84
bersifat dualisme dalam hal kepercayaan dan bentuk penyembunyian identitas dari pemeluknya.
4.5 Adanya Dualisme Kepercayaan dan Penyembunyian Identitas
1. Dualisme Kepercayaan pemeluk Aliran Kepercayaan Pemena Dalam hal ini yang dimaksud dengan dualisme kepercayaan adalah
seseorang yang memiliki dua kepercayaan serta menjalankan atau meyakini kedua kepercayaannya. Di mana dalam kehidupan sehari-harinya bahwa kedua
kepercayaan yang dia miliki dijalankan sebagaimana semestinya. Hal ini bisa juga terjadi karena adanya kepentingan pragmatis yang terbentuk karena kondisi sosial
yang dihadapi oleh pemeluk aliran kepercayaan Pemena. Di mana mereka akan menyesuaikan kepercayaan mereka sesuai dengan kondisi yang terjadi pada
mereka. Misalnya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, mereka akan menjalankan kepercayaan mereka dalam agama resmi yang mereka anut.
Sedangkan untuk hal mistis atau hal yang memang masih menjadi kebiasaan mereka, mereka masih tetap menjalankan kepercayaan Pemena dalam
kesehariannya. Dalam penelitian ini diketahui bahwa terdapat pemeluk aliran kepercayaan
Pemena yang memiliki agama resmi, misalnya agama Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik. Menurut pengakuannya, bahwa mereka menjalankan
kehidupan keagamaannya dengan semestinya dan mereka juga masih menjalankan kepercayaan Pemena. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Nande Suranta Ginting,
bahwa:
Universitas Sumatera Utara
85
“aku gundari enda nggo nge aktif bas kegiaten gereja e. Ku ikuti nge koor ras rusur nge aku ikut perpulungen gereja. Tapi bagi sikataken ndai kang,
aku asa gundari pe ndalanken si ndekah denga kang. Rusur denga kang aku erpangir ras nama cibal-cibal man Nini. E rusur dengan nge ku ban,
adi latih ku akap rukur entah pe mindo dagingku e, erpangir nge aku. Je kari mis kang kuakap menahang ras ukurku pe tenang. Adi lit rezekiku, ku
tukur kari manuk, adi la megara ntah mentar, e kari kucibalken kang lebe bas kamar ku ah, dung e maka ku pan. Tenang kin kuakap adi bage ku ban,
nai-nai nari kin nggo kulakoken si bage”. Hasil wawancara tanggal 20 januari 2014.
Terjemahan: “saya saat ini sudah aktif dalam kegiatan gereja. Aku selalu ikut koor dan
aku juga sering mengikuti perkumpulan gereja. Tapi seperti yang sayang bilang tadi juga, bahwa hingga saat ini juga saya masih menjalankan
kepercayaan saya yang lama. Masih sering juga saya erpangir mandi kembang dan membuat cibal-cibal memberi persembahan untuk Nini.
Itu masih sering ku lakukan, jika saya banyak pikiran atau badan saya meminta keinginan badan, saya akan erpangir. Setelah itu pikiran saya
terasa sangat baik dan hati saya pun tenang. Jika saya ada rezeki, saya akan membeli ayam, ayam merah atau ayam putih, itu nanti saya
perembahkan dulu di kamar saya, setelah itu maka saya makan. Saya merasa tenang dengan begitu, dari dulu memang sudah kulakukan yang
seperti itu”.
Hal yang senada juga dikatakan oleh Nande Gantang Tarigan, yaitu: “kami sada keluarga nggom aktif ku gereja e nak ku. Meriah kel kuakap
bas berita si meriah e. Lanai kuakap tertadingken aku pe. Kerina nge kami nggo masuk ku kristen e, nai nge kami lenga er agama. Amin pe bage nak
ku, bagi si sungkunndu ndai, si ndehkah e pe labo ku tadingken denga, tapi nggo nge ku kurangi perban nggo kerina kel kami katif ku gereja. Lanai bo
bagi si nai kel ku ban, tapi rusur denga nge kulakukan perban nggo jadi kebiasen. Adi ku ukur-ukuri labo salah adi guna si mehuli kang. Tek nge
kita man Tuhan Yesus, tapi adi pikir-pikiri ka, labo tertadingken denga si ndekah e nakku. Perban si ndekah e pe ciptaan Tuhan nge ku akap”. Hasil
wawancara dengan Nande Gantang Tarigan pada tanggal 22 Januari 2014.
Terjemahan: “kami sekeluarga sudah aktif ke gereja nak. Saya merasa sangat senang
dalam kabar bahagia ini konsep agama Protestan. Saya merasa tidak dapat meninggalkan ini agamanya lagi. Semuanya kami sudah masuk
kristen ini, dulunya kami belum beragama. Walaupun begitu nak, seperti apa yang kamu tanya tadi, kepercayaan kami yang lama juga belum saya
tinggalkan juga, tapisudahnya saya kurangi karena kami semua sudah aktif
Universitas Sumatera Utara
86
ke gereja. tidak seperti dulu laginya saya menjalankannya, tapi masih sering juga saya menjalankannya karena sudah menjadi kebiasaan sejak
dulu. Jika saya pikiri, tidak salah jika tujuannya tetap baik. Saya sangat percaya kepada Tuhan Yesus, tapi jika saya berpikir lagi, belum bisa
ditinggalkan juga kepercayaan yang lama ini nak. Karena saya merasa kepercayaan yang lama ini juga ciptaan Tuhan juga”.
Dari pernyataan mereka berdua, dapat kita lihat bahwa mereka sudah menganut agama yang resmi yaitu agama Kristen Protestan. Namun seperti yang
mereka katakan bahwa mereka masih menjalankan kepercayaan lama mereka yaitu aliran kepercayaan Pemena. Walaupun secara kualitas dan kuantitasnya
mereka menjalankan kepercayaan Pemena tidak seperti dulu lagi. Mereka menjalankan nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena secara pribadi sehingga tidak
diketahui oleh umum apa yang masih mereka jalankan, seperti melakukan cibal- cibal persembahan mereka serta mandi kembang yang sering mereka lakukan.
Cibal-cibal dalam hal ini tidak selamanya dalam bentuk makanan, sering juga dipersembahkan dalam bentuk Belo Kuh atau sirih yang sudah lengkap dengan
kapur dan yang lainnya. Alasan mereka tetap melakukan dualisme kepercayaan adalah bahwa nilai
Pemena telah menjadi kebiasaan dalam diri mereka sehingga sangat sulit untuk ditinggalkan. Ditambah lagi bahwa mereka mendapat ketenangan serta nilai dari
kepercayaan Pemena sehingga masih tetap dijalankan walaupun cara menjalankannya telah berbeda dengan yang dulu. Dan juga bahwa mereka telah
menemukan konsep penyatu kepercayaan agar tidak bertentangan, bahwa kepercayaan mereka sama-sama bertujuan memberikan yang terbaik dan juga
bahwa dalam anggapan mereka, kepercayaan Pemena juga ciptaan dari Tuhan sehingga membuat mereka semakin yakin dengan prinsip mereka untuk tetap
melakukan kepercayaan dengan sistem dualisme.
Universitas Sumatera Utara
87
2. Penyembunyian Identitas Pemeluk Aliran Kepercayaan Pemena Konsep ini lebih menjelaskan bahwa seseorang yang menjalankan
kepercayaannya dan memilih agama resmi sebagai tameng agar kepercayaan lama yang ia peluk tidak terlihat oleh masyarakat umum. Dalam hal ini dapat kita lihat
bahwa pemeluk aliran kepercayaan Pemena terlihat sengaja memiliki agama resmi dan tercantum pada Kartu Tanda Penduduk KTP mereka agar kepercayaan
Pemena yang masih mereka anut tidak diketahui. Hal ini mungkin terjadi akibat dari keharusan memiliki agama pada KTP karena akan berpengaruh dalam urusan
mereka dalam masyarakat, misalnya anak mereka yang sekolah harus memiliki agama resmi, dalam urusan pekerjaan juga agama sering dipertanyakan, serta
dalam pergaulan dengan orang-orang di sekitar mereka. Jika dilihat dari data penduduk desa, bahwa semua orang di Desa
Pergendangen telah memiliki agama resmi. Hal ini yang membuat identitas mereka sebagai pemeluk kepercayaan Pemena tidak dapat diketahui. Mereka
dikatakan telah melakukan penyembunyian identitas sebagai Pemena karena pada dasarnya mereka tidak menjalankan agama yang mereka peluk dengan
semestinya. Bahkan ajaran agama yang mereka peluk benar-benar tidak dijalankan oleh mereka. Hal ini terlihat pada apa yang dilakukan oleh Nande Iin
br Sembiring, bahwa: “nai nari nge aku ndalanken si ndekah e nakku. Asa gundari pe, e nge lalap
si ku dalanken. Bulangndu nai pe e kang agamana, asa lawes ia e denga ia lalap. adi si sungkunndu ndai, kai nge agamaku? Adi aku bas kuta enda
agama Islam, bas KTP pe e kang. Tapi labo pernah ku dalanken ajarenna e. Adi ku Mesjid pe akapndu aku labo pernah. Rusur nge dilo kalak aku
gelah ikut ku agamana si deban, bagi GBKP e ntah gereja RK ah, tapi labo pernah aku nggit. Adi Islam e saja pe gelah lit agamanta bas KTP e nakku,
perban labo lit pilihen agama si ndekah bas KTP ah. Anak-anak e pe adi
Universitas Sumatera Utara
88
sekolah harus ka nge ban agamanta je. Adi kami barenda sekolah, kuinget denga banci la tama agamanta je, Pemena pe ban banci kang bas rapor e.
Lang pe, nggo kerina kalak er agama, kita ka ngenca kari lalit, me mela ka kita teh kalak bage”. Hasil wawancara dengan Nande Iin br Sembiring
tanggal 25 Januari 2014.
Terjemahan: “dari dulunya saya menjalankan kepercayaan yang lama nak. Hingga saat
ini tetap juga itu yang saya jalankan. Kakek di rumah ini Suaminya juga dulunya itu juga kepercayaannya hingga dia meninggal. Untuk yang kamu
tanya tadi, apa agamaku? Kalau saya di desa ini beragama Islam, di KTP pun itu juga. Tapi saya tidak pernah menjalankannya. Bahkan ke Mesjida
saya juga belum pernah. Sering juga saya diajak masuk agama lain, seperti GBKP ataupun gereja RK itu, tapi saya tidak mau. Agama Islam ini juga
saya pilih dulu agar ada agama di KTP nak, karena tidak ada pilihan untuk kepercayaan yang lama dalam KTP. Anak-anak pun jika mau sekolah
harus memiliki agama yang resmi. Kalo kami dulunya, masih saya ingat masih bisa tidak dibuat agama kita, Pemena juga bisa dibuat dulu di dalam
raport itu. Lagipula sudah semua orang memiliki agama di desa ini, kita pula nanti yang tidak memiliki agama, kan malu juga nanti kalo orang lain
tahu seperti itu”.
Hal serupa juga dikatakan oleh anaknya, Rahmat Ginting bahwa: “adi aku, agama e labo ku angka sada pe. Labo ku diate pe. Emaka adi
kataken aku si ndekah denga, pas nge ku akap. Perban ku japa pe aku labo. Adi si nai rusur dengan nge ku ikutken adi nembah-nembah Nini pe
termasuk si nai katandu. Kuburen bapa ah pe rusur kang ku tama je cibal- cibalku, me si nai denga ndai kang e. Tapi adi kukataken aku si ndekah
denga man kalak sinterem, mela kari aku. Emaka lit kang ku ban agamaku jenda, Islam ku ban perban bapa pe barenda, e kang banna. Adi kaka
kerina nggo nge tutus tena eragama e. Aku nari nge ras nande e si nai denga.” Hasil wawancara dengan Rahmat Ginting tanggal 25 Januari
2014.
Terjemahan: “kalo aku, aku tidak mengerti apa-apa tentang agama. Aku tidak
pedulipun. Karena itu jika aku dikatakan masih memiliki kepercayaan yang lama, emang pas lah itu. Karena kemanapun aku tidak. Kalo
kebiasaan dulu masih sering juga aku lakukan kalo memang menyembah Nini juga merupakan kepercayaan yang lama seperti yang kamu katakan.
Kuburan bapak itupun sering juganya aku taruh cibal-cibal, kan yang lama juganya itu. Tapi jika aku mengatakan aku masih kepercayaan yang lama
kepada orang banyak, malu lah aku. Makanya aku juga memiliki agama disini, Islam ku buat karena bapak juga dulu itu dibuatnya. Kalo kakak
Universitas Sumatera Utara
89
saudaranya semuanya sudah taat beragama. Tinggal aku dan ibu lagi yang masih percaya pada kepercayaan lama ”.
Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa mereka benar-benar menutupi identitas mereka sebagai pemeluk aliran kepercayaan Pemena dengan memiliki
salah satu agama resmi. Mereka memilih untuk memiliki agama karena adanya kondisi yang seakan memaksa mereka untuk memiliki salah satu agama resmi
yang ada. Misalnya anak-anak mereka sekolah harus memiliki agama dalam identitasnya karena aliran kepercayaan tidak mendapat opsi dalam penentuan
agama dalam data mereka. Begitu juga dengan himbaun pemerintah agar semua masyarakat untuk memiliki agama resmi karena aliran kepercayaan masih belum
memiliki pengakuan atau belum resmi di negara kita. Ditambah lagi bahwa terdapat perasaan malu bagi pemeluk aliran
kepercayaan Pemena jika mereka diketahui tidak beragama karena hal ini sangat sensitif. Walaupun mereka terlihat masih belum beragama, namun mereka terlihat
malu bahkan tidak senang jika dikatakan orang yang tidak beragama. Oleh karena memiliki agama walaupun sebagai penyembunyian identitas menjadi salah satu
pilihan bagi mereka. Mereka sepertinya tidak bermasalah dengan agama resmi yang ada di
Kartu Tanda Penduduk KTP mereka seperti yang mereka ungkapkan. Karena itu dapat membantu mereka untuk menutupi identitas mereka sebagai pemeluk
kepercayaan Pemena. Terlihat juga bahwa aliran kepercayaan Pemena yang masih mereka anut juga mendapat tantangan tersendiri dari hadirnya agama-agama
resmi. Namun karena menjadi sebuah kebiasaan dalam kehidupan sehari-harinya, serta mereka juga mendapat kegunaan dalam memeluk aliran kepercayaan
Universitas Sumatera Utara
90
Pemena. Karena nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena selalu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Dari kedua kenyataan yang telah terlihat, terdapat makna lain dari kenyataan yang mereka alami. Di mana menurut pandangan saya dari masalah
yang terjadi bahwa dari pernyataan yang mereka sebutkan di atas, baik pemeluk yang kepercayaannya dual dan pemeluk yang menutupi identitasnya. Bahwa itu
adalah alasan mengapa mereka harus memilih memeluk agama resmi di desa ini. Dilihat dari segi sosialnya, terdapat tekanan dari aturan pemerintah berupa
hegemoni yang dibuat seperti halnya pembuatan aturan pada keharusan memiliki agama pada anak-anak mereka dalam sekolah serta itu menjadi syarat utnuk anak
mereka agar bisa sekolah. Hal ini menjadi faktor penekan yang mempengaruhi mereka untuk memilih agama resmi sebagai identitas mereka pada awalnya,
sehingga pada akhirnya sebagian dari mereka memang menikmati kehidupan agamanya dan memiliki keinginan untuk mendalaminya karena pada dasarnya
setiap agama akan berusaha memberi ketenangan bagi pemeluknya. Seperti yang telah terlihat dari pernyataan mereka di atas, bahwa mereka
merasa malu kepada orang sekitar mereka yang sudah memiliki agama. Hal ini merupakan bagian dari tekanan atau arahan dari pemerintah yang menciptakan
sanksi-sanksi sosial yang dampaknya tidak terlihat langsung namun akan sangat berpengaruh dalam kehidupan beragama bagi pemeluk kepercayaan Pemena.
Keadaan seperti ini membuat pemeluk aliran kepercayaan Pemena merasa malu dengan status Pemena yang mereka sandang. Aturan yang berlaku seakan-akan
memojokkan aliran kepercayaan Pemena sehingga harus ditutupi karena perasaan
Universitas Sumatera Utara
91
malu yang merupakan sanksi sosial dalam masyarakat. Sehingga terlihat bahwa aliran kepercayaan Pemena seperti aliran yang salah dalam masyarakat dan
memang harus dihilangkan, hal ini terlihat dari arahan yang diberikan oleh pemerintah dengan membuat berbagai aturan yang sifatnya memojokkan pemeluk
aliran kepercayaan Pemena dengan menciptakan perasaan malu bagi pemeluknya. Hal inilah yang mendasari mereka untuk beralih memeluk salah satu agama resmi.
Dengan adanya tantangan dari hegemoni yang diberikan pemerintah, yaitu dengan membuat orang sekitar yang memiliki agama sebagai sarana untuk
menarik pemeluk aliran kepercayaan Pemena agar segera beralih memilih agama resmi, karena telah ada norma sosial yang terbentuk akibat arahan pemerintah
tersebut, yaitu perasaan malu tidak beragama. Dan juga bahwa ketakutan akan tidak memiliki teman juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi mereka
harus memeluk agama resmi demi mendapat tempat dalam bagian masyarakat. Hal ini memang tidak disadari oleh pemeluk aliran kepercayaan Pemena, karena
mereka merasa bahwa perpindahan agama itu memang wajar sehingga jika tetap berlanjut seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa pemeluk aliran kepercayaan
Pemena akan hilang nantinya. Jika dilihat dari sejarahnya, bahwa perpindahan pemeluk aliran
kepercayaan Pemena secara besar-besaran ke agama resmi di Tanah Karo pada umumnya terjadi pada masa Orde Baru sekitaran tahun 1965-1966. Di mana pada
awal zaman pemerintahan presiden Soeharto, terlihat jumlah penduduk yang memeluk agama resmi secara drastis meningkat di daerah Kabupaten Karo. Dari
yang semula mereka masih tetap bisa menyandang Pemena, baik di rapor anak
Universitas Sumatera Utara
92
sekolah, dan masih konsisten dengan status Pemena dalam masyarakat. Namun semuanya beralih memeluk agama resmi yang diakui oleh negara Indonesia.
Pada zaman orde baru, penduduk yang tidak memeliki agama resmi akan dianggap sebagai PKI kalangan komunis, karena saat itu masih sangat kental
konflik terkait komunis, sehingga pemeluk Pemena terlihat takut untuk diketahui statusnya sebagai Pemena karena tidak diakui sebagai agama. Ketakutan ini
berawal dari kebijakan otoriter yang dibuat oleh presiden Soeharto dengan memungkinkannya penangkapan bahkan pembunuhan terhadap orang yang
dianggap PKI. Hal ini membuat pemeluk pemena semakin tidak yakin dengan kepercayaan awal mereka, sehingga usaha untuk mempertahankan
kepercayaannya mendapati hambatan yang sangat berat sehngga hal ini dapat dikatakan sebagai penyebab mengapa mereka terpaksa memilih untuk memeluk
agama resmi yang ada di Indonesia. Dalam perkembangannya, masih tetap ada orang yang memeluk dengan
jelas kepercayaan Pemena. Namun tantangan berikutnya dalam masyarakat adalah adanya isu tentang perbegu ganjang pemelihara hantu yang sering sekali
dikaitkan dengan Pemena. Sehingga hal ini membuat mereka terlihat terpojokkan dalam masyarakat dengan adanya stereotip yang tidak jelas dari masyarakat.
Padahal pada kenyataannya bahwa pemeluk Pemena sendiri sangat menentang yang adanya perbegu ganjang karena pada dasarnya juga prinsipnya sangat
berbeda. Di mana pemena memiliki prinsip yang sangat mulia untuk membantu masyarakat, sedangkan perbegu ganjang lebih pada kegiatan yang mencelakakan
orang lain. Sehingga Pemena sangat tidak setuju dengan keberadaan perbegu ganjang. Namun yang terjadi bahwa mereka yang pada akhirnya dicap sebagai
Universitas Sumatera Utara
93
perbegu ganjang oleh masyarakat karena kegiatan mereka memang terlihat salah jika dipandang dari ajaran agama resmi. Namun hal seperti ini tidak pernah terjadi
di Desa Pergendangen karena masyarakat umum juga telah mengerti dengan benar apa yang dimaksud dengan Pemena dan perbegu ganjang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeluk aliran kepercayaan Pemena menyembunyikan identitasnya karena mengalami banyak tantangan, baik dari
pemerintah dan dari masyarakat sekitar. Dalam hal ini terdapat dua sisi bagi pemeluk Pemena dalam upaya penyembunyian identitas. Di mana dalam satu sisi,
bahwa mereka masih membutuhkan legitimasi dari negara untuk kepentingan administrasi sehingga mereka menggunakan identitas agama resmi sebagai alat
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dan di sisi lain bahwa mereka masih tetap menyakini aliran kepercayaan Pemena, apalagi bagi guru sibaso yang memang
mendapat tempat dalam status kekuasaan yang memang memiliki pengaruh bagi masyarakat desa.
4.6 Keberadaan Pemeluk Aliran Kepercayaan Pemena