Kitin dan Bakteri Kitinolitik

Saprolegnia sp. sudah banyak dilaporkan sebagai patogen pada ikan dan telur. Saprolegnia terdapat terutama di tanah yang lembab dan air tawar, bersifat sebagai saprofit pada sisa tanaman dan juga hewan. Beberapa spesies seperti S. parasitica dan S. polymorpha menyebabkan penyakit pada ikan dan juga telurnya Webster and Weber, 2007. Saprolegnia yang menyerang ikan jarang menembus sampai ke dalam jaringan otot, melainkan menyebar di seluruh permukaan tubuh. Saprolegnia yang menyerang ikan memiliki bentuk seperti benang halus dan berwarna putih atau kadang kecoklatan, menonjol, dan bundar penyebarannya di seluruh permukaan tubuh dengan perluasan yang melingkar sampai perbatasan luka, biasanya menyerang organ tubuh seperti kepala, tutup insang, sirip ekor, sirip punggung dan anal Noga, 1993. Infeksi yang disebabkan oleh Saprolegnia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang dapat membuat ikan stress, seperti kualitas aerasi yang rendah, luka yang disebabkan oleh bakteri, dan petogen lain, serta kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan Meyer, 1991.

2.5 Kitin dan Bakteri Kitinolitik

Kitin adalah salah satu polisakarida yang sangat penting yang terdapat di bumi, merupakan komponen utama penyusun eksoskleton pada serangga, berbentuk homobiopolymers yang merupakan rantai lurus tidak bercabang dari β-D-glukosamin Brzezinska, 2009. Kitin merupakan polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa, zat padat yang tidak larut dalam air Cabib, 1987. Kitin memiliki struktur yang mirip selulosa, karena keduanya memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air serta mengalami biodegradasi melalui mekanisme yang hampir serupa dengan melibatkan kompleks enzim Rostinawati, 2008. Kitin tesebar banyak di alam dan dapat dijumpai pada alga terutama pada kelompok diatom Thalassiosira fluivitas, kelompok arthropoda yang merupakan penyusun utama bagian eksoskleton, nematoda, krustaea, molluska, protozoa pada beberapa ciliata, amoeba, dan penyusun utama dinding sel fungi 22-40 Lorito et al., 1993; Gohel et al., 2006. Pada dasarnya sumber kitin terbanyak diperoleh dari kelas krustaea seperti udang dan kepiting. Sebagian limbah udang yang dihasilkan Universitas Sumatera Utara oleh pengusaha pengolahan udang berasal dari kepala kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein 25-40, kitin 15-20, dan kalsium karbonat 45-50 Muzzarelli, 1985. Pada jamur oomycetes kadar kitin sangat sedikit jumlahnya pada dinding sel tidak mencapai lebih dari 0,5, akan tetapi kitin sangat berperan penting dalam membentuk struktur pertumbuhan ujung hifa pada oomycetes, yang merupakan proses yang sangat vital pada mikroorganisme tersebut Guerreiro et al., 2010. Kitin dapat dihidrolisis dengan enzim endokitnase dan eksokitinase. Degradasi kitin dan penggunaan kembali kitin adalah suatu proses yang utama serta sangat penting dalam terjadinya siklus karbon dan nitrogen. Proses ini merupakan proses yang sangat penting dan terjadi dengan cara mikrobiologis, karena mikroorganisme dapat menggunakan kitin sebagai satu-satunya sumber karbon Brzenzinska, 2009. Beberapa genus mikroorganisme dilaporkan dapat menghidolisis kitin yaitu, Achromobacter, Bacillus, Chromobacterium, Peseudomonas, Vibrio, Enterobacter, Aeromonas, Donderski and Brzenzinska, 2001, Xanthomonas, Serratia, Trihoderma Gohel et al., 2006, Streptomyces Quecine et al., 2008. Meskipun jumlah kitin tidak melebihi dari 0,5, namun kitin sangat penting dalam pembentukan struktur ujung hifa, yang merupakan proses yang sangat vital pada mikoorganisme tersebut. Menurut Fevre et al. 1997 bahwa hasil sequence gen penyandi kitinase dari S. monoica memiliki kemiripan yang sama dengan hasil jamur air lain yaitu Achlya ambisexualis dan Phytophthora capsici, ini mengindikasikan bahwa sistem sintesis kitin tersebar luas pada kelas organisme jamur air tersebut sehingga bakteri kitinolitik dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati pada jamur ini. Dalam beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa berbagai jenis bakteri antagonistik dapat menghambat pertumbuhan jamur Saprolegnia seperti Pseudomonas fluorescens Bly et al., 1997, Aeromonas Osman et al., 2008, Alteromonas Hatai et al., 2001, Serratia marcescens Zhang, et al., 2008. Saat ini banyak usaha yang dilakukan oleh para peneliti untuk menggunakan agen pengendali hayati seperti bakteri dan jamur, karena penggunaan bahan kimia dapat merusak lingkungan dan membahayakan organisme lain termasuk kesehatan Universitas Sumatera Utara manusia Herrera et al., 1999 salah satunya dengan menggunakan bakteri kitinase. Bakteri kitinolitik sudah diketahui secara luas dapat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan jamur dan lebih dari itu, digunakan sebagai alat untuk mengontrol penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur Quecine et al., 2008. Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroorganisme tersebut dalam menghasilkan kitinase dan β-1,3 glukanase yang dapat melisis sel jamur El-Katatny et al., 2000. Hal ini disebabkan karena salah satu penyusun dinding sel jamur adalah kitin, sehingga enzim kitinase dapat menghidrolisis kitin pada dinding sel jamur Quecine et al., 2008. Universitas Sumatera Utara BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat