Hak Subjek Konsumen dalam Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN Persero Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009 situs di http:www.pln.co.id ataupun melalui website PT. PLN Persero Wilayah II Sumatera Utara di http:www.plnsumut.co.id. Konsumen dapat mengetahui informasi tentang PT. PLN Persero dan juga dapat mengajukan keluhannya langsung ke website tersebut. 10

B. Hak Subjek Konsumen dalam Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Kata ”konsumen” pertama kali masuk dalam substansi GBHN pada tahun 1983. Pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya GBHN harus menguntungkan konsumen. Lima tahun kemudian kata- kata itu dirasakan tetap relevan untuk dimuat kembali sehingga dalam GBHN 1988 dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus menjamin kepentingan konsumen. Selanjutnya dalam GBHN 1993 kembali dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus melindungi kepentingan konsumen. Kata-kata ”menguntungkan”, ”menjamin kepentingan”, atau ”melindungi kepentingan” itu pada hakikatnya merupakan rumusan yang sangat abstrak dan normatif. 11 10 http:www.plnsumut.co.id. 11 A.Z Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Hukum Konsumen Indonesia Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, h. 72. Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan konsumen dan dua jenis kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsip-prinsip pengaturan di bidang perlindungan konsumen. UUPK menyebutkan lima prinsip pengaturan yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan, serta kepastian hukum. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN Persero Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009 Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentu saja prinsip-prinsip tersebut bukan sesuatu yang khas ”hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Yang termasuk kelompok ini adalah: 1. Prinsip ”Let the buyer Beware” Doktrin ”let the buyer beware” sebagai dasar dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Akhirnya, konsumen pun didikte oleh pelaku usaha. Jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan mudah berdalih dengan mengatakan, semua itu karena kelalaian konsumen sendiri. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN Persero Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009 Doktrin yang mengatakan ”let the buyer beware” itu ditentang oleh pendukung gerakan perlindungan konsumen konsumerisme. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual-beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli konsumen jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor pelaku usaha yang perlu berhati-hati. 2. Prinsip ”The Due Care Theory” Doktrin prinsip atau teori ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha, seseorang harus dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. 3. Prinsip ”The Privity of Contract” Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikannya. Artinya, konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi contractual liability. Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum tortious liability. Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN Persero Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009 mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Walaupun demikian, ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang jasa. Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan fault liability atau liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 12 1 adanya perbuatan, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: 2 adanya unsur kesalahan, 12 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Jakarta: Intermassa, 1987, h. 310. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN Persero Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009 3 adanya kerugian yang diderita, dan 4 adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab presumption of liability principle, sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal 4 empat variasi, 13 1 Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya. yaitu: 2 Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian. 3 Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahnnya. 4 Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahankelalaian penumpang atau karena kualitasmutu barang yang diangkut tidak baik. Dari uraian di atas jelas terlihat beban pembuktian terbalik omkering van bewijlast diterima dalam prinsip tersebut. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijlast diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada Pasal 17 dan 18. Namun, dalam praktiknya 13 E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain dalam Bidang Penerbangan Bandung: Alumni, 1986, h. 18. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN Persero Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009 pihak Kejaksaan RI sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. UUPK pun mengadopsi sistem pembukt ian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23. Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab presumption of nonliability principle hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabinbagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut pelaku usaha tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute Absolute liability. Pada strict liability, harus ada hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya, sementara pada absolute liability hubungan itu tidak selalu ada. 14 Dalam Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan Pasal 17 ayat 1 Konvensi Warsawa Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminology di atas. 14 E. Saefullah Wirapradja, Tanggung Jawab Penganangkut dalam Hukum Udara Internasional dan Nasional Yogyakarta: Liberty, 1989, h. 51. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN Persero Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Menurut R.C. Hoeber, 15 15 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia Jakarta: Grasindo, 2004, h. 64. biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, dan asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya, ditentukan, bila film yang ingin dicucicetak itu hilang atau rusak termasuk akibat kesalahan petugas, maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali lipat harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

C. Hak-Hak Konsumen dalam Undang-Undang Kelistrikan