Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kabupaten Karo
(
Studi Kasus di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binangan Kabupaten Karo)S K R I P S I
Diajukan oleh :
TERANGTA TARIGAN
100901023
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan
(2)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “ Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kabupaten Karo”, disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini mendeskripsikan keberadaan pemeluk serta penerapan nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena pada masyarakat Karo yang ada di Desa Pergendangen.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayah saya Ula Lupa Tarigan, SE dan Ibu saya Nusuni br Ginting yang telah melahirkan dan membesarkan serta mendidik saya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Akhirnya inilah persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:
(3)
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Rasa hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan dengan kata-kata kepada Ibu Dra. Linda Elida, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik, yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan sampai pada perbaikan judul skripsi ini.
3. Rasa hormat dan terimakasih yang sedalam - dalamnya saya ucapkan kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi dan juga sebagai pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam penulisan skripsi ini.
4. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, Kak Betty, serta Syarifah yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.
5. Ucapan terima kasih yang sangat dalam juga saya ucapkan kepada Abang saya Markoni Tarigan serta Adik saya Rina Sri Ulina br Tarigan yang telah mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya kepada saya, selalu memberikan doa dan nasehat, dan mendidik saya serta dukungan moril maupun materil kepada saya selama perkuliahan.
6. Secara khusus juga saya ucapkan terima kasih kepada Inggit Astuti br Sembiring yang telah banyak memberi motivasi bagi saya dalam menjalani masa perkuliahan serta selalu mendukung saya dalam mengerjakan skripsi ini. 7. Terima kasih kepada kakak senior yang telah banyak membantu saya dalam masa perkulihan hingga pada penyelesaian skripsi ini, Kak Lia, Kak Beben,
(4)
Kak Ninta, Kak Irma dan terkhusus pada Bang Salmen Sembiring, S.Sos yang selalu menjadi partner diskusi saya.
8. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman satu perjuangan dalam tim futsal GMS yang telah banyak memberi saya pengalaman berharga, ada Udin, Rifqi, Syurman, Ribel, Lambok, Wensdy, dan Cikwank. Semangat untuk tim kita dan semangat untuk skripsi kalian juga.
9. Terima kasih juga kepada kelompok Percut yang telah banyak menghabiskan waktu bersama saya selama ini, ada Ismi, Nurida, dan Andika. Semangat untuk usaha dan skripsi kalian juga.
10. Terima kasih yang besar saya ucapkan kepada teman-teman satu stambuk (2010) yang sudah saya anggap saudara saya sendiri, yang sudah menjalani masa-masa perkuliahan bersama-sama selama ini, ada Marlina, Hening, Hotsri, Santiur, Yulia, Yolanda, Evi, Sugianto, Defi dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu-satu.
11.Terima kasih juga untuk adik-adik junior yang telah banyak mendukung serta menemani saya dalam masa perkuliahan saya, ada Indah (012), Winda (013), Nael (011), dan Anita (012).
12.Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman serta saudara yang ada di IMKA “EGUANINTA” FISIP USU yang telah banyak berjuang bersama dalam memajukan adat dan budaya Karo, ada Agi, Endang, Joppy , Ginta, Iyan, Stepanus, Joel, Logika, Nomi, dan teman-teman lainyang tidak dapat saya sebutkan semua.
13.Terima kasih juga kepada teman lama saya yang selalu menemani saya selama ini, ada Suta Pratama dan Andrika Sembiring.
(5)
14.Terima kasih juga saya ucapkan kepada Aliansi Sumut Bersatu (ASB) yang telah mendukung saya dalam mengerjakan skripsi ini baik dari segi moril dan materil.
15.Para Informan yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi yang sangat dibutuhkan untuk penulisan skripsi ini. Ada Pak Alimta Ginting selaku kepala desa serta Istrinya Nande Adda yang telah mendampingi saya dalam melakukan penelitian, Pak Alinta Sembiring beserta keluarga yang juga banyak memberi saya informasi, Nande Iin selaku nenek saya yang juga rela memberi banyak informasi serta waktu kepada saya, saya ucapkan terima kasih atas kesediaan anda semua yang telah memberi banyak pengalaman berharga kepada saya.
Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Medan, 10 Juni 2014 (Penulis)
TERANGTA TARIGAN NIM: 1009023
(6)
ABSTRAK
Penulisan skripsi tentang “Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen” yang berada di Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo berawal dari ketertarikan penulis terhadap kepercayaan lokal masyarakat Karo yang saat ini keberadaannya terlihat tidak jelas. Padahal dahulu masyarakat Karo secara keseluruhan menganut aliran kepercayaan Pemena sebelum masuknya agama resmi ke Tanah Karo. Namun saat ini hampir tidak terlihat lagi pemeluk yang benar-benar mengakui dirinya sebagai penganut Pemena walaupun pada kenyataannya masih terdapat beberapa orang yang memang amsih memeluk aliran kepercayaan ini serta menjalankan nilai-nilainya. Jika dilihat dari data penduduk, hampir semua masyarakat Karo memang telah memeluk agama resmi di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka, namun pada kenyataannya di lapangan bahwa masih terdapat banyak yang memeluk aliran kepercayaan Pemena. Terlihat bahwa KTP hanya sebagai upaya penyembunyian identitas bagi pemeluk aliran kepercayaan Pemena yang masih sangat bermasalah dengan tidak adanya pengakuan terhadap kepercayaan mereka. Padahal kepercayaan Pemena merupakan manifestasi budaya asli masyarakat Karo. Sehingga keberadaan pemeluknya saat ini menjadi sebuah pertanyaan yang menarik melihat upaya mereka dalam mempertahankan nilai-nilai yang diyakini oleh mereka. Ditambah lagi bahwa penelitian terhadap aliran kepercayaan Pemena belum pernah dilakukan, dan penulis melihat banyak literatur tentang kepercayaan Pemena yang masih kurang tepat bahkan banyak yang salah. Sehingga hal ini menjadi sebuah ketertarikan yang luar biasa bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang kepercayaan Pemena ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo dan nilai-nilai serta norma kepercayaan Pemena yang masih ada dan dijalankan dalam masyarakat. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
(7)
Daftar Isi
Kata Pengantar ... i
Abstrak ... vi
Daftar Isi ... vii
Daftar Tabel ... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3Tujuan Penelitian ... 8
1.4Manfaat Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pandangan EmileDurkheim terhadap Kepercayaan Tradisional ... 10
2.2 Fungsi Agama Pada Masyarakat ... 12
2.3 Tipe-tipe Agama Berdasarkan Evolusinya ... 13
2.4 Nilai dan Norma ... 16
2.5 Status Sosial ... 20
2.6 Kepercayaan Tradisional di Indonesia ... 21
2.7 Kepercayaan Pemena di Tanah Karo ... 24
2.8 Definisi Konsep ... 29
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 32
(8)
3.3 Unit Analisis dan Informan ... 33
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 33
3.5 Interpretasi Data ... 35
3.6 Jadwal Pelaksanaan ... 36
3.7 Keterbatasan Penelitian ... 36
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA 4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian ... 38
4.2 Profil Informan ... 45
4.3 Aliran Kepercayaan Pemena dan Pemeluknya di Desa Pergendangen ... 67
4.4 Aliran Kepercayaan Pemena sebagai Nilai yang Mempersatukan Masyarakat di Desa Pergendangen ... 78
4.5 Adanya Dualisme Kepercayaan dan Penyembunyian Identitas ... 83
4.6 Keberadaan Pemeluk Aliran Kepercayaan Pemena ... 92
4.7 Nilai dan Norma Aliran Kepercayaan Pemena ... 101
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 133
5.2 Saran ... 135
(9)
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 42 Tabel 1.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 42 Tabel 1.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 43
(10)
ABSTRAK
Penulisan skripsi tentang “Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen” yang berada di Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo berawal dari ketertarikan penulis terhadap kepercayaan lokal masyarakat Karo yang saat ini keberadaannya terlihat tidak jelas. Padahal dahulu masyarakat Karo secara keseluruhan menganut aliran kepercayaan Pemena sebelum masuknya agama resmi ke Tanah Karo. Namun saat ini hampir tidak terlihat lagi pemeluk yang benar-benar mengakui dirinya sebagai penganut Pemena walaupun pada kenyataannya masih terdapat beberapa orang yang memang amsih memeluk aliran kepercayaan ini serta menjalankan nilai-nilainya. Jika dilihat dari data penduduk, hampir semua masyarakat Karo memang telah memeluk agama resmi di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka, namun pada kenyataannya di lapangan bahwa masih terdapat banyak yang memeluk aliran kepercayaan Pemena. Terlihat bahwa KTP hanya sebagai upaya penyembunyian identitas bagi pemeluk aliran kepercayaan Pemena yang masih sangat bermasalah dengan tidak adanya pengakuan terhadap kepercayaan mereka. Padahal kepercayaan Pemena merupakan manifestasi budaya asli masyarakat Karo. Sehingga keberadaan pemeluknya saat ini menjadi sebuah pertanyaan yang menarik melihat upaya mereka dalam mempertahankan nilai-nilai yang diyakini oleh mereka. Ditambah lagi bahwa penelitian terhadap aliran kepercayaan Pemena belum pernah dilakukan, dan penulis melihat banyak literatur tentang kepercayaan Pemena yang masih kurang tepat bahkan banyak yang salah. Sehingga hal ini menjadi sebuah ketertarikan yang luar biasa bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang kepercayaan Pemena ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo dan nilai-nilai serta norma kepercayaan Pemena yang masih ada dan dijalankan dalam masyarakat. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
(11)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah berkembang sejak masa silam. Tidak heran bahwa setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki aliran kepercayaan lokal seperti agama Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada Etnis Baduy di Kanekes (Banten), agama Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur di Kuningan, agama Parmalim, agama assli Batak Toba, agama Kaharingan di Kalimantan, Kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara, Tolottang di Sulawesi Selatan, Wetu Telu di Lombok, Naurus di Pulau Seram di Provinsi Maluku, dan sebagainya.
Masyarakat Karo juga memiliki kepercayaan tradisional yang merupakan agama lokal yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka yang dikenal dengan sebutan agama Pemena. Pemena ini juga sering disebut dengan Perbegu, namun istilah perbegu tidak begitu disukai oleh mereka karena saat ini, istilah itu dianggap sebagai pemuja setan karena istilah begu saat ini diartikan dengan setan atau roh jahat. Sehingga kepercayaan ini lebih halus maknanya jika disebut dengan Pemena, walaupun kata Pemena juga masih banyak disalahartikan dengan makna yang negatif. Ginting mengatakan bahwa sejak jaman prehistoris, orang Karo hidup dalam agama Pemena. Suku Karo berusaha menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya melalui cara berhubungan seperti memanggil atau berseru kepada kuasa-kuasa atau kekuatan-kekuatan alam atau roh-roh, dengan tujuan
(12)
mendapatkan segala keperluan hidupnya. Kepercayaan adanya kekuatan supernatural adalah aspek penting yang mendasari kepercayaan Pemena. (
http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Master-333-015050021%20Bab%202.pdf diakses pada tanggal 30 Juli 2013 pukul 19:25 wib).
Keadaan kepercayaan tradisional saat ini termasuk juga kepercayaan Pemena di Tanah Karo terlihat terpuruk dengan hadirnya agama-agama modern ke Indonesia, ditambah dengan keadaan mereka yang tidak diakui oleh negara karena dianggap bukan sebuah agama yang resmi. Terlihat dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang melindungi kebebasan beragama, namun pada kenyataannya bahwa beberapa undang-undang dan peraturan justru membatasi kebebasan beragama. Meskipun pemerintah secara umum menghargai kebebasan enam agama yang diakui oleh negara, masih ada beberapa kemunduran dalam perlindungan hak kebebasan beragama selama ini. Pemerintah daerah memberlakukan pelarangan terhadap kelompok agama yang tidak diakui negara dan beberapa kelompok yang dianggap “sesat”. Anggota kelompok kepercayaan tradisional juga mengalami beberapa diskriminasi yang sifatnya resmi dalam proses pembuatan catatan sipil pernikahan, akte kelahiran dan kartu tanda penduduk. (http://jakarta.usembassy.gov/news/keyreports_irf-2011.html diakses pada tanggal 29 Juli 2013 pukul 23:30 wib).
Kepercayaan-kepercayaan tradisional juga telah mengalami dampak yang sangat berpengaruh terhadap esksistensi mereka sebagai agama lokal. Di mana hingga saat ini bahwa Menteri Konstitusi belum mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan dan Penistaan Agama, yang berakibat pada peniadaan keberadaan penganut agama tradisional.
(13)
Seperti dampaknya terhadap agama tradisional di Sulawesi Tengah bahwa ada ajaran yang digerebek karena dianggap menyebarkan ajaran sesat padahal mereka sedang melakukan ritual untuk penyembuhan.
(http://nasional.kompas.com/read/2010/04/19/19085744uupenistaanagama
diakses pada tanggal 30 juli 2013 pukul 00:05 wib).
Walaupun keberadaan kepercayaan tradisional masih tidak diakui di negara Indonesia, kepercayaan tradisional masih tetap terjaga dan memiliki umat walaupun terlihat dalam bentuk budaya. Demikian halnya dengan pemeluk kepercayaan Pemena di Tanah Karo, mereka masih memeluk aliran kepercayaan Pemena walaupun tidak terlihat dengan jelas keberadaan mereka. Saat ini bahwa pemeluk kepercayaan Pemena ini sudah sangat sulit diketahui keberadaannya dengan adanya identitas agama resmi yang mereka anut bahkan tidak ada data tentang status pemeluk kepercayaan Pemena ini. Seperti halnya bahwa identitas masyarakat Karo pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) telah menunjukkan hampir semuanya masyarakat Karo telah memiliki agama yang resmi dalam KTPnya. Seperti yang terdapat pada Ketetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 bahwa agama yang disahkan di negara Indonesia hanya enam agama besar. Sedangkan kepercayaan-kepercayaan diluar itu tidak diakui. Sehingga telah diwajibkan untuk membuat identitas di KTP dengan memiliki salah satu agama yang diakui oleh negara.
Masyarakat Karo yang dulunya pemeluk Pemena terlihat terpaksa untuk memilih agama resmi di KTP karena situasi dan kondisi sosial mereka. Hal ini terlihat pada zaman orde baru (zaman Soeharto) bahwa orang-orang yang tidak
(14)
memiliki agama resmi akan dianggap sebagai PKI dan akan dihukum oleh negara. Hal ini telah memberi dampak yang sangat jelas bagi masyarakat Karo untuk memilih agama resmi dan akhirnya berkembang sampai saat ini. Sehingga masyarakat juga telah terpengaruh dengan nilai-nilai yang ditanamkan pemerintah bahwa orang yang tidak beragama resmi itu merupakan kelompok orang yang salah dan akan mengalami kesulitan dalam berbagai urusan yang berhubungan dengan administrasi, bahkan bisa dikucilkan dalam masyarakat. Keadaan ini seakan menekan pemeluk aliran kepercayaan Pemena untuk memilih agama resmi, ada yang memang benar-benar berpindah agama dan ada juga yang masih tetap menjalankan kepercayaan Pemena walaupun jumlahnya sangat jauh berkurang dan keberadaannya juga sulit diketahui dalam masyarakat.
Pemeluk aliran kepercayaan Pemena juga semakin tertekan dengan banyaknya anggapan bahwa aliran kepercayaan ini sering disamakan dengan agama Hindu. Bahkan dibeberapa daerah, aliran kepercayaan Pemena digabungkan dengan agama Hindu Karo. Hal ini dilatarbelakangi karena agama Hindu dekat dengan suku Karo yang ditandai dengan banyaknya marga-marga suku Karo yang berdasarkan sejarahnya berasal dari India, seperti halnya marga Sembiring Brahmana, Keling, dan marga lainnya, ditambah lagi bahwa peradaban masyarakat Karo sangat erat kaitannya dengan India. Walaupun demikian, pada dasarnya aliran kepercayaan Pemena berbeda dengan agama Hindu, terlihat dari cara penyembahan, isi ajarannya serta apa yang mereka sembah. Namun kebanyakan pemeluk Pemena rela digolongkan sebagai agama Hindu agar identitas mereka sebagai pemeluk aliran kepercayaan Pemena tidak terlihat, dan mereka juga telah terpengaruhi akan persamaan Hindu dengan Pemena sehingga
(15)
Hindu yang ada di Tanah Karo merupakan agama Hindu Karo yang pada dasarnya juga terlihat berbeda dengan Hindu pada umumnya karena disesuaikan dengan budaya Karo dan aliran kepercayaan Pemena. Namun pembedaan secara jelas masih terlihat di Desa Pergendangen antara aliran kepercayaan Pemena dengan Hindu, dimana di Desa ini masih tetap menyebut kepercayaan mereka dengan sebutan kiniteken si ndekah (Pemena) dan bukan agama Hindu.
Dengan adanya penggolongan pemeluk aliran kepercayan Pemena ke dalam agama Hindu Karo, telah menunjukkan keberadaan aliran kepercayaan Pemena yang semakin tertekan keberadaannya. Terlihat upaya pemerintah walaupun secara tidak langsung seperti ingin menghilangkan identitas mereka sebagai pemeluk aliran kepercayaan Pemena. Penekanan terhadap aliran kepercayaan Pemena ini sangat terlihat jelas dampaknya, di mana jumlah pemeluk aliran kepercayaan Pemena terlihat semakin sedikit dan pemeluk aliran kepercayaan Pemena di beberapa daerah terlihat telah memilih bergabung dengan agama Hindu Karo, seperti daerah Sibolangit, daerah Tiga Binanga dan sekitarnya. Namun hal ini belum terjadi di desa Pergendangen, yang masih tetap membedakan aliran kepercayaan Pemena dengan agama Hindu.
Untuk jumlah pemeluk kepercayaan Pemena, saat ini tidak dapat diketahui karena tidak ada lembaga atau kementerian yang mengatur kepercayaan tradisional. Berbeda dengan agama Malim (Parmalim) pada masyarakat Batak toba yang sudah diakui sebagai sebuah kepercayaan dan telah mengalami pemugaran. Hal ini disebabkan bahwa agama Malim dianggap pemerintah memiliki nilai jual sebagai objek wisata sehingga mengalami pelestarian kembali. Walaupun demikian, agama Malim diatur oleh dinas Pariwisata dan bukan
(16)
kementerian yang berbau agama, dan hanya dianggap sebagai budaya bukan kepercayaan. Hal ini memberi kesan yang hanya bergantung pada keuntungan semata, di mana hanya aliran kepercayaan yang memiliki nilai jual saja yang mendapat perhatian dari pemerintah, yang tidak memiliki nilai jual tidak akan mendapat pengakuan walau hanya sebagai budaya.
Dilihat lagi dari pandangan ajaran agama resmi misalnya agama Islam dan Kristen Protestan yang mayoritas dianut masyarakat Karo, bahwa kepercayaan Pemena ini merupakan hal yang menyalahi ajaran agama atau sesat. Karena kepercayaan Pemena ini masih percaya pada hal-hal yang gaib seperti halnya roh-roh nenek moyang mereka yang berwujud benda-benda keramat yang mereka anggap memiliki kekuatan supranatural. Dengan kata lain bahwa Pemena ini memiliki bentuk kepercayaan yang animisme dan dinamisme yang sebenarnya telah bertentangan dengan ajaran agama modern saat ini. Sehingga menjadi tantangan tersendiri juga bagi pemeluk aliran kepercayaan Pemena dalam masyarakat. Ditambah lagi bahwa pemeluk aliran kepercayaan Pemena yang sering disebut Perbegu, sering disalahartikan dengan makna pemelihara hantu sehingga dalam masyarakat kelompok pemeluk aliran kepercayaan Pemena ini sering mendapat pandangan negatif dari masyarakat. Padahal Perbegu dalam hal ini bukan pemelihara hantu karena dari kata Begu, melainkan makna sebenarnya adalah pemuja roh bukan hantu. Karena Perbegu sangat bertolak belakang dengan
Perbegu Ganjang (Pemelihara Hantu Ganjang). Pemahaman masyarakat yang masih rendah akan hal inilah yang menyebabkan aliran kepercayaan Pemena ini semakin tersudutkan dalam masyarakat sehingga di beberapa tempat mereka terlihat terpaksa menyembunyikan identitas mereka.
(17)
Sangat banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pemeluk aliran kepercayaan Pemena, namun masih ada yang tetap bertahan dengan cara tetap menjalankan serta mempertahankan nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena dalam kehidupan mereka. Terlihat bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti Ndilo Udan
(Manggil Hujan), Mbesur-mbesuri, Ngaleng Tendi, Seluk, Perumah Nini, dan kebiasaan lainnya masih ada dijalankan dibeberapa daerah termasuk pada Desa Pergendangen. Hal ini tetap mereka pertahankan karena mereka mendapatkan nilai-nilai yang memang memiliki pengaruh kepada mereka. Dan tidak terlepas dari penerapan konsep kebebasan beragama yang masih belum jelas di Indonesia.
Dari berbagai tantangan yang dihadapi oleh pemeluk kepercayaan Pemena ini, baik pandangan negatif dari masyarakat yang bukan pemeluknya serta tantangan dari negara yang menyudutkan mereka. Sehingga keberadaan pemeluk aliran kepercayaan Pemena ini tidak begitu jelas dengan adanya upaya penyembunyian identitas. Menarik juga bahwa nilai-nilai kepercayaan Pemena ini masih banyak terdapat dan dijalankan pada masyarakat Karo. Hal inilah yang ingin diketahui oleh peneliti yang akan dilihat pada masyarakat pemeluk kepercayaan Pemena di salah satu desa di Tanah Karo yaitu Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo. Hal ini dianggap menarik bagi peneliti melihat era modernisasi yang memunculkan agama-agama modern dan diakui oleh negara, namun pemeluk kepercayaan Pemena ini tetap bertahan dan menjalankan nilai-nilai kepercayaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi bahwa, penelitian tentang kepercayaan Pemena ini belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga menjadi hal yang sangat menarik bagi peneliti. Dan juga bahwa pemeluk kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen ini tidak
(18)
tergabung dalam agama Hindu, yang berbeda dengan pemeluk aliran kepercayaan Pemena di desa lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan topik atau judul penelitian. Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimanakah Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo?
2. Bagaimanakah Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena oleh para Pemeluknya di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo?
3. Bagaimanakah Persepsi Masyarakat terhadap Pemeluk Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk Mengetahui Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo.
(19)
2. Untuk Mengetahui Bagaimana penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena Oleh Pemeluknya di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo.
3. Untuk Mengetahui Persepsi Masyarakat terhadap Pemeluk Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menambah wawasan ilmiah bagi mahasiswa ilmu sosial dan masyarakat.Penelitian ini juga diharapkan dapat member konstribusi bagi ilmu Sosiologi, khususnya bidang Sosiologi Agama.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis agar dapat meningkatkan kemampuan akademis, terutama dalam hal pembuatan karya ilmiah tentang Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi instansi pemerintahan, khususnya bagi instansi terkait di Pemerintah Kabupaten Karo seperti Badan Perencanaan Daerah dan Dinas kebudayaan.
(20)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pandangan Emile Durkheim terhadap Kepercayaan Tradisional
Agama muncul karena manusia hidup di dalam masyarakat dan dengan demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting dan tidak dapat dipenuhi tanpa agama. Peranan utama agama adalah sebagai integrator kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka dengan sekitar seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral. (Sanderson, 2011:553).
Agama menurut Durkheim (dalam Kamanto, 2004:67) adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, dan bahwa kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat. Semua benda yang ada di dunia ini baik benda yang nyata maupun yang berwujud ideal memiliki pembagian, dan hal ini dibagi menjadi dua kelompok yang bertentangan, yaitu hal yang bersifat profan dan hal yang bersifat suci (sacred).
Analisis Durkheim dalam ritual-ritual keagamaan totemik arunta (Sanderson, 2011:553-555), yaitu suatu masyarakat pemburu dan peramu
(21)
Australia yang telah ada banyak pengetahuan etnografis mengenai masyarakat itu. Bahwa bagi kalangan orang-orang Arunta, ritual dan seremoni adalah bagian yang sangat penting daripada kehidupan sosial. Fakta bahwa orang-orang Arunta menyembah kekuasaan-kekuasaan supernatural bukanlah merupakan apa yang paling penting mengenai kegiatan mereka. Apakah mereka tahu atau tidak, mereka sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan masyarakat mereka sendiri, kekuasaan masyarakat atas setiap individu. Ritual keagamaan mereka mendemonstrasikan dan menyimbolkan perlunya individu-individu menyerahkan diri mereka kepada kehendak kelompok. Dalam berkumpul bersama dalam ritual, orang-orang Arunta secara terbuka mengeratkan kembali keterikatan mereka antara yang satu dengan yang lainnya dan dengan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Durkheim berpendapat bahwa hal ini bukan saja dilakukan oleh orang-orang Arunta, tetapi apa yang dilakukan di semua agama. durkheim menyimpulkan bahwa komponen ritualistik agamalah yang paling penting karena melalui rituallah kekuatan mengikat komunitas itu disimbolkan.
Menurut Durkheim, peranan agama pada masyarakat kesukuan sangat penting karena agama dapat menyatukan masyarakat kesukuan melalui perkumpulan. Masyarakat dipersatukan dengan seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dalam padangan Durkheim bahwa agama tradisional pada akhirnya akan menghilang, kehilangannya akan membawa konsekuensi yang buruk pada integrasi masyarakat kecuali muncul suatu pengganti yang dapat diterima dan mengintegrasikan masyarakat.
(22)
2.2 Fungsi Agama Pada Masyarakat
Menurut Horton dan Hunt (dalam Kamanto, 2004:68), bahwa fungsi agama dapat dibedakan menjadi fungsi manifes dan fugsi laten. Menurut mereka bahwa fungsi manifes agama berkaitan dengan segi doktrin, ritual, dan aturan perilaku dalam agama. Fungsi agama adalah untuk membujuk manusia agar melaksanakan ritus agama, bersama-sama menerapkan ajaran agama, dan menjalnkan kegiatan yang diperkenankan agama. Sedangkan fungsi laten agama, antara lain menawarkan kehangatan bergaul, meningkatkan mobilitas sosial, mendorong terciptanya beberapa bentuk stratifikasi sosial, dan mengembangkan seperangkat nilai ekonomi.
Seperti yang tertulis dalam buku Pengantar Sosiologi oleh Narwoko dan Suyanto (2004:255-256), bahwa fungsi agama adalah:
1. Agama mendasar perhatiannya pada sesuatu yang ada diluar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan. Terhadap dunia diluar jangkauannya, manusia selain memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya, juga memberikan atau menyediakan bagi pemeluknya suatu dukungan, pelipur lara dan rekonsilias. Manusia membutuhkan dukungan moral dalam menghadapi ketidakpastian dan membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya.
2. Agama menawarkan suatu hubungan trasendental melalui pemujaan dan upacara ibadat, sehingga memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dan ketidakberdayaan kondisi manusia dari arus perubahan sejarah.
(23)
3. Agama menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu, dan disiplin kelompok di atas dorongan hati individu. Dengan demikian, agama memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas, dan ganjaran yang merupakan ciri khas suatu masyarakat. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan individu yang menyimpang.
4. Agama juga dapat memberikan standar nilai dalam arti di mana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat memang sedang membutuhkannya.
5. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Dengan menerima nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang hakikat dan takdir manusia, individu mengembangkan aspek penting tentang pemahaman diri dari batasan diri. Melalui peran serta manusia di dalam ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian individu tentang siapa ia dan ia apa.
2.3 Tipe-tipe Agama berdasarkan Evolusinya
Agama yang berkembang di masyarakat saat ini berbeda dengan agama yang dianut masyarakat pada zaman dahulu. Apabila mengikuti sejarah agama menurut teori evolusi maka akan dipahami perkembangan bentuk-bentuk keagamaan dari bentuk yang masih sederhana hingga bentuk yang modern. Sesuatu yang berevolusi itu bukanlah kondisi-kondisi akhir, bukan Tuhan, dan juga bukan manusia dalam pengertian yang paling luas. Bukan manusia yang
(24)
beragama, dan bukan struktur situasi keberagaman akhir dari manusia yang berevolusi melainkan agama sebagai sistem simbol. Robert N. Bellah mencatat lima tahap evolusi agama (Sanderson, 2011:521-523), hal tersebut dapat dilihat pada tahap evolusi agama berikut:
1. Agama primitif
Merupakan agama yang berisi dengan mitos dan makhluk spiritual. Bellah menguraikan tentang derajat yang paling dunia mitos dihubungkan dengan ciri-ciri yang rinci tentang yang paling tinggi kemana dunia mitos dihubungkan dengan ciri-ciri yang rinci tentang dunia aktual. Bukan hanya setiap klen dan kelompok lokal yang dirumuskan dalam hubungan dengan tokoh-tokoh nenek moyang dan peristiwa-peristiwa pemukiman dahulu kala, tapi juga setiap gunung, batuan, dan pohon dijelaskan dalam hubungan dengan makhluk-makhluk mitos. Makhluk-makhluk spiritual itu bukanlah dewa-dewa karena mereka tidak menguasai dunia dan tidak disembah. Agama primitif dikenal tidak memiliki spesialisasi: tidak ada padri, tidak ada jemaah, dan tidak ada penonton; agama dan masyarakat terbaur menjadi satu.
2. Agama budaya atau Purbakala
Agama ini dikarakteristikkan oleh munculnya dewa-dewa, padri-padri, ibadah, kurban, dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan. Makhluk-makhluk mitos atau spiritual yang karakteristik dalam agama primitif ditranformasikan menjadi dewa-dewa; makhluk yang diobyektifkan yang menguasai dunia dan yang patut dihormati dan disembah. Agama ini pada umumnya dijumpai pada masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial, maka agama menjadi terjalin dengan erat
(25)
dengan sistem stratifikasi. Kelompok-kelompok status atas biasanya menuntut status religius yang superior, yang sering menuntut sebagai keturunan ilahi. Agama ini dikenal dengan kepadrian yang terspesialisasi dan legitimasi kepemimpinan politik mereka dalam hubungan dengan keagamaan.
3. Agama Historis
Yaitu agama-agama besar dunia yang timbul pada suatu saat selama atau sesudah masa seribu tahun (milenium) pertama sebelum Kristus. Ciri-ciri pokok agama ini adalah dunia lain (otherworldliness) mereka, penolakan mereka terhadap nilai dunia sekuler dan penetapan suatu dunia eksistensi yang lain (kehidupan di kemudian hari) yang adalah superior dalam nilai terhadap dunia sekuler. Tujuan utama agama ini adalah keselamatan (salvation), dan tindakan religius yang paling penting ialah tindakan mempersiapkan jalan untuk keselamatan. Berdasarkan hal tersebut, agama-agama historis itu menempatkan tekanan yang besar atas alam dunia sekuler yang pada dasarnya berdosa dan menekankan perlunya penghindaran diri religius dari dunia sekuler itu.
4. Agama Modern Awal
Lahir dengan adanya reformasi Protestan, yang meneruskan pembedaan yang dilakukan agama-agama historis diantara dunia sekuler dan dunia lain itu, maupun perhatiannya yang kuat akan keselamatan, tetapi mengubah cara mencapai keselamatan itu. Bukannya dengan menghindar daru dunia ini, keselamatan itu dapat dicapai melalui keterlibatan langsung dalam masalah-masalah dunia. Karena itu agama modern awal menolak tema penolakan dunia agama-agama historis.
(26)
5. Agama Modern
Merupakan suatu bentuk kehidupan keagamaan di mana konsep-konsep dan ritual-ritual agama tradisional yang sekurang-kurangnya sebagian telah digantikan dengan kekhawatiran etik humanistik dari berbagai hal yang sekuler.
2.4 Nilai dan Norma
2.4.1 Nilai
Menurut Horton dan Hunt dalam (Narwoko, 2004:55) nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.
Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan. Ketika nilai yang berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, maka bila ada orang yang malas berbiabadah tentu akan menjadi bahan perngunjingan. Sebaliknya, bila ada orang yang dengan ikhlas rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk kepentingan ibadah atau rajin amal dan semacamnya, maka ia akan dinilai sebagai orang yang pantas dihormati dan diteladani.
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan memengaruhi perubahan
(27)
televisi swasta mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergeseran nilai, misalnya nilai tentang kesopanan.Tanyangan-tanyangan acara yang didominasi sinetron-sinetron mutakhir yang sering memperlihatkan artis-artis berpakaian relatif terbuka alias minim, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat terpengaruh menjadi ikut longgar. Kaum remaja yang dulu terbiasa berpakaian “normal”, kini telah ikut berpakaian mini dan terkesan makin berani. Model rambut panjang dan hitam yang dulu sebuah kebanggaan perempuan desa, kini justru dianggap sebuah simbol ketertinggalan, dan sebagai gantinya bahwa model rambut yang dianggap
trend adalah rambut pirang yang mereka ikuti dari artis atau idola mereka. Dengan kata lain bahwa kebiasaan dan tata kelakuan masyarakat ikut berubah seiring dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat itu. (Narwoko, 2004)
2.4.2 Norma
Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan dan akan selalu berkaitan. Perbedaannya secara umum bahwa norma mengandung sanksi yang relatif tegas terhadap pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai peraturan-peraturan yang selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor pendorong bagi individu ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terbaik untuk dilakukan.
Alvin L. Bertrand dalam (Basrowi, 2005) mendefinisikan norma sebagai suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Ia mengatakan, bahwa norma sebagai sesuatu bagian dari kebudayaan nonmateri, norma-norma tersebut menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisasi dari tingkah
(28)
laku. Sudah tentu bahwa tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut pendapat seseorang itu benar atau baik, walaupun begitu, tingkah laku yang sebenarnya dipandang sebagai suatu aspek dari organisasi sosial.
Untuk dapat membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara sosiologis dalam Basrowi ( 2005 : 88) dikenal ada empat bagian norma-norma sosial, yaitu:
1. Cara(usage)
Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibanding norma lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada hubungan-hubungannya antarindividu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadapnya (norma), seseorang hanya mendapat sanksi-sanksi yang ringan, seperti berupa cemoohan atau celaan dari individu lain yang berhubungan dengannya. Perbuatan seseorang yang melanggar norma (dalam tingkatan cara) tersebut dianggap orang lain sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan sambil berdiri, dan sebagainya.
2. Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara. Kebiasaan merupakan suatu indikator. Jika orang-orang lain setuju atau menyukai perbuatan tertentu, maka bisa menjadi sebuah ukuran. Misalnya bertutur sapa lembut (sopan santun) terhadap orang lain yang lebih tua atau mengucapkan salam setiap bertemu orang lain dan sebagainya.
(29)
3. Tata kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata kelakuan lebih menunjukkan fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan mempunyai kekuatan pemaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi, berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah digariskan. Bentuk hukumannya biasanya dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan, bahkan mungkin biasanya dari tempat tinggalnya.
4. Adat istiadat (custom)
Adat istiadat adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan yang mempunyai sanksi lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan mendapatkan sanksi hukum, baik formal maupun informal. Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum, misalnya pemerkosaan, menjual kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencari kerja, dan sebagainya. Sedangkan sanksi hukum informal biasanya diterapkan dengan kurang atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan pada kepentingan masyarakat.
Dalam penelitian ini, bahwa nilai dan norma yang ingin dilihat adalah nilai dan norma yang masih terjaga dan dijalankan pada pemeluk kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga. Di mana nilai dan norma yang
(30)
ingin diketahui adalah nilai dan norma yang berbeda dengan nilai dan norma masyarakat lainnya, dan apa alasan mereka untuk tetap mempertahankan nilai dan norma tersebut.
2.5 Status Sosial
Dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat (Waluya, 2007: 23), bahwa kedudukan dan status memiliki pengertian yang sama, di mana kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya. Masyarakat pada umumnya mengembangkan tiga jenis kedudukan, yaitu sebagai berikut:
1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan yang juga merupakan bangsawan. Pada umunya, jenis status sosial seperti ini dijumpai pada masyarakat dengan sistem pelapisan tertutup seperti halnya pada masyarakat feodal.
2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang dokter asalkan memenuhi persyaratan tertentu.
3. Assigned Status merupakan status yang diberikan kepada seseorang. Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan Achieved status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
(31)
Status akan selalu berkaitan dengan peranan (role), di mana peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Di mana jika seseorang menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah menjalankan suatu peranan. Jadi peranan disesuaikan dengan status yang dimilikinya dalam masyarakat.
2.6 Kepercayaan Tradisional di Indonesia
Kepercayaan tradisional di Indonesia saat ini masih banyak yang berkembang, karena seperti yang diketahui bahwa hampir dari setiap suku atau etnis di Indonesia memiliki keperayaan tradisional masing-masing. Namun kepercayaan tradisional ini mengalami banyak tantangan, seperti halnya tantangan tidak diakui sebagai agama di Indonesia melainkan sebuah budaya. Ditambah lagi bahwa tantangan ini semakin berat dirasakan oleh pemeluk kepercayaan tradisional ini karena semakin banyaknya pandangan negatif atau stereotip terhadap mereka dalam masyarakat.
Di mana dalam Kamanto (2004:152-153), bahwa stereotip merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka, di mana orang yang menganut stereotip mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap kelompok tersebut. Menurut Kornblum (1988 :303) stereotip merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok rasa tahu budaya yang dianut tanpa mempehatikan kebenaran citra tersebut. Sedangkan menurut Banton (1967:299-303), bahwa stereotip mengacu pada kecenderungan bahwa sesuatu yang dipercayai orang terlalu menyederhanakan dan tidak peka terhadap fakta objektif.
(32)
Dari padangan negatif atau streotip inilah yang menyebabkan kepercayaan tradisional seperti telah disudutkan oleh masyarakat di sekitarnya. Seperti halnya Salah satunya beberapa tahun lalu di Sulawesi Tengah. Ada ajaran yang digerebek karena dianggap menyebarkan ajaran sesat. Padahal mereka sedang melakukan ritual untuk penyembuhan (Kompas.com, 21 April 2010). Dari hal ini dapat kita lihat bahwa keberadaan beberapa kepercayaan tradisional di Indonesia telah mengalami tantangan yang mungkin akan menyebabkan hilangnya kepercayaan tersebut.
Namun masih banyak juga kepercayaan tradisional yang masih terjaga di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini sangat berkaitan dengan sikap penghargaan dari masyarakatnya untuk menjaga kepercayaan tersebut, yang saat ini dianggap sebagai sebuah budaya lokal. Adapun beberapa kepercayaan tradisional yang terdapat di beberapa daerah antara lain sebagai berikut:
1. Kepercayaan Tradisional Sulawesi
Sebelum masuknya agama-agama modern, masyarakat Sulawesi pada umumnya masih menganut kepercayaan tradisional yang mereka terima dari warisan nenek moyang. Kepercayaan aslinya yang berbentuk dinamisme dan animisme yang menyembah pada roh-roh nenek moyang yang mereka anggap masih bersemayam di batu besar, pohon rindang dan tempat-tempat yang dianggap keramat. Kepercayaan dinamisme menyebab kepada kekuatan alam atau benda-benda seperti gunung, batu, dan keris. Kekuatan-kekuatan ini dijadikan sebagai penangkal bahaya atu berfungsi sebagai alat memperoleh kekebalan. Warisan inilah yang dianggap oleh mereka sebagai agama dan kepercayaan yang
(33)
benar dan yang dikenal dengan berbagai nama seperti Toani Tolotang, dan Aluk Todolo (Mukhlis,1995:30).
2. Kepercayaan Malim di tanah Batak Toba
Kepercayaan kepada kuasa supernatural merupakan asa dalam agama Malim. Kuasa supernatural itu disebut Tuhan Debata Mulajadi Nabolon. Debata inilah sebagai tuhan yang mahakuasa, maha pencipta dan maha menjadikan seluruh alam semesta alam. Kepercayaan ini tetap terjaga dalam masyarakat batak toba hingga saat ini walaupun secara kuantitas telah berkurang akibat adanya pengaruh modernisasi yang memunculkan agama-agama modern saat ini seperti agama Kristen dan Islam yang saat ini memiliki umat terbesar pada masyarakat Batak Toba. Keberadaan mereka saat ini sudah diakui pada daerah mereka, namun diakui dalam bidang kebudayaan karena lebih dilihat dari kearifan loakalnya. Bahkan untuk saat ini, agama Malim telah memiliki struktur organisasi yang jelas dan tidak dikatakan sebagai bentuk agama, namun dalam bentuk kepercayaan tradisional yang lebih dikaitkan pada budaya setempat (Gultom, 2010).
3. Agama lokal yang ada di Papua pada kecamatan Arso dan Waris
Kepercayaan ini dinamakan “Yonggoway”, yang diambil dari nama seorang tokoh yang sangat dihormati mereka. Agama lokal ini tetap dianut masyarakat Papua meskipun mereka pada umumnya telah menganut agama Kristen Katolik. Dalam kepercayaan ini, salah satu dewa yang dianggap memiliki hal pencipta dalah Kwembo, ialah yang menciptakan alam semesta, termasuk manusia dan “fowor-fowor (manusia roh). Dalam kepercayaan ini terdapat tiga hierarki penguasa di bawah Tuhan utama (Kwembo) yaitu fowor (manusia), keti, dan
(34)
Yoggoway. Menurut kepercayaan mereka, yang paling ditakuti adalah Yoggoway karena ia bertugas mencabut nyawa orang. Disamping mereka percaya pada tiga penguasa tersebut, mereka percaya pula terhadap roh dan makhluk-makhluk halus yang berada di lingkungan kehidupan mereka. Dan untuk daerah Papua lainnya, masih terdapat kepercayaan-kepercayaan lainnya dan memiliki sebutan yang berbeda-beda juga (Oscar, 1994).
2.7 Kepercayaan Pemena di Tanah Karo
Sebelum agama Kristen dan Islam berpengaruh di daerah Batak Karo, orang Karo memeluk agama yang dikenal dengan agama Pelbegu yaitu suatu kepercayaan terhadap adanya begu-begu (roh atau bahan yang tidak berdaging yang sakti) dewa-dewa dan roh nenek moyang yang bertempat tinggal di gunung-gunung, pohon-pohon, sungai, rumah serta mepunyai kekuasaan atas hidup manusia.
Orang Karo meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia, alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk-mahluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Segala kegiatan yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual, suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting dalam kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru.
Suatu peranan yang mencakup luas dan mempunyai kaitan yang erat sekali dengan konsepsi tentang kosmos dari guru sebagai pelaksana utama, sebab mengingat bahwa titik sentral dan tujuan utama segala aktivitas peranan guru
(35)
adalah untuk mencapai kembali “equilibrium” atau keseimbangan. Baik itu keseimbangan dalam diri manusia sendiri dan lingkungannya, maupun keseimbangan “makro-kosmos” dalam konteks yang lebih luas. Guru dianggap memiliki banyak pengetahuan yang mendetail tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kejadian-kejadian dalam hubungannya dengan kehidupan (Alem, 2005).
Pemena merupakan istilah dalam bahasa Karo yang berarti awal atau pertama. Sehingga agama Pemena dapat diartikan dengan agama awal atau agama pertama yang ada di suku Karo. Dalam agama Pemena, masih menyakini adanya
begu atau roh orang yang telah meninggal. Roh tersebut ada yang baik dan ada yang tidak baik, roh yang baik mampu membantu orang yang masih hidup seperti halnya mengobati orang sakit dan mencengah adanya musibah. Hubungan mereka dengan roh itu dilakukan melalui perantara guru. Jadi guru atau sering disebut dengan guru si baso adalah salah satu orang yang berperan penting dalam pemujaan terhadap yang dipercayai.
Dalam pandangan orang Karo seperti yang tertulis dalam buku Makna Pemakaian Rebu dalam Kekerabatan Orang Batak Karo (Ahmad: 1995 dkk.: 18-21), bahwa alam semesta ini dikuasai oleh Dibata (Tuhan). Alam semesta ini terbagi atas tiga yakni, langit, bumi, dan di bawah bumi. Masing-masing bagian dikepalai oleh bagian dari Dibata yang satu, istilah agama kristen dengan Trinitas. Ia bernama Dibata Mulajadi, biasa disebut Dibata saja.
Menurut kepercayaan orang Karo, masing-masing alam semesta dikepalai oleh:
(36)
2. Padukah Niaji disebut Dibata tengah, mengepalai bumi. 3. Banu Koling disebut Dibata teruh, mengepala di bawah bumi.
Dalam kehidupan sehari-hari yang paling ditakuti adalah dibata tengah atau padukah niaji. Dia dianggap dapat membantu, karena secara langsung dapat berhubungan dengan manusia, melalui hasil tanam-tanaman, hasil ternak dan lain-lain.
Tanaman yang subur atau tidak subur, kesusahan atau kebahagiaan, kesehatan atau penyakit, semua itu berada di tangan dibata tengah. Dibata tengah juga mempunyai wakil-wakil yang ditempatkan pada setiap kegiatan manusia. Setiap orang diawasi oleh wakil-wakil dibata tengah, dan ini disebut dengan tendi. Tendi atau tondi di Batak Toba adalah jiwa dari orang yang masih hidup.
Ada beberapa pengertian tentang tendi:
1. Tendi pelindung manusia. Setiap orang mempunyai tendi sebagai pemerintah diri sendiri, tubuh sebagai pelaksana.
2. Tendi dimiliki oleh setiap manusia yang masih hidup, ke mana saja manusia pergi tendi ada di sana. Tendi dapat terpisah dari jasad apabila seseorang meninggal dunia, atau sakit.
3. Tendi merupakan pribadi dari seseorang, seluruh tindakan seseorang merupakan ekspresi dari tendi, orang baik mempunyai tendi yang baik pula, orang jahat atau orang yang berkelakuan tidak baik akan mempunyai tendi yang jahat dan tidak baik pula.
4. Tendi sebagai jiwa sewaktu-waktu dapat meninggalkan jasad, misalnya pada waktu orang terancam bahaya, tendi dapat pergi. Dalam kepercayaan
(37)
orang batak Karo tendi tidak dapat meninggal seperti jasad. Tendi ini dapat pula dikembalikan dengan satu upacara yang biasa disebut raleng tendi.
5. Tendi seperti jasad harus dipelihara sebaik-baiknya. Ini berarti bahwa tendi itu juga memerlukan pemeliharaan seperti jasad, misalnya dengan memberikan sajian kecil berupa kapur dan sirih.
6. Tendi sebagai pelaksana mimpi, seseorang yang sedang bermimpi berarti tendinya sedang pergi. Bagi orang yang sedang tidur biasanya dianjurkan supaya yang membangunkan harus dengan suara yang lemah lembut sambil memegang ibu jari kaki orang yang sedang tidur, dengan demikian diharapkan tendinya masih sempat datang kepada orang yang tidur tersebut jika kebetulan sedang bermimpi.
Orang yang meninggal dunia, tendinya akan berubah menjadi begu. Begu adalah roh orang yang sudah meninggal.
Beberapa aspek pengertian tentang begu:
1. Begu sebagai roh yang sudah meninggal dunia, tidak dapat dilihat oleh orang biasa. Guru sibaso dapat melihat dan berbicara dengan begu siapa saja yang diingini, baik atas keinginan sendiri maupun atas permintaan orang lain.
2. Begu sebagai roh manusia yang telah meninggal dunia dapat dipanggil. Begu nenek moyang, begu orang yang baru meninggal dunia, semuanya dapat dipanggil atas permintaan keluarga yang bersangkutan. Orang yang meninggal dan jauh dari keluarganya, dapat pula dipanggil dan ditanya
(38)
tentang sebab-sebab dia meninggal dan apa keluhannya setelah meninggal. Semua upacara memanggil begu tersebut upacara perumah begu.
3. Begu sebagai roh manusia yang jahat adalah orang-orang yang matinya tidak layak, seperti disiksa terlalu lama, tidak diperhatikan keluarganya semasa hidupnya. Begu ini biasanya dipelihara oleh orang kikir, untuk menjaga tanaman, orang yang penakut untuk menjaga diri sendiri. Orang yang memelihara begu jahat ini disebut dengan istilah perbegu ganjang dan tidak disenangi oleh masyarakat.
4. Begu sebagai roh yang dapat menunggu sesuatu tempat, contohnya begu juma yakni yang menempati ladang, begu lau yakni yang menempati tempat mandi dan banyak lagi begu-begu lain. Begu ini dihormati karena dapat membantu dalam kehidupan sehari-hari.
Pada masyarakat Karo yang belum memeluk agama resmi baik islam dan kristen, jika seseorang menyatakan sukacitanya kepada Dibata, dia mengadakan persembahan kecil, persembahan yang paling disukai adalah ayam, warna ayam ditentukan oleh guru sibaso sesudah berhubungan dengan roh-roh halus. Upacara ini disebut mulahi manuk.
Dalam pelaksaan keagamaan diakan upacara-upacara, setiap upacara selalu dipimpin oleh guru. Guru sibaso memimpin upacara yang langsung berhubungan dengan roh halus, seperti begu atau tendi, guru dapat memberikan keterangan tentang keinginan begu atau tendi. Guru umumnya berhubungan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Contohnya jika ada wabah penyakit kampung yang magic. Guru sibaso-lah yang menstabilkan keadaan tersebut.
(39)
Guru disamping mengetahui soal-soal keagamaan juga harus mengetahui soal adat, untuk segala persoalan adat yang berhubungan dengan roh halus, selalu diselesaikan oleh guru, misalnya kawin semarga atau kawin sumbang yang merupakan incest bagi orang Karo. Menurut penilaian guru, hal itu diakibatkan oleh kemarahan roh halus atau roh nenek moyang yang bersangkutan. Dalam hal ini guru dapat menetralisir kegoncangan hubungan antara masyarakat dengan roh-roh halus.
2.8 Defenisi Konsep
Agar penelitian ini tetap pada focus penelitian dan supaya tidak menimbulkan penafsiran ganda dikemudian hari, maka perlu dibuat defenisi konsep antara lain sebagai berikut:
1. Keberadaan pemeluk kepercayaan adalah kejelasan akan posisi seseorang atau sekelompok pemeluk suatu kepercayan. Dalam hal ini yang ingin dilihat adalah kejelasan identitas dari pemeluk kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen, Kecamatan Tiga Binanga.
2. Agama dan kepercayaan dalam konsep sosiologi memiliki pengertian yang sama. Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dianut oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. (Hendropuspito, 1996:34). Sehingga dalam penelitian ini tidak dibedakan agama dengan kepercayaan, di mana dalam hal ini Pemena dapat dikatakan sebuah agama ataupun sebuah kepercayaan.
(40)
3. Nilai-nilai religius adalah sesuatu yang dianggap baik, benar dan berguna dalam masyarakat yang berkaitan dengan religi atau kepercayaan. Dalam hal ini, nilai-nilai religius yang dimaksud adalah nilai-nilai kepercayaan Pemena yang masih dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan penerapannya dalam masyarakat.
4. Kepercayaan Pemena merupakan kepercayaan pada masyarakat Karo. Pemena merupakan bahasa Karo berarti awal atau pertama dalam bahasa Indonesia. Kepercayaan ini mempercayai roh-roh nenek moyang yang dapat berwujud benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan supranatural misalnya batu, pohon, sungai, tempat keramat dan sebagainya. Di Desa ini terdapat tempat penyembahan untuk semua masyarakat desa yang masih memeluk kepercayaan Pemena, yang dinamakan batu Penembahan yang pada dahulunya merupakan pusat penyembahan untuk semua warga desa sebelum masuknya agama resmi. Ada juga penyembahan yang didasarkan oleh marga yang ada menjadi peletak dasar desa ini, yaitu:
Nini Galuh yang merupakan tempat penyembahan bagi marga Tarigan Rumah Sendi.
Nini Batu Pulu Balang adalah tempat penyembahan yang dibuat oleh klan marga Perangin-angin Mano.
Nini Batu dan Hutan Selantam adalah tempat penyembahan yang berbentuk batu yang ada di dalam hutan Selantam di pinggir desa yang dibuat untuk tempat penyembahan marga Ginting Tumangger.
(41)
5. Masyarakat Karo adalah sekumpulan manusia yang hidup pada wilayah yang dinamakan kuta (desa), dan memiliki cirri-ciri dengan memakai bahasa, nilai, adat-istiadat, dan ikut dalam merga si lima, tutur siwaluh, perkaden-kaden sepulu dua dan cirri budaya Karo lainnya.
6. Stereotip adalah pandangan atau prasangka buruk terhadap sesuatu yang pada dasarnya belum dapat dipastikan secara faktual. Dalam penelitian ini, pandangan yang ingin dilihat adalah pandangan masyarakat yang bukan pemeluk kepercayaan Pemena terhadap pemeluk kepecayaan Pemena.
(42)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian studi kasus (case study) ialah suatu jenis penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase sesifik dari keseluruhan personalitas. Objek dari penelitian dapat bermacam-macam misalnya individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. Dalam hal ini, metode ini digunakan karena penelitian ini bertujuan melihat masalah yang lebih spesifik. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lai-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong,2005:6).
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo. Alasan peneliti memilih desa ini adalah bahwa di desa ini masih terdapat masyarakat Karo yang masih memeluk kepercayaan Pemena dan masih menjalankan nilai-nilai kepercayaannya.
(43)
3.3 Unit Analisis dan Informan
3.3.1 Unit Analisis
Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian atau keseluruhan unsur yang menjadi focus penelitian (Bungin, 2007:51-52). Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo dan nilai-nilai serta norma kepercayaan Pemena yang masih ada dan dijalankan dalam masyarakat.
3.3.2 Informan
Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin, 2007:76). Dalam penelitian ini yang menjadi informan penelitian adalah:
1. Pemeluk kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen.
2. Masyarakat Desa Pergendangen yang bukan pemeluk kepercayaan Pemena dari kaum pemuda.
3. Masyarakat Desa Pergendangen yang bukan pemeluk kepercayaan Pemena dari kaum masyarakat yang sudah orang tua.
4. Tokoh masyarakat formal.
5. Tokoh masyarakat informal (tokoh adat dan tokoh agama).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai penelitian. Teknik pengumpulan data ini terbagi menajdi dua bagian, yakni:
(44)
1. Data primer yaitu informasi yang langsung diperoleh dari informan penelitian di lokasi penelitian. Untuk mendapatkan data primer dapat dilakukan dengan:
a. Observasi yaitu pengamatan oleh peneliti baik secara langsung ataupun tidak langsung. Metode observasi langsung dilakukan melalui pengamatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian pada saat peristiwa sedang berlangsung (Nawawi, 2006:67). Metode observasi langsung ini dilakukan jika informan tidak dapat menjelaskan mengenai tindakan yang ia lakukan atau karena ia tidak ingin menjelaskan mengenai tindakannya. Oleh karena itu data dari metode observasi langsung diharapkan dapat menjadi penunjang data dari metode wawancara. Data yang diperoleh dari observasi ini adalah untuk melihat kondisi geografis lokasi penelitian tempat di mana pemeluk kepercayaan Pemena tinggal.
b. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2007).
2. Data Sekunder yaitu data yang berkaitan dengan obyek penelitian namun bukan dari penelitian di lapangan. Data sekunder dalam
(45)
penelitian ini dapat diperoleh dari studi kepustakaan yakni dengan mencari data dari artikel, surat kabar, tabloid, buku, internet, ataupun sumber lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
3.5 Interpretasi Data
Dalam penelitian kualitatif, peneliti dapat mengumpulkan banyak data baik dari hasil wawancara, observasi maupun dari dokumentasi. Data tersebut semua umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan. Oleh karena itu perlu diseleksi dan dibuat kategori-kategori. Data yang telah diperoleh dari studi kepustakaan juga terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan relevansinya dengan permasalahan penelitian. Setelah itu data dikelompokkan menjadi satuan yang dapat dikelola, kemudian dilakukan interpretasi data mengacu pada tinjauan pustaka. Sedangkan hasil obsevasi dinarasikan sebagai pelengkap data penelitian. Akhir dari semua proses ini adalah penggambaran atau penuturan dalam bentuk kalimat-kalimat tentang apa yang telah diteliti sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan-kesimpulan (Faisal,2007:257).
(46)
3.6 Jadwal Pelaksanaan
No Kegiatan Bulan Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra Obsevasi X
2 ACC Judul X
3 Penyusunan Proposal Penelitian X X
4 Seminar Proposal Penelitian X
5 Revisi Proposal Penelitian X
6 Penelitian Ke Lapangan X X X X
7 Bimbingan/Laporan Akhir X X X X
8 Sidang Meja Hijau X
3.7 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari maiharapkan mesih banyak keterbatasan penelitian baik karena faktor intern di mana peneliti memiliki keterbatasan ilmu dan materi juga karena faktor eksternal seperti informan. Untuk itu bagi para akademisi yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan diharapkan memperhatikan keterbatasan peneliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Penelitian ini hanya membahas tentang keberadaan pemeluk dan penerapan nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen. Adapun nilai-nilai yang terlihat dalam kebiasaan pemeluk aliran kepercayaan Pemena hanya dibahas secara singkat dan tidak mendalam
(47)
karena takut keluar dari pandangan Sosiologi. Karena jika berbicara tentang kebiasan yang dianggap bernilai, jika ingin diteliti secara mendalam lebih mengarah pada kajian Antropologi. Namun akan menarik jika akan ada penelitian selanjutnya yang fokus pada nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena yang masih diterapkan hingga saat ini.
2. Ruang dan waktu dalam penelitian juga cukup terbatas, sehingga diharapkan penelitian ini sebaiknya dilakukan dalam waktu yang relatif lama agar data-data lapangan dapat terkumpul lebih mendalam lagi.
3. Dalam melakukan wawancara, peneliti kesulitan dalam berkomunikasi dengan informan pemeluk aliran kepercayaan Pemena, melihat perbedaan keyakinan yang dimiliki. Namun peneliti mengingat bahwa peneliti harus objektif, sehingga semua dapat teratasi. Pemeluk aliran kepercayaan Pemena yang terlihat tertutup juga menjadi salah satu keterbatasan bagi peneliti untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam lagi tentang kepercayaan mereka, ditambah lagi bahwa pemeluk aliran kepercayaan Pemena juga sulit untuk diketahui karena data penduduk yang menunjukkan tidak ada lagi yang memiliki kepercayaan Pemena di desa Pergendangen,
(48)
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA
4.1Deskripsi Wilayah Penelitian
4.1.1 Sejarah Desa Pergendangen
Sama halnya dengan kebanyakan dari desa-desa yang ada di Tanah Karo bahwa nama desa berasal dari benda-benda atau kejadian yang memiliki makna bagi masyarakatnya. Di mana untuk Desa Pergendangen bahwa nama desa ini berasal dari kata dasar gendang. Kata gendang pada nama desa ini dibuat karena dahulu desa ini meruapakan tempat persinggahan para pengembala sapi dan sering bermain gendang di desa ini. Sehingga kata pergendangen berasal dari makna tempat bermain gendang oleh para pengembala sapi.
Ada juga cerita lain desa ini dinamakan Pergendangen karena dulunya di daerah ini terdapat pohon jabi-jabi (sejenis beringin) yang menjadi tempat berteduh masyarakat karena pohonnya sangat rindang. Pohon ini dapat melindungi mereka dari hujan serta terik matahari sehingga banyak orang-orang yang tinggal di daerah ini sering berkumpul di bawah pohon ini. Mereka sering bermain gendang serta main suling di bawah pohon ini, sehingga masyarakat mengatakan bahwa pohon itu merupakan tempat bermain gendang atau pergendangan. Demikian terus kata pergendangen disebut-sebut oleh masyarakat daerah ini sehingga desa ini terkenal dengan nama Pergendangen.
Menurut sejarahnya, peletak dasar (simantek kuta) Desa Pergendangen terdiri dari tiga marga yaitu marga Tarigan Gersang, Perangin-angin Mano, dan Ginting Tumangger. Ketiga marga ini dikatakan sebagai peletak dasar desa ini
(49)
karena dulu mereka bertiga yang pertama kali memasuki daerah ini. Ketiga marga ini memiliki daerah tersendiri di desa ini, yang dinamakan dengan kesain.
Dalam sejarahnya, Desa Pergendangen telah mengalami 11 kali pergantian kepala desa. Adapun susunan pemerintahan Desa Pergendangen pada tahun 2014 adalah sebagai berikut:
Kepala Desa : Alimta Ginting
Sekretaris Desa : Mandala Tarigan
Bendahara : Edian Ginting
Kaur Umum : Mardana br Ginting
BPD Desa : Darmawan Tarigan
Saat ini, Desa Pergendangen tidak hanya dihuni oleh Suku Karo saja. Karena sumber daya alam yang berlimpah seperti lahannya yang subur dan cocok untuk bercocok tanam maka banyak orang berdatangan untuk tinggal di daerah ini, baik yang pada awalnya sebagai pekerja dan akhirnya menetap dan menjadi warga Desa Pergendangen. Banyak suku telah masuk dan tinggal bersama di daerah ini diantaranya, Suku Batak, Suku Jawa, dan Suku lainnya. Bahkan kedatangan suku-suku lainnya juga karena disebabkan oleh faktor perkawinan eksogami.
4.1.2 Keadaan Geografis Desa
Desa Pergendangen merupakan desa yang berada di kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo. Di mana desa ini berjarak sekitar 5 km dari ibukota
(50)
kecamatan atau Tiga Binanga, dan berjarak sekitar 35 km dengan ibukota kabupaten yaitu Kabanjahe. Batas- batas Desa Pergendangen sebagai berikut:
a. Sebelah utara : Kelurahan Tiga Binanga b. Sebelah selatan : Kecamatan Juhar
c. Sebelah Timur : Kem-kem d. Sebelah Barat : Kuta Galuh
Desa ini bersebelahan langsung dengan Gunung Mencirem yang berada tepat di sebelah Timur. Sehingga desa ini merupakan desa terakhir diujung jalannya karena desa lainnya yang di sebelah timur berada di balik gunung itu. Di desa ini terdapat satu sungai besar yang bernama sungai Jandi.
4.1.3 Sarana Dan Prasarana Desa
Terdapat beberapa prasarana desa yang fungsinya membantu penduduk Desa Pergendangen dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Di mana prasarana ini mendapat berupa pemberian pemerintah maupun hasil dari penduduk itu sendiri.
1. Perhubungan
Di mana prasarana ini sangat berpengaruh pada kelancaran aktivitas penduduk Desa Pergendangen. Terdapat beberapa prasarana terkait perhubungan ini seperti jalan aspal, jalan batu, jalan tanah, dan jembatan. Dan terdapat beberapa sarana perhubungan untuk mendukung perhubungan dalam masyarakat desa seperti mobil, sepeda motor, Becak Motor, TV atau radio, dan surat kabar.
(51)
2. Pemasaran
Pemasaran dalam hal ini merupakan prasarana yang membantu masyarakat dalam berusaha. Seperti halnya kios atau warung, pertokoan, dan koperasi. 3. Produksi
Prasarana ini membantu penduduk Desa Pergendangen dalam hal produksi. Prasana dalam bidang produksi yang dimiliki Desa Pergendangen terdapat seperti saluran irigasi, dan kilang padi.
4. Sosial
Prasarana ini sangat membantu penduduk dalam bidang sosial yang menyangkut kehidupan sosial penduduknya. Di mana di Desa Pergendangen terdapat beberapa prasarana sosial seperti SD Negeri dan Swasta sebanyak 2 buah, SLTP Sederajat yang sebanyak 1 buah, Gereja sebanyak 5 buah, Mesjid sebanyak 2 buah, dan Polindes dan Postu masing-masing sebanyak 1 buah.
(52)
4.1.4 Penduduk
Penduduk Desa Pergendangen berjumlah 1532 jiwa dengan 450 kk. Dengan jumlah laki-laki sebesar 605 jiwa, sedangkan jumlah penduduk perempuan sebesar 927 jiwa.
Tabel 1.1 Komposisi Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 605 39,41%
Perempuan 927 60,59%
Total 1532 100%
Sumber : Kantor Camat Kecamatan Tiga Binanga
Semua penduduk Desa Pergendangen juga telah menganut beberapa agama yang telah diakui di negara Indonesia. Di mana penduduk ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan agama yang dianutnya, yaitu:
Tabel 1.2 Komposisi Penduduk berdasarkan Agama
Agama Jumlah Penganut Persentase
Islam 30 jiwa 1,9%
Katolik 326 jiwa 21,27%
Kristen Protestan 1176 jiwa 76,76%
Total 1532 jiwa 100%
(53)
Berdasarkan mata pencaharian, penduduk Desa Pergendangen dapat dibagi menjadi beberapa kelompok seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.3 Komposisi penduduk berdasarkan Mata pencaharian
Mata Pencaharian Jumlah Persentase
Bertani 625 jiwa 86,56%
Pegawai negeri/swasta 30 jiwa 4,20%
Dagang 25 jiwa 3,47%
Dan lain-lain 42 jiwa 5,81%
Total 722 jiwa 100%
Sumber : Kantor Camat Kecamatan Tiga Binanga
Dari tabel di atas dapat kita lihta bahwa pada umumnya penduduk Desa Pergendangen bekerja sebagai petani. Hal ini didukung oleh lahan masyarakat yang cukup luas serta kecocokan tanah sebagai lahan pertanian. Sehingga masyarakat desa terlihat sangat bergantung pada bidang pertanian.
Hasil produksi dari Desa Pergendangen ini dapat terlihat dari hasil pertanian, perdagangan, peternakan, jasa, dan sebagian kecil ada beupa industri. Di mana hasil pertaniannya dapat berupa Cokelat (Kakau), Jagung, Kemiri, Padi, Daun sirih, Kacang-kacangan, Ubi-ubian, Sayur-sayuran, Buah-buahan, dan Cengkeh. Hewan ternak yang biasa dipelihara oleh masyarakat Desa Pergendangen adalah kerbau, lembu, babi, kambing, ayam atau itik. Pada bidang perdagangan dapat terlihat bentuk usaha masyarakat Desa Pergendangen berupa kios atau warung, pertokoan, dan lain-lain. Dalam bidang jasa, dapat terlihat beberapa jenis pekerjaan jasa yang terlihat dari masyarakatnya seperti pegawai
(54)
negeri, pegawai swasta, pertukangan, supir, dan jasa lainnya. Dan pada bidang industri dapat kita temukan seperti industri Kilang Padi.
4.1.5 Perekonomian
Desa Pergendangen berada pada dataran tinggi yang subur, hal ini dikarenakan desa ini tidak berada jauh dari gunung berapi Sibayak dan Sinabung. Sehingga masyarakat Desa Pergendangen lebih banyak bekerja sebagai petani. Sebanyak 625 orang menggantungkan hidupnya terhadap pertanian. Dan selebihnya bekerja di sektor lainnya. Kegiatan pertanian di desa ini lebih banyak menanam Kakau dan Jagung, di mana dua jenis tanaman ini adalah tanaman umum pada daerah Tiga Binanga yang terkenal dengan penghasil jagung terbesar di Tanah Karo. Selain dua jenis tanaman utama ini, masyarakat desa Pergendange juga masih menanam tanaman lainnya, ini bisa ditanam di lahan yang tidak begitu luas. Tanaman yang ditanama ini seperti sayur-sayuran, kemiri, dan tanaman muda lainnya.
4.1.6 Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat Karo yang tinggal di Desa Pergendangen masih melaksanakan upacara-upacara adat istiadat Karo misalnya pada saat upacara perkawinan, kematian, kelahiran anak, buka kunci, dan acara sakral lainnya. Adat istiadat Karo lainnya dapat juga dilihat dari pelaksanaan perayaan tradisi seperti kerja tahun (pesta tahunan) yang dilaksanakan setiap bulan Juni. Solidaritas masyarakat juga terlihat dengan adanya serikat tolong-menolong yang dinamakan persadan (persatuan) untuk setiap marga-marga yang ada disana, misalnya persadan marga ginting, persadan marga tarigan, dan persadan marga lainnya. Anggota persadan
(55)
ini bertujuan untuk saling menolong anggotanya terutama dalam mengalami duka cita atau perkawinan.
Sistem sangkep nggeluh yang dianut masyarakat Karo membuat semua warga memiliki hubungan persaudaraan (perkade-kaden) baik sembunyak dan senina, anak beru (pihak penerima darah), dan kalimbubu (pemberi darah). Hasil tersebut terbentuk ketika ada hajatan besar seperti pesta perkawinan maka semua warga lain akan turut terlibat pada bagiannya masing-masing.
Sistem pengelolaan lahan pertanian saat ini pada masyarakat Karo kebanyakan mengerjakan lahan masing-masing. Namun telah banyak juga para pekerja yang disebut dengan aron. Aron dalam hal ini merupakan orang-orang yang mengerjakan lahan yang diberi upah oleh pemilik lahan.
4.2 Profil Informan
1. Nama : Nande Suranta br Ginting Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 69 tahun
Agama : Kristen Protestan Pekerjaan : Petani
Nande Suranta br Ginting dulu adalah Guru Sibaso atau pemimpin ritual dalam acara-acara aliran kepercayaan Pemena yang ada di Desa Pergendangen seperti misalnya ritual memanggil hujan, ritual penyembahan ke Nini Batu, mengobati orang sakit, dan ritual-ritual lainnya yang berkaitan dengan kemampuan dia. Kemampuan Nande Suranta ditandai dengan suara leher (sora kerahung) yang dimilikinya, karena sangat jarang orang yang memiliki suara
(56)
leher yang merupakan salah satu sarana untuk dapat berkomunikasi dengan Nini. Dia percaya bahwa kekuatan itu berasal dari roh abangnya yang bersemanyam dalam dirinya yang dulunya meninggal pada usia muda karena dijatuhi reruntuhan batu. Namun saat ini kemampuan Nande Suranta telah hilang karena dulu ada guru sibaso dari desa lain yang mengambil kemampuannya dengan cara menarik roh yang bersemanyam dalam dirinya, akibatnya Nande Suranta sakit karena roh yang seharunya menjaga tubuhnya telah hilang. Setelah sembuh, Nande Suranta telah kehilangan kemampuannya dalam banyak hal, seperti halnya suara lehernya telah menghilang. Walaupun demikian, Nande Suranta masih memiliki kemampuan untuk mengobati beberapa penyakit, terkhusus pada penyakit yang berkaitan dengan roh-roh jahat, dia mengatakan hal itu karena pengalamannya pernah menjadi guru sibaso.
Nande Suranta br Ginting telah memeluk agama Kristen Protestan dan menjalankan agamanya dengan baik walaupun dia masih menjalankan kepercayaan Pemena dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tetap ia lakukan karena merasa bahwa aliran kepercayaan Pemena masih memiliki nilai-nilai yang berguna dan sangat berkaitan dengan kebiasannya. Ditambah bahwa kemampuannya mengobati orang masih sangat dibutuhkan, karena saat ini kemampuannya mengobati anak kecil, serta wanita hamil yang sering mendapat gangguan dari makhluk halus masih dibutuhkan di Desa Pergendangen. Walaupun Nande Suranta masih menjalankan nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena, namun nilai-nilai yang ia jalankan saat ini tidak seperti dulu lagi karena saat ini bentuk ritualitas yang dia lakukan hanya bersifat
(57)
individunya saja. Seperti halnya penyembahannya secara tertutup karena hanya dilakukan di rumah, seperti mbesur-mbesuri, perim daging, memberi persembahan kepada Nini melalui kamar Nini dan lainnya.
Menurut pengakuan Nande Suranta, bahwa para orang tua yang tinggal di Desa Pergendangen pada awalnya merupakan pemeluk aliran kepercayaan Pemena. Namun kemudian mereka semua beralih keyakinan setelah masuknya agama-agama resmi ke desa ini. Seperti beralih ke agama Kristen yang paling banyak dianut oleh masyarakat di desa ini.
2. Nama : Nande Ruli br Karo Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 71 tahun
Agama : Kristen Katolik Pekerjaan : Petani
Nande Ruli br Karo merupakan seseorang yang masih mempercayai Nini Galuh yang ada di Desa Pergendangen. Kepercayaan terhadap Nini Galuh mulai dipercayainya semenjak menikah dengan suaminya dulu yang bermarga Tarigan Rumah Sendi. Karena Nini Galuh merupakan tempat penyembahan bagi Marga Tarigan Rumah Sendi beserta keluarganya, sehingga Nande Ruli juga mengikuti kepercayaan yang dibawa oleh suaminya.
Walaupun Nande Ruli telah memeluk agama Katolik dan aktif dalam kegiatan gereja, namun Nande Ruli masih percaya terhadap Nini Galuh dan tetap menjalankan nilai-nilai ritualitasnya seperti berdoa ke tempat Nini Galuh sebelum memulai kegiatan menanam, memberi persembahan jika ada rezeki, menjaga dan selalu membersihkan tempat pemugaran Nini Galuh, dan
(58)
sebagainya. Nande Ruli terlihat sangat menjaga tempat penyembahan Nini Galuh yang tempatnya berada di depan rumahnya, di mana dia sering melarang orang-orang yang bertindak sembarangan di tempat penyembahannya ini.
Menurut penjelasan Nande Ruli, dia bersama keluarganya telah merenovasi tempat penyembahan ini sebagai bentuk rasa syukur mereka karena telah diberi rezeki, dan mereka percaya bahwa Nini Galuh yang menyertai mereka sehingga Nande Ruli beserta anak dan cucunya mendapat kesehatan, rezeki, dan mereka yakin akan diberi kesuksesan. Anak-anak serta cucu Nande Ruli yang saat ini sudah tinggal di luar Desa Pergendangen bahkan beberapa di antaranya berada di Kota Jakarta, masih sering datang untuk membersihkan serta membuat acara di tempat penyembahan ini. Mereka datang sekali dalam setahun. Selain dari keluarga Nande Ruli, orang lain yang bermarga Tarigan Rumah Sendi juga sering datang ke tempat ini untuk menyembah Nini Galuh karena tempat ini merupakan tempat penyembahan bagi Tarigan Rumah Sendi di manapun mereka berada.
Nande Ruli tetap mengajarkan anaknya serta cucunya nilai-nilai kepercayaan terhadap Nini Galuh. Menurut Nande Ruli, Nini Galuh merupakan nenek moyang yang harus mereka hormati karena nenek moyang mereka ini memiliki kekuatan yang dapat menjaga serta memberi apa yang mereka butuhkan. Bahkan Nande Ruli takut untuk meninggalkan kepercayaan ini karena dia yakin bahwa yang menjaga dia dan keluarganya adalah Nini Galuh, sehingga dia tidak ingin Nini Galuh marah kepada dia dan keluarganya.
3. Nama : Nande Iin br Sembiring Jenis Kelamin : Perempuan
(59)
Usia : 70 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Nande Iin br Sembiring merupakan salah seorang guru sibaso dalam aliran kepercayaan Pemena. Kepercayaan yang dia miliki ini berawal sejak dia menikah dengan mendiang suaminya yang bermarga Ginting, suaminya juga merupakan seorang guru sibaso yang hebat. Setelah menikahlah, Nande Iin diajari untuk mempercayai aliran kepercayaan Pemena dan ditambah juga bahwa Nande Iin pada dasarnya juga memiliki kemampuan dalam hal suara leher (sora kerahung).
Dulu Nande Iin beragama Katolik sebelum dia menikah dengan suaminya yang mempercayai kepercayaan Pemena. Dan sekarang Nande Iin telah memeluk agama Islam di KTPnya, karena dia mengatakan bahwa dia tidak pernah menjalankan agamanya seperti semestinya. Tidak mengerti ajaran agama itu, dan masih mempercayai aliran kepercayaan Pemena. Agama di KTPnya menurut dia hanya untuk memperlihatkan kepada orang bahwa dia memiliki agama dan diberi kemudahan dalam berbagai urusan administrasi.
Nande Iin masih menjalankan nilai-nilai Pemena dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan dia juga masih dapat melakukan ritual-ritual Pemena seperti
perumah Nini, seluk, perumah begu, dan lainnya. Namun nenek ini mengatakan bahwa saat ini kebiasaan seperti itu sudah sangat jarang dilakukan karena orang-orang di sekitarnya juga sudah tidak sepenuhnya percaya hal yang seperti itu lagi. Jika masih diperlukan, nenek ini juga masih bersedia melakukan ritual tersebut, karena menurut apa yang telah diketahuinya bahwa
(60)
ritual Pemena dapat membantu orang lain seperti halnya dalam kegiatan pengobatan, hal-hal yang berkaitan dengan roh halus, dan membantu pemeluk aliran kepercayaan Pemena dalam melakukan ritualitasnya yang banyak berbentuk upacara-upacara.
Melihat keberadaan keyakinannya yang semakin lama semakin tersudutkan dengan semakin berkurangnya pemeluk aliran kspercayaan Pemena, Nande Ruli juga tidak yakin akan tetap mempertahankan keberadaannya sebagai pemeluk aliran kepercayaan Pemena. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungannya yang hampir semuanya telah memeluk agama, ditambah bahwa kekhwatiran akan masa tuanya, membuat Nande Ruli telah berpikiran akan mengikuti agama resmi secara serius. Namun dia belum yakin untuk meninggalkan kepercayaan lamanya karena dia merasa kepercayaan Pemena telah menjaga dia selama ini, dan dia takut untuk meninggalkan kepercayaan Pemena karena takut akan kena musibah.
4. Nama : Rahmat Ginting Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 35 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Rahmat Ginting merupakan salah seorang yang masih mempercayai Pemena hingga saat ini. Kepercayaan Pemena ini dia peroleh sejak lahir karena orang tuanya juga masih mempercayai Pemena. Juga bahwa orang tuanya tetap mengajarkan nilai-nilai Pemena terhadapnya sehingga ia juga telah terbiasa dengan kepercayaannya walaupun dalam KTPnya dia telah beragama Islam.
(1)
masyarakat, beberapa keberadaan mereka diketahui dan dihargai oleh masyarakat. Di mana pemeluk aliran kepercayaan Pemena seperti guru sibaso cukup menonjol perannya dalam masyarakat, sehingga diketahui dengan jelas keberadaannya. Terlihat bahwa alasan mendasar mereka untuk memeluk agama resmi adalah karena perasaan malu dan perasaan takut tidak memiliki teman, hal inilah yang terbentuk dari masyarakat yang pada akhirnya akan mengarahkan pemeluk aliran kepercayaan Pemena untuk memeluk agama resmi. Dalam hal ini pemerintah dikatakan menjadi aktor yang berperan dalam menyebabkan pemeluk aliran kepercayaan Pemena untuk memeluk agama resmi.
4. Guru Sibaso merupakan bagian dari aliran kepercayaan Pemena yang mendapat status sosial yang lebih tinggi dalam pemeluk aliran kepercayaan Pemena serta di dalam masyarakat umum. Masyarakat juga memberi status yang lebih tinggi pada guru sibaso karena kemampuan yang ia miliki dan pengaruhnya juga sangat berarti untuk masyarakat.
5. Nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena dapat kita lihat pada kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan dan terakit dengan keseharian pemeluknya. Di mana cara penerapannya sudah berbeda dengan dulu, saat ini penerapannya dilakukan secara pribadi karena jumlah pemeluknya yang saat ini juga tidak banyak lagi. Cara mempertahankannya tergantung pada pemeluknya, untuk tetap ingin dipertahankan atau tidak. Karena tidak ada larangan atau aturan dari masyarakat untuk menentang bahkan menghilangkan nilai-nilai mereka. Hanya saja memang belum ada pengakuan resmi terhadap keberadaan mereka.
(2)
6. Hubungan antara pemeluk aliran kepercayaan Pemena denhubgan masyarakat terjalin sangat baik. Walau ajaran agama resmi tidak sejalan dengan Pemena, namun pemeluknya juga tetap berhubungan baik dengan pemeluk aliran Pemena. Hal ini dikarenakan pada dasarnya hubungan masyarakat desa pada umumnya diikat oleh tali persaudaraan. Ditambah lagi dengan ikatan adat yang sangat kental, sehingga terdapat anggapan bahwa orang Karo di Desa Pergendangen lebih takut dikatakan tidak beradat daripada tidak beragama.
5.2 Saran
1. Aliran kepercayaan Pemena merupakan kepercayaan awal orang Karo, dan menjadi salah satu manifestasi budaya Karo dalam sistem kepercayaan, sehingga sudah seharusnya untuk dilestarikan. Melihat masih ada pemeluknya, maka sudah sebaiknya mereka mendapat apresiasi yang positif dari masyarakat karena masih mampu menjadi aktor yang mempertahankan sistem kepercayaan awal orang Karo.
2. Aliran kepercayaan Pemena memiliki nilai-nilai yang dapat membantu masyarakat, terutama dalam bidang pengobatan penyakit yang tidak wajar. Sehingga perlu juga untuk dipertahankan karena akan tetap dibutuhkan dalam masyarakat, karena walaupun saat ini kita sudah berpikir secara ilmiah bahkan hidup dalam kehidupan yang modern, namun kita juga masih belum bisa lepas dari kejadian-kejadian yang diluar logika kita. Sehingga peran mereka masih sangat dibutuhkan dalam masyarakat.
3. Walaupun keberadaan aliran kepercayaan Pemena ini tidak diakui sebagai agama dan tidak diatur dalam kementerian agama. Harapan saya, aliran
(3)
kepercayaan Pemena ini dapat diatur oleh kementerian kebudayaan yang memungkinkan aliran kepercayaan ini untuk dilestarikan, karena menurut saya aliran kepercayaan Pemena yang memiliki banyak nilai-nilai yang masih diterapkan, dapat menjadi daya tarik wisata. Sama halnya dengan aliran kepercayaan lokal lainnya. Dan ini tidak hanya dalam cakupan desa Pergendangen saja, melainkan aliran kepercayaan Pemena orang Karo, karena daerah lain juga masih terdapat dan masih belum terungkap.
(4)
Daftar Pustaka
Basrowi. Pengantar Sosiologi. 2005. Bogor: Ghalia Indonesia.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Faisal, Sanafiah. 2007. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Moleong, Lexy, J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Posdakarya.
Mukhlis , dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: CV Dwi Jaya Karya.
Nawawi, Hadari dan Hadari, Martini.2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Oscar M.T, dkk. 1994. Upacara Tradisional peristiwa alam dan kepercayaan daerah Irian Jaya.Departemen pendidikan dan kebudayaan.
Sanderson, Stephen, K. 2011. Makrososiologi: sebuah pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi. Terjemahan oleh Farid Wajidi dan S. Menno. Jakarta: Rajawali Pers.
(5)
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Waluya, Bagja. 2007. Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Bandung: Setia Purna Inves.
Yunus, Ahmad, dkk. 1995. Makna pemakaian rebu dalam kehidupan kekerabatan orang batak Karo. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jurnal.
Alem, s. Sembiring. Guru Si Baso dalam Ritual Orang Karo.Jurnal: Etnovisi Volume I Nomor 3 Desember 2005. LPM-Antrop FISIP USU.
Artikel.
Agama tradisional merasakan dampaknya. Kompas.com. edisi rabu 21 april 2010.
Sumber Internet:
Jakarta.Indonesia. International Religious Freedom Report for 2011.http://jakarta.usembassy.gov/news/keyreports_irf-2011.html diakses pada tanggal 29 Juli 2013 pukul 23:30 wib
www.presidenby.info, 29 juli 2013 pukul 23:53 wib
http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMEDMaster333015050021%20Bab%202.p df
(6)
http://www.sinabungjaya.com/?p=5049 diakses pada tanggal 23 juli 2013 pukul
19.44 wib).
http://nasional.kompas.com/read/2010/04/19/19085744uupenistaanagama diakses pada tanggal 30 juli 2013 pukul 00:05 wib