Terapi Rasional Emotif Tingkah Laku Pada Anak Dengan Fobia spesifik "Nasi"(Rational Emotive Behavior Therapy for a Child with Specific Phobia “Rice”)

(1)

TERAPI RASIONAL EMOTIF TINGKAH LAKU

PADA ANAK DENGAN FOBIA SPESIFIK “NASI”

(Rational Emotive Behavior Therapy for a Child with

Specific Phobia “Rice”)

TESIS

NAZWA MANURUNG

097029022

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI


(2)

TERAPI RASIONAL EMOTIF TINGKAH LAKU

PADA ANAK DENGAN FOBIA SPESIFIK “NASI”

(Rational Emotive Behavior Therapy for a Child with

Specific Phobia “Rice”)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Profesi Psikologi Dari Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara

NAZWA MANURUNG

097029022

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tugas akhir ini diajukan oleh

Nama : Nazwa Manurung NIM : 097029022

Kekhususan : Psikologi Klinis Anak

Judul Tesis : Terapi Rasional Emotif Tingkah Laku Pada Anak Dengan Fobia spesifik ‘Nasi’

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada kekhususan Psikologi Klinis Anak Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, dihadapan para dewan penguji

DEWAN PENGUJI

Penguji I/ Pembimbing : Dra. Irna Minauli, M.Si, psikolog [ ]

Penguji II : Prof. Dr. Irmawati, psikolog [ ]

Medan, 20 April 2013

Koordinator Program Pasca Sarjana Dekan Fakultas Psikologi USU Fakultas Psikologi USU


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa tesis yang saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi dari Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis saya yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini, saya bersedia menerima sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 20 April 2013

Nazwa Manurung NIM 097029022


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan izin-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tesis ini merupakan karya tulis ilmiah sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis. Terima kasih atas semua kasih sayang, cinta, perhatian, dorongan dan doa yang selalu diberikan. Kepada suadara dan keponakanku tercinta yang selalu sabar dan memberikan dukungan, kasih sayang dan cinta.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas berbagai bentuk bantuan dalam proses pengerjaan tesis ini, yaitu :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp. A (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister. 2. Ibu Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara dan dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji, memberikan bimbingan, kritik, dan saran, serta kesabaran dalam proses pengerjaan tesis ini..

3. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, selaku koordinator Program Pasca Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara.


(6)

4. Ibu Dra. Irna Minauli, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing utama yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan bimbingan, kritik, dan saran, serta kesabaran dalam proses pengerjaan tesis ini.

5. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog; ibu Elvi Andriani, M.Si, psikolog dan ibu Desvi Yanti M, M.Si, psikolog yang telah banyak sekali memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis kuliah di Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara kekhususan klinis anak.

6. Seluruh Staf Pengajar Magister Psikologi Profesi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman berharga selama penulis menuntut ilmu di kampus Psikologi Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Staf Administrasi Magister Psikologi Profesi USU yang banyak membantu dalam proses administrasi dan pengurusan surat-surat pengambilan data.

8. Kepada Aan dan orang tuanya yang telah memberikan waktu, kesempatan dan bersedia menjadi subjek penelitian dalam penulisan tesis ini.

9. Teman-teman Klinis Anak, Alucyana, Dina, Ikhwanisifa, Lambok, Nurvica, Rina, Rizki, Sari Atika, Yuliana, teman-teman PIO dan KLD angkatan IV. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

10.Terima kasih pula atas pihak-pihak yang mungkin tidak tersebutkan yang telah mendukung segala sesuatunya dalam proses pengerjaan tesis ini.

Peneliti menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam tesis ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari


(7)

pembaca sekalian demi kesempurnaan karya ini. Demikianlah tesis ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 20 April 2013 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Fobia ... 10

1. Definisi fobia ... 10


(9)

3. Jenis fobia ... 11

4. Definisi specific phobia ... 11

5. Kriteria diagnostik specific phobia ... 12

6. Penyebab specific phobia ... 13

7. Specific phobia ‘nasi’ ... 14

B. Terapi Rasional Emotif Tingkah laku ... 15

1. Definisi terapi rasional emotif tingkah laku ... 15

2. Ciri-ciri terapi rasional emotif tingkah laku ... 17

3. Konsep dasar dalam terapi rasional emotif tingkah laku ... 18

4. Tahapan atau langkah-langkah terapi rasional emotif tingkah laku 19

5. Teknik-teknik terapi rasional emotif tingkah laku ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

A. Metode Pengumpulan Data ... 24

1. Observasi ... 24

2. Wawancara ... 25

3. Pemeriksaan psikologis ... 25

B. Alat Bantu Penelitian ... 26

C. Subjek Penelitian ... 27

D. Prosedur Penelitian ... 28

1. Tahap persiapan ... 28

2. Tahap pelaksanaan ... 31


(10)

HASIL DAN INTERPRETASI ... 39

A. Tahap Persiapan ... 39

B. Tahap Pelaksanaan ... 40

C. Tahap Analisis Data ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 58

1. Saran metodologis ... 58

2. Saran praktis ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Lembar Observasi Checklist ... 29

Tabel 3.2. Prosedur Penelitian ... 38

Tabel 4.1. Lembar Observasi Sebelum Terapi ... 41


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Grafik Perilaku Fobia Sebelum Terapi ... 42 Gambar 4.2. Grafik Perilaku Fobia Sesudah Terapi ... 54 Gambar 4.3. Grafik Perbandingan Sebelum dan Sesudah Terapi ... 55


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Informed Consent LAMPIRAN 2. Rancangan Terapi LAMPIRAN 3. Verbatim


(14)

ABSTRAK

Fobia spesifik “nasi” adalah ketakutan dan kecemasan yang bertahan, berlebihan dan tidak masuk akal terhadap suatu objek yaitu nasi, sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari nasi tersebut. Subjek penelitian ini adalah anak usia 6 tahun yang mengalami specific phobia terhadap nasi. Terapi yang dilakukan adalah rational emotive behavior therapy (terapi rasional emotif tingkah laku). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami fobia spesifik “nasi”.

Terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang berusaha menghilangkan cara berfikir klien yang tidak logis dan irasional, dan menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan membahas keyakinan-keyakinan irasional klien (Corey, 2003).

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia pada anak yang mengalami fobia spesifik terhadap nasi. Rancangan terapi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima langkah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Palmer (2011), yaitu langkah identifikasi masalah; pemahaman masalah; mengubah keyakinan irasional; memelihara keyakinan rasional; dan evaluasi.

Pada akhir terapi yaitu langkah kelima, subjek sudah dapat menunjukkan perilaku melihat, memegang dan memakan nasi. Namun hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh dari data observasi yang dilakukan seminggu sesudah terapi rasional emotif tingkah laku, yang menunjukkan perilaku fobia subjek seperti menangis, berdiri disudut ruangan dan lari menghindar ketika melihat nasi masih muncul.

Penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam penelitian ini gagal mengubah perilaku anak yang mengalami fobia spesifik terhadap nasi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kelemahan penelitian antara lain peneliti belum pernah mengikuti pelatihan terapis khususnya terapi rasional emotif tingkah laku dan peneliti juga tidak sabar menghadapi subjek. Selain itu subjek penelitian adalah anak usia 6 tahun yang memiliki kapasitas intelektual di bawah rata-rata, sehingga berkemungkinan sulit memahami proses terapi rasional emotif tingkah laku.


(15)

ABSTRACT

Specific phobia “rice” is an extreme and illogical persistent fear and worried to an object namely rice, which causing strong motivation to avoid or run away from rice. Subject in this research is a 6 years old boy with specific phobia of rice. This research using rational emotive behavior therapy. This research aims to determine the application of rational emotive behavior therapy to reducing the phobia’s behavior of children with specific phobia “rice”.

Rational emotive behavior therapy is therapies that attempt to eliminate the client’s way of thinking is illogical and irrasional and replace it with something that is logical and rational in an offensive way, oppose and discuss the client’s irrasional beliefs (Corey, 2003).

This research use a qualitative approach to determine how the application rational emotive behavior therapy in reducing child phobia who have specific phobia “rice”. Design therapy used in this research consists of five steps in accordance with the proposed by Palmer (2011), the problem identification step, understanding the problem, disputing, keep the faith rasional and evaluation. The end of therapy, in fifth step, subject was able to see, touch and eat the rice. But it is different from results obtained from observational data that take a week after rational emotive behavior therapy, indicating the subject’s phobia behavior such as crying, standing in the corner of room and run away when he saw the rice still emerging.

Application of rational emotive behavior therapy in this research fail to change the behavior of children who have specific phobia “nasi”. This can occur due to the weakness of research include researcher have not previously been therapist trained a specialy rational emotive behavior therapy and researcher also particularly impatience with subject. Subject is child 6 years old who have the intellectual capacity below average, so likely to be difficult to understand the process of rational emotive behavior therapy.


(16)

ABSTRAK

Fobia spesifik “nasi” adalah ketakutan dan kecemasan yang bertahan, berlebihan dan tidak masuk akal terhadap suatu objek yaitu nasi, sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari nasi tersebut. Subjek penelitian ini adalah anak usia 6 tahun yang mengalami specific phobia terhadap nasi. Terapi yang dilakukan adalah rational emotive behavior therapy (terapi rasional emotif tingkah laku). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami fobia spesifik “nasi”.

Terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang berusaha menghilangkan cara berfikir klien yang tidak logis dan irasional, dan menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan membahas keyakinan-keyakinan irasional klien (Corey, 2003).

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia pada anak yang mengalami fobia spesifik terhadap nasi. Rancangan terapi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima langkah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Palmer (2011), yaitu langkah identifikasi masalah; pemahaman masalah; mengubah keyakinan irasional; memelihara keyakinan rasional; dan evaluasi.

Pada akhir terapi yaitu langkah kelima, subjek sudah dapat menunjukkan perilaku melihat, memegang dan memakan nasi. Namun hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh dari data observasi yang dilakukan seminggu sesudah terapi rasional emotif tingkah laku, yang menunjukkan perilaku fobia subjek seperti menangis, berdiri disudut ruangan dan lari menghindar ketika melihat nasi masih muncul.

Penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam penelitian ini gagal mengubah perilaku anak yang mengalami fobia spesifik terhadap nasi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kelemahan penelitian antara lain peneliti belum pernah mengikuti pelatihan terapis khususnya terapi rasional emotif tingkah laku dan peneliti juga tidak sabar menghadapi subjek. Selain itu subjek penelitian adalah anak usia 6 tahun yang memiliki kapasitas intelektual di bawah rata-rata, sehingga berkemungkinan sulit memahami proses terapi rasional emotif tingkah laku.


(17)

ABSTRACT

Specific phobia “rice” is an extreme and illogical persistent fear and worried to an object namely rice, which causing strong motivation to avoid or run away from rice. Subject in this research is a 6 years old boy with specific phobia of rice. This research using rational emotive behavior therapy. This research aims to determine the application of rational emotive behavior therapy to reducing the phobia’s behavior of children with specific phobia “rice”.

Rational emotive behavior therapy is therapies that attempt to eliminate the client’s way of thinking is illogical and irrasional and replace it with something that is logical and rational in an offensive way, oppose and discuss the client’s irrasional beliefs (Corey, 2003).

This research use a qualitative approach to determine how the application rational emotive behavior therapy in reducing child phobia who have specific phobia “rice”. Design therapy used in this research consists of five steps in accordance with the proposed by Palmer (2011), the problem identification step, understanding the problem, disputing, keep the faith rasional and evaluation. The end of therapy, in fifth step, subject was able to see, touch and eat the rice. But it is different from results obtained from observational data that take a week after rational emotive behavior therapy, indicating the subject’s phobia behavior such as crying, standing in the corner of room and run away when he saw the rice still emerging.

Application of rational emotive behavior therapy in this research fail to change the behavior of children who have specific phobia “nasi”. This can occur due to the weakness of research include researcher have not previously been therapist trained a specialy rational emotive behavior therapy and researcher also particularly impatience with subject. Subject is child 6 years old who have the intellectual capacity below average, so likely to be difficult to understand the process of rational emotive behavior therapy.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Permasalahan

Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada masa ini anak belum memiliki kemampuan berpikir yang baik. Hal ini membuat mereka sangat reseptif dalam mengembangkan rasa takut pada hal-hal yang tidak dikenalnya (Gunawan, 2006). Anak-anak pada umumnya memiliki berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran yang biasanya disebut dengan kecemasan. Pengalaman yang tidak baik dapat menyebabkan anak menjadi panik dan sangat ketakutan. Ketakutan ini dapat semakin buruk dan menyebabkan ganggguan dalam fungsi kehidupan sehari-hari (Mortweet & Christophersen, 2002).

Penyebab munculnya ketakutan pada anak disebabkan oleh banyak hal, tetapi menurut Farley (dalam Romans, 2007) ketakutan dasar mungkin disebabkan oleh memori yang samar-samar dari ketidakberdayaan yang berhubungan dengan kondisi yang mengancam dalam kehidupan manusia, seperti diserang, dijatuhkan, dihancurkan dan ditinggalkan. Farley (dalam Romans, 2007) juga mengatakan bahwa genetik dan lingkungan berhubungan dengan ketakutan yang dialami oleh anak-anak. Sejarah keluarga yang berhubungan dengan kecemasan dan depresi kadang-kadang bisa mempengaruhi. Orangtua juga memiliki pengaruh yang besar terhadap anaknya. Jika orangtua memiliki kecemasan maka ia akan menceritakannya kepada anak. Allen (dalam Romans, 2007) setuju bahwa penyebab kecemasan pada anak bervariasi pada setiap usia. Anak yang lebih kecil


(19)

cenderung takut berpisah atau kehilangan orangtua. Pra remaja dan remaja takut ditolak oleh teman sebaya atau gagal di sekolah.

Menurut Martin & Pear (2003) ketakutan dan kecemasan pada sesuatu yang tidak rasional, yang berlebihan dan intens membuat seseorang tidak mampu melakukan apa-apa disebut dengan fobia. Menurut Nevid (2005), bahwa seseorang bisa saja mempunyai ketakutan terhadap suatu objek tertentu, tetapi hanya bila ketakutan itu mengganggu kehidupan sehari-hari atau menyebabkan distres emosional yang signifikan maka barulah dapat didiagnosis sebagai gangguan fobia.

Selaras dengan pernyataan Martin & Pear (2003), Smith (2011) juga mengatakan bahwa fobia adalah rasa takut yang intens dari sesuatu yang tidak atau sedikit menimbulkan bahaya aktual. Fobia atau ketakutan biasanya terhadap tempat yang tertutup, ketinggian, mengemudi di jalan raya, terbang, serangga, ular dan jarum. Namun, fobia dapat dikembangkan hampir pada semua benda atau situasi apapun. Fobia berkembang di masa kanak-kanak tetapi mereka juga dapat berkembang pada orang dewasa. Fobia termasuk dalam gangguan psikologis, apabila fobia tersebut secara signifikan mempengaruhi gaya hidup atau keberfungsian seseorang, atau menyebabkan distres yang signifikan (Nevid, 2005).

Ada banyak teori tentang penyebab fobia, Gunawan (2006) mengatakan bahwa kebanyakan fobia terbentuk melalui dua proses. Proses pertama adalah sensitizing event (kejadian yang membuat seseorang menjadi sensitif), misalnya seorang ibu yang sedang membersihkan rumahnya, tiba-tiba ia melihat kecoa


(20)

keluar dari lemari. Ia kaget dan berteriak, anaknya yang saat itu juga berada dalam ruangan yang sama ikut kaget dan menjadi sensitif terhadap kecoa. Proses kedua adalah activating event (peristiwa yang mengaktifkan), misalnya seekor kecoa terbang ke arah wajah seorang anak, ia menjadi kaget dan takut sehingga setiap kali melihat atau mendengar kata kecoa ia akan sangat takut.

Penyebab lain dari fobia adalah kejadian yang menakutkan pada masa kanak-kanak. Selain itu juga dapat disebabkan oleh orangtua atau caretaker yang meninggalkan anak sendiri pada usia yang masih sangat kecil. Pikiran yang sadar mungkin tidak mengingat kejadian ini, tapi pikiran yang tidak sadar mengingat hal ini. Memori ini dapat menyebabkan ketakutan pada beberapa orang. Selain itu para ahli juga menduga bahwa fobia dapat disebabkan oleh genetik dan juga orang yang mengalami trauma (Orr, 1999).

Menurut Gunawan (2006) ketakutan dan fobia tergantung pada karakter setiap orang. Ada orang yang mengalami peristiwa yang sama tetapi sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, ada yang begitu terpengaruh sehingga menjadi fobia. Orang yang fobia merasa terancam oleh sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya bagi hidupnya. Namun, karena situasi yang dihadapi dianggap berbahaya, orang ini akan mengalami reaksi fisik dan emosional yang sama seperti saat ia benar-benar dalam situasi berbahaya yang akhirnya membuat orang itu menjadi tegang. Penelitian yang dilakukan Anxiety Disorders Association of America (ADAA) (dalam Romans, 2007), menunjukkan bahwa ketakutan dapat menyebabkan anak-anak memiliki performansi yang jelek di sekolah, memiliki kemampuan sosial yang tidak berkembang dan mudah diserang oleh penyalahgunaan zat-zat


(21)

terlarang. Sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV (dalam Martin & Pear, 2003), gangguan fobia biasanya dikarakteristikkan dengan ketakutan atau kecemasan yang dapat menyebabkan reaksi fisiologis seperti tangan basah, menggigil dan jantung yang berdebar, menghindar dari situasi yang dapat menyebabkan ketakutan muncul dan mempengaruhi perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari, hal ini terjadi baik pada anak-anak maupun dewasa. Menurut Hostetler (2007) fobia pada anak-anak dapat menyebabkan respon fisik seperti nafas yang pendek, detak jantung yang cepat, menjerit, lari dan kabur. Anak-anak mungkin akan menjadi takut untuk meninggalkan rumah sehingga mempengaruhi perkembangan sosial dan akademik mereka. Fobia juga dapat mempengaruhi aktivitas keluarga, menghalangi mereka menikmati sesuatu seperti liburan atau pergi ke tempat-tempat lain.

Fobia atau ketakutan yang menetap dan berlebihan terhadap sesuatu objek atau situasi spesifik seperti ketakutan terhadap binatang, benda atau situasi tertentu disebut specific phobia (APA, 2000). Specific phobia sering bermula pada masa kanak-kanak. Banyak anak yang mengembangkan ketakutan terhadap objek atau situasi spesifik, tetapi hal ini akan berlalu; akan tetapi pada beberapa orang, ketakutan ini akan terus berlanjut menjadi fobia kronis yang signifikan secara klinis (Nevid, 2005).

Specific phobia adalah salah satu gangguan yang paling banyak dialami oleh anak-anak. Flatt dan King (2008), menunjukkan bahwa fobia pada anak biasanya berupa fobia pada hewan atau situasi tertentu yang dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam menjalani hubungan dengan orang lain, sosial dan


(22)

kompetensi akademik. Karena itu sangat penting untuk menyembuhkan fobia pada anak-anak maupun orang dewasa secepatnya agar tidak menjadi lebih serius. Specific phobia adalah salah satu gangguan psikologis yang paling umum, sekitar 7-11% dari populasi umum (APA, 2000). Specific phobia cenderung berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun atau selama beberapa dekade kecuali bila ditangani dengan baik, dan biasanya perempuan mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki untuk mengalami specific phobia (Nevid, 2005).

Specific phobia dapat dikembangkan hampir pada semua benda atau situasi apapun (Nevid, 2005). Ada beberapa penelitian mengenai specific phobia dengan objek fobia yang beragam, salah satunya adalah Nock (2002) yang meneliti fobia seorang anak laki-laki terhadap makanan. Anak tersebut memenuhi kriteria diagnostik specifik phobia dan setiap hendak makan anak tersebut muntah, sehingga jika dibiarkan akan mengganggu kesehatan anak. Nock mencoba beberapa treatment untuk mengurangi perilaku muntah anak tersebut.

Dalam penelitian ini yang menjadi benda atau objek fobia juga berupa makanan yaitu nasi. Nasi merupakan sumber makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat. Nasi banyak mengandung karbohidrat dan air, sehingga nasi putih menjadi sumber tenaga utama yang cepat karena nasi mudah diserap tubuh. Selain itu kandungan yang terdapat pada nasi adalah protein. Walaupun kandungannya kecil namun nasi tetap mengandung protein sekitar 2 gram per 100 gram nasi. Protein dibutuhkan untuk membangun dan memperbaiki sel-sel yang rusak. Keunggulan nasi adalah


(23)

kecilnya kandungan lemak jenuh, kolesterol dan sodium, bahkan tidak ada sama sekali. Nasi juga merupakan sumber yang baik untuk zat Mangan yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga akan lebih baik jika fobia terhadap nasi ini segera ditangani karena dikhawatirkan akan sangat mempengaruhi kesehatan individu yang mengalami fobia terhadap nasi.

Menurut Satriana (2012) fobia dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan berbagai cara, diantaranya dengan terapi obat-obatan dan psikoterapi. Terapi obat-obatan yang dilakukan untuk mengurangi fobia pada umumnya hampir sama dengan terapi obat-obatan untuk kecemasan. Pada umumnya dokter menyarankan penggunaan obat psikoleptik, yaitu benzodiazepines dalam dosis rendah. Jenis obat-obat ini adalah Diazepam, Klordiazepoksid, Lorazepam, Klobazam, Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat, Alprazolam atau Prazepam

Pada penelitian ini, peneliti memilih menggunakan rational emotive behavior therapy (terapi rasional emotif tingkah laku) pada subjek penelitian yang mengalami specific phobia, yaitu ketakutan atau fobia terhadap nasi. Terapi rasional emotif tingkah laku adalah suatu pendekatan dalam membantu memecahkan masalah-masalah yang dikarenakan oleh pola pikir yang bermasalah (Ellis, 1997). Peneliti menggunakan terapi ini karena terapi rasional emotif tingkah laku, menggabungkan tiga teknik yaitu kognitif, emotif dan tingkah laku,

. Psikoterapi yang dapat digunakan untuk mengurangi fobia seperti behavior modification, cognitive behavioural therapy (CBT), rational emotive behavior therapy (REBT), hypnotherapy, talk therapy dan neuro linguistic programming (NLP).


(24)

sehingga pemikiran-pemikiran irrasional subjek akan diubah menjadi pemikiran yang rasional dan juga mengubah emosi negatif subjek menjadi emosi yang positif dan keduanya akan terlihat dari perilaku yang ditunjukkan subjek (Ellis, 2007). Subjek yang berpikir irrasional mengenai objek fobianya, yaitu nasi, akan diubah menjadi rasional dan dapat mengendalikan emosinya saat berhadapan dengan objek fobianya yang terlihat dari perilaku yang subjek perlihatkan.

Selain menggabungkan tiga teknik (kognitif, emotif dan tingkah laku), terapi rasional emotif tingkah laku juga memiliki ciri terapisnya harus berperan lebih aktif dibanding subjek dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi subjek (Ellis, 1997). Hal ini juga menjadi salah satu alasan kenapa peneliti menggunakan terapi rasional emotif tingkah laku, mengingat yang menjadi subjek penelitian adalah anak-anak yang masih memerlukan bimbingan dan arahan.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku terhadap anak yang mengalami specific phobia terhadap nasi.

2. Bagaimana perilaku anak yang mengalami specific phobia terhadap nasi setelah penerapan terapi rasional emotif tingkah laku.


(25)

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami specific phobia terhadap nasi.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat secara teoritis, metodologis maupun praktis.

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin psikologi di bidang psikologi klinis anak, khususnya mengenai konsep terapi rasional emotif tingkah laku dan teori specific phobia.

2. Secara metodologis, dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan peneliti dalam melaksanakan penelitian studi kasus. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu para psikolog dalam

menangani kasus-kasus serupa. Dan juga diharapkan dapat membantu orangtua yang memiliki anak dengan gangguan specific phobia terhadap nasi, agar dapat menyadari dan memahami sedini mungkin gangguan yang dialami anaknya, sehingga dapat secepatnya meminta pertolongan kepada ahlinya.


(26)

E.Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan terbagi atas beberapa bab, yaitu: Bab I Pendahuluan.

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara teoritis, metodologis maupun secara praktis, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka.

Bab ini terdiri dari teori kepustakaan mengenai specific phobia dan terapi rasional emotif tingkah laku.

Bab III Metode penelitian.

Bab ini menguraikan tentang pendekatan kualitatif, subjek penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

Bab IV Hasil dan pembahasan.

Bab ini berisi analisi dan interpretasi data hasil penelitian serta pembahasan data-data hasil penelitian dengan teori yang relevan. Bab V Kesimpulan dan saran.

Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisikan saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk pihak-pihak yang ingin membuat penelitian lanjutan.


(27)

TINJAUAN PUSTAKA

A.Fobia

1. Definisi Fobia

Marks (dalam Morris dkk, 1987) mengatakan bahwa fobia merupakan bentuk yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan secara rasional, sulit untuk dikontrol dan biasanya situasi yang ditakutkan tersebut selalu dihindari. Fobia adalah rasa takut yang menetap terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya (Nevid, 2005). Selanjutnya Neale, dkk (2001) mengatakan bahwa fobia yaitu perasaan takut dan menghindar terhadap objek atau situasi yang realita atau kenyataannya tidak berbahaya.

Berdasarkan uraian di atas, fobia adalah rasa takut yang kuat dan tetap terhadap objek, situasi atau kejadian yang muncul pada situasi tertentu, tidak dapat dijelaskan secara rasional, sulit untuk dikontrol dan biasanya situasi yang ditakutkan tersebut selalu dihindari.

2. Ciri-ciri gangguan fobia

Berdasarkan DSM IV (dalam Martin & Pear, 2003), gangguan fobia memiliki ciri-ciri:

a. Ketakutan/kecemasan yang menghasilkan perubahan fisiologis seperti tangan berkeringat, pusing atau jantung berdebar.

b. Melarikan diri atau menghindari situasi dimana rasa takut sering muncul. c. Perilaku tersebut mengganggu kehidupan individu.


(28)

3. Jenis Fobia

Ada dua jenis fobia menurut Gunawan (2006) yaitu:

a. Simple phobia/Specific phobia (fobia sederhana): fobia yang muncul karena satu pemicu saja. Misalnya fobia kucing, perasaan takut hanya terbatas pada kucing dan tidak pada binatang lain.

b. Complex phobia (fobia kompleks): fobia ini berhubungan dengan banyak penyebab, biasanya fobia ini bukan masalah utama dan merupakan symptom dari satu atau lebih masalah psikologis yang belum terselesaikan. Misalnya fobia berbicara di depan umum, masalah utama fobia ini sebenarnya adalah harga diri yang rendah, masalah ini mengakibatkan seseorang tidak percaya diri sehingga tidak berani atau takut berdiri di depan orang banyak.

4. Definisi specific phobia

Specific Phobia adalah kecemasan yang signifikan terhadap objek atau situasi yang menakutkan, dan sering menampilkan perilaku menghindar terhadap objek atau situasi tertentu (Miltenberger, 2004). Durand & Barlow (2005) mengatakan bahwa specific phobia adalah ketakutan yang tidak beralasan terhadap suatu objek atau situasi tertentu. Ketakutan ini bisa disebabkan oleh darah, luka, situasi (seperti di dalam pesawat, lift dan ruangan yang tertutup), hewan, dan lingkungan yang natural (seperti ketinggian dan air).

Specific Phobia menurut Wenar dan Kerig (2006) adalah ketakutan yang bertahan, berlebihan dan tidak masuk akal tehadap suatu objek atau situasi tertentu. Menurut Nevid (2005) Specific Phobia adalah ketakutan yang berlebihan


(29)

dan persisten terhadap objek atau siuasi spesifik. Orang yang mengalami ketakuatan dan reaksi fisiologis yang tinggi bila bertemu dengan objek fobia akan menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari situasi atau menghidari stimulus yang menakutkan.

Haugaard (2008) mengatakan bahwa specific phobia dikarakteristikkan dengan kecemasan yang sering terjadi karena disebabkan oleh benda atau situasi tertentu. Selanjutnya juga dikatakan bahwa ketakutan dan kecemasan ini tetap ada walaupun tidak berhubungan langsung dengan objek atau situasi yang ditakuti dan dapat mengganggu anak dalam hal akademis dan interaksi sosialnya.

Berdasarkan uraian di atas, specific phobia adalah ketakutan dan kecemasan yang bertahan, berlebihan dan tidak masuk akal terhadap suatu objek atau situasi tertentu, sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari objek atau situasi tersebut, dan dapat mengganggu anak dalam hal akademis dan interaksi sosialnya.

5. Kriteria diagnostik specific phobia

Kriteria diagnostik specific phobia (dalam APA, 2000) adalah:

a. Ketakutan yang menyolok dan menetap yang berlebihan dan tidak dapat dijelaskan, disebabkan oleh objek atau situasi yang spesifik (seperti, terbang, ketinggian, hewan, disuntik, melihat darah).

b. Stimulus fobik hampir selalu menyebabkan respon kecemasan atau serangan panik. Catatan: pada anak, kecemasan ditunjukkan dengan menangis, tantrum, kaku atau lengket pada orang lain.


(30)

c. Menyadari ketakutannya berlebihan dan tidak dapat dijelaskan. Catatan: pada anak mungkin tidak muncul.

d. Situasi fobik dihindari dengan kecemasan atau distres yang kuat.

e. Penghindaran, antisipasi kecemasan atau distres dalam situasi phobik bertentangan secara signifikan dengan rutinitas orang normal, fungsi pekerjaan (pendidikan) atau aktivitas/hubungan sosial, atau ditandai distres tentang fobia. f. Pada individu di bawah 18 tahun, terjadi sekurang-kurangnya 6 bulan.

g. Kecemasan, serangan panik atau menghindari fobia dihubungkan dengan objek atau situasi spesifik, tidak berkaitan dengan gangguan mental lain, seperti Obsessive-Compulsive Disorder (takut terkontaminasi ketidakbersihan seseorang), Posttraumatic Stress Disorder (menjauhi stimulus yang menimbulkan stres berat), Separation Anxiety Disorder (menghindari sekolah), Social Phobia (menghindari situasi sosial yang memalukan), Panic Disorder With Agoraphobia, atau Agoraphobia Without History of Panic Disorder.

6. Penyebab specific phobia

Menurut Durand & Barlow (2005), ada beberapa penyebab munculnya specific phobia yaitu:

a. Traumatic event

Kebanyakan orang yang mengalami specific phobia disebabkan oleh kejadian trauma. Contohnya jika kita digigit oleh anjing, maka kita akan menjadi phobia terhadap anjing.


(31)

b. Information transmition

Seseorang dapat mengalami specific phobia karena sering mengingat sesuatu yang berbahaya. Misalnya seorang wanita mengalami fobia terhadap ular, padahal wanita tersebut belum pernah bertemu dengan ular. Tetapi, ia sering dibilang atau mendengar bahwa akan ada ular yang berbahaya di rumput yang tinggi. Hal ini membuat wanita tersebut menggunakan sepatu boot untuk menghindari bahaya, walaupun ia berjalan di jalan yang biasa.

c. Sosial dan Kultural

Faktor ini sangat kuat dapat mempengaruhi seseorang mengalami specific phobia. Dalam masyarakat tidak dapat diterima jika seorang laki-laki menunjukkan ketakutan dan phobia. Mayoritas specific phobia terjadi pada perempuan.

7. Specific phobia ‘nasi’

Specific phobia dapat dikembangkan hampir pada semua benda atau situasi apapun (Nevid, 2005).Ada beberapa penelitian mengenai specific phobia dengan objek fobia yang beragam, seperti fobia terhadap binatang tertentu, darah atau luka, ketinggian, fobia terhadap tempat sempit atau tertutup dan fobia terhadap makanan. Salah satu peneliti yang meneliti mengenai specific phobia adalah Matthew K. Nock (2002). Nock meneliti specific phobia pada seorang anak laki-laki yang fobia terhadap makanan. Setiap kali dihadapkan dengan makanan anak laki-laki tersebut menolak dan terkadang anak tersebut muntah. Jika hal ini dibiarkan terus menerus akan berakibat fatal pada kesehatan anak tersebut, oleh


(32)

karena itu Nock mencoba beberapa treatment agar anak tidak mengalami fobia lagi terhadap makanannya.

Dalam penelitian ini yang menjadi benda atau objek fobia juga berupa makanan yaitu nasi. Nasi

Berdasarkan hal di atas, apabila seseorang mengalami fobia terhadap nasi, apalagi anak-anak, harus segera ditangani karena dikhawatirkan akan sangat mempengaruhi kesehatan dan tumbuh kembang anak tersebut.

merupakan sumber makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat. Salah satu alasan mengapa nasi dijadikan makanan pokok, karena nasi mengandung banyak zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Nasi banyak mengandung karbohidrat dan air, sehingga nasi putih menjadi sumber tenaga utama yang cepat karena nasi mudah diserap tubuh. Selain itu kandungan yang terdapat pada nasi adalah protein. Walaupun kandungannya kecil namun nasi tetap mengandung protein sekitar 2 gram per 100 gram nasi. Protein dibutuhkan untuk membangun dan memperbaiki sel-sel yang rusak. Keunggulan nasi adalah kecilnya kandungan lemak jenuh, kolesterol dan sodium, bahkan tidak ada sama sekali. Nasi juga merupakan sumber yang baik untuk zat Mangan yang dibutuhkan oleh tubuh.

B. Terapi Rasional Emotif Tingkah Laku 1. Definisi terapi rasional emotif tingkah laku

Menurut Corey (2003), terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang berusaha menghilangkan cara berfikir klien yang tidak logis dan irasional, dan


(33)

menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan membahas keyakinan-keyakinan irasional klien. Menurut Ellis (1997) terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran. Oleh karena itu Ellis menjelaskan lebih lanjut unsur pokok dari terapi rasional emotif tingkah laku adalah asumsi bahwa berpikir, emosi dan tingkah laku bukan tiga proses yang terpisah. Pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Baik emosi dan pikiran tersebut ditunjukkan dengan tingkah laku. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengaruhi pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran (Froggatt, 2005). Menurut Thomson dan Rudolf (dalam Sunardi, 2008), tujuan utama dari terapi rasional emotif tingkah laku adalah membantu klien memahami kepercayaan irrasionalnya, dengan mendebatkannya dan selanjutnya merubahnya dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional. Membantu anak menjadi evaluator atas dirinya sendiri, sehingga dapat belajar untuk hidup sehat, mengontrol diri, dan bertanggung jawab atas kehidupannya.

Menurut Edelstein (2010) terapi rasional emotif tingkah laku membantu seseorang untuk dapat lebih percaya diri dan mengeliminasi atau menghilangkan masalah pemikiran yang mengganggu (irasional). Sedangkan menurut Burks dan


(34)

Strefflre (dalam Sunardi, 2008) tujuan terapi rasional emotif tingkah laku adalah sebagai berikut:

a. Memperbaiki dan mengubah segala pemikiran yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.

b. Menghilangkan gangguan emosional yang merusak.

c. Untuk membangun komitmen, toleransi, pemikiran ilmiah, pengambilan resiko dan penerimaan diri klien.

2. Ciri-ciri terapi rasional emotif tingkah laku

Ciri-ciri terapi rasional emotif tingkah laku dapat diuraikan sebagai berikut (dalam Ellis, 1997):

a) Dalam menelusuri masalah klien yang dibantu, konselor berperan lebih aktif dibandingkan klien. Maksudnya adalah peran konselor disini harus bersikap efektif dan memiliki kapasitas untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien dan bersungguh-sungguh dalam mengatasi masalah yang dihadapi, artinya konselor harus melibatkan diri dan berusaha menolong kliennya supaya dapat berkembang sesuai dengan keinginan dan disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya.

b) Dalam proses hubungan konseling harus tetap diciptakan dan dipelihara hubungan baik dengan klien. Dengan sikap yang ramah dan hangat dari konselor akan mempunyai pengaruh yang penting demi suksesnya proses konseling sehingga dengan terciptanya proses yang akrab dan rasa nyaman ketika berhadapan dengan klien.


(35)

c) Tercipta dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah cara berfikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.

d) Dalam proses hubungan konseling, konselor tidak banyak menelusuri masa lampau klien.

e) Diagnosis (rumusan masalah) yang di lakukan dalam konseling rasional emotif bertujuan untuk membuka ketidaklogisan cara berfikir klien. Dengan melihat permasalahan yang dihadapi klien dan faktor penyebabnya, yakni menyangkut cara pikir klien yang tidak rasional dalam menghadapi masalah, yang pada intinya menunjukkan bahwa cara berpikir yang tidak logis itu sebenarnya menjadi penyebab gangguan emosionalnya.

3. Konsep dasar dalam terapi rasional emotif tingkah laku

Menurut Ellis (2007) ada tiga hal yang terkait dengan perilaku, yaitu rumus A-B-C :

A (Activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu): seperti kesulitan-kesulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai penyebab ketidakbahagiaan. B (Beliefs): yaitu keyakinan-keyakinan, terutama yang bersifat irasional dan

merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan.

C (Consequence): yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-keyakinan yang keliru.


(36)

Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irrasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.

4. Tahapan atau langkah-langkah terapi rasional emotif tingkah laku

Beberapa langkah yang dilakukan dalam terapi rasional emotif tingkah laku (Palmer, 2011) adalah sebagai berikut :

a. Langkah pertama: identifikasi masalah

Langkah ini untuk mengetahui masalah yang spesifik yang dialami subjek agar dapat dilakukan tindakan.

b. Langkah kedua: pemahaman masalah

Pada langkah ini, terapis dan klien harus sama-sama memahami masalah yang sedang dihadapi. Menentukan apa yang menjadi fokus permasalah yang dihadapi subjek.

c. Langkah ketiga: mengubah keyakinan irasional (disputing)

Langkah ini mengubah keyakinan yang menyebabkan gangguan, yaitu keyakinan yang irasional, agar keyakinan tersebut dapat berubah menjadi yang rasional.

d. Langkah keempat: memelihara perubahan positif

Pada langkah ini keyakinan yang sudah berubah menjadi rasional dipertahankan dan terus dimonitor agar menetap.


(37)

e. Langkah kelima: evaluasi

Pada langkah ini terapis dan subjek bersama-sama mengevaluasi sesi-sesi sebelumnya, apakah sudah berhasil mengubah keyakinan yang irasional menjadi rasional. Jika sudah berhasil terapis harus mempersiapkan subjek agar tidak tergantung pada proses terapi sehingga dapat mempertahankan hasil terapi dikehidupannya sehari-hari.

5. Teknik-teknik terapi rasional emotif tingkah laku

Terapi rasional emotif tingkah laku menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif dan behavioristik yang disesuaikan dengan kondisi klien. Setiap terapis dapat mempergunakan gabungan-gabungan teknik sejauh penggabungan itu memungkinkan (dalam Ellis, 1997). Hal ini juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sacks (2004) bahwa terapi rasional emotif tingkah laku dapat mengintegrasikan bermacam-macam teknik kognitif, emotif dan tingkah laku. Teknik-teknik tersebut diantaranya, yaitu :

1. Teknik-teknik Kognitif

Teknik-teknik kognitif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien.

a. Teknik Pengajaran - Dalam terapi rasional emotif tingkah laku, terapis mengambil peranan lebih aktif dari klien. Teknik ini memberikan keleluasan kepada terapis untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidaklogisan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien tersebut.


(38)

b. Teknik Persuasif - Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Terapis langsung mencoba meyakinkan, mengemukakan pelbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.

c. Teknik Konfrontasi – Terapis menyerang ketidaklogisan berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir yang lebih logis.

d. Teknik Pemberian Tugas - Terapis memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.

2. Teknik-teknik Emotif

Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Teknik yang sering digunakan antara lain ialah:

a. Teknik Sosiodrama - Memberi peluang mengekspresikan pelbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan atau melalui gerakan dramatis.

b. Teknik 'Self Modelling' - Digunakan dengan meminta klien berjanji dengan terapis untuk menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia diminta taat setia pada janjinya.


(39)

c. Teknik 'Assertive Training' - Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya.

3. Teknik-teknik Behavioristik

Teknik ini khusus untuk mengubah tingkah laku yang tidak diinginkan. Teknik ini antara lain ialah:

a. Teknik Reinforcement - Mendorong klien ke arah perilaku yang diingini dengan jalan memberi pujian dan hukuman. Pujian pada perilaku yang betul dan hukuman pada perilaku negatif yang dikekalkan.

b. Teknik Social Modelling - Digunakan membentuk perilaku baru pada klien melalui peniruan, pemerhatian terhadap Model Hidup atau Model Simbolik dari segi percakapan dan interaksi serta pemecahan masalah.


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai digunakan untuk mengetahui bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia pada anak yang mengalami fobia terhadap nasi. Hal ini disebabkan penggunaan metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk mengetahui lebih jelas bagaimana proses dan hasil penerapan terapi rasional emotif tingkah laku untuk mengurangi masalah perilaku fobia anak terhadap nasi melalui cara deskripsi dalam bentuk kata-kata, bahasa, perilaku pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode pengambilan data.

Sesuai dengan yang dikemukakan dalam Moleong (2005), yang menyebutkan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Poerwandari (2001) mengatakan bahwa salah satu ciri penelitian kualitatif adalah adanya kontak personal langsung dengan orang yang diteliti, karena peneliti harus memahami situasi nyata sehari-hari yang memungkinkannya mendeskripsikan dan mengerti tingkah laku yang tampak maupun kondisi internal orang yang diteliti.


(41)

Bentuk penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang memberikan laporan dan analisis detail dan menyeluruh pada satu atau lebih kasus.

A.Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada studi kasus, biasanya menggunakan data kualitatif serta menggunakan banyak metode dan sumber yang akan membantu peneliti memahami kasus dan menjawab perumusan masalah penelitian (Johnson & Christensen, 2004). Beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara, selain itu penelitian ini juga menggunakan data pemeriksaan psikologis sebagai sumber data tambahan.

1. Observasi

Patton (dalam Poerwandari, 2001) menegaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, terutama penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi & Martini (dalam Poerwandari, 2001) observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Minauli (2002) menyatakan bahwa observasi terbagi dua yaitu observasi partisipan dan observasi nonpartisipan. Dalam penelitian ini akan digunakan observasi partisipan, yaitu peneliti merupakan observer yang terlibat langsung dalam situasi yang diamatinya. Perilaku subjek yang diamati adalah perilakunya dalam berhubungan dengan objek fobianya.


(42)

Dalam penelitian ini, observasi dilakukan selama proses pelaksanaan penelitian, dimulai dari sebelum terapi dengan bantuan lembar observasi checklist untuk melihat gambaran perilaku fobia subjek, dan ketika pelaksanaan terapi juga melakukan observasi terhadap reaksi-reaksi yang ditunjukkan subjek. Setelah terapi berakhir, peneliti mengambil data observasi kembali dengan menggunakan lembar observasi checklist untuk dapat membandingkan perilaku fobia subjek sebelum dan sesudah terapi.

2. Wawancara

Banister (dalam Poerwandari, 2001) mendefinisikan wawancara sebagai percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur (semi-structured) yaitu peneliti sebelumnya telah menetapkan daftar pertanyaan yang terdapat di dalam pedoman wawancara hanya saja urutan pertanyaan bisa saja tidak seperti dalam pedoman wawancara tetapi disesuaikan dengan situasi saat wawancara berlangsung (Gay & Airasian, 2003). Pedoman wawancara ini berisi “open-ended question” yaitu pertanyaan yang sifatnya terbuka tetapi tetap terarah pada tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

3. Pemeriksaan psikologis

Pemeriksaan psikologis terhadap subjek dilakukan sebelum terapi. Pemeriksaan psikologis ini merupakan proses screening, yaitu untuk memastikan


(43)

adanya diagnosa gangguan yang dialami oleh subjek berdasarkan Diagnosis and Statistic Manual (DSM IV-TR).

B.Alat Bantu Penelitian

Dalam pengambilan data, penelitian ini menggunakan beberapa alat bantu yaitu lembar observasi, pedoman wawancara dan alat perekam yang dapat membantu peneliti untuk mengumpulkan data.

1. Lembar observasi, yang digunakan adalah lembar observasi checklist. Checklist digunakan untuk mengklasifikasikan dan mengukur frekuensi dan atau durasi dari perilaku selama periode observasi (Minauli, 2002). Checklist dalam penelitian ini berisikan perilaku-perilaku yang muncul jika dihadapkan pada objek fobia, seperti yang dikemukakan dalam APA (2000). Apabila subjek memperlihatkan salah satu atau lebih perilaku tertentu diberi tanda checklist (√) dan dilihat seberapa banyak frekuensinya selama observasi dilakukan. Lembar observasi ini digunakan untuk memperoleh data sebelum dan juga data sesudah terapi agar nantinya dapat dibandingkan sehingga diketahui apakah terapi berhasil atau tidak.

2. Pedoman wawancara, digunakan agar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam terapi dapat berjalan sesuai dengan tujuan dari setiap langkah dalam terapi, karena pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman wawancara disusun berdasarkan tujuan dari masing-masing langkah terapi dan teori, tetapi tidak tertutup kemungkinan dilakukannya probing untuk menggali hal-hal yang tidak tercantum dalam pedoman wawancara yang telah disusun.


(44)

3. Alat perekam (tape recorder), digunakan agar hasil wawancara merupakan data yang akurat sesuai dengan yang disampaikan subjek dalam wawancara. Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam (tape recorder) agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek. Selain itu penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subjek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

C.Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini didapatkan peneliti dari mendengarkan cerita seorang ibu yang memiliki keponakan yang tidak mau makan nasi. Peneliti langsung menemui ibu yang anaknya tidak mau makan nasi tersebut dirumahnya pada tanggal 24 Desember 2010. Ibu tersebut menceritakan bahwa anaknya dari sejak usia 10 bulan tidak mau makan bubur. Bahkan sampai sekarang anaknya tidak mau makan nasi dan selalu berusaha menghindari nasi. Ibu telah mencoba berbagai cara agar anaknya mau makan nasi, baik membawa anaknya ke dokter maupun pengobatan tradisional, tetapi anaknya tetap tidak mau makan nasi. Ibu


(45)

juga sudah mencoba memberikan nasi dalam bentuk lontong, bubur atau yang lainnya tetapi anaknya tetap tidak mau makan.

D.Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap analisis data.

1. Tahap persiapan

Tahapan persiapan penelitian dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan selama penelitian.

1.a. Mempelajari teori

Mempelajari teori yang berkaitan dengan terapi rasional emotif tingkah laku dan specific phobia, untuk memahami hubungan antara terapi rasional emotif tingkah laku dan specific phobia.

1.b. Melakukan pemeriksaan psikologis

Pemeriksaan psikologis dilakukan terhadap subjek guna memastikan karakteristik gangguan dan diagnosa yang dialami subjek.

1.c. Menyusun rancangan terapi

Sebelum terapi dilakukan terlebih dahulu peneliti membuat rancangan terapi. Rancangan terapi disusun berdasarkan langkah-langkah terapi rasional emotif tingkah laku yang dikemukakan oleh Palmer (2011), yaitu :

- Langkah pertama, identifikasi masalah. - Langkah kedua, pemahaman masalah.


(46)

- Langkah ketiga, mengubah keyakinan irasional. - Langkah keempat, memelihara perubahan positif. - Langkah kelima, evaluasi.

1.d. Menyusun lembar observasi.

Untuk mengetahui hasil terapi berjalan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu dapat mengurangi perilaku fobia subjek terhadap nasi, maka peneliti membuat lembar observasi yang berbentuk checklist untuk mengetahui gambaran perilaku fobia subjek sebelum dan sesudah terapi. Berikut adalah lembar observasi checklist yang digunakan dalam penelitian ini :

Tabel 3.1. Lembar Observasi Checklist

NO Perilaku Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Jlh 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 Menangis

2 Berteriak

3 Lari menghindar 4 Memukul 5 Berguling

dilantai 6 Badan dingin 7 Memeluk

orangtua 8 Menggenggam

orangtua 9 Menunjukkan

wajah seperti ingin muntah 10 Berdiri di

belakang pintu, lemari dan sudut ruangan

11 Berteriak memanggil ibu

Keterangan : 1 = pagi hari 2 = siang hari 3 = malam hari


(47)

1.e. Menyusun pedoman wawancara.

Agar pelaksanaan terapi yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan pada masing-masing langkah terapi, maka sebelum melaksanakan terapi, peneliti terlebih dahulu menyusun pedoman wawancara berdasarkan tujuan terapi. Adapun pedoman wawancara yang digunakan adalah sebagai berikut :

Langkah 1 : 1. Mengapa subjek tidak mau makan nasi?

Langkah 2 : 2. Apa yang subjek lakukan jika didepan subjek ada nasi? 3. Menurut subjek apa beda nasi dan ulat?

Langkah 3 : 4. Apa itu nasi?

5. Menurut subjek makan nasi baik atau tidak? Langkah 4 : 6. Apa saja manfaat dari nasi?

7. Menurut subjek bagaimana kalau orang tidak makan nasi? Langkah 5 : 8. Apakah subjek mau makan nasi?

1.f. Informed consent

Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak yang masih di bawah umur yaitu berusia 6 tahun, maka peneliti meminta persetujuan orangtua dari subjek penelitian untuk mengikuti program terapi rasional emotif tingkah laku dan membicarakan ketentuan pelaksanaan terapi (informed consent). Informed consent dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran.


(48)

2. Tahap pelaksanaanpenelitian 2.a. Melakukan observasi sebelum terapi

Sebelum terapi rasional emotif tingkah laku dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti melakukan observasi partisipan, yang bertujuan untuk memperoleh gambaran bagaimana perilaku fobia yang ditunjukkan subjek penelitian. Observasi dilakukan dengan bantuan lembar observasi berbentuk checklist yang berisi perilaku-perilaku fobia. Observasi dilakukan dalam setting alamiah yaitu di rumah subjek pada jam-jam makan, pagi, siang dan malam hari.

2.b. Terapi

Pada penelitian ini, intervensi yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian adalah terapi rasional emotif tingkah laku dengan menggabungkan teknik kognitif, teknik emotifdan teknik perilaku.

Terapi rasional emotif tingkah laku yang dilakukan dalam penelitian ini sesuai dengan rancangan terapi yang terdiri dari 5 langkah berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Palmer (2011) yaitu:

2.b.1. Langkah 1. Identifikasi Masalah Tujuan:

• Subjek memahami tentang rasa takutnya terhadap nasi.

• Subjek memahami mengapa hal tersebut dapat terjadi.

• Subjek mengetahui hubungan antara pikiran, perasaan dan tingkah laku.


(49)

Kegiatan:

• Memberikan informasi mengenai fungsi dan manfaat nasi.

• Menjelaskan hubungan antara pikiran, perasaan dan tingkah laku.

• Menjelaskan dampak positif dan negatif perilaku fobia terhadap nasi. Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Sosiodrama (peneliti berperan sebagai guru dan subjek berperan sebagai murid)

• Pengajaran

Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.b.2. Langkah 2. Pemahaman Masalah Tujuan:

• Subjek menggunakan pengetahuan yang ia dapatkan pada sesi sebelumnya untuk memahami masalahnya sendiri.

• Menemukan pemikiran dan perasaan yang mendasari perilaku subjek fobia terhadap nasi. Sehingga subjek menyadari bahwa perilaku yang muncul adalah produk dari pemikiran dan perasaan subjek sendiri.

Kegiatan:

• Mendiskusikan perilaku subjek yang bermasalah yaitu berperilaku fobia terhadap nasi berdasarkan pemahaman yang telah ia peroleh sebelumnya.


(50)

• Bermain peran, dimana subjek diminta menjadi seorang dokter yang meminta pasiennya untuk makan agar kembali sehat. Subjek diminta menjelaskan manfaat makanan dan akibat jika tidak makan.

Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Pengajaran

• Sosiodrama (subjek berperan sebagai dokter dan peneliti berperan sebagai pasien)

Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.b.3. Langkah 3. Mengubah keyakinan irasional Tujuan:

• Subjek mampu mengidentifikasi pemikirannya yang bermasalah dan menantang pemikiran tersebut. Mengembangkan pemikiran yang lebih positif atau rasional.

Kegiatan:

• Mengubah (disputing) pemikiran irasional.

• Mengembangkan pemikiran yang rasional.

• Memberikan positivereinforcement ketika subjek menunjukkan pemikiran rasional yang terlihat dari perilakunya, seperti mau memegang nasi.


(51)

Positive reinforcement yang diberikan berupa benda kesenangan subjek, seperti makanan kesukaannya.

Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Sosiodrama (peneliti berperan sebagai penjual nasi dan subjek berperan sebagai pembeli)

• Pemberian positive reinforcement Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.b.4. Langkah 4. Memelihara kepercayaan rasional Tujuan:

• Evaluasi keberhasilan disputing pada sesi sebelumnya. Mengontrol pemikiran subjek yang mulai berubah menjadi rasional.

• Mengevaluasi pemberian positive reinforcement. Kegiatan:

• Mendiskusikan hasil disputing pada sesi sebelumnya. Melakukan disputing pada pemikiran subjek yang masih irasional.

• Mengevaluasi pemikiran dan mengembangkan atau merevisi pemikiran tersebut.

• Melakukan pemberian positive reinforcement dan mendiskusikan pemberian positive reinforcement pada subjek. Positive reinforcement


(52)

diberikan pada subjek ketika subjek mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan, seperti mau memegang atau memakan nasi.

Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Sosiodrama (peneliti berperan sebagai ibu dan subjek berperan sebagai anak)

• Pemberian positive reinforcement Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.b.5. Langkah 5. Evaluasi Tujuan:

• Mengevaluasi pola pikir subjek serta mengevaluasi apakah perilaku fobia terhadap nasi berkurang.

• Mempersiapkan subjek penelitian pada berakhirnya intervensi, agar subjek tidak tergantung pada sesi terapi dan dapat mengatasi dengan bantuan diri sendiri jika masalah lama kembali berulang.

Kegiatan:

• Mendiskusikan pengetahuan subjek setelah mendapatkan terapi.

• Mendiskusikan pemikiran subjek serta memastikan bahwa pemikiran yang rasional masih bertahan.


(53)

• Melihat perilaku subjek saat berhadapan dengan nasi setelah terapi untuk mengetahui adakah pengurangan perilaku fobia subjek.

Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Diskusi

• Sosiodrama (peneliti berperan sebagai ibu dan subjek berperan sebagai anak)

• Pemberian positive reinforcement Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.c. Melakukan observasi setelah terapi

Peneliti melakukan observasi partisipan setelah proses terapi selesai dilakukan. Observasi dilakukan dengan bantuan lembar observasi berbentuk checklist yang sama seperti observasi sebelum terapi.

3. Tahap analisis data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.a. Menganalisa dan menginterpretasi data observasi.

Data observasi yang diperoleh dengan bantuan lembar observasi checklist, sebelum dan sesudah terapi dianalisa dan dibandingkan hasilnya. Dari hasil perbandingan tersebut lalu diinterpretasi sesuai teori.


(54)

3.b. Menganalisa dan menginterpretasi data wawancara/tanya jawab dan observasi ketika terapi.

Data wawancara disusun berdasarkan langkah-langkah terapi secara sistematis. Setiap selesai melakukan satu langkah terapi, data wawancara yang sudah direkam dengan tape recorder langsung dicatat dalam bentuk verbatim. Setelah data tersusun berdasarkan langkah terapi lalu dilakukan koding untuk memperoleh gambaran mengenai topik yang diteliti. Setelah dikoding masing-masing data tersebut diinterpretasi sesuai tujuan terapi. Seluruh prosedur penelitian di atas dapat dirangkum sebagaimana terlihat pada tabel 3.2 di bawah ini :


(55)

Tabel 3.2. Prosedur Penelitian

Tahap Kegiatan Metode Alat Bantu Persiapan a. Mempelajari teori terapi

rasional emotif tingkah laku dan specific phobia.

b. Melakukan pemeriksaan psikologis.

c. Menyusun rancangan terapi d. Menyusun lembar observasi

berdasarkan perilaku fobia. e. Menyusun pedoman wawancara

berdasarkan tujuan terapi. f. Membuat informed consent.

Buku, jurnal dan internet

Pelaksanaan a. Melakukan observasi sebelum terapi.

b. Terapi.

b.1.Langkah pertama, Identifikasi masalah

b.2.Langkah kedua, Pemahaman masalah

b.3.Langkah ketiga, Mengubah kepercayaan irasional

b.4.Langkah keempat, Memelihara kepercayaan

rasional

b.5.Langkah kelima, Evaluasi c. Melakukan observasi seminggu

setelah terapi.

- Observasi partisipan

- Pada setiap langkah terapi dilakukan

wawancara/tanya jawab di dalam teknik

sosiodrama

- Observasi partisipan

- Lembar observasi checklist

- Pedoman

wawancara dan tape recorder

- Lembar observasi checklist

Analisis Data

a. Menganalisa dan

menginterpretasi data observasi. b. Menganalisa dan

menginterpretasi data

wawancara dan observasi ketika terapi.

- Lembar observasi checklist

- Verbatim dan catatan observasi setiap sesi terapi.


(56)

BAB IV

HASIL DAN INTERPRETASI

Bab ini akan menguraikan keseluruhan hasil penelitian penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami specific phobia terhadap nasi berdasarkan tahapan penelitian, sebagai berikut :

A.Tahap Persiapan

Pada tahap ini peneliti melakukan pemeriksaan psikologis sebagai proses screening guna memastikan gangguan yang dialami subjek berdasarkan DSM IV-TR. Pemeriksaan psikologis ini terdiri dari tes intelegensi dan juga tes kepribadian. Hasil dari pemeriksaan psikologis diperoleh bahwa kapasitas intelektual subjek di bawah rata-rata (dull normal) sehingga membuat subjek sedikit lamban dan kurang berkonsentrasi dalam belajar. Menurut ibunya, subjek di rumah memang tidak pernah belajar, ia hanya menghabiskan waktunya dengan bermain.

Secara kepribadian, subjek adalah anak yang tidak terlalu suka bersekolah, karena ia jarang sekali pergi sekolah. Subjek tidak suka makan nasi dan hal ini membuat tubuhnya menjadi kurus. Subjek lebih suka menghindar dari nasi atau orang yang sedang makan nasi. Subjek memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan anggota keluarganya. Subjek dekat dengan kedua orangtuanya, terutama ayahnya, menurut subjek, ayahnya sangat baik, dan tidak cerewet.


(57)

Subjek adalah anak terkecil dikeluarganya sehingga subjek lebih manja pada kedua orangtuanya dan bersikap kekanak-kanakan.

Subjek adalah seorang anak berusia 6 tahun dengan tubuh kurus bahkan terlalu kurus untuk anak seusianya yaitu dengan berat badan 14 kg dengan tinggi badan 100 cm. Subjek tidak mau makan nasi, ia hanya makan ayam goreng, mie dan roti sebagai pengganti nasi ditambah segelas susu setiap makan. Saat subjek berusia 8 bulan, ia mengalami sakit panas (demam), ketika ia disuapi nasi tim oleh ibunya, ia memuntahkan nasi tim tersebut. Sejak itu subjek hanya mengkonsumsi air susu ibu (ASI) sampai usianya 4 tahun. Ketika subjek berhenti mengkonsumsi ASI, ibunya sering mencoba agar subjek mau makan nasi, tetapi hingga sekarang subjek tidak mau makan nasi.

Subjek pernah disuruh makan nasi oleh ibunya, ketika berusia 4 tahun, subjek menjerit dan menangis serta meronta agar lepas dari pegangan ibunya. Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis di atas, dapat disimpulkan bahwa subjek memenuhi kriteria diagnostik dari specific phobia berdasarkan DSM IV-TR.

B.Tahap Pelaksanaan

1. Hasil observasi sebelum terapi

Observasi sebelum terapi dengan bantuan lembar observasi checklist dilakukan selama tujuh hari (21-27 Juni 2011) di rumah subjek. Dimana setiap harinya akan diobservasi sebanyak tiga kali, yaitu dalam setting alamiah pada jam-jam makan, pagi, siang dan malam hari, yang dilakukan dirumah subjek.


(58)

Tujuan observasi sebelum terapi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang pasti tentang berapa kali subjek menunjukkan perilaku fobianya terhadap nasi.

Tabel 4.1. Lembar Observasi Sebelum Terapi

NO Perilaku 21 Juni 22 Juni 23 Juni 24 Juni 25 Juni 26 Juni 27 Juni Jlh 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 Menangis √ √ 2

2 Berteriak √ √ √ √ 4

3 Lari

menghindar

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 21 4 Memukul

5 Berguling dilantai 6 Badan dingin 7 Memeluk

orangtua 8 Menggenggam

orangtua 9 Menunjukkan

wajah seperti ingin muntah 10 Berdiri di

belakang pintu, lemari dan sudut ruangan

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 10

11 Berteriak memanggil ibu

√ √ √ 3

Keterangan : 1 = pagi hari 2 = siang hari 3 = malam hari

Hasil observasi sebelum terapi menunjukkan bahwa subjek memunculkan perilaku fobianya yaitu lari menghindar (21 kali), berdiri di sudut ruangan (10 kali), berteriak (4 kali), berteriak memanggil ibu (3 kali) dan menangis (2 kali). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada grafik di bawah ini :


(59)

Gambar 4.1. Grafik Perilaku Fobia Sebelum Terapi

Keterangan: 1 = Berteriak

2 = Berteriak memanggil ibu 3 = Menangis

4 = Berdiri di sudut ruangan 5 = Lari menghindar

2. Hasil terapi 2.a. Langkah I

Setelah peneliti menyampaikan informasi mengenai apa itu nasi, fungsi dan manfaatnya; peneliti mempertanyakan mengapa subjek tidak suka nasi. Subjek lama tidak menjawab, ia hanya diam saja. Setelah dua kali peneliti bertanya, subjek berusaha mengalihkan pembicaraan. Peneliti kembali ke topik dan menanyakan kembali mengapa subjek tidak suka nasi, akhirnya subjek mau menjawab, menurutnya nasi mengerikan seperti ulat. Subjek mengatakan nasi

0 2 4 6

1 2 3 4

Frekuensi

8 10 12 14 16 18 20

5 22


(60)

seperti ulat karena bentuk dan warnanya yang hampir sama. Hal ini merupakan kepercayaan irasional yang dimiliki subjek.

“nasi ga enak...nasi tu...ulat.” (S.W1/b.101-102/hal.5)

“ya...kayak ulat. Kecil-kecil putih, ih...” (S.W1/b.104/hal.5)

Peneliti menanyakan perasaan subjek kalau ia melihat nasi, subjek hanya diam. Setelah pertanyaan diperjelas oleh peneliti, subjek mengatakan dengan pelan dan menunduk kalau ia merasa ‘ngeri’ melihat nasi, jijik. Ini merupakan kepercayaan irasional yang dipercaya subjek.

“...ngeri...jijik.” (S.W1/b.110/hal.5)

Kalau subjek dihadapkan dengan nasi, biasanya subjek berusaha menghindar dengan lari ketempat lain. Peneliti berusaha menjelaskan perbedaan nasi dan ulat yang dimaksud subjek, peneliti menyakinkan subjek kalau nasi dan ulat itu adalah dua hal yang berbeda, walaupun memiliki bentuk dan warna yang hampir sama.

b.2. Langkah II

Pada langkah ini subjek masih ingat perbedaan nasi dan ulat yang ia dapat dari sesi sebelumnya. Walaupun awalnya ketika ditanya subjek hanya diam saja, tapi akhirnya ia menjawab kalau ulat dapat bergerak sedangkan nasi tidak dapat bergerak. Hal ini diharapkan dapat mengubah kepercayaan irasional subjek.

“...kalau ulat bergerak, nasi ga...” (S.W2/b.14/hal.7)

Selanjutnya subjek juga secara tidak langsung tahu salah satu fungsi dari makan nasi saat bermain peran dokter-dokteran. Subjek menyuruh peneliti agar mau makan karena kalau tidak makan peneliti tidak dapat cepat sembuh, jadi peneliti harus makan dan minum obat. Ketika peneliti berpura-pura tetap tidak


(61)

mau makan, subjek kembali menjelaskan kalau tidak makan nanti bisa bertambah sakit.

“nanti sebelum makan obatnya harus makan ya!” (S.W2/b.53-54/hal.8)

“kamu...harus makan dulu, baru bisa makan obat biar cepat sembuh.” (S.W2/b.57-58/hal.8)

“kalau tidak minum obat nanti tambah sakit....jadi...harus makan trus minum obat.”(S.W2/b.60-61/hal.8)

Dengan mengetahui manfaat makan nasi ketika sakit diharapkan dapat mengubah kepercayaan irasional subjek. Saat peneliti bertanya mengapa subjek tidak mau makan nasi, subjek hanya diam saja; tetapi ketika peneliti bertanya kalau tidak makan nasi itu baik atau tidak, subjek menggelengkan kepalanya. Ketika peneliti bertanya lebih lanjut subjek menjawab dengan suara pelan kalau tidak makan nasi itu tidak baik.

“...ga baik (dengan suara pelan)” (S.W2/b.68/hal.8)

Pada langkah kedua ini peneliti ingin subjek lebih memahami permasalah yang dialaminya, oleh karena itu langkah kedua ini ditambah satu pertemuan lagi. Pada pertemuan kedua pada langkah kedua ini, peneliti menghidangkan nasi ke hadapan subjek dan subjek langsung lari ketika melihat nasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemikiran subjek yang irasional. Ketika ditanya oleh peneliti, subjek berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan permainan yang ada di sekolahnya. Peneliti berusaha mengembalikan ke topik pembicaraan awal, peneliti menanyakan apa yang ia peroleh dari sesi sebelumnya, tetapi subjek hanya diam saja. Peneliti mengingatkan kembali perbedaan nasi dan ulat dan juga dampak negatif kalau tidak makan nasi. Peneliti juga menyakinkan subjek kalau


(62)

makan nasi itu tidak apa-apa, peneliti mencontohkan kakak dan sepupu subjek yang mau makan nasi, mereka tidak mengalami hal buruk.

b.3. Langkah III

Sebelum memulai langkah ini, peneliti menjelaskan mengenai positive reinforcement yang nantinya dapat diterima subjek bila ia tidak lagi menunjukkan perilaku fobianya. Adapun positive reinforcement dalam terapi ini adalah subjek diperbolehkan memainkan game yang ada pada handphone ayahnya dan atau mendapatkan cokelat kesukaannya bila ia tidak menunjukkan perilaku fobianya. Pemberian positive reinforcement ini akan diberikan mulai sesi ini sampai akhir. Pada langkah ini, peneliti menghidangkan nasi dihadapan subjek. Subjek yang melihat nasi langsung berdiri dan lari menjauh, hal ini dikarena pemikiran subjek yang irasional sehingga konsekuensinya berperilaku menghindari nasi. Peneliti mendekati subjek dan menanyakan kenapa subjek lari, subjek hanya diam dan tidak mau diajak kembali ke meja makan. Peneliti menjelaskan kalau nasi dan ulat yang dipikirkan subjek berbeda dan nasi juga bermanfaat bagi tubuh subjek. Setelah beberapa saat dan subjek sudah terlihat lebih santai dan mau berbicara seperti biasa, peneliti mengambil beberapa butir nasi dan menunjukkan pada subjek. Sebelum menunjukkan pada subjek, peneliti bertanya apa beda nasi dan ulat yang telah peneliti terangkan di sesi sebelumnya. Subjek berusaha mengingat dan mengatakan kalau nasi tidak bergerak dan ulat bergerak. Dengan mengingat materi yang diberikan diharapkan dapat mengubah kepercayaan irasional subjek.


(63)

“kalau....nasi tidak bisa bergerak...kalau...ulat...bergerak.” (S.W4/b.35-36/hal.12)

Peneliti menunjukkan sebutir nasi di atas meja yang berjarak kurang lebih satu setengah meter dari tempat subjek duduk, dan memintanya untuk memperhatikan nasi tersebut, apakah nasi tersebut bergerak atau tidak. Setelah beberapa saat melihat nasi tersebut subjek mengatakan kalau nasi itu tidak bergerak.

“...ga bergerak...” (S.W4/b.42/hal.12)

Pada langkah ketiga ini, subjek masih terlihat ragu-ragu untuk mengubah kepercayaan irasionalnya, maka peneliti memutuskan untuk menambah satu pertemuan lagi. Pertemuan selanjutnya, peneliti kembali menghidangkan nasi dihadapan subjek. Kali ini subjek tidak lari, tetapi duduk menyandar dan melihat piring-piring yang ada dihadapannya satu persatu. Setelah menunggu beberapa saat, peneliti meminta subjek untuk makan. Subjek terlihat ragu-ragu dan setelah beberapa lama, subjek hanya memegang ayam goreng dan memakannya sedikit. Peneliti bertanya pada subjek kenapa hanya memakan ayam goreng dan tidak makan dengan nasi. Subjek tidak menjawab pertanyaan peneliti, ia hanya diam saja, sehingga peneliti menjelaskan kembali dampak positif dan negatif dari makan nasi serta perbedaan nasi dan ulat. Setelah mengingatkan subjek, peneliti bertanya apakah Aan masih merasa nasi adalah ulat. Subjek hanya diam dan bilang ‘ngeri’ dengan suara lirih, hal ini merupakan kepercayaan irasional subjek.

“(diam sesaat) ngeri...(suara lirih)” (S.W5/b.20/hal.13)


(1)

Tanggal : 12 Juli 2011 Jam : 13.00-14.10 WIB Tempat : Di rumah subjek Koding : S = Subjek

W8 = Wawancara pertemuan 8 b = Baris

IR = Peneliti IE = Subjek

IE2 = Sepupu subjek IE3 = Kakak subjek Br

B

= Kepercayaan rasional ir = Kepercayaan irasional

S.W8.12 Juli 2011, 13.00-14.10 WIB, di rumah subjek

b Verbatim Wawancara Koding

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

IR: Aan masih inget ga, kemaren kita belajar apa? IE: (diam saja)

IR: Aan masih inget ga manfaat nasi? IE: ...biar tetap sehat, ga lemes... IR: Trus kalau beda nasi dengan ulat apa? IE: e...ulat bergerak, nasi ga...

IR: Kalau kita main kayak kemaren mau ga? IE: ... (senyum) Aan ga lapar...

IR: lho kok ga laper, kan ini dah siang. Kan ga pa pa makan nasi, kayak Nanda ma Ayu tu (nunjuk kakak dan sepupunya)

IE: (diam saja)

IR: Ya, kita main ya... IE: (diam saja)

IR: (menghidangkan nasi dan lauknya) Kita makan yuk!

IE: ...

IR: Ntar kalau Aan makan nasi, kita jajan deh...atau Aan mau main game?

IE: e...mau la main game...

IR: Ntar boleh deh main game tapi makan dulu ya? IE: ... (ragu-ragu) ya...

IR: Nah gitu donk, sekarang ayo diambil nasinya...


(2)

27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65

pernah pegang, ga pa pa kan.

IE: (mengangguk dan pelan-pelan menggerakkan tangannya ke piring dan memegang nasi) IR: (setelah Aan memegang nasi) nah gitu donk,

sekarang ayo dimasukkan ke mulut... IE: (diam saja dan hanya memandangi nasi

ditangannya)

IR: Kenapa? Ayo donk dimakan! IE: (diam saja)

IR: Ayo donk, nasikan baik buat tubuh kita. Biar kuat ntar kita main yang lain, ya...

IE: (diam saja)

IR: Ayo Aan, ayo Aan...ga pa pa kok, ayo... IE: (setelah beberapa saat) kalau udah dimakan,

boleh main game ya?

IR: Kalau Aan mau makan nasi yang Aan pegang, nanti boleh deh main game.

IE: (melihat nasi yang dipegang kemudian melihat kakak dan sepupunya yang sedang makan) IR: Ayo donk...

IE: (menggerakkan tangannya perlahan dan akhirnya memasukkan nasi kemulutnya. Wajah Aan terlihat pucat dan sambil menutup matanya) IR: (setelah Aan menelan makanannya) gimana apa

rasanya?

IE: ....nasi...tidak enak, nasinya ga enak.

IR: Ga enak? IE: (mengangguk)

IR: Enak donk...kan nasi baik buat tubuh kita. Lagian tu nasinya kurang enak karena Aan makannya ga pakai lauk sih. Nah sekarang coba deh makan pake ayamnya!

IE: (menggeleng)

IR: Ayo donk dicoba... IE: ga mau...

IR: Ya udah deh lain kali aja ya... IE: Mau main game...

IR: Ya, nih... Boleh main karena Aan tadi dah mau pegang dan makan nasinya.

Aan mau memegang nasi (Br)

Aan mau makan nasi yang ia pegang (Br)

Aan tidak suka rasa nasi (Bir)


(3)

Tanggal : 13 Juli 2011 Jam : 13.20-14.45 WIB Tempat : Di rumah subjek Koding : S = Subjek

W9 = Wawancara pertemuan 9 b = Baris

IR = Peneliti IE = Subjek

IE2 = Sepupu subjek IE3 = Kakak subjek

Br = Kepercayaan rasional

S.W9.13 Juli 2011, 13.20-14.45 WIB, di rumah subjek

b Verbatim Wawancara Koding

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

IR: Kemaren dah dikasi tau kan manfaat nasi apa trus beda nasi dengan ulat, dah ngerti belum?

IE: (mengangguk)

IR: Apa ayo manfaat nasi dan bedanya dengan ulat?

IE: manfaat nasi...buat kita sehat,...cepat

besar. Nasi ga bergerak, kalau ulat bergerak.

IR: Trus kalau melihat nasi masih ngeri ga? IE: (diam dan menunduk)

IR: Kalau melihat nasi masih merasa ngeri ga? IE: ...ga...nasi ga ngeri...

IR: Trus nanti mau ga makan nasi kayak mamak, kakak, ayah?

IE: (diam saja)

IR: lho kok ga dijawab, mau ga?

IE: ya...mau makan...nasi.

IR: Bener ya...

Ya udah, yuk kita main lagi yuk... main kayak kemaren ya...

IE2, IE3: Ayo...(serentak)

IR: Ayo anak-anakku bangun dah pagi ni, ntar terlambat ke sekolah, ayo....ayo....

(setelah anak bangun dan mandi) ayo anak-anak sarapan dulu sebelum pergi ke sekolah. IE2: Ok deh bu...

IE3: Makan apa ni kita?

IR: Ni tadi ibu masakkan nasi goreng kesukaan

Aan ingat manfaat nasi dan bedanya dengan ulat (Br)

Aan tidak merasa ngeri melihat nasi (Br)

Aan mau makan nasi (Br)


(4)

28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61

IE3: wah...pasti enak...

IR: Ayo Aan duduk disini (menunjuk kursi) IE: ... (ragu-ragu) ya...

IR: Nah gitu donk, sekarang ayo diambil nasinya...

IE: (diam saja)

IR: Ayo donk Aan dimakan...biar nanti di sekolah belajarnya ga ngantuk dan ga lemes.

IE: (pelan-pelan mengambil lauk yang ada dimeja) IR: Lho nasinya kok ga dimakan?

IE: (diam saja)

IR: Kemaren kan Aan dan pegang dan makan nasi. ga pa pa kan kemaren makan nasinya. Sekarang makan lagi yuk... ayuk ambil nasinya! IE: (pelan-pelan mengambil nasi lalu melihatnya

beberapa saat barulah dimasukkan ke mulut) IR: (setelah Aan menelan nasi) tuh kan ga pa pa...

sekarang makannya pakai ayam goreng ya... IE: (diam saja)

IR: Ayo donk, potong ayamnya taruh di atas nasinya trus dimakan deh...

IE: (memotong ayam dan meletakkannya di atas nasi lalu dilihat saja)

IR: Ayo donk Aan, ayo Aan...ga pa pa kok, ayo...

IE: (setelah beberapa saat, nasi dipegang dan dimasukkan ke mulut)

IR: Nah gitu donk, pinter...ga terjadi apa-apa kan...semuanya baik-baik aja kan... IE: (mengangguk)

IR: Nah karena sudah mau makan nasi, Aan dapat cokelat deh. Nih...(nyerahin cokelat)

IE: Mau main game...

IR: Ya deh...main game juga boleh.

Aan memegang dan memakan nasi (Br)

Aan mau makan nasi dengan lauk (Br)


(5)

Tanggal : 14 Juli 2011 Jam : 13.15-13.55 WIB Tempat : Di rumah subjek Koding : S = Subjek

W10 = Wawancara pertemuan 10 b = Baris

IR = Peneliti IE = Subjek

IE2 = Sepupu subjek IE3 = Kakak subjek

Br = Kepercayaan rasional

S.W10.14 Juli 2011, 13.15-13.55 WIB, di rumah subjek

b Verbatim Wawancara Koding

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

IR: Nah Aan masih inget ga, kemaren Aan dah mau makan nasi?

IE: (mengangguk)

IR: Ga pa pa kan makan nasi itu? IE: ...iya...

IR: Nah Aan mau ga terus makan nasinya, jangan hanya kemaren aja, mau ga?

IE: (diam dan tersenyum)

IR: Mau ga, terus-terusan makan nasi? IE: ... (diam saja)

IR: kan nasi itu baik lho buat kita. Ntar kalau makan nasi terus kita jarang sakit, jadi jarang minum obat yang pahit deh. Trus kalau main ga sering jatuh, juga bisa tambah pinter lho...

IE: (diam saja)

IR: lagian ya...nasi beda sama ulat. Nasi itu makanan yang sehat dan enak kalau dimakan. Kalau ulat memang bukan untuk dimakan dan dia juga bergerak, kalau nasi kan ga bergerak ya? IE: (mengangguk)

IR: Aan kan juga dah membuktikannya sendiri kemaren. Aan pegang nasinya, ga bergerakkan? IE: (mengangguk)

IR: Nah tu kan nasi beda dengan ulat. Trus Aan juga dah makan nasinya kemaren, terjadi sesuatu ga? IE: ...ga...


(6)

28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52

sampai seterusnya deh.

IE: ... (ragu-ragu) ya...(pelan)

IR: Mau ga? IE:...iya...

IR: Nah gitu donk, pinter deh kalo gitu. Apalagi kalau dah sering makan nasi, pasti tambah pinter. IE: (diam dan senyum)

IR: Ntar Aan kalau ga mau makan nasi lagi harus cerita-cerita sama mamak atau sama ayah ya! Kasi tau kenapa Aan ga mau makan nasinya, ok! IE: ...Ok

IR: Ntar kan kalau Aan ngomong, ayah sama mamak jadi tau deh kenapa Aan ga mau makan, jadi bisa ngebantu Aan supaya mau makan nasi lagi, ya...

IE: ...iya...

IR: Ya udah kalau gitu, terus ya makan nasinya kayak kemaren, janji...

IE: (mengangguk) IR: janji ga? IE: ....iya (senyum)

IR: Ok deh kalau gitu, makasi ya mau kak ajak main selama ini. Sekarang kak harus pulang dulu ya, ntar besok-besok kak datang lagi. Ok... IE: (mengangguk dan senyum)

Aan mau berjanji untuk makan nasi seterusnya (Br)