Hasil Uji Patogenitas Jamur Air Terhadap Ikan Nila

dinding sel jamur adalah kitin, sehingga enzim kitinase dapat menghidrolisis kitin pada dinding sel jamur Quecine et al., 2008. Walaupun kitin sangat sedikit pada jamur air, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat gen-gen kitin sintase pada jamur air. Menurut Fevre et al. 1997 bahwa hasil sequence gen penyandi kitinase dari Saprolegnia monoica memiliki kemiripan yang sama dengan hasil jamur air lain yaitu Achlya ambisexualis dan Phytophthora capsici, ini mengindikasikan bahwa sistem sintesis kitin tersebar luas pada kelas organisme jamur air tersebut, dan Guerreiro et al. 2010 menyatakan kitin merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembentukan struktur ujung hifa, maka dari itu bakteri antagonis yang memiliki kemampuan kitinolitik dapat digunakan sebagai calon agen pengendali hayati terhadap jamur air patogen.

4.5 Hasil Uji Patogenitas Jamur Air Terhadap Ikan Nila

Pada dasarnya untuk melakukan infeksi Saprolegnia dalam skala laboratorium memiliki kesulitan agar dapat menghasilkan tingkat infeksi dan kematian yang tinggi karena dipengaruhi beberapa faktor, seperti suhu, pH dan aerasi. Saprolegniosis dapat terjadi pada ikan karena pengaruh faktor lingkungan, inang dan patogen. Menurut Meyer 1991 infeksi yang disebabkan oleh Saprolegnia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang dapat membuat ikan stress, seperti kualitas aerasi yang rendah, luka yang disebabkan oleh bakteri, dan patogen lain, serta kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Berdasarkan hasil uji patogenitas jamur air yang didapat terhadap ikan nila, menunjukkan bahwa Saprolegnia sp. memiliki tingkat patogenitas yang paling tinggi dibandingkan dengan Aphanomyces sp. dan L01. Tingkat patogenitas Saprolegnia sp. mencapai 90, sedangkan untuk Aphanomyces sp 50 dan L01 50 untuk ikan nila yang mati dan juga terinfeksi, sedangkan untuk kontrol 100 sehat. Hal ini menunjukkan bahwa Saprolegnia sp. mempunyai tingkat patogenitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua isolat lain, dan sangat patogen bila terdapat di perairan baik di kolam budidaya dan juga perairan tawar yang bebas. Menurut Fugelstad 2008 penyakit yang disebabkan oleh kelompok Saprolegnia disebut Saprolegniosis. Universitas Sumatera Utara Tingkat patogenitas Saprolegnia sp. yang mencapai 90 pada perlakuan, dibagi menjadi dua yaitu 65 tingkat kematian dan 25 terinfeksi, begitu juga halnya dengan Aphanomyces sp 30 tingkat kematian dan 20 terinfeksi dan L01 30 tingkat kematian dan 20 terinfeksi Gambar 4.5.1. Hasil Penelitian memperlihatkan bahwa tingginya tingkat patogenitas Saprolegnia sp dibandingkan dengan dua isolat lain menegaskan bahwa isolat Saprolegnia yang diperoleh dari ikan nila bersifat patogen terhadap ikan nila. Gambar 4.5.1 Persentase Tingkat Uji Patogenitas Jamur Air Pada Ikan Nila Penyakit saprolegniosis yang menyerang ikan memiliki bentuk seperti benang halus dan berwarna putih atau kadang kecoklatan, menonjol, dan bundar penyebarannya di seluruh permukaan tubuh dengan perluasan yang melingkar sampai perbatasan luka, biasanya menyerang organ tubuh seperti kepala, tutup insang, sirip ekor, sirip punggung dan anal Noga, 1993. Pada beberapa kasus dapat mencapai 80 permukaan tubuh ditutupi. Pada infeksi awal, luka kulit berwarna coklat atau putih, yang dapat berkembang dengan cepat dan menyebabkan kerusakan bagian epidermis. Kelesuan dan kehilangan keseimbangan merupakan proses dari infeksi yang terjadi, dan membuat ikan lebih mudah untuk dimangsa dan mati Wiloughby, 1989. Hal ini dapat memberikan kerugian ekonomi yang besar terhadap para petani ikan dan juga dapat mengurangi devisa negara dengan berkurangnya hasil ekspor pada sektor perikanan. 20 20 25 30 30 65 100 50 50 10 20 40 60 80 100 120 Kontrol Lsp01 Aphanomyces sp. Saprolegnia sp. Terinfeksi Mati Sehat 20 20 25 30 30 65 100 50 50 10 20 40 60 80 100 120 Kontrol L01 Aphanomyces sp. Saprolegnia sp. P e r se n tas e Terinfeksi Mati Sehat Universitas Sumatera Utara Saprolegnia sp. dapat menyebabkan penyakit saprolegniosis pada beberapa bagian ikan, berdasarkan hasil uji patogenitas menunjukkan bahwa bagian ikan yang terinfeksi terdapat pada sirip punggung, dada, perut, anal dan ekor. Selain itu terdapat juga pada bagian insang, mata dan menutupi seluruh tubuh yang dapat menyebabkan kematian pada ikan. Pergerakan ikan juga cenderung melemah dan hanya bergerak lambat di bagian pinggir akuarium serta tidak seimbang. Hal ini dapat terjadi karena Saprolegnia sp. menghasilkan zoospora yang merupakan fase aseksual. Zoospora yang menempel pada bagian epidermis ikan adalah zoospora sekunder. Bruno Wood 1999 menyatakan bahwa kelompok patogen saprolegniaceae mungkin menempel pada organ yang utama dan semakin lama dapat menyebabkan dermakitokosis atau mikosis dermamikosis. Lepasnya sisik, mukus pada ikan merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan Saprolegnia Wiloughby et al., 1983. Zoospora yang berasal dari Saprolegnia lebih cepat menempel pada ikan yang hidup dan bertahan lebih lama dibandingkan yang mati, ini mengindikasikan bahwa patogen ini dapat beradaptasi dan bertahan lebih baik pada inang yang hidup Wood et al., 1988. Selain itu juga pada Saprolegnia mungkin juga menggunakan aktivitas enzimatik dalam virulensi dan penyerangan inangnya Smith et al., 1994 begitu juga dengan Kitancharoen Hatai menyatakan 1996 bahwa isolat Saprolegnia yang berasal dari telur Salmon menunjukkan adanya kemungkinan aktivitas enzimatik yang berkonstribusi dalam tingkat parasit terhadap inangnya. Peduzzi Bizzozero 1977 melaporkan bahwa thallus yang berasal dari strain patogen Saprolegnia menghasilkan aktivitas enzim seperti chymotrypsin dan menegaskan bahwa aktvitas enzim ini mengambil peranan penting dalam faktor patogenesis Saprolegnia. Penelitian yang telah dilakukan oleh Wiloughby and Pickering 1977 menegaskan bahwa zoospora sekunder hasil dari germinasi zoopora primer merupakan zoospora yang motil dan bergerak bebas lalu kemudian bergeminasi, zoospora skunder merupakan spora yang siap menempel pada epidermis dan dapat menembus jaringan ikan. Berdasarkan histopatologi bagian yang menjadi target utama infeksi adalah kulit dan dasar dari sistem otot, karenanya infeksi ini dapat menyebabkan kerusakan yang cepat pada bagian epidermis dan kemungkinan secara langsung dapat menyebabkan kematian pada ikan karena melemahkan dan Universitas Sumatera Utara mengganggu osmoregulasi atau sistem pernapasan Hatai Hussein, 2002;Hatai Hoshiai, 1992. Dalam penelitian ini dilakukan juga reisolasi untuk memastikan jamur patogen yang dimasukkan. Ikan yang mati atau terserang jamur dimasukkan ke dalam petridish steril, lalu dipotong bagian yang terserang jamur, ditanam pada media SDA dan diamati penampakan morfologi. Berdasarkan hasil reisolasi menunjukkan bahwa isolat yang dimasukkan sama dengan hasil reisolasi dan menyebabkan infeksi serta kematian pada ikan uji. Gambar 4.5.2 Hasil Uji Patogenitas Bagian Ikan Nila Yang Terserang Jamur Air A Mata, B Seluruh Tubuh, C Insang. 4.6 Hasil Evaluasi Efek Bakteri terhadap Saprolegnia sp. secara in vivo Hasil uji in vitro dan patogenitas yang telah dilakukan sebelumnya memberikan informasi isolat bakteri antagonis dan jamur air yang digunakan pada tahap selanjutnya yaitu uji in vivo. Berdasarkan hasil tersebut isolat bakteri yang digunakan adalah bakteri dengan kode Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 sedangkan jamur air yang digunakan adalah Saprolegnia sp. selain itu juga pada penelitian ini untuk melihat apakah bakteri yang digunakan patogen pada ikan nila atau tidak, dilakukan uji patogenitas bakteri dengan perlakuan kontrol + yaitu penambahan isolat bakteri dengan ikan nila. Isolat bakteri diinokulasikan ke dalam aquarium yang berisi ikan nila, dibiarkan selama 48 jam, kemudian dimasukkan suspensi zoospora Saprolegnia sp. diamati selama 10 hari tingkat kematian, tingkat terinfeksi dan tidak terinfeksi sehat. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan diperoleh bahwa isolat bakteri yang digunakan yaitu Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dapat mengurangi tingkat infeksi dan kematian yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. berturut-turut sebesar 86 dan 84 sampai pada akhir pengamatan. Hasil uji evaluasi efek bakteri terhadap Saprolegnia sp. dapat kita lihat pada gambar 4.6.1. Gambar 4.6.1 Persentase Uji Evaluasi Efek Bakteri Antagonis Terhadap Saprolegnia sp. Hasil dari Gambar 4.6.1 dapat dilihat bahwa persentase tingkat tidak terinfeksi oleh Saprolegnia sp. dapat meningkat sampai dengan 86 dan 84 sementara untuk kontrol negatif yang tidak diberikan Saprolegnia sp. dan bakteri uji dapat bertahan hidup sampai pengamatan terakhir dengan presentase 100. Bakteri yang digunakan pada penelitian ini untuk mengendalikan mencegah infeksi Saprolegnia sp. pada ikan nila adalah Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dan hasilnya menunjukkan peningkatan pengurangan jumlah terhadap ikan nila yang mati dan terinfeksi. Pada uji tingkat penyerangan sebelumnya tingkat kematian dan terinfeksi mencapai 90 dan 6 2 25 4 4 8 14 65 100 96 96 86 84 10 20 40 60 80 100 120 P e r se n tas e Perlakuan Terinfeksi Mati Sehat Universitas Sumatera Utara setelah diberikan perlakuan dengan bakteri uji, dapat meningkatkan ikan yang sehat sampai pada akhir pengamatan mencapai 86 dan 84. Pengendalian saprolegniosis telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan menggunakan bakteri antagonis. Saat ini terus dikembangkan bagaimana cara yang aman untuk mengendalikan sapolegniosis yang tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan dan juga tidak berbahaya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Osman et al., 2008 yang melaporkan bahwa bakteri Non Pathogenic Aeromonas Strain NPAS dapat mengurangi saprolegniosis pada ikan nila, NPAS merupakan agen antagonis yang aktif dalam melawan pertumbuhan Saprolegnia. Keberadaannya menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan Saprolegnia. Menurut Hussein Hatai 2001 kandidat lain yang dimiliki oleh NPAS dalam menghambat Saprolegnia secara aktif dengan memproduksi enzim selulase. Hatai Wiloughby 1988 melihat bahwa Pseduomonas fluorescens yang diiolasi dari rainbow trout dapat menghambat pertumbuhan S. parasitica melalui antibiotik yang dihasilkan oleh P. fluorescens. Selain itu Bly et al. 1997 telah melakukan percobaan penghambatan Saprolegnia dengan menggunakan Pseudomonas fluorescens. Berdasarkan hasil yang diperolehnya P. fluorescens dapat menghambat waktu germinasi yang diperlukan oleh Saprolegnia. Bakteri ini menempel dan dapat hidup bersimbiosis pada mukus yang ada pada ikan, itu memungkinkan ikan dapat dilindungi dari infeksi mikroorganisme lain seperti Saprolegnia. Mereka juga menyatakan bahwa penghambatan Saprolegnia dengan menggunakan bakteri bukan hanya berhubungnan dengan hasil sekresi yang dihasilkan tetapi juga lebih kepada kompetisi terhadap ruang dan nutrisi. Pada penelitian ini digunakan bakteri Enterobacter PB17 dan Bacillus BK17 sebagai penghambat pertumbuhan Saprolegnia secara in vivo. Berdasarkan hasil yang didapat bahwa kedua bakteri ini mampu mengurangi tingkat infeksi dan kematian yang disebabkan oleh Saprolegnia. Kemampuan bakteri dapat menghambat pertumbuhan Saprolegnia tidak lepas dari adanya kemampuan bakteri melekat pada sisik dan mukus ikan, juga dapat menghasilkan enzim hidrolitik seperti glukanase dan kitinase yang dapat melisis bagian penyusun dinding sel yang terdapat pada Universitas Sumatera Utara Saprolegnia. Kitin yang sangat sedikit menyusun dinding sel pada Oomycetes merupakan bagian yang sangat penting dalam pembentukan ujung hifa sehingga apabila mengalami lisis dapat menyebabkan pertumbuhan yang tidak normal atau bahkan mati. Guerriero et al. 2010 menyatakan bahwa gen kitinase yang terdapat pada proses pembentukan ujung hifa dapat dijadikan sebagai target yang utama untuk melisis dinding sel jamur Oomycetes. Sehingga kitinase dan glukanase yang diproduksi oleh kedua bakteri dapat menghambat dan mengendalikan pertumbuhan Saprolegnia. Disamping itu bakteri yang dapat berasosiasi dengan mukus ikan dan juga hidup pada saluran pencernaan dengan memberikan suplemen makanan dapat dijadikan sebagai probiotik. Verstraete et al. 2000 menyatakan bahwa bakteri secara in vivo dapat memproduksi siderofore atau senyawa penghambat dalam jumlah yang cukup pada kondisi yang berpengaruh di usus. Ia juga menyatakan bahwa kemungkinan yang dilakukan oleh bakteri dalam menghambat pertumbuhan patogen yaitu memproduksi senyawa penghambat, kompetisi senyawa kimia dan energi yang tersedia, situs perlekatan dan meningkatkan respons imunitas. Menurut Austin 2002 jumlah dan tipe bakteri yang berasosiasi dengan ikan yang sehat sangat bervariasi. Bakteri ini berperan sangat penting seperti, memproduksi polimer yang mencegah terjadi pergesekan serta memecah molekul kompleks seperti pati, selulosa, kolagen, kitin, fosfolipid dan protein.

4.7 Hasil Uji Perlekatan Bakteri Antagonistik Pada Ikan Nila