kontrol orang lain”. Sedangkan istilah autonomy = otonomi, Kamus Inggris Indonesia berarti kemampuan untuk memerintah sendiri, mengurus sendiri,
atau mengatur kepentingan sendiri Steinberg, 1993:286.
1. Definisi Kemandirian Emosional
Steinberg 2002: 290 menyatakan bahwa kemandirian emosional adalah salah satu aspek yang berkaitan dengan perubahan hubungan
kedekatan individu, terutama dengan orangtua. Kemandirian emosional
menurut Douvan Adelson dalam Maya Puspaningtyas, 2008: 18
“The degree to which the adolescence has managed to cast off infantile ties to the family”.Suatu tingkat masa remaja yang telah berhasil melepaskan ikatan
hubungan anak dengan keluarga.
Steinberg Silverberg Sprinthall Collins: 1995 berpendapat bahwa kemandirian emosional menunjuk pada pengertian yang dikembangkan
remaja mengenai individuasi dan melepaskan diri atas ketergantungan mereka dari orang tua.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian emosional merupakan aspek kemandirian yang berkaitan
dengan perubahan kedekatan hubungan keluarga khususnya orang tua untuk berusaha melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan, mampu
untuk tidak bergantung pada orang lain terutama orang tua dan berusaha melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan serta dapat bertanggung
jawab terhadap diri sendiri.
2. Aspek-aspek Kemandirian Emosional
Terdapat aspek yang mempengaruhi kemandirian emosional seseorang.
Menurut Steinberg 2002: 292 aspek-aspek kemandirian emosional tersebut, yakni:
a. Kesadaran bahwa Orang Tua sebagai Pribadi yang tidak Ideal De- idealized
Remaja yang mandiri secara emosional pada aspek de-idealized merupakan remaja yang tidak lagi memandang orang tua sebagai orang
yang mengetahui segala-galanya atau menguasai segala-galanya. De- idealized sendiri mempuyai arti bahwa remaja mempunyai pandangan
tidak harus selalu sama dengan keinginan orang tuanya, remaja tidak memandang orang tuanya sebagai orang yang mengetahui dan
menguasai segalanya Steinberg 2002: 293. Remaja mampu memandang orangtuanya sebagaimana adanya, maksudnya tidak
memandangnya sebagai orang yang idealis dan sempurna. Sejauh mana remaja mengidealkan orang tua mereka. Ciri khas dari aspek ini
yakni kadang-kadang orang tua juga membuat kesalahan. Menurut Zeman Shipman dalam Steinberg 2002 : 293 mempercayai bahwa
de-idealization merupakan
salah satu
yang pertama
untuk mengembangkan aspek kemandirian emosional, karena remaja
menumpahkan kesan kekanak-kanakan mereka dari kesan orang tua mereka sebelumnya dan mengganti dengan yang lebih dewasa.
Sehingga remaja tidak lagi tergantung kepada orang tua saat menentukan sesuatu. Remaja dapat memandang orang tua bahwa orang
tuanya juga terkadang membuat kesalahan. Remaja tidak lagi
memandang orang tua sebagai orang yang serba tahu, benar dan memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, pada saat menentukan sesuatu
mereka tidak lagi bergantung kepada dukungan emosional orangtuanya. Remaja juga dapat mengerti keterbatasan orang tuanya.
Remaja tengah madya memiliki kemungkinan lebih kecil dari pada remaja awal untuk mempertahankan gambaran idealized ketika
orang tua melihat mereka sebagai individu, remaja pada usia 15-20 tahun belum tentu mandiri secara emosional dari pada usia 10 tahun.
Pendapat dari Zeman Shipman sangat berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Smollar dan Younis pada tahun 1985
dalam Budiman, 2012 yang menyatakan tidak mudah bagi remaja untuk melakukan de-idealized karena mereka masih menganggap
orang tua sebagai orang yang serba tahu, benar dan berhak atas dirinya sendiri. Bayangan masa kecil mereka tentang kehebatan orang tua
tidak mudah dikritik. Kesulitan untuk melakukan de-idealized remaja terbukti dari hasil riset yang dilakukan Steinberg 2002: 293 yang
menemukan bahwa masih banyak remaja awal yang sudah mandiri secara emosional. Mereka masih menganggap orang tua mereka
sebagai orang yang serba tahu dan serba benar dan berkuasa atas dirinya. Mereka terkadang masih sulit untuk sekedar menerima
pandangan bahwa orang tua terkadang melakukan kesalahan. Beberapa penulis telah menelusuri munculnya proses perbedaan
pengembangan kemandirian emosional remaja yang mungkin karena
akibat dari perceraian orang tua Feldman Quatman dalam Steinberg 2002: 293. Penulis serupa berpendapat bahwa perceraian
orang tua mendorong para remaja untuk tumbuh cepat dewasa menuju de
– idealized orang tua dari pada ketika mereka berada pada usia yang lebih dini.
b. Memandang Orang Tuanya seperti Orang Dewasa Lainnya. Parent as people
Remaja yang mandiri secara emosional dalam aspek parent as people yakni, mampu memandang dan berinteraksi dengan orang tua
sebagai orang pada umumnya – bukan semata-mata sebagai orang tua
Sejauh mana remaja melihat orang tuanya seperti orang dewasa lainnya. Dapat memandang orang tua sebagai orang dewasa lainnya
berarti remaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orangtua, baik sebagai orangtua sesungguhnya maupun sebagai teman
dalam mendiskusikan berbagai hal Steinberg, 2002: 291. Remaja dapat berdiskusi secara leluasa menyampaikan pikiran dan perasaanya
kepada orang tuanya termasuk apabila terjadi perbedaan. Remaja dapat melihat orang tuanya sebagai seorang individu selain
sebagai orang tuanya orang lain dan dapat berinteraksi dengan orang tua tidak hanya dalam hubungan antara orang tua anak tetapi juga
dalam hubungan antar individu Budiman, 2012: 7. Di suatu sisi, remaja juga dapat menolak pendapat orang tua dan dapat
mengungkapkan perasaannya dengan bebas pada orang tuanya. Selain
itu, dalam berinteraksi dengan orang tua, remaja tetap dapat menampilkan emosi cinta kepada orang tua.
Disisi lain remaja juga melihat orang tuanya bukan hanya sebagai sumber dukungan emosionalnya saja, namun sebagai pihak yang
membutuhkan dukungan emosional saat mengalami kesusahan. c. Memiliki Sikap Ketidaktergantungan terhadap Orang Lain, terutama
orang tua. Non – dependency
Remaja yang mandiri secara emosional dalam aspek non- dependecy, yakni remaja tidak serta merta lari kepada orang tua ketika
mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran atau membutuhkan bantuan. Ketika remaja mempunyai masalah, ia tidak
selalu bergantung kepada orang tua untuk menyelesaikan masalah tersebut. Contoh, remaja yang memiliki sikap ketergantungan pada
orang tuanya yakni ketika remaja tersebut dihadapkan pada sebuah pilihan untuk mengambil keputusan akan melanjutkan sekolah
lanjutan Remaja bergantung kepada diri sendiri non-dependency merupakan suatu tingkat dimana remaja memiliki sikap yang lebih
percaya kepada kemampuan sendiri daripada meminta bantuan orangtua Steinberg, 2002: 292. Remaja pada umumnya memiliki
kekuatan emosi yang hebat untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di luar keluarga dan dalam kenyataannya remaja merasa
lebih dekat dengan teman dibanding dengan orangtua Steinberg, 2002: 291.
Remaja mampu untuk membuat keputusan dalam menyelesaikan masalahnya, meskipun demikian remaja dapat mendiskusikan dengan
orang tuanya dan mampu mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang dipilihnya untuk mengatasi masalah-masalah pada dirinya
sendiri. Remaja yang kemandirian emosionalnya tinggi, mampu menunda keinginannya untuk meluapkan apa yang sedang dirasakan
pada orang lain, mampu menunda untuk meminta dukungan emosionalnya kepada orang tua atau orang lain ketika dia menghadapi
masalah. Ketika remaja berbuat salah, remaja mampu mengatasi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.
d. Berani Tampil sebagai Pribadi yang Unik Individuated Pada aspek individuated ini remaja yang mandiri emosionalnya,
sering memiliki energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar kelurga dan dalam
kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman daripada orang tua. Dimana tidak semua yang terkait dengan pribadi
saya, orang tua harus tahu. Contoh perilaku remaja yang mencerminkan rasa tanggung jawab atas dirinya sendiri, misalnya
mampu mengelola uang jajan mereka dengan cara menabung tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Individuasi sendiri berarti
berperilaku lebih bertanggung jawab. Ini didukung pendapat dari seorang Psikoanalis Peter Blos dalam Steinberg 2002: 292
individuasi menunjukkan bahwa orang yang terus berkembang untuk
meningkatkan tanggungjawabnya dalam mengambil keputusan yang akan dilakukan, daripada menyimpan sendiri tanggungjawab tersebut
dari pengaruh dan pengawasan dari orang dewasa. Menurut Josselson dalam Desmita, 2013: 211 menyatakan bahwa proses pencarian
identitas merupakan proses di mana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik, yang berbeda dan
terpisah dari orang lain, ini sering disebut dengan individuasi. Menurut beberapa penelitian dari Bulcroff, Holmbeck dalam
Steinberg: 1989 juga menyebutkan bahwa, penyebab utama pemicu proses individuasi adalah masa pubertas. Perubahan pada masa remaja
seperti penampilan fisik dapat memicu perubahan cara pandang remaja baik untuk diri sendiri maupun oleh orang tuanya yang mana dapat
memicu interaksi orang tua dengan anak. Konflik yang ditekan yang pernah dialami remaja sejak usia dini akan bangkit kembali pada masa
remaja awal karena kebangkitan impuls seksual. Sesaat setelah mengalami masa pubertas hampir sebagian besar keluarga mengalami
peningkatan percekcokan dan pertengkaran. Konflik tersebut ditandai dengan adanya peningkatan ketegangan antara anggota keluarga,
argumen yang tidak tentu yang menimbulkan ketidaknyamanan berada di dalam rumah.
Badai dan stress yang dialami oleh remaja merupakan suatu yang biasa, aspek yang normal, sehat, dan tidak terhindarkan dari
perkembangan emosi selama masa remaja, Bahkan Freud dalam
Steinberg : 2002 juga percaya bahwa dengan tidak adanya konflik antara remaja dan orang tuanya menandakan bahwa remaja itu
merupakan remaja yang bermasalah. Pendapat mengenai beberapa penelitian tersebut juga didukung oleh pendapat dari Cooper,
Holmbeck Hill dalam Steinberg 2002: 293 yang menyebutkan bahwa peningkatan konflik orang tua mereka dalam membantu remaja
melihat keterangan yang berbeda dalam mengembangkan rasa individuasi.
Collins dalam Steinberg 2002; 293 juga percaya bahwa gerakan ke arah yang lebih tinggi dari tingkat remaja individuasi dirangsang
oleh perkembangan kognitif sosial mereka. Kognisi sosial yang dilakukan untuk diri sendiri dan hubungan kita dengan orang lain.
Orang tua dan remaja akan mengubah hubungan mereka selama masa remaja, namun ikatan emosional mereka tidak akan terputus. Hal ini
menunjukkan perbedaan penting bahwa kemandirian emosional selama masa remaja melibatkan perubahan, bukan remaja yang berpisah
dengan orang tua akan menjadi mandiri secara emosional dari orang tua tanpa harus berpisah dengan mereka.
Proses individuasi dimulai dari masa kanak-kanak dan berlanjut ke akhir masa remaja, sedikit demi sedikit secara bertahap, melatih orang
untuk mandiri, kompeten, dan terpisah dari orang tua . Oleh karena itu individuasi telah banyak menghasilkan sesuatu yang besar dengan
perkembangan suatu identitas, melibatkan perubahan bagaimana kita
melihat dan merasakan tentang diri kita . Individuasi tidak melibatkan stres dan kekacauan. Lebih baik,
melepaskan ketergantungan kekanak-kanakan pada orang yang lebih dewasa, lebih mendukung, lebih bertanggung jawab, dan mengurangi
ketergantungan pada orang lain. Remaja yang berhasil membangun sebuah kesan individuasi dapat menerima tanggung jawab mereka
untuk mengambil keputusan dan tindakan Josselson, 1980 dalam Steinberg, 2002 : 292 .
Remaja tampil sebagai pribadi yang berbeda dengan orangtuanya, remaja merasa berbeda dengan orang tuanya, remaja menegakkan
privasi. Remaja mempunyai pemikiran tentang sesuatu hal yang menurut pandangannnya baik. Remaja mampu melepaskan diri dari
ikatan orang tuanya, remaja tidak lagi mencurahkan segala apa yang dipikirkan atau dirasakan kepada orang tuanya.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Emosional
Untuk mencapai kemandirian emosional diperlukan suatu proses dan perkembangan, kemandirian emosional bukanlah semata-mata pembawaan
yang melekat pada diri individu sejak lahir. Perkembangan tersebut juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan baik di sekolah maupun masyarakat.
Perkembangan kemandirian emosional remaja tidak lepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kemandirian
emosional yaitu dorongan dari dalam diri remaja itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal yaitu berbagai stimulasi yang datang dari lingkungan.
Faktor eksternal berkaitan dengan pola asuh orang tua, jenis kelamin, dan tempat tinggal. Remaja laki-laki biasanya lebih mandiri dibandingkan
perempuan Bumpus, Crouter, McHale, 2001 dalam Santrock, 2014. Remaja yang tinggal terpisah dengan orang tua biasanya akan lebih
berkembang secara mandiri dibandingkan dengan remaja yang masih tinggal dengan orang tua Bucx van Wel, 2008; Nelson others, 2011
dalam Santrock, 2014. Sementara itu, pola pengasuhan orang tua juga perkembangan kemandirian emosional dilihat dari pola kontrol dan
kehangatan yang diberikan orang tua kepada remaja Santrock, 2014. Menurut Hurlock, 2003; Masrun dkk, dalam Arifin, 2009 ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian emosional antara lain : a.
Usia Jenis Kelamin Keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujudkan diri sendiri,
sendiri merupakan kecenderungan yang benar-benar terwujud dalam sikap mandiri ketika seseorang telah mencapai usia dewasa. Pada masa
ini bersikap mandiri merupakan hak dan kewajiban orang dewasa yang penting dan mempengaruhi perkembangan pribadinya.
Pada masa dewasa ini tentunya mereka juga diharapkan untuk mengambil keputusan sendiri. Menurut Setyawan dalam Arifin, 2009:
10 pada usia di bawah umur, anak laki-laki maupun anak perempuan masih tergantung dengan orangtua dalam hal keuangan, pengambilan
keputusan dan penyelesaian masalah. Seiring dengan kematangan sikap, semakin
meningkatnya kecakapan
dan ketrampilan,
maka
ketergantungan-ketergantungan itu semakin berkurang dan berganti sikap mandiri. Menurut Sarwono dalam Arifin, 2009: 10 anak- anak
terutama pada fase pertama di dalam perkembangan dalam keadaan selalu tergantung atau keadaan selalu minta tolong pada orangtuanya.
Steinberg 1993: 144-145 memperlihatkan bahwa tidak banyak pengaruh dari perbedaan jenis kelamin terhadap perkembangan
kemandirian emosional remaja. Hasil penelitian Alfredo Oliva dalam Aprilia menemukan bahwa terdapat peningkatan kemandirian
emosional yang signifikan pada remaja laki-laki saja, di sepanjang masa awal dan akhir masa remaja. Sedangkan nilai kemandirian emosional
pada remaja perempuan hampir sama pada semua kelompok umur remaja.
b. Pendidikan Masrun dalam Arifin, 2009: 10 menyatakan bahwa pendidikan
yang dialami seseorang tidak harus berasal dari sekolah. Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan mempunyai peranan cukup besar bagi
terbentuknya kemandirian emosional seseorang, dan semakin tinggi tingkat pendidikan individu akan semakin tinggi pula kemandirian
emosionalnya. Suryabrata dalam Arifin, 2009: 10 menegaskan pendidikan
adalah usaha manusia dengan penuh tanggung jawab membimbing anak didik ke kedewasaan. Sebagai manusia yang belum dewasa, anak didik
belum dapat mandiri secara pribadi, anak didik masih membutuhkan
pendapat atau bimbingan dari orang yang lebih dewasa sebagai pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya.
Pendidikan baik formal maupun non formal sangat membantu bagi perkembangan kepribadian seseorang dan kemandirian emosional
merupakan salah satu aspek dari kepribadian. Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan mempunyai peranan yang cukup besar bagi
terbentuknya kemandirian emosional seseorang. c. Konsep diri
Menurut Sukadji dalam Arifin, 2009: 11 konsep diri yang positif mendukung adanya perasaan kompeten pada diri individu untuk
menentukan langkah yang akan diambil didalam penyelesaian masalah. d. Lingkungan keluarga, Pola asuh orang tua dan Urutan Posisi Anak
Lingkungan keluarga, lingkungan dimana individu bertempat tinggal sangat mempengaruhi tingkah laku dan dapat membentuk pola
perilaku serta kebiasaan –kebiasaan seseorang dalam membentuk
kemandirian emosional. Perlakuan orangtua mempunyai peranan yang sangat penting
dalam menentukan seberapa baik remaja akan dapat memenuhi tuntutan peningkatan menjadi dewasa. Seifert dan Hoffnung dalam Arifin,
2009: 11 menyatakan bahwa tanggung jawab orangtua untuk menciptakan hubungan baik antara orangtua dan anak, dimana hal
tersebut akan menumbuhkan kemandirian emosional dan rasa percaya diri pada anak yang akan berguna dalam interaksi sosial.
Orang tua dengan pola asuh yang demokratis sangat merangsang kemandirian emosional anak dimana orang tua memiliki
peran sebagai
pembimbingnya untuk
memperhatikan dan
memperlakukan terhadap setiap aktivitasnya dan kebutuhan anak, terutama yang berhubungan dengan studi dan pergaulannya baik di
lingkungan keluarga maupun sekolah. Soekanto dalam Arifin, 2009: 11 mengatakan bahwa orangtua
yang bersifat otoriter akan membawa akibat yang tidak baik bagi perkembangan anak, karena tidak memberi kesempatan pada anak
untuk berdiri sendiri. Maka untuk selamanya anak dari orangtua otoriter akan tetap bergantung pada orangtuanya, keadaan ini bukanlah keadaan
yang ideal bagi anak-anak maupun mereka yang sudah pada tahap perkembangan remaja, karena tidak menjadi mandiri dan tidak mampu
mengambil keputusan sendiri. Menurut Gerungan dalam Arifin, 2009: 12 bagaimana orangtua
membiasakan anak untuk bertindak mandiri pada usia awal, telah banyak mempengaruhi sikap kemandirian emosionalnya pada masa
remaja dan dewasa. Jika sejak kecil orangtua sudah membiasakan anak secara mandiri, membiasakan anak untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri, memberikan dorongan, pujian terhadap sikap mandiri anak, maka akan membuat anak semakin mandiri di masa remaja dan dewasa.
Conger dalam Arifin, 2009: 12 menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan mengenai peran orangtua dalam hubungannya dengan
anak-anaknya, orangtua dapat membantu atau sebaliknya membuat anak tidak mampu untuk berusaha memperoleh kesempatan-
kesempatan dan mengatasi masalah-masalah yang ditemui di luar rumah. .
Menurut Hurlock, 2003 : 203 anak pertama yang diharapkan untuk bisa menjadi contoh teladan dan menjaga adiknya, lebih
berpeluang untuk anak bungsu yang mendapatkan perhatian berlebihan dari orang tua dan kakak-kakaknya berpeluang lebih
kecil. Selain itu, tempat tinggal atau dengan siapa remaja tinggal juga
mempengaruhi kemandirian emosional. Holmbeck, Durbin Kung, dalam Santrock, 2007. Berdasarkan penelitian mengenai hubungan
antara kedekatan keluarga dengan tingkat kemandirian emosional, didapatkan hasil bahwa semakin tinggi tingkat kedekatan keluarga
maka semakin rendah tingkat kemandirian emosional seorang remaja Dibble, 1986.
4.
Kemandirian Emosional pada Remaja
Kemandirian emosional perlu dan penting dimiliki remaja karena kemandirian emosional pada remaja merupakan salah satu tugas
perkembangan remaja yakni mencapai kemandirian emosional seperti orang dewasa lainnya. Kemandirian emosional berkembang lebih awal
dan menjadi dasar perkembangan kemandirian emosional nilai dan perilaku.
Kemandirian emosional menjadi perhatian utama pada masa remaja, dimana pada masa ini terjadi perubahan sosial, fisik, dan kognitif pada
remaja, Santrok, dalam Yahya: 2009. Kemandirian emosional pada masa anak-anak lebih ditekankan pada tingkah lakunya sedangkan pada masa
remaja kemandirian emosional sudah melibatkan perkembangan kognisi, emosi dan psikomotor yang lebih matang dan tahap ini juga dibebankan
tanggung jawab Santrock, dalam Yahya, 2009. Steinberg 2003: 290 membagi tiga aspek dari kemandirian emosional, yaitu kemandirian
emosional emotional autonomy, kemandirian dalam bertingkah laku behavioral autonomy, dan kemandirian nilai value autonomy.
Perkembangan kemandirian emosional juga akan berlanjut ke masa dewasa muda, dimana pada masa ini individu telah mencapai kematangan
kemandirian emosional, kemandirian emosional bertingkah laku dan kemandirian emosional nilai yang dianutnya Santrock, dalam Yahya,
2009. Suatu penelitian yang dilakukan Nuryoto dalam Arifin, 2009: 3
membedakan tingkat kemandirian yang terbagi menjadi dua tahap perkembangan yaitu masa remaja awal dan remaja akhir, hal ini untuk
mengetahui perkembangan kemandirian emosional remaja dalam kurun waktu tertentu dengan pengertian masa remaja awal masih terpengaruh
masa anak-kanak dan masa remaja akhir diharapkan sudah menunjukan sikap dewasa. Hasil penelitian Nuryoto menunjukkan bahwa secara
umum memang terjadi peningkatan pada kemandirian emosional remaja
mengikuti fase atau tahap perkembangannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kemandirian emosional remaja akhir lebih tinggi daripada
kemandirian emosional remaja awal Pada masa remaja ini disebut pula masa revolusi dimana
hentakanledakan perkembangan dari kemampuan fisik dan psikis yang hebat. Namun pada masa ini juga terdapat gejala melemahnya ikatan
afektif dengan orang tua, pada masa ini sering timbul rasa tanggung jawab, rasa kebebasan dan juga rasa akuego-nya. Semua kejadian
tersebut menumbuhan rasa diri yang kuat. Dia mulai menyadari kekuatan sendiri, harga dirinya sebagai seorang individu atau sebagai aku yang
mandiri. Namun perasaan hidup yang positif kuat ini juga sering membawa
anak muda pada aktivitas mengasingkan diri, dalam artian menjauhkan diri dari kekuasaaan orang tua lalu menggerombol dengan teman yang
senasib dan seumuran, dalam usahanya mendapatkan pengakuan terhadap Aku-nya. Secara sadar remaja juga mulai melepaskan relasi dengan
lingkungannya dan kekuasaan orang tua atau orang yang dianggap memiliki kewibawaan terhadap dirinya.
5. Dampak Kemandirian Emosional pada Remaja