58
4.3.3 Penyaluran Kredit
Alokasi kredit perbankan, maka Selama sepuluh tahun terakhir rerata peningkatan alokasi kredit mencapai 30,59 . Peningkatan terbesar adalah untuk jenis
penggunaan konsumsi sebesar 80,30 diikuti oleh modal kerja 44,45 dan investasi 13,89 . Proporsi kredit untuk konsumsi masih lebih kecil jika dibandingkan dengan
jenis penggunaannya. Proporsi terbesar tahun 2006 adalah untuk jenis penggunaan modal kerja sebesar 44,37 , investasi 34,02 dan konsumsi sebesar 21,62 . Pada
awal otonomi daerah tahun 1999 porsi kredit untuk modal kerja adalah sebesar 36,35 . Berarti selama otonomi daerah proporsi kredit untuk modal kerja kian membesar. Untuk
jenis penggunaan investasi justru mengalami penurunan dimana proporsi tahun 1999 mencapai 55,30 . Untuk jenis penggunaan konsumsi proporsinya tahun 1999 baru
sebesar 8,32 sedangkan tahun 2006 porsinya meningkat pesat. Data ini menggambarkan bahwa perbankan di Provinsi Riau lebih banyak mendorong perilaku
konsumtif masyarakat dengan memberi porsi yang besar bagi keperluan kredit konsumsi dan pertumbuhannya sangat tinggi. Kenaikan pemberian kredit untuk modal kerja
terjadi sebagai antisipasi terhadap melonjaknya harga barang sehingga para pedanganharus didorong melakukan distribusi dan penyediaan dengan memberi kredit
pada mereka dapat dilihat pada Tabel 12. Apabila analisis alokasi itu diteruskan dengan menelaah secara sektoral, maka
diketahui pada awal otonomi daerah kredit untuk sektor pertanian baru sebesar Rp 2,94 triliun atau sebesar 37,99 dari total kredit yang diberikan. Tahun 2006 jumlah kredit
yang disalurkan meningkat menjadi Rp 5,32 triliun atau meningkat sebesar 81,12 atau rerata 11,58 setiap tahunnya. Porsinya dalam struktur alokasi kredit sektoral di
Riau turun menjadi 24,12.
59 Tabel 12b. Alokasi Kredit Perbankan di Riau Jenis Penggunaan
Klasifikasi Kredit Juta Rupiah No Tahun
Modal Kerja Investasi
Konsumsi Total
Kredit
1 1996 1,765,899.0
3,142,305.0 528,336.0
5,436,540.0 2 1997
2,632,653.0 4,434,248.0
760,789.0 7,827,690.0
3 1998 3,043,001.0
6,111,382.0 698,279.0
9,852,662.0 4 1999
2,813,907.0 4,280,960.0
644,900.0 7,739,767.0
5 2000 3,811,432.0
5,986,293.0 1,044,361.0
10,842,086.0 6 2001
4,670,362.0 5,109,526.0
1,587,164.0 11,367,052.0
7 2002 4,740,760.0
7,777,510.0 2,135,544.0
14,653,814.0 8 2003
6,158,818.0 8,272,913.0
2,785,293.0 17,217,024.0
9 2004 6,992,198.0
10,489,734.0 4,262,557.0
21,744,489.0 10 2005
6,593,278.0 8,572,203.0
3,885,969.0 19,051,450.0
11 2006 9,790,020.0
7,506,418.0 4,770,900.0
22,067,338.0
Rerata Pertumbuhan
45.44 13.89
80.30 30.59
Sumber, Bank Indonesia, SEKD, 2007.
Hanya saja alokasi kredit untuk pertanian lebih banyak dialokasikan untuk sub-sektor perkebunan dan kurang menyentuh petani-petani kecil yang banyak bermukim di
pedesaan. Kredit perkebunan pada umumnya dikelola oleh para cukong atau petani berdasi. Masyarakat hanya terlibat dalam bentuk pola inti-plasma yang banyak
dicengkram oleh pengusaha intinya. Kebun plasma kurang berkembang dengan baik. Dari kredit untuk keperluan industri meningkat dari Rp 2,28 triliun menjadi
sebesar Rp 6,5 triliun atau rerata setiap tahunnya meningkat sebesar 26,51 . Porsi kredit untuk konsumsi naik dari 29,41 tahun 1999 menjadi 29,45 . Sedangkan untuk
sektor perdagangan rerata pertumbuhannya setiap tahun mencapai 26,15 . Porsi kredit