputusan yang akan dilakukan, daripada menyimpan sendiri tanggungjawab tersebut dari pengaruh dan pengawasan dari orang dewasa. Menurut Josselson dalam Desmita, 2013: 211 menyatakan bahwa proses pencarian identitas merupakan proses di mana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik, yang berbeda dan terpisah dari orang lain, ini sering disebut dengan individuasi. Menurut beberapa penelitian dari Bulcroff, Holmbeck dalam Steinberg: 1989 juga menyebutkan bahwa, penyebab utama pemicu proses individuasi adalah masa pubertas. Perubahan pada masa remaja seperti penampilan fisik dapat memicu perubahan cara pandang remaja baik untuk diri sendiri maupun oleh orang tuanya yang mana dapat memicu interaksi orang tua dengan anak. Konflik yang ditekan yang pernah dialami remaja sejak usia dini akan bangkit kembali pada masa remaja awal karena kebangkitan impuls seksual. Sesaat setelah mengalami masa pubertas hampir sebagian besar keluarga mengalami peningkatan percekcokan dan pertengkaran. Konflik tersebut ditandai dengan adanya peningkatan ketegangan antara anggota keluarga, argumen yang tidak tentu yang menimbulkan ketidaknyamanan berada di dalam rumah. Badai dan stress yang dialami oleh remaja merupakan suatu yang biasa, aspek yang normal, sehat, dan tidak terhindarkan dari perkembangan emosi selama masa remaja, Bahkan Freud dalam Steinberg : 2002 juga percaya bahwa dengan tidak adanya konflik antara remaja dan orang tuanya menandakan bahwa remaja itu merupakan remaja yang bermasalah. Pendapat mengenai beberapa penelitian tersebut juga didukung oleh pendapat dari Cooper, Holmbeck Hill dalam Steinberg 2002: 293 yang menyebutkan bahwa peningkatan konflik orang tua mereka dalam membantu remaja melihat keterangan yang berbeda dalam mengembangkan rasa individuasi. Collins dalam Steinberg 2002; 293 juga percaya bahwa gerakan ke arah yang lebih tinggi dari tingkat remaja individuasi dirangsang oleh perkembangan kognitif sosial mereka. Kognisi sosial yang dilakukan untuk diri sendiri dan hubungan kita dengan orang lain. Orang tua dan remaja akan mengubah hubungan mereka selama masa remaja, namun ikatan emosional mereka tidak akan terputus. Hal ini menunjukkan perbedaan penting bahwa kemandirian emosional selama masa remaja melibatkan perubahan, bukan remaja yang berpisah dengan orang tua akan menjadi mandiri secara emosional dari orang tua tanpa harus berpisah dengan mereka. Proses individuasi dimulai dari masa kanak-kanak dan berlanjut ke akhir masa remaja, sedikit demi sedikit secara bertahap, melatih orang untuk mandiri, kompeten, dan terpisah dari orang tua . Oleh karena itu individuasi telah banyak menghasilkan sesuatu yang besar dengan perkembangan suatu identitas, melibatkan perubahan bagaimana kita melihat dan merasakan tentang diri kita . Individuasi tidak melibatkan stres dan kekacauan. Lebih baik, melepaskan ketergantungan kekanak-kanakan pada orang yang lebih dewasa, lebih mendukung, lebih bertanggung jawab, dan mengurangi ketergantungan pada orang lain. Remaja yang berhasil membangun sebuah kesan individuasi dapat menerima tanggung jawab mereka untuk mengambil keputusan dan tindakan Josselson, 1980 dalam Steinberg, 2002 : 292 . Remaja tampil sebagai pribadi yang berbeda dengan orangtuanya, remaja merasa berbeda dengan orang tuanya, remaja menegakkan privasi. Remaja mempunyai pemikiran tentang sesuatu hal yang menurut pandangannnya baik. Remaja mampu melepaskan diri dari ikatan orang tuanya, remaja tidak lagi mencurahkan segala apa yang dipikirkan atau dirasakan kepada orang tuanya. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Emosional Untuk mencapai kemandirian emosional diperlukan suatu proses dan perkembangan, kemandirian emosional bukanlah semata-mata pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir. Perkembangan tersebut juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan baik di sekolah maupun masyarakat. Perkembangan kemandirian emosional remaja tidak lepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kemandirian emosional yaitu dorongan dari dalam diri remaja itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal yaitu berbagai stimulasi yang datang dari lingkungan. Faktor eksternal berkaitan dengan pola asuh orang tua, jenis kelamin, dan tempat tinggal. Remaja laki-laki biasanya lebih mandiri dibandingkan perempuan Bumpus, Crouter, McHale, 2001 dalam Santrock, 2014. Remaja yang tinggal terpisah dengan orang tua biasanya akan lebih berkembang secara mandiri dibandingkan dengan remaja yang masih tinggal dengan orang tua Bucx van Wel, 2008; Nelson others, 2011 dalam Santrock, 2014. Sementara itu, pola pengasuhan orang tua juga perkembangan kemandirian emosional dilihat dari pola kontrol dan kehangatan yang diberikan orang tua kepada remaja Santrock, 2014. Menurut Hurlock, 2003; Masrun dkk, dalam Arifin, 2009 ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian emosional antara lain : a. Usia Jenis Kelamin Keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujudkan diri sendiri, sendiri merupakan kecenderungan yang benar-benar terwujud dalam sikap mandiri ketika seseorang telah mencapai usia dewasa. Pada masa ini bersikap mandiri merupakan hak dan kewajiban orang dewasa yang penting dan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Pada masa dewasa ini tentunya mereka juga diharapkan untuk mengambil keputusan sendiri. Menurut Setyawan dalam Arifin, 2009: 10 pada usia di bawah umur, anak laki-laki maupun anak perempuan masih tergantung dengan orangtua dalam hal keuangan, pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah. Seiring dengan kematangan sikap, semakin meningkatnya kecakapan dan ketrampilan, maka ketergantungan-ketergantungan itu semakin berkurang dan berganti sikap mandiri. Menurut Sarwono dalam Arifin, 2009: 10 anak- anak terutama pada fase pertama di dalam perkembangan dalam keadaan selalu tergantung atau keadaan selalu minta tolong pada orangtuanya. Steinberg 1993: 144-145 memperlihatkan bahwa tidak banyak pengaruh dari perbedaan jenis kelamin terhadap perkembangan kemandirian emosional remaja. Hasil penelitian Alfredo Oliva dalam Aprilia menemukan bahwa terdapat peningkatan kemandirian emosional yang signifikan pada remaja laki-laki saja, di sepanjang masa awal dan akhir masa remaja. Sedangkan nilai kemandirian emosional pada remaja perempuan hampir sama pada semua kelompok umur remaja. b. Pendidikan Masrun dalam Arifin, 2009: 10 menyatakan bahwa pendidikan yang dialami seseorang tidak harus berasal dari sekolah. Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan mempunyai peranan cukup besar bagi terbentuknya kemandirian emosional seseorang, dan semakin tinggi tingkat pendidikan individu akan semakin tinggi pula kemandirian emosionalnya. Suryabrata dalam Arifin, 2009: 10 menegaskan pendidikan adalah usaha manusia dengan penuh tanggung jawab membimbing anak didik ke kedewasaan. Sebagai manusia yang belum dewasa, anak didik belum dapat mandiri secara pribadi, anak didik masih membutuhkan pendapat atau bimbingan dari orang yang lebih dewasa sebagai pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya. Pendidikan baik formal maupun non formal sangat membantu bagi perkembangan kepribadian seseorang dan kemandirian emosional merupakan salah satu aspek dari kepribadian. Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan mempunyai peranan yang cukup besar bagi terbentuknya kemandirian emosional seseorang. c. Konsep diri Menurut Sukadji dalam Arifin, 2009: 11 konsep diri yang positif mendukung adanya perasaan kompeten pada diri individu untuk menentukan langkah yang akan diambil didalam penyelesaian masalah. d. Lingkungan keluarga, Pola asuh orang tua dan Urutan Posisi Anak Lingkungan keluarga, lingkungan dimana individu bertempat tinggal sangat mempengaruhi tingkah laku dan dapat membentuk pola perilaku serta kebiasaan –kebiasaan seseorang dalam membentuk kemandirian emosional. Perlakuan orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan seberapa baik remaja akan dapat memenuhi tuntutan peningkatan menjadi dewasa. Seifert dan Hoffnung dalam Arifin, 2009: 11 menyatakan bahwa tanggung jawab orangtua untuk menciptakan hubungan baik antara orangtua dan anak, dimana hal tersebut akan menumbuhkan kemandirian emosional dan rasa percaya diri pada anak yang akan berguna dalam interaksi sosial. Orang tua dengan pola asuh yang demokratis sangat merangsang kemandirian emosional anak dimana orang tua memiliki peran sebagai pembimbingnya untuk memperhatikan dan memperlakukan terhadap setiap aktivitasnya dan kebutuhan anak, terutama yang berhubungan dengan studi dan pergaulannya baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Soekanto dalam Arifin, 2009: 11 mengatakan bahwa orangtua yang bersifat otoriter akan membawa akibat yang tidak baik bagi perkembangan anak, karena tidak memberi kesempatan pada anak untuk berdiri sendiri. Maka untuk selamanya anak dari orangtua otoriter akan tetap bergantung pada orangtuanya, keadaan ini bukanlah keadaan yang ideal bagi anak-anak maupun mereka yang sudah pada tahap perkembangan remaja, karena tidak menjadi mandiri dan tidak mampu mengambil keputusan sendiri. Menurut Gerungan dalam Arifin, 2009: 12 bagaimana orangtua membiasakan anak untuk bertindak mandiri pada usia awal, telah banyak mempengaruhi sikap kemandirian emosionalnya pada masa remaja dan dewasa. Jika sejak kecil orangtua sudah membiasakan anak secara mandiri, membiasakan anak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, memberikan dorongan, pujian terhadap sikap mandiri anak, maka akan membuat anak semakin mandiri di masa remaja dan dewasa. Conger dalam Arifin, 2009: 12 menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan mengenai peran orangtua dalam hubungannya dengan anak-anaknya, orangtua dapat membantu atau sebaliknya membuat anak tidak mampu untuk berusaha memperoleh kesempatan- kesempatan dan mengatasi masalah-masalah yang ditemui di luar rumah. . Menurut Hurlock, 2003 : 203 anak pertama yang diharapkan untuk bisa menjadi contoh teladan dan menjaga adiknya, lebih berpeluang untuk anak bungsu yang mendapatkan perhatian berlebihan dari orang tua dan kakak-kakaknya berpeluang lebih kecil. Selain itu, tempat tinggal atau dengan siapa remaja tinggal juga mempengaruhi kemandirian emosional. Holmbeck, Durbin Kung, dalam Santrock, 2007. Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara kedekatan keluarga dengan tingkat kemandirian emosional, didapatkan hasil bahwa semakin tinggi tingkat kedekatan keluarga maka semakin rendah tingkat kemandirian emosional seorang remaja Dibble, 1986. 4. Kemandirian Emosional pada Remaja Kemandirian emosional perlu dan penting dimiliki remaja karena kemandirian emosional pada remaja merupakan salah satu tugas perkembangan remaja yakni mencapai kemandirian emosional seperti orang dewasa lainnya. Kemandirian emosional berkembang lebih awal dan menjadi dasar perkembangan kemandirian emosional nilai dan perilaku. Kemandirian emosional menjadi perhatian utama pada masa remaja, dimana pada masa ini terjadi perubahan sosial, fisik, dan kognitif pada remaja, Santrok, dalam Yahya: 2009. Kemandirian emosional pada masa anak-anak lebih ditekankan pada tingkah lakunya sedangkan pada masa remaja kemandirian emosional sudah melibatkan perkembangan kognisi, emosi dan psikomotor yang lebih matang dan tahap ini juga dibebankan tanggung jawab Santrock, dalam Yahya, 2009. Steinberg 2003: 290 membagi tiga aspek dari kemandirian emosional, yaitu kemandirian emosional emotional autonomy, kemandirian dalam bertingkah laku behavioral autonomy, dan kemandirian nilai value autonomy. Perkembangan kemandirian emosional juga akan berlanjut ke masa dewasa muda, dimana pada masa ini individu telah mencapai kematangan kemandirian emosional, kemandirian emosional bertingkah laku dan kemandirian emosional nilai yang dianutnya Santrock, dalam Yahya, 2009. Suatu penelitian yang dilakukan Nuryoto dalam Arifin, 2009: 3 membedakan tingkat kemandirian yang terbagi menjadi dua tahap perkembangan yaitu masa remaja awal dan remaja akhir, hal ini untuk mengetahui perkembangan kemandirian emosional remaja dalam kurun waktu tertentu dengan pengertian masa remaja awal masih terpengaruh masa anak-kanak dan masa remaja akhir diharapkan sudah menunjukan sikap dewasa. Hasil penelitian Nuryoto menunjukkan bahwa secara umum memang terjadi peningkatan pada kemandirian emosional remaja mengikuti fase atau tahap perkembangannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kemandirian emosional remaja akhir lebih tinggi daripada kemandirian emosional remaja awal Pada masa remaja ini disebut pula masa revolusi dimana hentakanledakan perkembangan dari kemampuan fisik dan psikis yang hebat. Namun pada masa ini juga terdapat gejala melemahnya ikatan afektif dengan orang tua, pada masa ini sering timbul rasa tanggung jawab, rasa kebebasan dan juga rasa akuego-nya. Semua kejadian tersebut menumbuhan rasa diri yang kuat. Dia mulai menyadari kekuatan sendiri, harga dirinya sebagai seorang individu atau sebagai aku yang mandiri. Namun perasaan hidup yang positif kuat ini juga sering membawa anak muda pada aktivitas mengasingkan diri, dalam artian menjauhkan diri dari kekuasaaan orang tua lalu menggerombol dengan teman yang senasib dan seumuran, dalam usahanya mendapatkan pengakuan terhadap Aku-nya. Secara sadar remaja juga mulai melepaskan relasi dengan lingkungannya dan kekuasaan orang tua atau orang yang dianggap memiliki kewibawaan terhadap dirinya.

5. Dampak Kemandirian Emosional pada Remaja

Dokumen yang terkait

Efektifitas penggunaan media audio visual (VCD) dan media charta terhadap hasil belajar biologi konsep sirkulasi pada hewan dan manusia siswa kelas II semester II di SMU Negeri 2 Jember tahun ajaran 2003/2004

0 20 114

Hubungan pemberian biasiswa terhadap peningkatan hasil belajar mata pelajaran biologi siswa kelas II SLTP Negeri se Kabupaten Bondowoso tahun ajaran 2000/2001

0 4 61

Identifikasi kesalahan konsep fisika tentang suhu dan kalor (Studi deskriptif pada siswa kelas I5 cawu III SMU Negeri Rambipuji Jember tahun ajaran 2000/2001

0 6 55

Identifikasi miskonsepsi materi biologi kelas II semester 1 pada siswa SMP negeri di kecamatan Kencong tahun ajaran 2003/2004

2 6 94

pengaruh model pembelajaran webbed terhadap keterampilan menulis karangan pada siswa kelas IV SDIT Al-Mubarak Jakarta pusat tahun ajaran 2014/2015

4 24 258

Peningkatan keterampilan mebaca intensif dengan metode kooperatif jingsaw pada siswa kelas VII Madasah Tsanawiyah (MTs) Al-Mujahidin Cikarang tahun ajaran 2011-2012

0 3 100

Hubungan antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar biologi siswa kelas II SMA Negeri I Pamulang

1 7 153

Hubungan kecerdasan emosional terhadap akhlak siswa SMP Negeri 3 Tangerang Selatan

0 16 138

Pengaruh motivasi belajar terhadap kemampuan abstraksi siswa di kelas VII SMPN 01 Kalidawir Tulungagung tahun ajaran 20172018

0 0 6

Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dan hasil belajar siswa melalui pokok bahasan pesawat sederhana di SMP Negeri-4 kelas VIII semester II Palangka Raya tahun ajaran 2015/2016 - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 1 185