BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia yang kaya sumber daya alam, dengan tanah yang subur dan laut yang luas, seharusnya merupakan negara agraris dan maritim yang andal. Sangat
ironis hingga saat ini Indonesia adalah negara pengimpor produk pertanian terbesar di dunia. Pertambahan penduduk yang masih tinggi dan menurunnya produktivitas
beberapa komoditas penting dan luas areal pertanian menyebabkan Indonesia masih harus mengimpor beberapa bahan pangan yang cukup besar setiap tahun. Apabila hal
itu tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin pada waktu-waktu mendatang, Indonesia benar-benar masuk
jebakan pangan http:www.suarapembaruan.comNews20090221index.html diakses tanggal 15
Maret 2009 pukul 15.20 Wib. Ketergantungan pada bahan pangan impor sungguh akan memperlemah
ketahanan nasional. Untuk menghindari ketergantungan pangan impor, kebijakan untuk mencapai swasembada pangan perlu mendapat prioritas utama. Sektor
pertanian, kelautan dan perikanan harus menjadi prioritas pertama kebijakan pembangunan nasional.
Selain itu, perubahan politik dan kebijakan pertanian merupakan salah satu penyebab keterpurukan yang terjadi saat ini, terutama bergesernya prioritas
pembangunan sektor pertanian kepada sektor industri yang tidak berorientasi pada
Universitas Sumatera Utara
sumber daya lokal terbarukan. Pengaruh kebijakan perdagangan bebas yang mengglobal juga telah dirasakan dalam persaingan perdagangan komoditas pertanian.
Dengan masuknya Indonesia ke dalam perjanjian pertanian Agreement on AgricultureAOA pada tahun 1995, dan ditandatanganinya Letter of Intent LoI
dalam program Dana Moneter Internasional IMF, telah melahirkan proses liberalisasi bidang pertanian secara radikal. Kondisi ini di satu sisi dapat menjadi
peluang bagi Indonesia untuk berperan di pasar dunia, sekaligus juga merupakan tantangan bahkan ancaman jika daya saing komoditas pertanian Indonesia masih
rendah. http:www.suarapembaruan.comNews20090221index.html diakses
tanggal 15 Maret 2009 pukul 15.20 Wib Negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia memasuki
abad ke-21 mengalami perubahan paradigma pembangunan yang drastis. Seperti diketahui, ketika negara-negara yang sedang berkembang melalui upaya
pembangunan negara mereka masing–masing sesudah mereka memperoleh kemerdekaan mereka, maka paradigma pembangunan yang dominan di negara–
negara itu adalah industrialisasi. Soetrisno, 1999:2. Akibat dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan
negara-negara yang sedang berkembang, pembangunan dari sektor pertanian relatif diterlantarkan. Bahkan ada anggapan bahwa indikator keberhasilan suatu
pembangunan adalah mengecilkan sumbangan sektor pertanian pada tata pendapatan negara, dan sebaliknya apabila jumlah kontribusi sektor pertanian pada pendapatan
nasional tetap tinggi, maka negara tersebut tetap dianggap sebagai negara yang terbelakang.
Universitas Sumatera Utara
Apabila sektor industri dan sektor bangunan dan perbankan mengalami kehancuran, maka tidak demikian halnya dengan sektor pertanian, khusunya sub-
sektor perkebunan. Bila banyak buruh industri di Jawa yang kehilangan pekerjaan, maka di Sulawesi para petani cokelat mengalami kehidupan yang berlimpah karena
naiknya harga cokelat di pasar Internasional. Ketahanan sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan
perubahan pola pikir para perencana pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Semula industrialisasi yang diandalkan sebagai suatu model
pembangunan yang akan mampu memecahkan masalah keterbelakangan negara- negara yang sedang berkembang, maka ketika krisis menimpa negara-negara tersebut,
pembangunan sektor pertanian kemudian menjadi harapan baru bagi perencana pembangunan dunia ketiga.
Meskipun telah terbukti bahwa sektor pertanian telah mampu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat yang sedang menghadapi krisis ekonomi, tetapi
untuk menjadikan sektor menjadi suatu “leading sector” dalam proses pembangunan bukanlah suatu hal yang mudah. Dibutuhkan investasi yang mahal untuk membangun
sebuah Argo-industri yang mampu menjadi mesin pendorong pembangunan ekonomi yang handal. Di samping itu untuk membangun suatu argo-industri akan menghadapi
tantangan yang berasal dari perubahan-perubahan yang terjadi pada dunia abad yang akan datang yang cenderung didominasi negara-negara yang maju Soetrisno, 1999 :
2. Dari segi pendidikan sebagian besar petani di Indonesia berpendidikan
sekolah dasar 40,73 dan hanya 0,39 yang berpendidikan akademiuniversitas,
Universitas Sumatera Utara
sementara yang berpendidikan SLTA sebesar 4,62. Sedangkan kelompok yang termasuk dalam pendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 47,33. Dari
data tersebut dapat menunjukkan mutu atau kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh sektor pertanian Indonesia.
Sumber daya petani yang rendah, merupakan salah satu sebab utama dari rendahnya produktivitas para petani Indonesia. Kondisi rendahnya mutu sumber daya
manusia itu, menjadi lebih memprihatinkan apabila dilihat usia dari para petani yang sudah rentan atau tua. Sebagian besar petani Indonesia yakni sebesar 15,1 juta orang
76,2 berusia sekitar 25 sampai dengan 54 tahun, dengan penyebaran yaitu 7,7 juta orang 50,9 berada di pulau Jawa dan 7,3 juta orang 49,1 berada di luar Jawa.
Dilihat dari usia petani diatas 55 tahun sebanyak 4,2 juta atau 21,46 dari jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia. Umur rata-rata petani di Indonesia yang
cenderung tua itu sangat berpengaruh pada produktivitas sektor pertanian Indonesia. Soetrisno, 1999 : 5
Pada permulaan tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program BIMAS
Bimbingam Massal. Revolusi hijau atau program BIMAS meskipun memakan waktu yang relatif lama yakni lebih kurang 20 tahun, telah berhasil mengubah sikap
para petani, khususnya para petani sub sektor pangan, dari “anti” teknologi ke sikap yang mau memanfaatkan teknologi pertanian moderen seperti pupuk kimia, obat-
obatan perlindungan, dan bibit padi unggul. Perubahan sikap petani sangat berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas
sub-sektor pertanian pangan sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada
Universitas Sumatera Utara
pangan. Revolusi Hijau mampu secara makro dapat meningkatkan produktivitas sub- sektor pertanian pangan, namun pada tingkat mikro Revolusi Hijau tersebut telah
menimbulkan berbagai masalah tersendiri. Salah satu masalah yang sangat penting adalah bibit padi yang boleh ditanam adalah bibit padi unggul yang disediakan
pemerintah, sementara pemerintah melarang para petani menanam bibit lokal yang semula banyak ditanam oleh petani. Akibatnya adalah timbulnya kerentanan dalam
tubuh sub-sektor pertanian pangan kita. Kerentanan itu muncul dalam 2 bentuk. Pertama, sub-sektor pertanian pangan rentan akan berbagai hama. Meskipun
padi bibit unggul itu memiliki produktivitas yang tinggi, tetapi tidak memiliki ketahanan hidup lama. Pada tahun 1970-an sub-sektor pangan Indonesia terserang
penyakit hama wereng cokelat yang mampu memusnahkan tanaman padi dan mengancam Indonesia menghadapi bahaya kelaparan. Untuk mengatasi hal ini
pemerintah mengadakan pergantian bibit padi yang diharapkan dapat lebih memiliki ketahanan terhadap hama.
Kedua, Revolusi Hijau membuat petani Indonesia bodoh. Banyak pengetahuan lokal yang menyangkut pertanian telah banyak dilupakan petani. Para
petani lebih menggantungkan paket-paket teknologi pertanian produk industri. Ketergantungan itu menimbulkan suatu kerentanan baru yakni petani Indonesia
menjadi obyek dari permainan harga produk-produk itu. Hal ini dapat mengganggu proses produksi pangan karena apabila harga pupuk naik maka petani mengurangi
pemakaian pupuk yang berakibat menurunnya produksi Soetrisno, 1999 : 10. Di Indonesia saat ini jumlah lahan pertanian yang produktif sudah semakin
berkurang. Di lain pihak, lahan pertanian yang ada pun sudah berkurang
Universitas Sumatera Utara
kesuburannya sehingga menjadi tanah-tanah marginal. Hal ini menjadi tantangan dalam upaya pemanfaatan lahan-lahan tersebut untuk budi daya pertanian. Agar
kesuburan tanah dapat dipertahankan, penggunaan pupuk organik pun tidak dapat dihindarkan.
Dalam pertanian moderen saat ini, penggunaan pupuk kimia mulai dikurangi, bahkan ditiadakan dan digantikan dengan pupuk organik. Hal ini
disebabkan pupuk organik tidak meninggalkan residu kimia, tidak seperti pupuk kimia. Pupuk organik bukan barang baru bagi petani. Sudah sejak lama pupuk ini
digunakan secara tradisional oleh petani untuk mempertahankan kesuburan tanah Musnamar, 2003 : 2.
Pentingnya pengembangan pertanian organik adalah persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus
menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati. Hasil penelitian LPT menunjukkan
bahwa 79 tanah sawah di Indonesia memiliki bahan organik BO yang sangat rendah. Kondisi ini bermakna bahwa sawah di Indonesia sudah sangat miskin, bahkan
bisa dikatakan sakit, sehingga tidak hanya membutuhkan makanan pupuk kimia, namun juga memerlukan penyembuhan. Cara penyembuhan adalah dengan
menambahkan BO yang telah diolah menjadi pupuk organik sehingga tanah dapat menjadi lebih sehat dengan kandungan BO yang lebih tinggi. Untuk meningkatkan
kandungan BO, dibutuhkan tambahan bahan-bahan organik pupuk organik berkisar 5-10 tonha. Meskipun demikian, peningkatan BO pada setiap hektare tanah sawah
Universitas Sumatera Utara
dapat dilakukan secara bertahap dengan memberikan asupan pupuk organik pada kisaran 3-5 ton Musnamar, 2003 : 5.
Pertanian organik sebagai bagian pertanian yang akrab lingkungan perlu segera dimasyarakatkan seiring dengan makin banyaknya dampak negatif terhadap
lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan kimia pertanian. Disamping itu, makin meningkatnya jumlah
konsumen produksi bersih dan menyehatkan serta meluasnya gerakan “green consumer” merupakan pendorong segera disosialisaikan gerakan pertanian organik
Sutanto, 2002 : 5. Beranjak dengan keadaan diatas dan dalam rangka membantu masyarakat
petani untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat petani tersebut serta ingin menerapkan model
pertanian berkelanjutan yang ekonomis, ekologis dan berbudaya serta dengan perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan pertanian, kesehatan dan lingkungan
global dalam dasawarsa terakhir ini semakin meningkat, maka banyak LSM yang mengembangkan pertanian organik yang akrab lingkungan dan menghasilkan hasil
pertanian yang sehat, bebas dari residu obat-obatan dan zat-zat kimia yang mematikan.
Pertanian organik lebih dihargai dibandingkan dengan pertanian non- organik. Adapun LSM yang mengangkat pertanian organik ini untuk coba diterapkan
dan dikembangkan seperti Jaringan Aksi Pestisida PAN Indonesia, STPN-HPS, ELSPPAT Bogor, Sintesa dan salah satunya adalah Bitra Indonesia melalui
pertanian organik, Bitra Indonesia menerapkan “Pertanian Polikultur” pada
Universitas Sumatera Utara
kelompok-kelompok tani di daerah-daerah dampingannya. Program pertanian ini bertujuan untuk meningkatkan penghasilan para petani yang pada akhirnya akan
meningkatkan kemampuan para petani untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi petani dengan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-
hari seperti sandang, pangan dan papan serta untuk memelihara ekosistem pertanian. Pertanian Polikultur juga dapat membantu perekonomian masyarakat, sebab makin
meningkatnya jumlah konsumen produksi bersih dan menyehatkan tanpa adanya kandungan kimia serta dengan banyaknya jenis tanaman yang dibudidayakan dalam
satu lahan maka akan dapat menjadi alternatif bagi para petani. Jika salah satu tanaman belum atau tidak menghasilkan maka tanaman lain bisa dipanen untuk
dijual, sehingga dengan demikian petani tidak lagi khawatir akan kebutuhan rumah tangganya.
Salah satu daerah tempat penerapan Program Pertanian Polikultur ini yaitu di Desa Sayum Sabah Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. Di desa
tersebut terdapat satu kelompok tani dampingan Bitra Indonesia, dengan penerapan Program Pertanian Polikultur yang bisa meningkatkan pendapatan dan juga
meningkatkan kesejahteraan petani untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari- harinya.
Pertanian Polikultur ini mulai diterapkan di Desa Sayum Sabah pada tahun 1997. Bitra Indonesia mengembangkan sistem polikultur yang dikenal sebagai agro
forestry. Usaha para petani yang berada di bawah kaki bukit pegunungan, umumnya tidak terfokus, artinya mereka tidak mengetahui jenis tanaman tahunan apa yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi dan bersahabat dengan lingkungan. Sebelum Bitra
Universitas Sumatera Utara
Indonesia mengenalkan sistem Pertanian Polikultur para petani di Desa tersebut menanam jenis tanaman yang berbeda-beda antara satu petani dengan petani lainnya
seperti kelapa sawit, panille dan lain-lain. Hasil dari tanaman tersebut tidak menggembirakan disebabkan oleh perawatan yang tidak menentu serta iklimnya juga
memang tidak sesuai dengan tanaman tersebut. Penggunaan pestisida yang berlebihan masih digunakan petani untuk
tanamannya yang berdampak buruk terhadap ekosistem lingkungan. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai pedagang sayur yang setiap pagi harus sudah sampai di
pasar untuk menjual dagangannya walau hasil yang diperoleh tidak memuaskan, singkatnya penduduk Desa tersebut umumnya dapat digolongkan sebagai masyarakat
miskin. Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk melihat kebenaran
dari pelaksanaan Program Pertanian Polikultur ini secara ilmiah apakah ada peningkatan kesejahteraan para petani Desa Sayum Sabah. Kondisi sosial ekonomi
seseorang merupakan penentu status dan peran yang dimilikinya dalam kehidupan bersama. Dengan kata lain, kondisi sosial ekonomi seseorang berpengaruh besar
terhadap interaksi yang dilakukannya. Dan dengan adanya Program Pertanian Polikultur salah satu pertanian organik yang dikenalkan dan diterapkan Yayasan
Bitra Indonesia menjadi latar belakang penulis tertarik mengadakan penelitian di
Desa tersebut dengan judul “Pengaruh Program Pertanian Polikultur Oleh Yayasan Bitra Indonesia Terhadap Tingkat Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
Sayum Sabah Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang.”
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah