Tanggung Jawab Pengelola Bandar Udara

2. Tanggung Jawab Pengelola Bandar Udara

Pengertian tanggung jawab sangat luas, namun demikian menurut Peter Salim 24 dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar masing-masing tanggung jawab dalam arti accountability, responsibility, dan liability. 25 Demikian pula menurut Henry Campbell Black. 26 Tanggung jawab dalam arti accountability biasanya berkaitan dengan keuangan, 27 pembayaran atau pembukuan, misalnya dalam kalimat: Dimintakan “pertanggungan jawab” atas hasil pembukuannya. Tanggung jawab dalam arti responsibility dapat diartikan ikut memikul beban akibat suatu perbuatan atau dapat berarti kewajiban memperbaiki kembali kesalahan yang pernah terjadi. Tanggung jawab dalam arti liability dapat diartikan kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab dalam arti liability berarti menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau perbuatan orang lain yang bertindak untuk dan atas namanya. 24 Peter Salim, Contemporary English-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Jakarta, 1985, hlm 28. 25 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan Kumpulan Makalah dan Paparan Ilmiah , CV. Mitra Karya, Jakarta, 2003, hlm 102-125. 26 E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 131. 27 E. Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1962, hlm 20. Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 240 ayat 1 UU No. 12009 tentang Penerbangan , badan usaha Bandar Udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa Bandar Udara danatau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian Bandar Udara. Berdasarkan ketentuan ini, penumpang sebenarnya dapat meminta tanggung jawab terhadap operator Bandar Udara apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian yang disebabkan oleh operator Bandar Udara. Berdasarkan hukum angkutan udara internasional, ketentuan tanggung jawab tidak dimaksudkan sebagai penghambat dunia penerbangan melainkan untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan penumpang. Pembebanan tanggung jawab kepada pengelola bandara tidak berarti mengurangi tanggung jawab dari maskapai udara. Tiap-tiap pihak tentu wajib tanggung jawab sesuai porsinya, termasuk juga dengan penumpang. Pada akhirnya, ketentuan hukum tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang salah dan benar saat terjadi kecelakaan dan insiden penerbangan. Hal ini diperlukan untuk menyempurnakan sistem agar transportasi udara dapat lebih aman dan nyaman. Dalam bidang penerbangan dan kegiatan Bandar Udara dapat dijumpai beberapa sistem tanggung jawab yang memakai prinsip- Universitas Sumatera Utara prinsip tanggung jawab. Sistem mana yang terbaik, terutama bagi Indonesia, tergantung kepada siapa yang ingin dilindungi dan sampai dimana tingkat perlindungan itu, yang terdiri atas: 28 1. Sistem Warsawa 1929 Dalam Sistem Warsawa ini dipergunakan prinsip Presumption of Liability , prinsip Presumption of Non Liability, dan prinsip Limitation of Liability . Prinsip Presumption of Liability dipergunakan untuk tanggung jawab terhadap penumpang, bagasi tercatat register baggage atau checked baggage yaitu bagasi penumpang yang sebelum keberangkatan diserahkan kepada pengangkut untuk diangkut dengan kargo. Prinsip Presumption of Non Liability dipergunakan untuk tanggung jawab terhadap bagasi tangan atau handbaggage yaitu barang-barang yang dibawa oleh dan berada dibawah pengawasan sendiri. Kedua prinsip ini dikombinasikan dengan prinsip Limitation of Liability. Prinsip Presumption of Liability mempunyai arti bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami penumpang karena ia mengalami kecelakaan atau bagasi tercatatnya hilang atau untuk kerugian 28 E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 235. Universitas Sumatera Utara yang dialami oleh pengirim atau penerima kargo, karena kerusakan atau kehilangan. 29 Dengan prinsip ini maka pihak yang mengalami kerugian tidak mempunyai beban untuk membuktikan bahwa ia punya hak atas ganti rugi. Dengan perkataan lain, prinsip ini mengakibatkan adanya suatu pengalihan beban pembuktian, oleh karena sistem Warsawa pengangkut dapat meniadakan praduga bahwa ia bertanggung jawab, apabila ia dapat membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah timbulnya kerugian. Dalam hukum Anglosakson, prinsip ini juga disebut “res ipsa loquitur” atau the thing speaks for itself yang artinya pengangkut sudah dengan sendirinya bertanggung jawab dan tidak perlu dibuktikan lagi dalam prinsip ini ada atau tidak adanya kesalahan tidak relevan. 30 Prinsip ini dengan sendirinya lebih berat bagi pengangkut karena dia dianggap selalu bertanggung jawab, dan sebagai imbangannya prinsip ini disertai prinsip pembatasan tanggung jawab, artinya tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai jumlah tertentu. Sebaliknya untuk bagasi tangan berlaku prinsip Presumption of Non Liability yaitu bahwa pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada 29 John. M. Echols Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986, Hlm 130. 30 E. Suhernan, Op.cit, Hlm 237. Universitas Sumatera Utara bagasi tangan. Memang wajar apabila prinsip tanggung jawab untuk bagasi tangan merupakan kebalikan dari prinsip tanggung jawab untuk bagasi tercatat, oleh karena bagasi tangan tetap berada dibawah pengawasan penumpang sendiri things of which the passanger takes charge himself . Dalam hal ini penumpanglah yang harus membuktikan bahwa pengangkut bertanggung jawab, misalnya bahwa kerugian pada bagasi tangan disebabkan karena kelalaian pengangkut atau perbuatan sengaja. 31 2. Sistem Roma Dalam Konvensi Roma tahun 1933 yang kemudian digantikan dengan Konvensi Roma tahun 1952 yang mengatur tanggung jawab oeprator pesawat udara asing untuk kerugian yang diderita pihak ketiga di permukaan bumi dipergunakan prinsip tanggung jawab mutlak absolut liability atau strict liability dan prinsip pembatasan tanggung jawab. Dengan prinsip ini operator pesawat udara tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawab. Dengan sendirinya prinsip tanggung jawab mutlak lebih berat bagi pihak yang bertanggung jawab, oleh karena ia tidak dapat membebaskan diri. 31 Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, Hlm 62. Universitas Sumatera Utara 3. Sitem Montreal Dalam bulan Oktober tahun 1965 Amerika Serikat menyatakan akan mengundurkan diri sebagai peserta Konvensi Warsawa tahun 1929, karena menganggap bahwa limit tanggung jawab yang ditetapkan dalam Konvensi Warsawa, meskipun telah dinaikkan dua kali lipat oleh Protokol The Hague tahun 1955 yang mengamendir Konvensi Warsawa, masih terlalu rendah. Pengunduran diri akan mulai berlaku bulan Mei tahun 1966, yaitu 6 enam bulan kemudian sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Warsawa. Pengunduran Amerika Serikat sebagai peserta Konvensi Warsawa oleh International Air Transport Association IATA yaitu asosiasi perusahaan penerbangan internasional dianggap sebagai suatu hal yang sangat serius, oleh karena akan mengakibatkan perusahaan penerbangan yang mengangkut penumpang berbangsa Amerika Serikat ada kemungkinan bila digugat di Amerika Serikat, akan diharuskan membayar ganti rugi yang jauh lebih tinggi dari pada apa yang mungkin harus dibayarkan berdasarkan Konvensi Warsawa atau Protokol The Hague. Oleh karena itu IATA dan perusahaan penerbangan yang tergabung didalamnya bersedia mengadakan suatu perjanjian khusus dengan pemerintah Amerika Serikat, yang dikenal dengan nama Montreal Interim Agreement 1966. Universitas Sumatera Utara Perjanjian ini dapat mencegah Amerika Serikat keluar dari Konvensi Warsawa 1929. Dengan perjanjian ini, yang berlaku khusus bagi penerbangan dari dan melalui Amerika Serikat, perusahaan penerbangan menyepakati hal-hal sebagai berikut: a. Prinsip tanggung jawab yang dipakai adalah prinsip tanggung jawab mutlak. b. Jumlah ganti rugi maksimal adalah US 75.000 tujuh puluh lima ribu US dolar, termasuk biaya perkara atau US 58.000 lima puluh delapan ribu US dolar tidak termasuk biaya perkara. c. Dalam waktu 5 lima tahun harus diusahakan suatu konvensi internasional baru untuk menggantikan konvensi Warsawa. 32 4. Sistem Guatemala Lima tahun setelah Montreal Interim Agreement 1966, di Guatemala oleh International Civil Aviation Organization ICAO, suatu badan khusus PBB, diselenggarakan suatu Konferensi Diplomatik mengenai Hukum Udara Internasional, yang kemudian menghasilkan Protokol Guatemala tahun 1971, yang berisikan amandemen-amandemen yang mendasar pada Konvensi Warsawa tahun 1929. Dalam protokol ini pada dasarnya dipergunakan pirnsip-prinsip yang sama seperti dalam 32 E. Suherman, Op.cit, Hlm 239. Universitas Sumatera Utara Montreal Interim Agreement, khusus untuk penumpang dan bagasinya, sedangkan untuk kargo dan keterlambatan masih dipergunakan prinsip presumption of liability. Untuk penumpang limit tanggung jawab ditetapkan sebesar US 100. 000 Seratus ribu US dolar dan dinyatakan sebagai suatu unbreakable limit, suatu limit yang tidak dapat dilampaui dalam hal apapun juga. 5. Sistem Ordonansi Pengangkutan Udara Sistem Ordonansi Pengangkutan Udara sama dengan sistem Warsawa, kecuali dalam satu hal, yaitu untuk tanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh karena keterlambatan. Dalam Warsawa, tanggung jawab untuk keterlambatan tunduk pada prinsip yang sama, sedangkan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara, pengangkut diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab dengan suatu perjanjian khusus dengan pemakai jasa angkutan udara. 33 6. Sistem Flat Rate Sistem ini bermula dari suatu kebijakan pemerintah setelah peristiwa kecelakaan pesawat udara yang mengangkut jemaah haji, tahun 1974 dan 1975 di Srilangka. Dengan demikian maka dapat kita tafsirkan bahwa dengan sistem ini prinsip yang digunakan adalah prinsip tanggung 33 Ibid, hlm 240. Universitas Sumatera Utara jawab mutlak, meskipun tafsiran ini mungkin keliru karena belum pernah ada kasus pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab karena alasan tertentu. Salah satu unsur dari adanya tanggung jawab mutlak ialah bahwa pengangkut tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya karena alasan apapun juga, kecuali kesalahan pihak yang dirugikan sendiri atau inherent vice of the goods. Dalam konsep RUU untuk menggantikan Ordonansi Pengangkutan Udara, yang disusun oleh tim konsultan untuk departemen perhubungan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tahun 1986 telah diusulkan suatu sistem yang memakai prinsip tanggung jawab mutlak, dikombinasikan dengan sistem flat rate, yaitu berupa pembayaran suatu jumlah tertentu secara otomatis, dengan membuka kemungkinan untuk menuntut ganti rugi melebihi jumlah tersebut sampai suatu limit tertentu, dengan syarat beban pembuktian mengenai alasan untuk jumlah tambahan tersebut. Konsep diatas menjadi suatu perbandingan antara berbagai sistem tanggung jawab tersebut. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 138 ayat 2 bahwa badan usaha Bandar Udara, unit penyelenggara Bandar Udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus danatau barang berbahaya Universitas Sumatera Utara wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan system dan prosedur penanganan barang khusus danatau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat kedalam pesawat udara. Apabila melanggar ketentuan pengangkutan barang berbahaya tersebut maka akan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan danatau pencabutan izin. Dan juga menyadari betapa pentingnya peran asuransi, dalam pasal 62 Bab VIII UURI No. 1 Tahun 2009, mengatur asuransi dalam pengoperasian pesawat udara. Setiap orang termasuk badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan: a. Pesawat udara yang dioperasikan; b. Personel pesawat udara yang dioperasikan; c. Tanggung jawab kerugian yang diderita oleh orang atau badan hukum yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum; d. Tanggung jawab pihak ketiga atau orang atau badan hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum, tetapi mendapat kerugian akibat dari pengoperasian pesawat udara tersebut; e. Kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara. Dalam RUU Penerbangan tidak terdapat usul yang mewajibkan asuransi pesawat udara yang dioperasikan, personel pesawat udara Universitas Sumatera Utara yang dioperasikan, tanggung jawab kerugian orang atau badan hukumyang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum, tanggung jawab kerugian pihak ketiga atau orang atau badan hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum, tetapi mendapat akibat dari pengoperasian pesawat udara tersebut, dan kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara. 34 Dalam UURI No. 15 Tahun 1992 kewajiban asuransi awak pesawat udara terdapat dalam pasal 48 empat puluh delapan. Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakannya. Asuransi penerbangan mempunyai peran yang sangat penting dalam dunia penerbangan terutama asuransi tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang, pengirim barang, tanggung jawab terhadap pihak ketiga, tanggung jawab penyelenggara Bandar Udara, asuransi awak pesawat udara, dan asuransi pesawat udara.

D. PT Angkasa Pura II Persero Medan sebagai Pengelola Bandar Udara