Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

PENGARUH PROGRAM PERTANIAN ORGANIK

TERHADAP SOSIAL EKONOMI KELOMPOK DAMPINGAN YAYASAN BINA KETERAMPILAN PEDESAAN (BITRA) INDONESIA DI DESA

LUBUK BAYAS KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Diajukan Oleh : DAVID FRANS SIREGAR

100902043

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : David Frans Siregar

NIM : 100902043

ABSTRAK

Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa

Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Revolusi hijau telah membuat petani – petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha saat ini semakin sulit keluar dari jurang kemiskinan. Peningkatan hasil panen yang dipaksakan dalam waktu singkat di tahun 1998 telah membuat penghasilan petani semakin menurun dan tidak stabil saat ini. Oleh karena itu Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia berusaha membantu petani untuk keluar dari semua permasalahan yang ada dengan menerapkan program pemberdayaan yaitu program pertanian organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh positif program pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

Tipe penelitian ini tergolong penelitian eksplanatif yang bertujuan menguji atau membuktikan hipotesis dengan teknik analisis uji t dua sampel independen. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah petani organik (kelompok dampingan) yang berjumlah 62 keluarga dan petani anorganik (bukan kelompok dampingan) yang ada di Desa Lubuk Bayas yang berjumlah 455 keluarga. Berdasarkan populasi tersebut, penulis menetapkan teknik penarikan sampel bertujuan. Hanya 30 keluarga petani organik yang dijadikan sebagai sampel, hal ini dikarenakan hingga saat ini masih 30 petani yang sudah memproduksi padi hasil pertanian organik. Penulis juga menetapkan 30 petani anorganik berdasarkan kesamaan tingkat kemajuan, salah satunya berdasarkan luas lahan.

Kesimpulan yang diperoleh dari analisis data menggunakan uji t dua sampel independen dengan nilai kritis untuk t dalam dk = 29 pada level kofiden 0,05 = 2,045 dan nilai kritis untuk t dalam dk = 28 pada level kofiden 0,05 = 2,048, adalah thitung lebih besar dari ttabel (2,3188 > 2,045 atau 2,3188 > 2,048). Hal tersebut berarti Ha diterima yaitu terdapat pengaruh positif program pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Beberapa indikator yang memiliki perbedaan yang signifikan dan sangat berpengaruh dalam perhitungan sosial ekonomi secara menyeluruh antara lain: indikator pendapatan yang didominasi oleh pendapatan dari hasil usaha tani, indikator kesehatan berupa status kesehatan, indikator pangan berupa frekuensi konsumsi makanan tambahan berupa susu dan buah, indikator pakaian berupa frekuensi pembelian pakaian baru untuk istri, dan indikator perumahan yaitu status kepemilikan rumah.


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF SOCIAL WELFARE Name : David Frans Siregar

NIM : 100902043

ABSTRACT

The Influence of Organic Farming Program towards Socio-economic of Assisted Group of Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia Foundation in

Lubuk Bayas Village of Perbaungan Serdang Bedagai.

Green revolution has made the farmers who have less than 0.5 hectare of land hardly getting out of poverty. Increased yields that forced to be produced in a shorter time in 1998 has made the farmers’ income decreased and unstable. Therefore, Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia Foundation has tried to help farmers to solve problems by implementing development program which is organic farming program. This research aimed to determine whether there is positif influence of the organic farming program towards socio-economic of Assisted Group of BITRA Indonesia Foundation in Lubuk Bayas Village of Perbaungan Serdang Bedagai.

This research was classified as an explanatory research that aimed to test or prove the hypothesis by Independent Two-Sample T-Test Analysis Technique. The population in this research were 62 organic farmers (members of assisted group) and 455 inorganic farmers (not the members of assisted group). Based on the population, the author set the purposive sampling as the sampling technique. This technique was chosen since only 30 members of the assisted group that has produced organic rice at the time of the research. The author also chose 30 inorganic farmers based on the similarity rate of progress, such as land area.

The conclusion of the data analysis using Independent Two-Sample T-Test Analysis Technique with critical value for the t distribution with 29 degrees of freedom at confidence level of 0.05 equaled 2.045 and critical value for the t distribution with 28 degrees of freedom at confidence level of 0.05 equaled 2.048 was tcount was greater than ttable (2,3188 > 2,045 or 2,3188 > 2,048). It meant that Accepted Ha was there was positive influence of the organic farming program towards socio-economic of Assisted Group of BITRA Indonesia Foundation in Lubuk Bayas Village of Perbaungan Serdang Bedagai. Some indicators which had significant differences and influences in the overall socio-economic calculation were: indicators of income which was dominated by income from farming, indicators of health such as health status, indicators of foods consumption such as the frequency of consuming extra food such as milk and fruit, indicators of clothes consumption such as frequency of purchasing new clothes for the wifes, and indicators of residentials such as the status of home ownership.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penulisan skripsi ini. Segala puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan hikmat dan berkatNya berupa kesehatan, kesabaran dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan masa kuliah di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan merampungkan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai”.

Penulis menyadari perjuangan kedua orang tua dalam kebutuhan baik materil maupun moril selama mengecap pendidikan di Universitas Sumatera Utara (USU), untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Sudirman Siregar (+) dan Margaretta Simatupang (+) yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, nasehat, dan dukungan kepada penulis semasa hidup beliau. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan kakak, lae, abang dan adik penulis yaitu Secilya Siregar, Ivan Harianja, Markus Branly Siregar dan Doni Damara Siregar yang selalu memberikan dorongan dan semangat.

Penulis juga menyadari bahwa banyak sekali bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:


(5)

2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si, Ph.D, selaku dosen pembimbing penulis yang telah bersedia membimbing dengan sabar, meluangkan waktu dan tenaga serta memberi dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Hairani Siregar, S.Sos, MSP, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.

4. Seluruh staff Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU yakni Kak Juraidah, Kak Debby, Bang Ria yang telah membantu segala sesuatu yang berkaitan dengan jalannya pendidikan penulis.

5. Seluruh badan pengurus dan staff pelaksana Yayasan BITRA Indonesia, khususnya bapak Wahyudi selaku Ketua Badan Pengurus, bang Restu Aprianta, SP selaku manager divisi Pengembangan Masyarakat, bang Misdi Saputra dan kak Jumarni selaku staff pelaksana.

6. Bapak Ruslizar, SE dan Bapak Karimuddin, S.Pd, selaku Kepala Desa dan Sekretaris Desa Lubuk Bayas beserta aparatur desa Lubuk Bayas lainnya, terimaksih untuk izin penelitian dan bantuannya.

7. Bapak Sarman, selaku Ketua Kelompok Tani Subur desa Lubuk Bayas.

8. Kekasih tersayang, Ayu Faskawati Sinulingga yang selalu memberikan dukungan, bantuan serta doa.

9. Teman satu doping, Evitamala Munthe yang sudah berjuang sama – sama dan saling memberikan semangat.

10.Teman – teman stambuk 2010, Dwi J. Purba (teman pertama di kessos), Erwin Berutu, Primadola Harianja, Yan Samosir, Josua H., Debora Banjarnahor, Erlince Situmorang, Ummi R. Siagian dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terkhusus kepada Pera S. Keliat, Liberson F. Sitanggang, Doni Siregar dan Desi Ginting yang sangat membantu dalam penulisan skripsi ini.


(6)

11.Teman – teman satu organisasi di KMK st. Yohannes Don Bosco FISIP USU dan di KMK st. Albertus Magnus USU atas dukungan yang diberikan.


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR BAGAN DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 10

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 10

1.4 Penelitian Sebelumnya ... 11

1.5 Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Program ... 13

2.2 Kemiskinan ... 13

2.2.1 Pengertian Kemiskinan ... 13

2.2.2 Bentuk – Bentuk Kemiskinan ... 15

2.2.3 Faktor Penyebab Kemiskinan ... 17

2.2.4 Kemiskinan Pedesaan ... 19

2.3 Pembangunan Berkelanjutan ... 21

2.4 Pengembangan Masyarakat ... 27

2.4.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat ... 27

2.4.2 Tujuan Pengembangan Masyarakat... 28

2.4.3 Azas dan Prinsip Pengembangan Masyarakat ... 28

2.5 Pertanian Organik ... 31

2.5.1 Pengertian Pertanian Organik ... 31

2.5.2 Azas – Azas Pertanian Organik ... 32


(8)

2.5.5 Pertanian Berkelanjutan ... 38

2.5.6 Program Pengembangan Masyarakat Sektor Pertanian Organik oleh Yayasan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas ... 39

2.6 Sosial Ekonomi ... 40

2.6.1 Pengertian Sosial Ekonomi ... 40

2.6.2 Pendapatan ... 41

2.6.3 Pendidikan ... 42

2.6.4 Kesehatan ... 44

2.6.5 Pangan ... 44

2.6.6 Perumahan ... 45

2.7 Kerangka Pemikiran ... 47

2.8 Hipotesis ... 51

2.9 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional ... 51

2.9.1 Defenisi Konsep ... 51

2.9.2 Defenisi Operasional ... 53

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 56

3.2 Lokasi Penelitian ... 56

3.3 Populasi dan Sampel... 57

3.3.1 Populasi ... 57

3.3.2 Sampel ... 57

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 58

3.5 Teknik Analisis Data ... 59

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Desa Lubuk Bayas ... 61

4.1.1 Gambaran Umum Desa Lubuk Bayas ... 61

4.1.2 Sejarah Desa Lubuk Bayas ... 62

4.1.3 Data Kependudukan Desa Lubuk Bayas ... 63

4.1.3.1 Gambaran Penduduk Berdasarkan Usia ... 63

4.1.3.2 Gambaran Penduduk Berdasarkan Suku ... 64


(9)

4.1.3.5 Gambaran Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 66

4.1.4 Ekonomi Masyarakat ... 67

4.1.4.1 Kesejahteraan Keluarga ... 67

4.1.4.2 Pendapatan Perkapita Berdasarkan Sektor Usaha ... 68

4.1.4.3 Aset Tanah ... 68

4.1.4.4 Aset Perumahan ... 69

4.1.5 Tata Guna Lahan Desa Lubuk Bayas ... 70

4.1.6 Sarana dan Prasarana Desa Lubuk Bayas ... 71

4.1.6.1 Sarana dan Prasarana Pendidikan ... 71

4.1.6.2 Sarana dan Prasarana Kesehatan ... 72

4.1.6.3 Prasarana Olah Raga da Hiburan ... 72

4.1.7 Potensi Desa ... 73

4.1.8 Struktur Pemerintahan Desa Lubuk Bayas ... 74

4.2 Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia ... 75

4.2.1 Sejarah dan Legalisasi ... 75

4.2.2 Nilai dan Prinsip Dasar... 77

4.2.3 Visi dan Misi ... 78

4.2.4 Tujuan dan Strategi serta Isu Strategis ... 79

4.2.5 Struktur dan Personalia... 81

4.2.6 Program Umum ... 82

4.2.7 Program Pertanian Organik ... 83

4.2.7.1 Tujuan Program ... 83

4.2.7.2 Manfaat Program ... 84

4.2.7.3 Tahap Kegiatan Program ... 86

4.2.7.4 Waktu, Lokasi dan Kelompok Sasaran ... 87

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Pengantar ... 88

5.2 Karakteristik Umum Responden... 88

5.2.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 88

5.2.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 89

5.2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Suku... 90


(10)

Ditanggung ... 92

5.3 Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai ... 93

5.3.1 Program Pertanian Organik (Variabel Bebas) ... 93

5.3.1.1 Pelatihan (Persiapan Program) ... 93

5.3.1.2 Implementasi Program... 107

5.3.2 Sosial Ekonomi (Variabel Terikat)... 115

5.3.2.1 Pendapatan... 115

5.3.2.2 Kesehatan ... 123

5.3.2.3 Pendidikan ... 127

5.3.2.4 Pangan ... 131

5.3.2.5 Pakaian ... 136

5.3.2.6 Perumahan ... 144

5.4 Analisis Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai ... 147

1 Analisis Uji t untuk Pendapatan Bersih Petani Per-ante (Hasil Usaha Tani)...149

2 Analisis Uji t untuk Status Kesehatan... 151

3 Analisis Uji t untuk Frekuensi Mengkonsumsi Susu Perminggu... 153

4 Analisis Uji t untuk Frekuensi Mengkonsumsi Buah Perminggu ... 154

5.4.5 Analisis Uji t untuk Frekuensi Membeli Pakaian ... 155

5.4.6 Analisis Uji t untuk Perumahan... 157

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 159


(11)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 4.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia 2. Tabel 4.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku

3. Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan 4. Tabel 4.4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

5. Tabel 4.5 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan 6. Tabel 4.6 Luas Lahan Berdasarkan Peruntukan Lahan

7. Tabel 4.7 Distribusi Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Tanah 8. Tabel 4.8 Sarana dan Prasarana Pendidikan

9. Tabel 4.9 Prasarana Kesehatan

10. Tabel 4.10 Prasarana Olah Raga dan Hiburan

11. Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 12. Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia

13. Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Suku 14. Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

15. Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anak yang Ditanggung

16. Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pemahaman dari Pelatihan Formal yang Diikuti

17. Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengikuti Pelatihan Pembuatan Sarana Produksi Pertanian Organik 18. Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pemahaman dari

Pelatihan Pembuatan Sarana Produksi Pertanian Organik yang Diikuti


(12)

19. Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengikuti Pelatihan pada Tahap Persiapan Lahan dan Benih 20. Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Penguasaan

Keterampilan dari Pelatihan pada Tahap Persiapan Lahan dan Benih

21. Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengikuti Pelatihan pada Tahap Penanaman dan Pemeliharaan 22. Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Penguasaan

Keterampilan dari Pelatihan pada Tahap Penanaman dan Pemeliharaan

23. Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengikuti Pelatihan pada Tahap Panen dan Pasca Panen

24. Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Penguasaan Keterampilan dari Pelatihan pada Tahap Panen dan Pasca Panen

25. Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Pendampingan pada Tahap Persiapan Lahan dan Benih Dilakukan

26. Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Pendampingan pada Tahap Penanaman dan Pemeliharaan Dilakukan

27. Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Pendampingan pada Tahap Panen dan Pasca Panen Dilakukan

28. Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk Biaya Produksi Per-rante

29. Tabel 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Bersih Per-Rante


(13)

30. Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Perbulan Petani dari Usaha Lainnya

31. Tabel 5.21 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Simpanan Petani Perbulan

32. Tabel 5.22 Distribusi Responden Berdasarkan Rata – Rata Sakit dalam Setahun

33. Tabel 5.23 Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Berobat yang Dituju jika Sakit

34. Tabel 5.24 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Membeli Obat

35. Tabel 5.25 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anak yang Sedang Bersekolah

36. Tabel 5.26 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Sekolah Anak 37. Tabel 5.27 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Biaya Sekolah

Anak

38. Tabel 5.28 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Makan Per-hari 39. Tabel 5.29 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengkonsumsi

Daging Per-minggu

40. Tabel 5.30 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengkonsumsi Telur Per-minggu

41. Tabel 5.31 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi MengkonsumsI Susu Per-minggu

41. Tabel 5.32 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengkonsumsi Buah-buahan Per-minggu


(14)

42. Tabel 5.33 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru untuk Istri

43. Tabel 5.34 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Bekas/Monja untuk Istri

44. Tabel 5.35 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru untuk Anak Laki – Laki

45. Tabel 5.36 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Bekas/Monja untuk Anak Laki – Laki

46. Tabel 5.37 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru untuk Anak Perempuan

47. Tabel 5.38 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Bekas/Monja untuk Anak Perempuan

48. Tabel 5.39 Distribusi Responden Berdasarkan Tipe Rumah yang Dihuni 49. Tabel 5.40 Distribusi Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah

yang Dihuni

50. Tabel 5.41 Distribusi Responden Berdasarkan Aset Tambahan yang Dimiliki


(15)

DAFTAR BAGAN 1. Bagan 2.1 Bagan Alur Pikir


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Angket/kuesioner

2. Data Pendukung Analisis Uji t 3. Nilai – Nilai untuk Distribusi t 4. Nilai – Nilai untuk Distribusi F 5. Surat Keputusan Komisi Pembimbing 6. Cover ACC Lapangan

7. Surat Izin Penelitian 8. Surat Balasan Penelitian


(17)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : David Frans Siregar

NIM : 100902043

ABSTRAK

Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa

Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Revolusi hijau telah membuat petani – petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha saat ini semakin sulit keluar dari jurang kemiskinan. Peningkatan hasil panen yang dipaksakan dalam waktu singkat di tahun 1998 telah membuat penghasilan petani semakin menurun dan tidak stabil saat ini. Oleh karena itu Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia berusaha membantu petani untuk keluar dari semua permasalahan yang ada dengan menerapkan program pemberdayaan yaitu program pertanian organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh positif program pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

Tipe penelitian ini tergolong penelitian eksplanatif yang bertujuan menguji atau membuktikan hipotesis dengan teknik analisis uji t dua sampel independen. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah petani organik (kelompok dampingan) yang berjumlah 62 keluarga dan petani anorganik (bukan kelompok dampingan) yang ada di Desa Lubuk Bayas yang berjumlah 455 keluarga. Berdasarkan populasi tersebut, penulis menetapkan teknik penarikan sampel bertujuan. Hanya 30 keluarga petani organik yang dijadikan sebagai sampel, hal ini dikarenakan hingga saat ini masih 30 petani yang sudah memproduksi padi hasil pertanian organik. Penulis juga menetapkan 30 petani anorganik berdasarkan kesamaan tingkat kemajuan, salah satunya berdasarkan luas lahan.

Kesimpulan yang diperoleh dari analisis data menggunakan uji t dua sampel independen dengan nilai kritis untuk t dalam dk = 29 pada level kofiden 0,05 = 2,045 dan nilai kritis untuk t dalam dk = 28 pada level kofiden 0,05 = 2,048, adalah thitung lebih besar dari ttabel (2,3188 > 2,045 atau 2,3188 > 2,048). Hal tersebut berarti Ha diterima yaitu terdapat pengaruh positif program pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Beberapa indikator yang memiliki perbedaan yang signifikan dan sangat berpengaruh dalam perhitungan sosial ekonomi secara menyeluruh antara lain: indikator pendapatan yang didominasi oleh pendapatan dari hasil usaha tani, indikator kesehatan berupa status kesehatan, indikator pangan berupa frekuensi konsumsi makanan tambahan berupa susu dan buah, indikator pakaian berupa frekuensi pembelian pakaian baru untuk istri, dan indikator perumahan yaitu status kepemilikan rumah.


(18)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF SOCIAL WELFARE Name : David Frans Siregar

NIM : 100902043

ABSTRACT

The Influence of Organic Farming Program towards Socio-economic of Assisted Group of Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia Foundation in

Lubuk Bayas Village of Perbaungan Serdang Bedagai.

Green revolution has made the farmers who have less than 0.5 hectare of land hardly getting out of poverty. Increased yields that forced to be produced in a shorter time in 1998 has made the farmers’ income decreased and unstable. Therefore, Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia Foundation has tried to help farmers to solve problems by implementing development program which is organic farming program. This research aimed to determine whether there is positif influence of the organic farming program towards socio-economic of Assisted Group of BITRA Indonesia Foundation in Lubuk Bayas Village of Perbaungan Serdang Bedagai.

This research was classified as an explanatory research that aimed to test or prove the hypothesis by Independent Two-Sample T-Test Analysis Technique. The population in this research were 62 organic farmers (members of assisted group) and 455 inorganic farmers (not the members of assisted group). Based on the population, the author set the purposive sampling as the sampling technique. This technique was chosen since only 30 members of the assisted group that has produced organic rice at the time of the research. The author also chose 30 inorganic farmers based on the similarity rate of progress, such as land area.

The conclusion of the data analysis using Independent Two-Sample T-Test Analysis Technique with critical value for the t distribution with 29 degrees of freedom at confidence level of 0.05 equaled 2.045 and critical value for the t distribution with 28 degrees of freedom at confidence level of 0.05 equaled 2.048 was tcount was greater than ttable (2,3188 > 2,045 or 2,3188 > 2,048). It meant that Accepted Ha was there was positive influence of the organic farming program towards socio-economic of Assisted Group of BITRA Indonesia Foundation in Lubuk Bayas Village of Perbaungan Serdang Bedagai. Some indicators which had significant differences and influences in the overall socio-economic calculation were: indicators of income which was dominated by income from farming, indicators of health such as health status, indicators of foods consumption such as the frequency of consuming extra food such as milk and fruit, indicators of clothes consumption such as frequency of purchasing new clothes for the wifes, and indicators of residentials such as the status of home ownership.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Sejak krisis multi dimensi tahun 1998 hingga saat ini masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kebutuhan tersebut meliputi makanan, air minum, pendidikan, kesehatan dan perumahan. Ketidakberdayaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tersebut membuat mereka jatuh kejurang kemiskinan.

Tercatat pada September 2014 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per-kapita per-bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,73 juta orang (10,96 persen). Dengan rincian 10,36 juta orang berada di perkotaan dan 17,37 juta orang berada di pedesaan. Data tersebut menegaskan bahwa kondisi di pedesaan menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Ditambah lagi jika dilihat berdasarkan kepulauan, angka kemiskinan di pedesaan yang ada di pulau sumatera (4.061.590 jiwa) meduduki peringkat kedua terbanyak setelah pulau jawa (8.167.880 jiwa). Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di pedesaan masih membutuhkan perhatian yang lebih serius (Berita Resmi Statistik No. 06/01/Th. XVIII, 2015 : 1&3).

Berdasarkan data yang telah dipaparkan sebelumnya sebagian besar masyarakat miskin di pedesaan adalah rumah tangga sektor pertanian. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian kesulitan dan tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Padahal para petani yang menjadi penyedia kebutuhan pokok masyarakat indonesia seharusnya bisa memiliki kesejahteraan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan beragam faktor baik eksternal maupun internal.


(20)

Menyikapi kondisi tersebut, diperlukan perhatian lebih ke wilayah pedesaan dalam mengentaskan kemiskinan. Hal ini juga dikarenakan Indonesia adalah sebuah negara agraris yang memiliki corak pembangunan yang cukup berbeda dengan negara – negara industri. Dimana pedesaan selain menjadi sumber pangan juga menjadi kekuatan sumber sosial ekonomi lokal yang peranannya tidak bisa diabaikan.

Pengentasan kemiskinan baik di pedesaan ataupun diperkotaan merupakan bagian dari proses pembangunan, yang pada dasarnya pembangunan tersebut merupakan perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki kondisi menuju kearah yang lebih baik seperti kebutuhan dalam peningkatan kualitas hidup. Pembangunan yang dibutuhkan dalam memberantas kemiskinan adalah pembangunan yang berfokus pada sumber daya manusia. Dalam Millenium Development Goals (MDGs) juga dijelaskan dalam pembangunan yang menjadi titik sentral adalah manusia, atau berpusat pada peningkatan kualitas kehidupan manusia, hal ini di pertegas terkait salah satu poin dalam kesepakatan MDGs yaitu pengurangan kemiskinan dan kelaparan (Anwas, 2013 : 43).

Ada tiga modal pembangunan yakni modal manusia, modal alam dan modal sosial. Sebagian besar ke tiga komponen tersebut berada dipedesaan. Maka dari itu pembangunan nasional Indonesia yang kokoh harus bermuara dari pembangunan pedesaan yang kuat, dimana nantinya akan dapat menanggulangi kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Chozin, Sumardjo, Poerwanto, Khomsan, Fauzi, Toharmat, Hardjanto & Seminar, 2010 : 100). Seperti strategi besar Cina yang memusatkan dan mengutamakan pembangunan pedesaan, telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dari 65% pada tahun 1985 hingga menjadi 7% saat ini (Untung, 2014: 122).


(21)

Adapun pembangunan yang dilakukan pemerintah yang dimuat dalam kebeberapa program yang telah dilaksanakan untuk mengatasi masalah kemiskinan wilayah pedesaan, diantaranya Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), Program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Namun dalam realisasinya, program tersebut (yang memberikan bantuan berupa materi) ternyata tidak mudah. Masyarakat lebih suka mengaku sebagai fakir miskin atau orang miskin dengan harapan mendapat bantuan gratisan tersebut. Akibatnya sifat ketergantungan semakin tinggi (Anwas, 2013 : 85).

Bantuan langsung tunai (BLT) contohnya, sebagai salah satu program pemerintah yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2005, menuai pandangan negatif dari banyak pihak. Program ini dinilai tidak memiliki dampak yang berarti dalam membantu masyarakat miskin keluar dari keterpurukannya. Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri juga menilai bahwa dengan menaikkan jumlah bantuan langsung tunai sekalipun tidak akan memberikan dampak positif yang lebih banyak, karena pemberian bantuan yang bersifat tunai hanya akan menimbulkan kemalasan, dimana masyarakat penerima bantuan langsung sementara ini akan lebih malas bekerja dan hanya mengharapkan bantuan tersebut (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/09/26/154800726/Menkeu.Jumlah.BL SM.Ketinggian.Orang.Jadi.Malas.Kerja, diakses pada tanggal 26 Februari 2015 Pukul 15.48 WIB).

Program PNPM (Mandiri) juga tidak memberikan dampak positif dibeberapa wilayah pedesaan. Program PNPM (Mandiri) yang ada di pedesaan dan berfokus pada sektor pertanian dinamakan PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis


(22)

Pedesaan). Di sebagian wilayah, program yang bersifat nasional ini tidak dapat menumbuhkan usaha produktif yang mampu mengurangi angka kemiskinan yang ada. Program ini justru menimbulkan dampak negatif yaitu kecemburuan sosial yang dikarenakan tidak meratanya penerima bantuan (Martanti, F. (2012) Evaluasi Implementasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Journal of Economic Education.Vol. 1 No. 2. Hal. 102).

Begitu pula dengan program lainnya yang cenderung tidak berjalan dengan baik. Ada kecendrungan program nasional tidak berlandaskan pada potensi di masing – masing wilayah pedesaan yang seharusnya bisa dijadikan modal untuk melakukan program penanggulangan kemiskinan ataupun pengembangan desa dengan menanamkan sifat kemandirian. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dibangun dalam melakukan pengembangan di desa. Selain itu pelaksanaan yang berbeda dari perencanaan sering terjadi, hal ini terkait kuantitas dan kualitas bantuan. Untuk itu dalam mengurangi angka kemiskinan ataupun mengurangi penduduk hampir miskin yang ada dipedesaan perlu dilakukan program dengan melibatkan potensi alam, potensi sumberdaya manusia, kebutuhan dan masalah yang ada di masyarakat suatu daerah sebagai dasar dari program tersebut.

Melihat kompleksnya masalah kemiskinan yang membedakan potensi dan kebutuhan masyarakat miskin ataupun hampir miskin di masing – masing pedesaan, peran pemerintah saja sangat tidak cukup. Dalam pemberantasan kemiskinan diperlukan kerjasama dari berbagai kalangan, salah satunya Yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satu Yayasan yang membantu pemerintah dalam


(23)

pembangunan masyarakat desa adalah Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia ( BITRA Indonesia).

BITRA Indonesia memfokuskan target group mereka kepada masyarakat di daerah Sumatera Utara khususnya Serdang Bedagai dan Deli Serdang. Kedua kabupaten tersebut merupakan kabupaten dengan sektor pertaniannya yang luas. Komoditas pertanian yang dominan di dua kabupaten tersebut adalah komoditas padi.

Pada umumnya permasalahan petani padi di setiap desa yang ada di kedua kabupaten tersebut tergolong sama. Revolusi hijau yang dahulu dicanangkan pemerintah dengan tujuan meningkatkan hasil panen beras agar Indonesia dapat swasembada beras telah berdampak negatif dalam beberapa tahun setela h revolusi tersebut dilaksanakan. Revolusi hijau telah mengubah cara pandang petani dalam mengelola pertaniannya yaitu dengan menggunakan bahan – bahan kimia.

Adapun berbagai permasalahan yang dialami petani anorganik sebagai dampak revolusi hijau di daerah tersebut yaitu kesalahan manajemen di lahan pertanian. Pemakaian pupuk kimia, pestisida dan sejenisnya yang secara berlebihan, berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia akibat selalu tercemar bahan-bahan sintetis tersebut. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan yaitu terjadi penurunan ketebalan kesuburan tanah di lahan pertanian yang diakibatkan pupuk kimia.

Penurunan kualitas tanah membuat petani meningkatkan pemberian jumlah pupuk per-lahanya agar mendapat hasil seperti yang diharapkan. Ini memberikan dampak negatif terhadap keuangan para petani karena harga pupuk yang semakin mahal. Petani yang memiliki modal akan bertahan tetapi petani yang tidak memiliki modal yang cukup akan menerima hasil panen yang kurang memuaskan.


(24)

Selain itu ketersediaan pupuk juga menjadi salah satu permasalahan petani anorganik didaerah tersebut. Pupuk membuat para petani pada posisi yang kurang diuntungkan karena harus bergantung pada pemerintah dan perusahaan pemasok pupuk. Jika para pemasok pupuk melakukan kecurangan maka harga dan stok pupuk menjadi tidak terkendali, akibatnya para petani akan dirugikan karena masa pemupukan telah terjadwal. Ketergatungan ini pula yang dapat membuat petani didaerah tersebut menjadi sulit dalam meningkatkan kesejahteraannya (http:/bitra.or.id/2012/community-dev/organic-farming/ diakses pada 27 februari pukul 02.35 WIB).

Salah satu desa yang mengalami permasalahan tersebut adalah Desa Lubuk Bayas. Para petani di desa tersebut mulai kesulitan dalam mengelola hasil pertanian mereka untuk mendapat hasil maksimal karena keterbatasan modal. Sebagian besar petani di Desa Lubuk Bayas juga memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Hal ini yang menyulitkan para petani di desa tersebut untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Kondisi perumahan di Desa Lubuk Bayas juga memprihatinkan. Berdasarkan kriteria rumah tangga miskin menurut BPS, rata – rata perumahan di Desa Lubuk Bayas masuk dalam kriteria yang ditentukan BPS. Berdasarkan kunjungan penulis ke desa tersebut, rata – rata rumah di Lubuk Bayas menggunakan dinding tembok yang tidak diplester. Bahkan beberapa rumah masih non permanen (dinding dari bambu).

Permasalahan persediaan pupuk, pemahaman akan bahaya kimia dan kondisi petani di Desa Lubuk Bayas yang tidak berdaya mulai disadari BITRA Indonesia. BITRA Indonesia melakukan intervensi terhadap petani di desa tersebut dan menerapkan program pertanian organik sebagai bagian dari pengembangan masyarakat di desa tersebut. BITRA Indonesia berencana mengarahkan petani untuk mengembalikan kebiasaan bertani yang bersifat alamiah. Hal ini sesuai dengan


(25)

tujuan utama BITRA Indonesia yaitu mendampingi masyarakat dalam mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya manusia baik perorangan maupun kelompok dalam usaha meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan sosial dan martabat dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Pemilihan program pertanian organik di Desa Lubuk Bayas juga didukung oleh potensi yang dimiliki desa tersebut, yaitu berupa peternakan sapi dan kerbau, sebagaimana kotoran dari ternak tersebut dapat diolah menjadi pupuk organik. Selain itu luas lahan pertanian yang ada di desa tersebut cukup menjanjikan untuk dijadikan permulaan padi organik. Terdapat 385 ha lahan pertanian dari 483 ha luas Desa Lubuk Bayas, dimana semua lahan pertanian tersebut tidak ada lahan pertanian bukan padi. Kemudian irigasi di desa tersebut sangat baik sehingga dapat membantu proses pertanian organik. Terdapat 373 irigasi teknis dan 20 irigasi non-teknis (Katalog Badan Pusat Statistik No. 1102002.1218.100 (2014). Statistik Daerah Kecamatan Perbaungan 2014. Hal 34 - 36).

Pertanian organik modern yang diterapkan BITRA Indonesia sangat berbeda dengan pertanian alamiah di zaman dahulu. Dalam pertanian organik modern dibutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk organik, pengendalian hama dan penyakit menggunakan agen hayati atau mikroba serta manajemen yang baik untuk kesuksesan pertanian organik tersebut. Pertanian organik didefinisikan sebagai “sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan”.

(http:/bitra.or.id/2012/community-dev/organic-farming/ diakses pada 27 februari pukul 02.35 WIB).


(26)

BITRA Indonesia juga mengarahkan petani untuk mengolah pupuk organik sendiri untuk meningkatkan kemandirian para petani. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghilangkan ketergantungan petani terhadap pemasok pupuk. Selain itu BITRA Indonesia juga bertujuan menekan biaya produksi agar para petani mendapat keuntungan yang lebih besar.

Selain berfokus pada masalah yang dihadapi para petani, pemilihan padi organik sebagai solusi juga didorong oleh peluang yang ada. Pemasaran padi organik semakin menjanjikan, masyarakat menengah ke atas mulai semakin meminati padi organik. Tidak hanya di Indonesia bahkan di luar negeri seperti Singapura semakin meminati. Selain itu harga beras organik juga lebih mahal dari beras anorganik, beras organik bisa mencapai Rp18.000,-/kg sedangkan beras anorganik biasa sekitar Rp 12.000,-/kg. (www.pikiran rakyat.com. Diakses pada 5 maret 2015 pukul 01.40 WIB).

Saat ini sebenarnya tidak hanya petani di Desa Lubuk Bayas yang menjadi kelompok dampingan BITRA Indonesia, petani di Desa Namu Landor yang ada di Kabupaten Deli Serdang juga menjadi dampingan. Kedua desa tersebut memiliki permasalahan yang sama. Akan tetapi perkembangan pertanian organik diantara Namu Landor dan Lubuk Bayas masih sangat berbeda jauh. Selain dari jumlah populasi, luas lahan pertanian organik juga sangat berbeda.

Di desa Namu Landor luas lahan dan jumlah petani dampingan sampai tahun ini masih sedikit. Menurut informasi yang diketahui penulis dari pegawai BITRA Indonesia, populasi dampingan BITRA Indonesia di Desa tersebut hanya 7 orang dengan luas lahan 2,5 ha. Jumlah ini berkurang dari tahun 2010 dimana populasi 12 orang dengan luas lahan 4 ha. Produksi padi para petani di desa ini juga masih dominan semi organik. Ini dikarenakan lahan mereka tidak terletak di satu wilayah


(27)

persawahan (masih terpisah – pisah), sehingga masih tercemar bahan kimia dari lahan sawah anorganik yang berada di sekitar lahan mereka.

Hal ini berbeda dengan yang ada di Desa Lubuk Bayas. Petani organik di desa ini setiap tahun semakin bertambah. Pada tahun 2008 jumlah petani organik dampingan BITRA Indonesia masih 15 orang dengan luas lahan 3 ha. Sedangkan 2011 sudah menjadi 30 orang dengan luas lahan 8 ha, hingga sekarang sudah mencapai 62 orang dengan luas lahan 21 ha. Kemudian produksi padi oleh kelompok dampingan di desa ini sudah banyak yang organik, hal ini dikarenakan lahan pertanian organik di desa ini berada di satu wilayah persawahan.

Tercapainya produksi padi organik di Desa Lubuk Bayas sebagaimana tujuan dari program, menjadi salah satu alasan penulis untuk melakukan penelitian di desa tersebut. Selain itu partisipasi yang baik dari para petani di desa tersebut juga menjadi daya tarik untuk mengukur dampak program pengembangan masyarakat sektor pertanian organik di desa tersebut. Partisipasi menjadi salah salah satu indikator dalam pengembangan masyarakat. Jika partisipasi target grup rendah maka sudah bisa dikatakan bahwa tujuan dari pengembangan masyarakat tersebut tidak akan tercapai, akan tetapi jika partisipasi target grup tinggi maka ada kemungkinan tujuan akhir dari program pengembangan masyarakat akan tercapai.

BITRA Indonesia sudah melakukan penyuluhan mengenai pertanian organik pada tahun 2007 di Desa Lubuk Bayas. Namun penerapan program pertanian organik dilakukan pada musim tanam B 2008. Hal tersebut dikarenakan butuh waktu untuk merubah pola pikir petani dari cara bertani anorganik (konvensional) ke organik. Di masa itu BITRA Indonesia melakukan pendampingan dari mulai persiapan masa tanam hingga pasca panen.


(28)

Setelah 6 tahun program pertanian organik oleh BITRA Indonesia terlaksana secara berkesinambungan di Desa Lubuk Bayas, membuat penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh program pertanian organik di desa tersebut terhadap sosial ekonomi petani. Maka berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penulis tertarik untuk meneliti dan menyusunnya ke dalam bentuk skripsi yang berjudul “Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai”.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, adapun masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada pengaruh positif program pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai?”

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari program pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

1.3.2 Manfaat Penelitian


(29)

1. Pengembangan konsep dan teori – teori yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat melalui program pertanian organik oleh Yayasan BITRA Indonesia. 2. Pengembangan model pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui program

pertanian organik oleh Yayasan BITRA Indonesia.

1.4.Penelitian Sebelumnya

Sebelumnya sudah ada dua penelitian di desa Lubuk Bayas yang berhubungan dengan penelitian ini. Penelitian pertama ketika kurang dari 2 tahun program pertanian organik berjalan yaitu pada tahun 2010 dengan judul Analisis Komparatif Tingkat Sosial Ekonomi Petani Dampingan Bitra dengan Petani Anorganik (studi Kasus Padi Sawah Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai). Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa tingkat sosial ekonomi responden petani organik dan petani anorganik tidak menunjukkan adanya perbedaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa adanya pertanian organik di Desa Lubuk Bayas dampingan Bitra tidak memberi pengaruh pada peningkatan sosial ekonomi para petani organik.

Kemudian penelitian kedua dilakukan pada tahun 2014 dengan judul Partisipasi Petani dalam Penerapan Pertanian Organik (Studi Kasus Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai). Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa partisipasi petani dalam menerapkan pertanian organik termasuk kategori sedang. Berdasarkan indikator partisipasi yang ditentukan peneliti, hanya partisipasi dalam menyumbangkan tenaga dan waktu untuk mengikuti penyuluhan yang berada di kategori tinggi. Selain itu peneliti juga menyimpulkan bahwa ada hubungan nyata antara lama berusaha tani degan tingkat partisipasi petani.


(30)

1.5.Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat dan penelitian, penelitian sebelumnya serta sistematika penulisan.

BAB I I : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan obyek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Berisikan deskripsi mengenai lokasi/tempat peneliti melakukan penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Berisikan kesimpulan dan saran-saran yang peneliti berikan sehubungan dengan penelitian.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Program

Program adalah cara tersendiri dan khusus yang dirancang demi pencapaian suatu tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan akan lebih teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, maka program adalah unsur pertama yang harus ada bagi berlangsungnya aktivitas yang teratur, karena dalam program telah dirangkum berbagai aspek, seperti:

1. Adanya tujuan yang mau dicapai,

2. Adanya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, 3. Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang harus dijadikan acuan dengan

prosedur yang harus dilewati,

4. Adanya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan,

5. Adanya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas (Wahab dalam Siagian dan Suriadi, 2010:116-117).

2.2 Kemiskinan

2.2.1 Pengertian Kemiskinan

Memahami kemiskinan tidak cukup dari satu aspek saja, mengingat kemiskinan itu multi dimensi apabila dilihat dari kondisi kebutuhan manusia yang juga beragam. Kemiskinan mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan. Kemiskinan memiliki berbagai dimensi, yaitu:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan),


(32)

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi),

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga),

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal, 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam, 6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat,

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan,

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental, 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (Suharto, dkk, 2004).

Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan dapat diukur dengan adanya standar kebutuhan hidup layak dan yang miskin adalah manusianya. Lebih dalam lagi, jika kemiskinan ditinjau dari sandart kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok atau kebutuhan-kebutuhan dasar yang disebabkan kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan dalam upaya memenuhi standar hidup yang layak.

Ditinjau dari segi pendapatan, dapat didefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kurangnya pendapatan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Apabila ditinjau dari segi kesempatan, maka kemiskinan merupakan dampak dari ketidaksamaan kesempatan memperoleh dan mengakumulasikan basis-basis kekuatan sosial, seperti:


(33)

b. Informasi dan berbagai pengetahuan yang bermanfaat bagi kemajuan hidup, c. Jaringan-jaringan sosial,

d. Organisasi-Organisasi sosial dan politik,

e. Sumber-sumber modal yang diperlukan dalam upaya peningkatan pengembangan kehidupan.

Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sementara Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.

Sementara Mencher mengemukakan, kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak (Siagian, 2012: 5). Dalam hal ini dipahami bahwa kemiskinan terjadi karena seseorang atau sekelompok orang tidak lagi mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya atau wilayah mengalami penurunan produksi.

2.2.2 Bentuk – Bentuk Kemiskinan

Kemiskinan secara sosio-ekonomis memiliki 2 bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif sebagaimana dikemukakan oleh Baswir dan Sumodiningrat dalam Elly dan Usman (2011 : 795-797) dengan penjelasan sebagai berikut:


(34)

1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan dimana orang – orang miskin memilki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum diukur anatara lain dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, pendidikan, kalori GNP perkapita, dan pengeluaran konsumsi, 2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan

antara tingkat pendapatan dan tingkat pendapatan lainnya. Disamping itu terdapat bentuk – bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal muasal kemiskinan), yaitu:

a. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kemiskinan natural terjadi disebabkan faktor – faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini disebut “persisten poverty”, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun,

b. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok, masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kemiskinan ini disebabkan karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin dan boros,

c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.


(35)

2.2.3 Faktor Penyebab Kemiskinan

Secara umum ada dua faktor penyebab kemiskinan, yaitu:

1. Faktor Internal, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, meliputi:

a. Fisik, misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.

b.Intelektual, seperti kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi. c.Mental emosional atau tempramental, seperti malas, mudah menyerah dan

putus asa.

d. Spiritual, seperti tidak jujur, penipu, serakah, dan tidak disiplin.

e.Sosial psikologis, seperti kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.

f. Keterampilan, seperti tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.

g.Aset, seperti tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.

2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, meliputi:

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar,

b.Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat memenuhi kebutuhan hidup,

c.Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor informal,


(36)

d.Kebijakan perbankan terhadap pelayanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro,

e.Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak,

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal, seperti zakat,

g.Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (srtructural adjusment program),

h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan, i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana, j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material,

k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata, dan

l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin (Siagian, 2012: 114-116).

Suharto (2009) menyebutkan kemiskinan disebabkan oleh 4 faktor, yaitu:

1. Faktor Individual, terkait dengan aspek patologis termasuk kondisi fisik dan psikologis simiskin

2. Faktor sosial, orang miskin disebabkan karena kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin.

3. Faktor kultural, kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan 4. Faktor struktural, menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak

sensitif dan inaccessible sehingga menyebkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.


(37)

2.2.4 Kemiskinan Pedesaan

Pedesaan adalah bagian integral dari suatu negara. Di negara berkembang kemiskinan yang ada di pedesaan menggambarkan kemiskinan negara. Disamping itu kemiskinan pedesaan juga sebagai salah satu penyebab terjadinya urbanisasi yang kurang diinginkan dan akan menyebabkan terjadinya regional disparity. Oleh karena itu, pedesaan haruslah ditangani lebih serius agar kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.

Pada situasi dimana pendekatan pertanian masih dominan di Indonesia, kemiskinan di pedesaan hampir sepenuhnya melekat pada pertanian rakyat yang sarat tenaga kerja. Ditinjau dari faktor penyebab, kemiskinan dipedesaan tidak semata – mata disebabkan karena kurangnya modal agregat di perdesaan, tetapi juga oleh tidak meratanya penguatan aset (modal) produksi. Distribusi penguasaan aset atau modal produksi hanya dikuasai oleh sejumlah kecil pelaku ekonomi. Petani diperkirakan hanya mempunyai modal yang sangat terbatas, dan sebagian besar diantaranya lebih mengandalkan lebih mengandalkan tenaga kerja keluarga (Madekhan, 2007).

Adisasmita (2006) menjelaskan tentang indikator kemiskinan perdesaan dan penyebab kemiskinan pedesaan, yaitu:

a. Indikator kemiskinan pedesaan

Masyarakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini terpenuhi seperti ; (1) kurang kesempatan memperoleh pendidikan; (2) memiliki lahan dan modal pertanian terbatas; (3) tidak adanya kesempatan menikmati investasi disektor pertanian; (4) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar (pangan, papan, perumahan); (5) berurbanisasi ke kota; (6) menggunakan cara – cara pertanian tradisional; (7) kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adnya tabungan; (9) kesehatan yang kurang terjamin; (10) tidak memilki asuransi dan


(38)

jaminan sosial; (11) korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa; (12) tidak memilki akses untuk memperoleh; (13) tidak adnya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

b. Penyebab kemiskinan perdesaan, ada tiga faktor kritis yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan dipedesaan yaitu cepatnya laju pertumbuhan penduduk, semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin sempitnya kesempatan. Terjadinya ketimpangan antara tenaga kerja dan faktor tanah disebabkan oleh tekanan pertambahan penduduk yang tinggi dengan sumber daya alam yang terbatas.

Kemiskinan petani pedesaan dapat juga dijelaskan melalui capability approach yang diketengahkan oleh Amartya Sen (1999) didalam Development As Freedom. Menurut Sen, kemiskinan berkaitan dengan freedom of choice; orang miskin sama sekali tidak memiliki freedom of choice karena terjadi capability deprivation. Capability mengacu pada dua perkara, yaitu ability to do dan ability to be. Petani miskin dipedesaan benar – benar mengalami ability to do dan ability to be yang rendah karena mereka dalam posisi yang dirampas. Berbagai macam deprivation dapat diketengahkan disini:

1. Structural devivation. Struktur berkaitan dengan: power relations, dimana posisi petani selalu dalam posisi lemah; (2) adanya kebijakan pemerintah yang memengaruhi kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan; (3) dualisme ekonomi yang muncul dalam wajah baru.

2. Social capability deprivation: orang miskin tidak dapat meraih kesempatan, informasi, pengetahuan, keterampilan, partisipasi dalam organisasi.

3. Economic capability deprivation: orang miskin tidak dapat mengakses fasilitas keuangan pada lembaga - lembaga keuangan resmi seperti perbankan, tetapi


(39)

mereka terjebak pada Bank Plecitdan kaum rentenir yang tidak membutuhkan prosedur yang berbelit – belit.

4. Tecnological capability deprivation: dimana orang miskin tidak dapat memiliki teknologi baru yang memerlukan modal yang cukup besar. Teknologi tradisional seperti pembuatan alat – alat dari bahan lokal (tanah, bambu, kayu dan lain – lain) telah digantikan oleh alat pabrikan.

5. Political capability deprivation: petani miskin dipedesaan tidak mampu memengaruhi keputusan politik yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak didengarkan aspirasinya, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan collective action.

6. Psychological deprivation: petani miskin pedesaan selalu memperoleh stigma sebagai orang – orang yang kolot, bodoh, malas, tidak aspiratif. Stigma inilah yang berakibat mereka menjadi rendah diri dan merasa disepelekan, merasa teralienasi didalam kehidupan sosial dan politik.

2.3 Pembangunan Berkelanjutan

Program pengembangan masyarakat berada dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang berupaya untuk mengurangi ketergantungan kepada sumber daya yang tidak tergantikan (non-renewable) dan menciptakan alternatif serta tatanan ekologis, sosial, ekonomi, dan politik yang berkelanjutan ditingkat lokal. Hal ini berimplikasi pada masyarakat setempat dalam hal penggunaan lahan, gaya hidup, konservasi dll. (Nasdian, 2014: 50)

Pembangunan berkelanjutan yang kokoh harus bermuara dari pembangunan dipedesaan. Hal tersebut sangat berlaku di negara berkembang seperti di Indonesia. Dimana 2/3 penduduk Indonesia berada di pedesaan. Selain itu, dari sektor ekonomi,


(40)

pedesaan di Indonesia juga menjadi sumber kehidupan karena indonesia negara agraris. Oleh kerana itu pembangunan di Indonesia akan kurang mempunyai arti bila tidak dilakukan pembangunan masyarakat desa (Adi, 2003: 292)

Konsep pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan sebagai pembangunan yang memiliki kemampuan dalam menjamin kebersinambungan pembangunan. Hal mana dilakukan dengan cara berikhtiar memenuhi keperluan masa sekarang tanpa membahayakan peluang generasi yang akan datang dalam memenuhi berbagai keperluan hidup nantinya. Dengan demikian, konsep pembangunan berkelanjutan memberikan perhatian terhadap kepentingan masa sekarang dan kepentingan masa mendatang (Siagian dan Suriadi, 2012: 56).

Perserikatan Bangsa Bangsa melaksanakan konferensi khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan. Konferensi ini lebih dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Riode Janeiro, Brazil (Tinto, dalam Siagian dan Suriadi, 2012). Konferensi ini mengangkat slogan “berpikir mendunia, bertindak sesuai keadaaan setempat”. Slogan ini berupaya menggambarkan perlunya bertindak bijaksana terhadap lingkungan. Oleh karena itu, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi ini berupaya menyadarkan perlunya menumbuhkan semangat kebersamaan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh benturan antara kelompok-kelompok pelaku pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan kelompok-kelompok yang memperhatikan lingkungan.

Hasil utama implementasi Konferensi Tingkat Tinggi Bumi antara lain adalah berupa kesepakatan para pemimpin negara-negara di dunia ini untuk menyetujui berbagai rancangan besar yang berkaitan dengan pembangunan berkesinambungan yang didasarkan atas pemeliharaan lingkungan. Pembangunan ekonomi dan sosial yang dimasukkan dalam tiga dokumen yang secara hukum wajib berlaku atau


(41)

mengikat dan tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat. Adapun tiga persetujuan meliputi:

1. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati. Konferensi ini bertujuan melestarikan beraneka ragam sumber daya genetika, semua jenis mahluk hidup, habitat, dan sistem lingkungan. Juga bertujuan untuk menjamin pendayagunaan berbagai sumber daya hayati secara berkesinambungan demi menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati secara adil.

2. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim Global. Persetujuan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kepekatan gas rumah kaca di atmosfer hingga pada tingkat yang dapat mencegah campur tangan manusia yang berbahaya yang berkaitan dengan iklim.

3. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penyelesaian Masalah Penurunan Kualitas Tanah. Persetujuan ini berupaya mencipta pemecahan terhadap masalah rusaknya tanah. Penurunan kualitas tanah ini telah mengurangi secara signifikan daya dukung suatu kawasan bagi kehidupan manusia yang mendiaminya (Soejachman, dalam Siagian dan Suriadi, 2012: 60-61).

Selanjutnya tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat merangkum dua kesepakatan, yaitu:

1. Pendeklarasian Rio berkenaan dengan asas yang menekankan hubungan antara lingkungan dan pembangunan. Asas tersebut dapat dilaksanakan secara umum dalam rangka menjamin pemeliharaan lingkungan dan pembangunan yang bertanggung jawab.


(42)

2. Dasar-dasar kebenaran pengelolaan hutan, yaitu pernyataan yang mengikat tentang dasar-dasar kebenaran bagi satu pertujuan dunia tentang pengelolaan, pelestarian dan pembangunan berkesinambungan dari semua jenis hutan.

3. Agenda 21 yang merupakan rancangan lengkap tentang program pembangunan berkesinambungan saat memasuki abad ke-21. Disebutkan dalam Agenda 21 bahwa selain pemerintah bangsa-bangsa di dunia, badan-badan khusus Perserikatan Bangsa bangsa dan organisasi internasional lainnya, maka seluruh lapisan masyarakat perlu memahami konsep pembangunan berkesinambungan. Ditegaskan pula, bahwa terdapat sembilan kelompok utama yang diharapkan terllibat dalam program ini, yaitu:

1. Organisasi non pemerintah (NGO/LSM) 2. Pemuda

3. Pekerja

4. Petani dan nelayan 5. Pemerintah lokal 6. Perempuan 7. Ilmuwan

8. Pemuka adat (Siagian dan Suriadi, 2012: 62).

Dalam Pembagunan keberlanjutan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) juga telah menyusunnya dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Golas (SDGs), hal tersebut disepakati oleh negara anggota PBB.

Terdapat delapan tujuan dan sasaran yang dirangkum dalam Millennium Development Goals yang harus dicapai sebelum 2015, yaitu:

1. Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah, 2. Pencapaian Sekolah Dasar secara umum,


(43)

3. Membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4. Mengurangi tingkat kematian anak,

5. Meningkatkan kesehatan ibu,

6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit serius lainnya, 7. Menjamin kesinambungan pembangunan lingkungan,

8. Mengembangkan kerjasama global bagi pembangunan.

Dalam MDGs yang menjadi titik sentral pembangunan adalah manusia, atau pembangunan berpusat pada peningkatan kualitas kehidupan manusia. MDGs didasarkan pada konsensus dan kemitraan global sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka. Sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Manfaat dari MDGs tidak semata-mata untuk mengukur target dan menentukan indikator dari berbagai bidang pembangunan yang menjadi tujuan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana tujuan pembangunan millenium dikonkritkan pelaksanaannya. Misalnya tidak saja menghitung berapa jumlah ibu yang meninggal disebabkan melahirkan tetapi juga bagaimana menghentikan kematian ibu karena melahirkan tersebut (Siagian dan Suriadi, 2012: 70).

Sementara dalam SDGs terdapat 17 tujuan yang akan dicapai mulai dari tahun 2015 – 2030. Tujuan tersebut antara lain:

1. Mengentaskan segala bentuk kemiskinan,

2. Mengentaskan kelaparan, meraih ketahanan pangan dan peningkatan mutu gizi pangan, serta mengenalkan pertanian berkelanjutan,

3. Menjamin cara hidup sehat dan mengenalkan kesejahteraan pada semua tingkatan umur,


(44)

4. Menjamin pendidikan yang inklusif dan adil serta mengenalkan metode pembelajaran sepanjang hidup,

5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan seluruh wanita,

6. Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan, 7. Menjamin akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan,

berkelanjutan, dan modern,

8. Mengenalkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang penuh dan produktif, serta kelayakan kerja,

9. Membangun infrastruktur yang tangguh, mengenalkan industrialisasi yang inklusif, berkelanjutan, dan mendorong inovasi,

10. Mengurangi ketimpangan di dalam dan antarnegara,

11. Membuat kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan, 12. Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan,

13. Mengambil keputusan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya, 14. Melestarikan dan menggunakan samudera, laut, dan sumber daya kelautan

secara bijak demi pembangunan berkelanjutan,

15. Melindungi, memulihkan, dan mengenalkan penggunaan yang berkelanjutan atas ekosistem darat, memerangi desertifikasi, menghentikan dan memulihkan kerusakan lahan dan menghentikan kerusakan keanekaragaman hayati, 16. Mengenalkan komunitas masyarakat yang inklusif dan penuh damai untuk

pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan, dan

membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif bagi semua kalangan, 17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global demi


(45)

2.4 Pengembangan Masyarakat

2.4.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat (community development) adalah konsep dasar yang menggarisbawahi sejumlah istilah yang telah digunakan sejak lama, seperti community resource development, rural areas development, comunity economic development, rural revitalisation, dan community based development. Community development menggambarkan makna yang penting dari dua konsep: community, bermakna kualitas hubungan sosial dan development, perubahan kearah kemajuan yang terencana dan bersifat gradual. Makna ini penting untuk arti pengembangan masyarakat yang sesungguhnya (Blackburn dalam Nasdian: 29).

Secara umum pengembangan masyarakat (community development) adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, dan kualaitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya (Budimanta dan Rudito, 2008: 33).

Bhattacarya mengartikan pengembangan masyarakat adalah pengembangan manusia yang tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi dan kemampuan manusia untuk mengontrol lingkungannya. Pengembangan masyarakat adalah usaha untuk membantu manusia mengubah sikapnya terhadap masyarakat, membantu menumbuhkan kemampuan berorganisasi, berkomunikasi, dan menguasai lingkungan fisiknya. Manusia didorong untuk mampu membuat keputusan, mengambil inisiatif dan mampu berdiri sendiri.

Defenisi lain juga digagas Yayasan Indonesia Sejahtera yang menyatakan pengembangan masyarakat adalah usaha-usaha yang menyadarkan dan menanamkan pengertian kepada masyarakat agar dapat menggunakan dengan lebih baik semua


(46)

kemampuan yang dimiliki, baik alam maupun tenaga, serta menggali inisiatif setempat untuk lebih banyak melakukan kegiatan investasi dalam mencapai kesejahteraan yang lebih baik

(https://luluhatta.wordpress.com/2014/10/13/pengembangan-masyarakat community-development/ diakses pada 29 maret 2015 pukul 17.13 WIB).

2.4.2 Tujuan Pengembangan Masyarakat

Tujuan muncul sebelum kebijakan, program ataupun kegiatan dibuat. Jika dikaji berdasarkan waktu pencapaiannya, tujuan terbagi atas dua yaitu tujuan langsung atau jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tindakan untuk tujuan langsung tidak dibenarkan bila tidak sesuai dengan tujuan jangka panjang. Dalam pengembangan masyarakat perlu diperhatikan keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka lama sesuai dengan visi masyarakat. Dalam hal ini perlu upaya untuk menghubungkan dan membuat relevansi antara keduanya.

Mukerji (1961) menytakan bahwa tujuan pengembangan masyarakat secara rinci adalah membangun kehidupan manusia sebagai individu dan sebagai anggota komunitasnya dengan cara mengembangkan pandangan yang progresif, kemandirian, dedikasi terhadap tujuan komunitas, dan kerja sama. (Nasdian, 2014: 36)

2.4.3 Asas – Asas dan Prinsip – Prinsip Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu perencanaan sosial perlu berlandasakan pada asas – asas: (1) komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensinerjikan strategi konprehensif pemerintah, pihak – pihak terkait (related parties) dan partisipasi warga; (3) membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, serta insentif lainnya agar


(47)

meningkatkan partsipasi warga; dan (4) mengubah perilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga komunitas (Ife dalam Nasdian, 2014: 46-47).

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (1957) dalam sebuah laporannya mengenai konsep dan prinsip – prinsip pengembangan masyarakat, memaparkan sepuluh prinsip yang dianggap dapat diterapkan diseluruh dunia. Sepuluh prinsip tersebut adalah:

1. Kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan harus berhubungan dengan kebutuhan dasar dari masyarakat; program – program (proyek) pertama harus dimulai sebagai jawaban atas kebutuhan yang dirasakan orang – orang;

2. Kemajuan lokal dapat dicapai melalui upaya – upaya tak saling terkait dalam setiap bidang dasar, akan tetapi pengembangan masyarakat yang penuh dan seimbang menuntut tindakan bersama dan penyusunan program – program multi-tujuan;

3. Perubahan sikap orang – orang adalah sama pentingnya dengan pencapaian kemajuan material dari program – program masyarakat selama tahap – tahap awal pembangunan;

4. Pengembangan masyarakat mengarah pada partisipasi orang – orang yang mengikat dan lebih baik dalam masalah – masalah masyarakat, revitalisasi bentuk – bentuk yang ada dari pemerintah lokal yang efektif apabila hal tersebut belum berfungsi;

5. Identifikasi, dorongan semangat, dan pelatihan pemimpin lokal harus menjadi tujuan dasar setiap program;

6. Kepercayaan yang lebih besar pada partisipasi wanita dan kaum muda dalam proyek – proyek pengembangan masyarakat akan memperkuat program –


(48)

program pembangunan, memapankanya dalam basis yang luas dan menjamin ekspansi jangka panjang;

7. Agar sepenuhnya efektif, proyek – proyek swadaya masyarakat memerlukan dukungan intensif dan ekstensif dari pemerintah;

8. Penerapan program – program pengembangan masyarakat dalam skala nasional memerlukan pengadopsian kebijakan yang konsisten, pengaturan administratif yang spesifik, perekrutan dan pelatihan personil, mobilisasi sumber daya lokal dan nasional, dan organisasi penelitian eksperimen, dan evaluasi;

9. Sumber daya dalam bentuk organisasi – organisasi non-pemerintah harus dimanfaatkan penuh dalam program – program pengembangan masyarakat pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; dan

10. Kemajuan ekonomi dan sosial pada tingkat lokal mensyaratkan pembangunan yang paralel ditingkat nasional (Nasdian, 2014: 46-48).

Sementara Ife dalam Nasdian (2014) juga memaparkan 22 prinsip pengembangan masyarakat (community development) yaitu: (1) Integrated development; (2) Confronting Structural Disadvantage (Konfrontasi dengan Kebatilan Struktural); (3) Human Right (Hak Asasi Manusia); (4) Sustainability (Keberlanjutan); (5) Empowerment (Pemberdayaan); (6) The Personal and The Political (Pribadi dan Politik); (7) Community Ownership (kepemilikan komunitas); (8) Self-Reliance (Kemandirian); (9) Independence from State (Tidak Ketergantungan pada Pemerintah; (10) Immediate Goals dan Ultimate Vision (Tujuan dan Visi); (11) Organic Development (Pembangunan Bersifat Organik); (12) The Pace of Development (Kecepatan Gerak Pembagunan); (13) External Experties (Keahlian Pihak Luar); (14) Community Building (Membangun Komunitas); (15) Process and Outcome (Proses dan Hasilnya); (16) The Integrity of the Process


(49)

(Keterpaduan Proses); (17) Non Violence (Tanpa Kekerasan); (18) Inklusif; (19) Konsensus; (20) Co-operation (Kerjasama); (21) Particapation (Partisipasi); (22) Defining Need (Mendefinisikan Kebutuhan).

2.5. Pertanian Organik

2.5.1. Pengertian Pertanian Organik

Istilah pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi petani dan konsumen secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian organik merupakan suatu gerakan kembali “ke alam” (Sutanto, 2002: 20)

Ada dua pemahaman tentang pertanian organik, yaitu pertanian organik dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pertanian organik dalam artian sempit yaitu pertanian yang bebas dari bahan – bahan kimia. Mulai dari perlakuan untuk mendapat benih, penggunaan pupuk, pengendalian hama dan penyakit sampai perlakuan pasca panen tidak sedikitpun melibatkan zat kimia, semua harus bahan hayati, alami. Sedangkan pengertian pertanian organik dalam arti luas adalah pertanian yang masih memberi toleransi penggunaan bahan kimia dalam batas – atas tertentu (Isnaini, 2006: 239-240)

Menurut Standard Nasional Indonesia (SNI) pertanian organik adalah sistem produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah (Azhar F., Kaputra I., Jumarni, Tarigan R. S., 2012: 28). Pertanian alami dilakukan


(50)

tanpa bahan kimia, dengan prinsip dasar menghidupkan tanah dengan mengikuti hukum alam.

Dibutuhkan waktu minimal 2 tahun untuk mongkonversi lahan pertanian anorganik menjadi lahan pertanian organik. Hal tersebut tergantung situasi dan kondisi seperti masa penggunaan lahan anorganik, letak lahan pertanian, proses pengairan dan sebagainya. Selain itu penerapan pertanian anorganik di lahan pertanian yang sedang masa transisi akan semakin memperlama masa transisi tersebut (Sriyanto, 2010: 31).

2.5.2 Azas dan Prinsip Pertanian Organik

Menurut Fukuoka (1985) ada 4 azas menuju pertanian organik.

1. Tanpa olah tanah. Tanah tanpa diolah atau dibalik. Pada prinsipnya tanah mengolah sendiri, baik menyangkut masuknya perakaran tanaman maupun kegiatan mikrobia tanah, mikro fauna dn cacing tanah.

2. Tidak digunakan sama sekali pupuk kimia maupun kompos. Kebutuhan untuk tanaman bisa dipenuhi dengan menanam tanaman penutup tanah semisal leguminose, kacang – kacangan dan mengembalikan jerami ke ladang dengan ditambah sedikit kotorang unggas atau sapi. Jika tanah dibiarkan pada keadaannya sendiri, tanah akan mampu menjaga kesuburannya secara alami sesuai dengan daur teratur dari tumbuhan dan binatang (Insaini, 2006: 241). 3. Tidak dilakukan pemberantasan gulma baik melalui pengolahan tanah maupun

penggunan herbisida. Pemakaian mulsa jerami, tanaman penutup tanah maupun penggengan sewaktu – waktu akan membatasi dan menekan pertumbuhan gulma.


(51)

4. Sama sekali tidak bergantung pada bahan kimia. Sinar matahari, hujan dan tanah merupakan kekuatan alam yang secara langsung akan mengatur keseimbangan kehidupan kami (Sutanto, 2002: 20).

Adapun prinsip – prinsip dasar pertanian organik yaitu:

1. Menghasilkan pangan bernutrisi tinggi dalam jumlah yang cukup.

2. Mendorong dan meningkatkan siklus hayati dalam sistem pertanian dengan melibatkan mikro organisme, tanah, flora dan fauna.

3. Mengenali dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam produksi pertanian organik.

4. Sedapat mungkin menggunakan sumber daya – sumber daya yang dapat diperbaharui pada sistem pertanian yang diselenggarakan secara lokal.

5. Menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah dalam jangka panjang.

6. Menjaga dan mendorong keragaman hayati pertanian dan alam dilahan pertanian dan sekelilingnya melalui penggunaan sistem produsi berkelanjutan dan perlindungan habitat tumbuhan dan margasatwa.

7. Menciptakan keseimbangan yang harmonis antara produksi tanaman dan peternakan.

8. Menyediakan kondisi kehidupan yang mengizinkan bagi hewan untuk hidup sesuai dengan sifat dasarnya.

9. Mendorong terciptanya kesatuan rangkaian produksi, pemrosesan dan distribusi yang berkeadilan sosial maupun bertanggungjawab secara ekologis dan kesehatan (Azhar, et.al.,2012: 33).


(52)

2.5.3 Manfaat Pertanian Organik

Sejumlah keuntungan yang dapat dipetik dari pengembangan pertanian organik, antara lain:

1. Aspek kesehatan

a. Menghasilkan makanan yang cukup, aman dan bergizi sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat.

b. Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani, karena petani akan terhindar dari paparan (exposure) polusi yang diakibatkan penggunaan bahan kimia sintetik dalam produksi pertanian.

c. Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian. 2. Aspek lingkungan

a. Kualitas tanah yang semakin baik, hal ini dikarenakan pertanian organik tidak memutus siklus tanah.

b. Sistem produksi pertanian organik lebih hemat, yaitu hanya menggunakan 50-80% energi minyak jika dibandingkan dengan pertanian anorganik

c. Kualitas air terjaga.

d. Meminimalkan perubahan iklim global karena emisi gas rumah kaca. e. Mengurangi jumlah limbah melalui daur ulang limbah menjadi pupuk. f. Menciptakan keanekaragaman hayati.

3. Aspek Ekonomi

Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, karena: a. Biaya pembelian pupuk organik lebih murah dari pupuk kimia.

b. Harga jual hasil pertanian organik seringkali lebih tinggi dari pertanian konvensional.


(53)

c. Petani dan peternak bisa mendapat tambahan pendapatan dari penjualan jerami dan kotoran ternaknya.

d. Bagi peternak, biaya pembelian pakan ternak dari hasil fermentasi bahan organik lebih murah dari pakan ternak konvensional.

e. Pengembangan pertanian organik berarti mengacu pada daya saing produk agribisnis Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar internasional akan produk pertanian organik yang terus meningkat. Ini berarti akan mendatangkan devisa bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.

4. Aspek sosial budaya

a. Terbentuknya lapangan kerja baru dan keharmonisan kehidupan sosial di pedesaan.

b. Merangsang hadirnya industri kompos rakyat yang berarti adanya lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan.

c. Merangsang adanya kerjasama kemitraan antara petani-peternak-pekebun untuk menerapkan sistem terpadu. Dalam hubungan ini, peternak mendapatkan bahan makanan ternak dari limbah pertanian (jerami dan dedak) dari petani, sedangkan petani mendapatkan kotoran hewan dari peternak sebagai bahan kompos untuk usaha pertanian organiknya. Sementara pekebun akan mendapatkan lahannya yang bersih karena hewan ternak yang merumput dilahanya atau peternak yang mengambil pakan dari lahan kebunnya dan pekebun mendapatkan puuk alami dari kotoran ternak yang digembala pada lahan ternaknya (Azhar, et.al.,2012: 35-38).


(54)

2.5.4 Tujuan Pertanian Organik

Tujuan jangka pendek yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian organik adalah sebagai berikut.

1. Ikut serta menyukseskan program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pemanfaatan peluang pasar dan ketersediaan lahan petani yang sempit.

2. Mengembangkan agribisnis dengan jalan menjalin kemitraan antara petani sebagai produsen dan para pengusaha.

3. Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian lainnya dalam rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat.

4. Mengembangkan dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budi daya organik baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang mampu meningkatkan pendapatan tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan lingkungan. 5. Mempertahankan dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan mampu

berproduksi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.

Tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian organik adalah sebagai berikut:

1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam bidang pertanian,

2. Memasyarakatkan kembali budi daya organik yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang kegiatan budi daya pertanian yang berkelanjutan,

3. Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan pupuk, serta bahan kimia pertanian lainnya,


(1)

229

164 0.67599 1.28673 1.65420 1.97453 2.34930 2.60614 3.14067

165 0.67598 1.28670 1.65414 1.97445 2.34916 2.60595 3.14036

166 0.67597 1.28667 1.65408 1.97436 2.34902 2.60577 3.14005

167 0.67596 1.28664 1.65403 1.97427 2.34888 2.60559 3.13975

168 0.67595 1.28661 1.65397 1.97419 2.34875 2.60541 3.13945

169 0.67594 1.28658 1.65392 1.97410 2.34862 2.60523 3.13915

170 0.67594 1.28655 1.65387 1.97402 2.34848 2.60506 3.13886

171 0.67593 1.28652 1.65381 1.97393 2.34835 2.60489 3.13857

172 0.67592 1.28649 1.65376 1.97385 2.34822 2.60471 3.13829

173 0.67591 1.28646 1.65371 1.97377 2.34810 2.60455 3.13801

174 0.67590 1.28644 1.65366 1.97369 2.34797 2.60438 3.13773

175 0.67589 1.28641 1.65361 1.97361 2.34784 2.60421 3.13745

176 0.67589 1.28638 1.65356 1.97353 2.34772 2.60405 3.13718

177 0.67588 1.28635 1.65351 1.97346 2.34760 2.60389 3.13691

178 0.67587 1.28633 1.65346 1.97338 2.34748 2.60373 3.13665

179 0.67586 1.28630 1.65341 1.97331 2.34736 2.60357 3.13638

180 0.67586 1.28627 1.65336 1.97323 2.34724 2.60342 3.13612

181 0.67585 1.28625 1.65332 1.97316 2.34713 2.60326 3.13587

182 0.67584 1.28622 1.65327 1.97308 2.34701 2.60311 3.13561

183 0.67583 1.28619 1.65322 1.97301 2.34690 2.60296 3.13536

184 0.67583 1.28617 1.65318 1.97294 2.34678 2.60281 3.13511

185 0.67582 1.28614 1.65313 1.97287 2.34667 2.60267 3.13487

186 0.67581 1.28612 1.65309 1.97280 2.34656 2.60252 3.13463

187 0.67580 1.28610 1.65304 1.97273 2.34645 2.60238 3.13438

188 0.67580 1.28607 1.65300 1.97266 2.34635 2.60223 3.13415

189 0.67579 1.28605 1.65296 1.97260 2.34624 2.60209 3.13391

190 0.67578 1.28602 1.65291 1.97253 2.34613 2.60195 3.13368

191 0.67578 1.28600 1.65287 1.97246 2.34603 2.60181 3.13345

192 0.67577 1.28598 1.65283 1.97240 2.34593 2.60168 3.13322

193 0.67576 1.28595 1.65279 1.97233 2.34582 2.60154 3.13299

194 0.67576 1.28593 1.65275 1.97227 2.34572 2.60141 3.13277


(2)

195 0.67575 1.28591 1.65271 1.97220 2.34562 2.60128 3.13255

196 0.67574 1.28589 1.65267 1.97214 2.34552 2.60115 3.13233

197 0.67574 1.28586 1.65263 1.97208 2.34543 2.60102 3.13212

198 0.67573 1.28584 1.65259 1.97202 2.34533 2.60089 3.13190

199 0.67572 1.28582 1.65255 1.97196 2.34523 2.60076 3.13169

200 0.67572 1.28580 1.65251 1.97190 2.34514 2.60063 3.13148


(3)

231


(4)

Nilai

Nilai Distribusi F

Baris atas untuk

5%


(5)

233


(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Finansial Usahatani Padi Organik (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai)

15 104 93

Partisipasi Petani Dalam Penerapanpertanian Padi Organik (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas,Kecamatan Perbaungan,Kabupaten Serdang Bedagai)

1 68 72

Analisis Komparatif Tingkat Sosial Ekonomi Petani Organik Dampingan BITRA dan Petani Anorganik (Studi Kasus Padi Sawah Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai)

2 42 116

PERTANIAN PADA SAWAH ORGANIK DI DESA LUBUK BAYAS KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGSI.

0 2 22

BERAS ORGANIK (Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

2 5 12

Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 67

Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 43

Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 12

Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 16

PERTANIAN PADI ORGANIK (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai ) SKRIPSI

0 0 13