Pengaruh Multikulturalisme Di Amerika Terhadap Kemenangan Barac Obama Dalam Democratic Primary Election Tahun 2008

(1)

PENGARUH MULTIKULTURALISME DI AMERIKA

TERHADAP KEMENANGAN BARAC OBAMA

DALAM DEMOCRATIC PRIMARY ELECTION TAHUN 2008

D

I S U S U N OLEH:

MUHAMMAD REZANI

060906048

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... .... i

Abstrak...iv

Bab I 1. PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah...7

1.3. Pembatasan Masalah...8

1.4. Tujuan Penelitian...8

1.5. Manfaat Penelitian...8

1.6. Kerangka Teori...9

1.6.1. Budaya Politik...9

1.6.2. Perilaku Politik...11

1.6.3. Komunikasi Politik...17

1.7. Metodelogi Penelitian...22

1.7.1. Metode Penelitian...22

1.7.2. Pendekatan Penelitian...23

1.7.3. Fokus Penelitian...23

1.7.4. Teknik Pengumpulan Data...24

1.7.5. Metode Analisis...24


(3)

Bab II

MILTIKULTURALISME DAN NILAI-NILAI BUDAYA AMERIKA DALAM

PROSES PEMILIHAN UMUM...26

2.1. Multikulturalisme...30

2.2. Kebudayaan dan Masyarakat Amerika...35

2.2.1. Nilai-Nilai Budaya Amerika...36

2.2.2. Pluralisme Bangsa Amerika...39

2.3. Demokrasi di Amerika...40

2.4. Primary Election...44

2.5. Pemilihan Umum di Amerika ...46

2.6. Profil Barac Obama...48

2.6.1. Barack Obama Menjadi Seorang Senator...50

2.6.2. Masa Pemilihan Presiden Amerika Serikat...52

Bab III: PROSES KEMENANGAN BARAC OBAMA DALAM PEMILIHAN UMUM...54

3.1. Visi Masa Depan Barac Obama...54

3.2. Strategi Kampanye Barac Obama...56

3.3. Sumbangan Dana Kampanye Barac Obama ...57


(4)

3.4.1.Perbedaan Ras dan Gender...59

3.4.2.Dukungan Pemilih Usia Muda...66

3.5.Perjalanan Obama dalam Democratic Primary Election 2008...68

3.6. Solusi Perubahan untuk Amerika ...81

3.7. Pragmatisme Amerika: Pilihan Rasional sebagai Faktor Penentu Kemenangan Obama...84

BAB IV: PENUTUP 4.1. Kesimpulan...88


(5)

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang pengaruh multikulturalisme di Amerika terhadap kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election tahun 2008, yang membawa Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-44. Amerika merupakan Negara super power yang mempunyai prinsip-prinsip dasar politik dan pemerintahan yaitu pemerintahan oleh rakyat, sistem perwakilan, pemerintahan terbatas, pemisahan kekuasaan, check and balances dan federalisme. Amerika mengadakan pemilu setiap empat tahun sekali dan dipilih secara langsung. Pelaksanaan Pemilu Amerika Serikat sangat menarik untuk dibahas. Terutama Pemilu yang dilangsungkan pada November 2008.

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah multikulturalisme di Amerika Serikat terhadap Barac Obama dalam kampanyenya terkait dengan proses kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election 2008. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melalui kajian pustaka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapat Memahami dan mendeskripsikan multikulturalisme di Amerika Serikat terkait dengan politik masyarakat Amerika Serikat. Serta bagaimana Barac Obama memanfaatkan isu multikulturalisme dan proses kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election tahun 2008. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat berbagai macam pertentangan nilai-nilai budaya Amerika yang merepresentasikan budaya politik Amerika.

Kemenangan Obama adalah hasil pilihan rasional dari konstituen Partai Demokrat yang mencerminkankan pragmatisme Amerika dalam mengatasi permasalahan. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah adanya pergeseran pola pikir dari masyarakat Amerika khususnya konstituen Partai Demokrat


(6)

dalam memandang rasisme dan diskriminasi gender di Amerika. Pergeseran pola pikir ini disebabkan oleh permasalahan negara yang harus diselesaikan, dimana perubahan dibutuhkan sebagai solusinya. Inilah mengapa Obama yang mengampanyekan perubahan dianggap dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.


(7)

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang pengaruh multikulturalisme di Amerika terhadap kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election tahun 2008, yang membawa Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-44. Amerika merupakan Negara super power yang mempunyai prinsip-prinsip dasar politik dan pemerintahan yaitu pemerintahan oleh rakyat, sistem perwakilan, pemerintahan terbatas, pemisahan kekuasaan, check and balances dan federalisme. Amerika mengadakan pemilu setiap empat tahun sekali dan dipilih secara langsung. Pelaksanaan Pemilu Amerika Serikat sangat menarik untuk dibahas. Terutama Pemilu yang dilangsungkan pada November 2008.

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah multikulturalisme di Amerika Serikat terhadap Barac Obama dalam kampanyenya terkait dengan proses kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election 2008. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melalui kajian pustaka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapat Memahami dan mendeskripsikan multikulturalisme di Amerika Serikat terkait dengan politik masyarakat Amerika Serikat. Serta bagaimana Barac Obama memanfaatkan isu multikulturalisme dan proses kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election tahun 2008. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat berbagai macam pertentangan nilai-nilai budaya Amerika yang merepresentasikan budaya politik Amerika.

Kemenangan Obama adalah hasil pilihan rasional dari konstituen Partai Demokrat yang mencerminkankan pragmatisme Amerika dalam mengatasi permasalahan. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah adanya pergeseran pola pikir dari masyarakat Amerika khususnya konstituen Partai Demokrat


(8)

dalam memandang rasisme dan diskriminasi gender di Amerika. Pergeseran pola pikir ini disebabkan oleh permasalahan negara yang harus diselesaikan, dimana perubahan dibutuhkan sebagai solusinya. Inilah mengapa Obama yang mengampanyekan perubahan dianggap dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.


(9)

PENGARUH MULTIKULTURALISME DI AMERIKA

TERHADAP KEMENANGAN BARAC OBAMA

DALAM DEMOCRATIC PRIMARY ELECTION TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi melalui perubahan sosial yang panjang, multikulturalisme (dengan nama yang sama atau yang lain) sering merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang terjadi. Dengan kata lain, sejarah yang panjang telah menghasilkan sebuah tatanan kolektif yang memungkinkan di satu pihak keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan di pihak lain memungkinkan integrasi sosial di tingkat yang lebih tinggi dapat terpelihara.

Sebagai sebuah terminologi, multikulturalisme kadang agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal yang berbeda: realitas dan etika, atau praktik dan ajaran. Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan agama, semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik.


(10)

Dalam masyarakat semacam ini, multikulturalisme adalah hasil dari sebuah logika yang dibangun dari realitas sebuah masyarakat majemuk. Kebanyakan masyarakat Barat jatuh dalam kategori ini. Amerika dan Australia adalah contoh sebuah masyarakat yang setelah mengalami sejarah yang amat kelam dalam mengelola keragaman budaya masyarakatnya, “menemukan” logika multikulturalisme-nya sebagai jawaban atas kemajemukan dan sekaligus demokrasi. Logika ini tidak dibangun pertama-tama dari gagasan ideal, tetapi dibangun dari sebuah keniscayaan sosial. Alhasil, melting-pot—multikulturalisme ala Amerika— adalah sebuah nilai yang melembaga bersama-sama dengan nilai-nilai penting masyarakat Amerika lainnya. Dalam ekspresi mereka, multikulturalisme adalah jawaban kepada kebutuhan bagi terjaminnya prinsip the freedom of expression (kebebasan berekspresi).

Di kebanyakan belahan dunia yang lain, dalam mana sebagian besar dari mereka adalah bangsa-bangsa bekas jajahan yang terdiri atas kelompok-kelompok etnik dan budaya yang sangat majemuk itu, multikulturalisme adalah sebuah gagasan yang diperjuangkan. Bahkan, lebih dini dari itu, kebanyakan negeri-negeri yang relatif muda usia ini, harus berjuang terlebih dahulu dengan gagasan nasionalisme. Gagasan nasionalisme negeri-negeri yang pada umumnya memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia Kedua ini, dibangun melalui kesadaran para pemimpinnya akan sebuah kepercayaan bahwa sebuah negeri yang amat majemuk, sering kali terdiri atas puluhan bahkan ratusan kelompok etnis, hanya mungkin dipersatukan dengan ikrar yang meneguhkan persatuan sebagai dasar untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik.


(11)

Multikulturalisme pada intinya adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasapun ataupun agama, menurut Gurpeet Mahajan konsep multikulturalisme sebenarnya relative baru, menurutnya sekitar 1950-an gerakun multikulralisme muncul pertama kali di Kanada dan Australi kemudian di Amerika Seriakat, Jerman, dan lainnya. Multikulturalisme memberikan penegasan, bahwa dengan segala perbedaannya diakui dan sama diruang public. Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas yang berbeda saja saja tidak cukup, karena yang- pertama dan yang terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun negara1

Di berbagai Negara yang mempunyai keragaman etnik dan budaya, seperti Amerika Serikat, memang masalah multikulturalisme merupakan kenyatan social

.

Multikulturalisme telah merupakan wacana bagi para akademisi maupun praktisi dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia dewasa ini. Berbagai seminar diadakan membahas mengenai multikulturalisme., seperti yang baru-baru ini diselenggarakan mengenai pembangunan di Indonesia berwawasan kebudayaan. D-emikian pula telah muncul pendapat mengenai masalah pemecahan konflik horizontal yang nyaris memecahakan bangsa Indonesia dewasa ini daris udut kebudayaan dan bukan dengan cara kekerasan ataupun cara- cara yang lain yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang beragam. Wacana mengenai kebudayaan memang merupakan bidang yang berkaitan dengan tiga masalah besar, yaitu identitas, kekuasan (Power), dan kebudayaan dalam arti luas.

1

A. Ubaidillah abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)Dem okrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,ICCE Uin Syarif Hidayatullah, Jakarta Edisi


(12)

yang harus dihadapi. Apabiala multikultur-alisme merupakan wacana bidang kebudayaan dalam arti yang luas seperti pengembangan identitas suatu kelompok masyarakat, demikian pula dalam pengembangan bangsa( Nation State) diperlukan rasa identitas dari kelompok bangsa ini, selanjutnya suatu Negara hanya dapat bertahan karena mempunyai kekuatan (power). Kekuasaan untuk memjamin keberlangsungan dengan berkembang dalam suatu kelompok masyarakat serta mengikat masyarakat itu dalam suatu kesatuan kehidupan. Kekuasaan dengan hanya dapat- dikembangkan dalam ungkapan kebudayaandalam ar-ti yang luas. Olreh sebab itu juga pendidikan tid-ak lepas pendidikan tidak lepas d-ari wacana tersebut diatas tadi2

Disatu sisi ada keinginan yang jelas untuk mengatakan bahwa kebudayaan lain adalah baik atau setidaknya mengandung kebaikan. Sehingga kita dapat belajar dari mereka. Terkadang kita menyadari, bahwa dimasa lalu kita kerap kali memberi

.

Masyarakat adalah sebuah fakta, semakin bercampur baurnya penduduk dunia yang mampu memberikan tekanan pada system pemerintahan, pendidikan, dan ekonomi yang telah mapan untuk berubah. Penduduk dunia hidup dalam kedekatan dan berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang etnit dan bangsa. Karena itu kita percaya bahwa semua orang terlahir berbeda- beda dengan keunikan masing-masing. Namun dalam kebudayaan, sumberdaya, dan harapan-harapan ini pula yang melahirkan ketidakpuasan dan konflik social. Dan ketika perbedaan nasionalitas, etnisitas, dan ras muncul bersamaan dengan perbedaan agama posisi social dan ekonomi, maka potensi untuk berbenturan pun semakin besar.

2

H.A.R Tilaar, Pendidikan Dan Kekuasan, Suatu tinjauan dari Perspetif Studi Kultural, Indonesia Tera, Magelang 2003. Cet 1, hal. 162-163


(13)

penilaian yang salah terhadap kebudayaan-kebudayaan lain, suatu penilaian yang didasarkan pada informasi yang tidak akurat dan pemahaman yang kurang memadai. Disisi lain, ada pula keinginan untuk mengisoslasi kebudayaan-kebudayaan lain tersebut dalam penilaian negative kita. Penilaian negative ini muncul dari pengalaman masa lampau dan juga sikap protekatif terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain. Bagi para pengkritik multikuluralisme, pengabsahan atas isme ini merupakan agenda politik yang jahat; sedangkan bagi para pendukungnya, multikulturalisme adalah maksud baik. Dua pendangan yang berbeda ini memperlihatkan bahwa makna, respon, dan kritik atas multikulturalisme adalah bergantung pada perspektif indifidu yang memahaminya secara implicit, pertentangan pandangan itu mulcul karena multikulturalisme lebih dilihat sebagai idiologi dari pada kenyataan pluralitas cultural yang hidup pada masyarakat, bentuk pemerintahan, system ekonomi, system keagamaan atau intelektual atau bahkan kebudayaan3

Pendekatan akademis terhadap multikulturalisme dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama mereka yang memandang isu multikulturalisme sebagai isu politik identitas budaya pinggira terhadap yang dominan yang selama ini menguasainya melalui wacana. Apa yang mereka maksud dengan budaya saat membincangkannya adalah budaya pinggiran (sub culture), seperti kelompok punk, kelompok lesbian, gay, kulit berwarna dan lain sebagainya. Kedua mereka yang memandang isu multikulturalisme sebagai persoalan kemajemukan komunitas budaya mereka artikan sama dengan bangsa (nation) (Kymlicka 1995: 11) yaitu intergenerasi yang berbagai bahasa, sejarah, dan adat-istiadat yang sama. Pendekatan kedua ini mempersoalkan isu hak budaya minoritas dan konsep Negara bangsa.

.

3

Zakiyuddin Baidhowi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Erlangga, Jakarta 2005, hal. 1-2


(14)

Wacana multikulturalisme di kalangan akademisi berkembang setelah oposisi biner identitas atau perbedaan dedekonstruksi. Dekonstruksi yang disambut hangat oleh para multikulturalis dan psikoanalis sepert Edward Said, Gayatri Spivak, Homi Babha dal lain sebagainya. Mereka umumnya menyimpulkan bahwa identitas “Barat” yang mengedepankan rasionalitas, linier dan sekuler tidak lebih dari sekedar teks. Teks yang dirajut denga benang kekuasaan atas wacana tentang “Timur” yang irasional, sirkular dan spiritual. “Timur” timur tak pernah dibiarkan mendefinisikan dirinya secara unik tanpa harus mengacu para kerangka acuan barat.

Wacana multikulturalisme dikalangan para akademisi juga berkembang sebagai reaksi atas kegagalan proyek negara-bangsa (Bennet 1998: 138). Sebuah proyek ingin mewujudkan negara yang terikat tidak saja secara yuridis tetapi juga secara kultural. Proyek negara bangsa dinilai mengabaikan hak masing-masing budaya yang ada untuk mengaktualisasi diri secara sepenuhnya. Postmodernisme radikal, misalnya, menolak naionalisme yang berporos pada homogenisasi, identitas dan esensi. Posmodernisme radikal mengajukan konsep pluralisme radikal yang menekankan liberalisasi perbedaan. Dimana setiap komunitas budaya berhak mendefinisikan dirinya sendiri tanpa harus berpaling atau mengacu patokan universal.

Masih dalam kerangka multikulturalisme, posmodernis radikal atau biasa disebut postmodern libertarian memodifikasi paham modernisme klasik. Liberalisme klasik adalah paham yang yang menekankan perlunya perlunya pembatasan legal pada kekuasaan negara dalam mengurus masyarakat untuk melindungi apa yang disebut john stuart mill sebagai kebebasan negative idifidu atau kebebasan untuk mengeksekusi apa yang disebut sebagai hak-hak ilmiah, ulienable atau yang lebih dikenal dengan sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) untuk mengeluarkan pendapat


(15)

menurut suara hati berserikat beribadah dan lain sebagainya. Posmodern libertian menolak konsep HAM yang menekan konsep universalisme dalam paham liberalisme klasik karena mengingkari perbedaan. Individu harus dianggap sejauh memiliki kesempata yang sama dalam mengekspresikan perbedaannya. Ini diperkuat lagi oleh tesis Terry Eagleton tentag Universalisme (sarup 1996: 63). Universalisme menurut Terry, bukan hak dan kewajiban abstrak sbagai lawan dari partikularitas ras, etnis, agama dan gender melainkan pengakuan bahwa setiap perbedaan individu dapat teraksenturasi secara sempurna.

Negara dalam konteks multikulturalisme sendiri harus sejalan dengan prinsip plurailsme. negara yang menghargai kemajemukan budaya menurut postmodern libertian adalah negara ynag tidak lagi merumuskan kerangka ideal idiologi maupun kultural bagi komunitas-komunitas budaya untuk menyesuakan diri. Proyek negara bangsa dianggap sebagai represi terhadap potensi berbagai komunitas budaya untuk merealisasikan dirinya secara unik. Konsep negara multicultural adalah negara menjaga jarak terhadap persoalan kultur dan menjamin tiap komunitas budaya untuk mengurus urusan kulturnya sendiri4

1.2. Rumusan Masalah

.

Berangkat dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

- Bagaimana memanfaatkan isu multikulturalisme dalam kampanyenya terkait proses kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election 2008?

4

Aryo Danusiri dan Wasmi Alhasiri, Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan, SET, Jakarta 2002, Cet 1, Hal. 3-5


(16)

1.3. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada permasalahan tentang bagaimana isu multikulturalisme di Amerika Serikat terhadap Barac Obama dalam kampanyenya terkait dengan proses kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election 2008.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Memahami dan mendeskripsikan multikulturalisme di Amerika Serikat terkait dengan politik masyarakat Amerika Serikat.

2. Memahami dan menjelaskan Bagaimana Barac Obama memanfaatkan isu multikulturalisme dan proses kemenangan Barac Obama dalam Democratic Primary Election 2008 tersebut.

1.5. Manfaat Penelitian

Ada 2 (dua) manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini, yaitu:

1) Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan data studi mengenai partai politik dan sistem pemilihan umum, serta berguna bagi perkembangan kajian ilmu sosial dan ilmu politik. Selain itu juga sebagai masukan bagi perkembangan terhadap kajian politik negara selain Indonesia. 2) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi

dalam hal kepartaian dan sistem pemilihan umum, sehingga pemimpin yang dihasilkan dari proses pemilihan umum benar-benar bisa membawa suara rakyat dan mempertanggungjawabkannya kembali pada rakyat karena sekali lagi suara rakyat merupakan sebuah amanat. Bagi peneliti, penelitian ini dapat


(17)

memperoleh wawasan mengenai kajian politik Amerika Serikat yang memang menarik bagi peneliti secara pribadi.

1.6. Kerangka Teori

Dalam skripsi ini tentunya diperlukan dasar teori atau landasan teori agar kita dapat dengan mudah memahaminya, dalam hal ini tentunya penulis mencoba mengutip teori-teori sebagai berikut:

1.6.1. Budaya Politik

Albert Widjaja (1982) menyatakan bahwa budaya politik merupakan aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri dari ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya itu dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik memberikan rasionalitas untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma-norma lain5

Menurut Gabriel Almond (1966), budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik anggota sistem politik

.

6

. Almond dan Verba (dalam Suryadinata, 1992) mengatakan bahwa kebudayaan suatu bangsa sebagai distribusi, pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat tersebut, yaitu tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. Kemudian Almond dan Verba (dalam Suryadinata, 1992) mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut:

5

Albert, Widjaya. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982),

6

Gabriel A, Almond. and G Bingham Powell, Jr.1976,Comparative Politics: A Developmental Approach, Oxford & IBH Publishing Co, New Delhi.


(18)

a. Budaya politik parochial (parochial political culture)

Budaya politikparochial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional yang sederhana. Dengan adanya ciri khas spesialisasi yang masih sangat kecil, pelaku politik belumlah memilki pengkhususan tugas, tetapi peranan yang satu dilakukan bersamaan dengan peranan yang lain, seperti aktifitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya dalam bidang ekonomi, sosial, maupun agama.

b. Budaya politik subyek (subject political culture)

Ciri khas budaya politik subyek adalah adanya anggota masyarakat yang mempunyai, perhatian, kesadaran terhadap sistem sebagai keseluruhan yang dapat dilihat dari adanya kebanggaan, ungkapan sikap mendukung maupun sikap bermusuhan terhadap sistem. Posisi budaya sebagai subyek bersifat pasif, karena anggota masyarakat menganggap dirinya tidak berdaya untuk mempengaruhi atau mengubah sistem. Untuk itulah, mereka menyerah begitu saja pada segala bentuk kebijaksanaan para pemegang jabatan dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, segala keputusan yang diambile lite politik dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah, dikoreksi apalagi ditentang. Tidak ada jalan lain kecuali menerima sistem apa adanya, patuh, setia, dan mengikuti instruksi dari pemimpin (politik).

c. Budaya politik partisipan (partisipan political culture)

Budaya politik ini menganggap seseorang sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, memiliki kesadaran akan hak dan tanggung jawabnya serta dapat merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya. Dengan kata lain, masyarakat dalam budaya politik partisipan tidak menerima keputusan politik begitu saja. Ini terjadi karena masyarakat sudah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem


(19)

politik, mereka tetap mempunyai pengaruh signifikan terhadap sistem tersebut. Oleh karena itu, masyarakat memiliki kesadaran untuk memberi totalitas, masukan, keluaran dalam sistem politik yang ada karena masyarakat diarahkan pada peran individu sebagai bagian dari aktivitas masyarakat, meskipun mereka berhak menerima maupun menolak.

Penilaian terhadap budaya politik Amerika didasarkan pada faktor sejarahnya, yang mana budaya Amerika bersifat multikultural. Artinya, budaya Amerika terdiri dari beragam nilai budaya yang dibawa oleh berbagai bangsa yang datang ke wilayah itu. Berangkat dari latar belakang kehidupan sosiopolitik yang berproses secara cross cutting, George Washington menyatakan bahwa Amerika dipersatukan oleh agama, sikap, kebiasaan, dan prinsip politik yang sama. Hal itu berlangsung sampai datangnya imigran dari Jerman, Skandinavia, dan katolik Irlandia serta Yahudi.

Semakin pluralnya budaya, maka semakin memunculkan kerawanan terjadinya konflik. Namun konflik tersebut dapat diselesaikan dengan akomodasi dan kompromi. Kompromi menghasilkan nilai dasar aturan main kehidupan sosial politik yang disebut civil rights. Berkembangnya hak sipil tersebut kemudian menjadi alasan bagi legalitas tindakan politik yang dilakukan masyarakat Amerika. Dengan kata lain, internalisasi hak-hak sipil melahirkan budaya politik partisipan di Amerika7

Pada dasarnya, perilaku politik tidak serta merta sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, akan tetapi mengandung keterkaitan dengan hal-hal lain. Perilaku politik yang ditunjukkan oleh individu merupakan hasil pengaruh beberapa faktor, baik internal

.

1.6.2. Perilaku Politik

7


(20)

maupun eksternal, yang menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, (Subakti, 1992:131)8. Sastroatmodjo (1995:2) mengatakan bahwa interaksi politik antara pemerintah dan masyarakat, antarlembaga pemerintahan dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik merupakan perilaku politik9

a) Lingkungan politik secara langsung, yaitu mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik, seperti agama, sekolah, dan kelompok pergaulan.

.

Perilaku politik secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, (dalam Sastroatmodjo,1995:2) diantaranya adalah:

b) Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu, yaitu terdiri dari kepentingan (minat dan kebutuhan), penyesuaian diri (keharmonisan dengan obyek) dan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri.

c) Faktor sosial politik langsung berupa situasi yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan suatu keadaanseperti cuaca, keadaan keluarga, ancaman dalam berbagai bentuk, suasana kelompok, keadaan ruang dan kehadiran seseorang10

Faktor–faktor tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap perilaku seorang aktor politik yang notabene terjun secara langsung dalam aktivitas politik praktis, tetapi juga berpengaruh pada masyarakat yang tidak terjun secara langsung dalam aktivitas politik praktis, namun mempunyai peran dalam suatu peristiwa politik,

.

8

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, ( Jakarta: Gramedia Widya sarana, 1992), hal 131

9

Sudijono Sastroatmodjo , Perilaku Politik, ( Semarang : IKIP Semarang Press, 1995). Hal 2

10


(21)

contohnya adalah partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Faktor–faktor itu berpengaruh kepada orientasi dan perilaku memilih masyarakat dalam sebuah pemilihan umum.

Harrop dan Miller (1987) mengatakan bahwa studi perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran yang kesemuanya berasal dari paradigma positivis liberal, yaitu, mazhab sosiologis yang dikembangkan oleh Columbia University Bureau Allied Social Science. Kedua adalah mazhab psikologis yang dikembangkan oleh Michigan’s Survey Research. Ketiga adalah mazhab yang penekanannya kepada pendekatan ekonomi yang dikenal dengan model Rational Choice. Ketiga pendekatan tersebut, merupakan pendekatan yang secara konsepsional dari berbagai pandangan dan realitas yang memungkinkan lahirnya kecenderungan untuk berperilaku, khususnya dalam salah satu konteks perilaku politik, yaitu memilih dalam Pemilu. Fisben dan Ijek (1975) mengatakan bahwa perilaku selalu dipengaruhi sistem yang terdiri dari; kepercayaan (belief), sikap (attitude), maksud (intention), dan perilaku (behavior) sistem ini merupakan dasar dari aturan sistem yang menjadikannya sebagai aksen activity. Anthony Giddens (dalam Piliang, 2004) memberikan dimensi lain yang mempengaruhi perilaku memilih, yaitu karena motivasi tak sadar (unsconsious motives), kesadaran praktis (practicalconsciousnes) dan kesadaran diskursif (discursive consciousnes). Dalam hal ini, pemilih dengan motivasi tak sadar melakukan kegiatan dalam Pemilu dengan asumsi sebagai sebuah arena pesta atau seperti suasana karnaval.

Menurut Milbraith (dalam Sudijono. S, 1995), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan partisipasi politik seseorang adalah: 1) kepekaan menerima rangsangan politik yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan nilai- nilai,


(22)

pengalaman-pengalaman, dan kepribadian; dan 2) karakteristik sosial seperti usia, status ekonomi, karakter suku, jenis kelamin dan agama atau keyakinan ketiga sifat dan sistem partai keempat perbedaan regional atau perbedaan watak dan tingkah laku individu. Miriam Budiarjo (1981) mengatakan bahwa ada empat faktor yang berpengaruh terhadap pemilih: 1) kekuasaan, yaitu cara mencapai yang diinginkan melalui sumber-sumber di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat; 2) kepentingan, yaitu tujuan yang dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok-kelompok politik; 3) kebijakan, yaitu hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya dalam perundang-undangan; dan 4) budaya politik, yaitu orientasi subyektif individu terhadap sistem politik11

a)Orientasi Kognitif: pengetahuan, keyakinan .

Pada individu, orientasi individu terhadap obyek politik dapat dilihat dari beberapa komponen, yaitu:

b)Orientasi Afektif: perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang obyek politik.

c)Orientasi Evaluatif: penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian. Berdasarkan orientasinya, seorang individu memiliki tingkat akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya dan masalah-masalah dari kebijakannya. Inilah yang disebut dimensi kognitif. Namun individu tersebut dapat memiliki perasaan alienasi atau penolakan terhadap sistem. Hal ini dapat disebabkan karena keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti itu. Dengan kata lain, individu tersebut tak merespon tuntutan dari sistem. Itulah yang disebut dimensi

11


(23)

afektif. Akhirnya, seseorang mungkin memiliki penilaian moral terhadap sistem. Inilah yang disebut dimensi evaluasi. Dimensi-dimensi ini menurut Setiawan mungkin berkaitan dan memiliki kombinasi dalam berbagai cara (www.wordpress.com). Grenstein (1969) menjelaskan bahwa orientasi memilih terkait dengan tiga fungsi sikap, yaitu: 1) sikap sebagai fungsi kepentingan, yaitu penilaian terhadap suatu obyek yang diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan individu bersangkutan; 2) individu bersikap tertentu sesuai keinginan individu tersebut, untuk dapat sama atau berbeda dengan tokoh panutan yang diseganinya; dan 3) fungsi sikap yang merupakan fungsi eksternalisasi dari pertahanan diri, yaitu upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan diri atau defence mechanism dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi.

Berangkat dari komponen kognitif, afektif dan evaluatif, kemudian muncul cara pandang terhadap perilaku pemilih yang disebut ”memilih retrospektif” atau memilih secara memandang ke belakang. Jika konsep memilih prospektif menekankan pada kemampuan pemilih untuk memilih berdasarkan pada pengetahuan kognitifnya, terhadap isu-isu kebijakan, maka konsep memilih retrospektif menekankan pada kemampuan pemilih untuk memilih berdasarkan penilaiannya pada penampilan kontestan di masa yang lalu. (Mallarangeng, 1997) Konsep ini memandang bahwa kontestan atau kandidat dalam suatu rekruitmen pada masa lalu merupakan informasi yang paling valid dan efisien untuk menggambarkan janji-janjinya. Hal ini terjadi karena sebagian besar pemilih tidak memiliki pengetahuan yang memadai maupun rasa ingin tahu yang sama tentang segala isu kebijakan. Dalam hal ini, pemilih menganggap bahwa kebijakan-kebijakan dan pengalaman-pengalaman yang mereka


(24)

alami adalah hasil dari “kebijakan” atau “kebodohan” dari mereka yang berkuasa. Ini merupakan informasi yang mudah didapat karena dapat dimonitor setiap saat oleh para pemilih.

Perilaku memilih retrospektif tidak ubahnya seperti memberikan ganjaran atau hukuman kepada kontestan yang sedang berkuasa. Pemilih memberikan ganjaran jika ia merasakan adanya perbaikan terhadap nasibnya dan kepentingannya selama masa berkuasa sang kontestan. Sebaliknya, pemilih akan memberikan hukuman berupa memilih kontestan lain jika dirasakannya nasib dan kepentingannya tidak berubah atau bertambah buruk. Seperti yang dikatakan oleh Andi Sukmono Kumba (2008) bahwa peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan seseorang. Kemampuan rakyat Amerika Serikat untuk memberi ganjaran inilah yang menurut Rational Choice School menunjukkan letak rasionalitas dari pemilih Amerika Serikat. Cipto (2007:44) mengatakan bahwa para pemilih Amerika Serikat kurang berminat dengan label partai sebagaimana masih menjadi pusat perhatian utama di negara-negara demokrasi baru.

Dalam pendekatan pilihan rasional yang terkait dengan proses pemilihan umum, terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih. Orientasi tersebut adalah orientasi isu dan kandidat itu sendiri. Artinya, memang kapasitas, latar belakang dan track record seorang kandidat menjadi hal utama yang diperhatikan daripada asal partai politiknya. Indikasinya adalah dalam Primary Election yang dilakukan oleh sebuah partai politik di Amerika Serikat, ada ruang bagi konstituen suatu partai untuk menyeberang dan memberikan dukungan berupa suara kepada kandidat partai lain bila memang kandidat yang bersangkutan memiliki kapabilitas yang dapat mengakomodasi kepentingannya tanpa harus berpindah partai politik.


(25)

1.6.3. Komunikasi Politik

Dan Nimmo (1989) mendefinisikan komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensi aktual maupun potensial yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik12

Kampanye politik adalah kegiatan individual atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain agar mau memberikan dukungan dalam bentuk suara kepada mereka dalam suatu pemilihan umum. Kampanye politik identik dengan keahlian memainkan emosi massa melalui serangkaian kalimat seorang orator. Sedangkan political marketing adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek untuk menyebarkan makna politik pada pemilih. Tujuannya untuk membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, dan orientasi perilaku memilih. Perilaku memilih yang diharapkan adalah . Roelofs (dalam Sumarno & Suhandi, 1993) mendefinisikan komunikasi politik sebagai komunikasi yang materi pesan-pesannya berisi politik yang mencakup masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga kekuasaan (lembaga otoritatif).

Dari dua pendapat tersebut, komunikasi politik bisa diartikan secara singkat sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui media komunikasi sebagai komunikator yang bertujuan untuk membentuk opini publik terhadap suatu konteks politik. Media komunikasi ini selanjutnya disebut sebagai saluran komunikasi, seperti: media massa, baik cetak maupun elektronik, dan ucapan verbal seorang aktor politik mengenai suatu konteks. Teori yang berlandaskan komunikasi politik yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengenai kampanye dan juga political marketing.

12

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, EdisiTerjemahan oleh TjunSurjaman, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1989),


(26)

ekspresi mendukung dengan berbagai dimensinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada partai atau kandidat tertentu (Nursal, 2004:23)13

Dalam Political Marketing, makna politis tersebar di tiga lokasi. Pertama adalah makna politis yang terdapat dalam lingkungan sosial dan fisik masyarakat. Makna ini dapat berupa gagasan atau keyakinan yang bersifat abstrak seperti kebutuhan, keinginan, harapan, ataupun kepentingan untuk pengukuhan atas identitas,

.

Makna yang tertanam dalam benak seseorang dipicu oleh stimulus politik baik sengaja direkayasa oleh aktor politik maupun yang tidak disengaja atau tanpa desain politik. Makna yang terjadi karena adanya stimulus politik tersebut dinamai dengan political meaning atau makna politis. Makna politis yang akhirnya tertanam dalam benak seseorang merupakan hasil interaksi antara dua faktor. Pertama, kualitas dan kuantitas dari stimulus politik itu sendiri. Kedua, rujukan kognitif berupa kesadaran atau alam pikiran seseorang yang memaknainya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam political marketing adalah: 1) Political Marketing bertitik tolak dari konsep meaning, yakni meaning yang dihasilkan oleh stimulus politik berupa komunikasi politik, baik lisan maupun tulisan, baik langsung maupun tidak langsung; 2) Makna yang muncul dari stimulus tersebut berupa persepsi yang tidak selalu mencerminkan makna yang sebenarnya, dan; 3)Persepsi terbentuk dari hasil interaksi antara stimulus dengan kesadaran kognitif atau alam pikiran manusia. Makna akibat adanya stimulus politik selanjutnya akan mempengaruhi sikap, aspirasi dan perilaku, termasuk pilihan politik. Sekelompok orang dengan latar belakang tertentu yang sama (suatu segmen yang sama) sejumlah kesamaan rujukan kognitif sehingga cenderung memberi makna yang sama terhadap stimulus tertentu.

13

Adnan, Nursal. 2004, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.hal 23


(27)

eksistensi dan keyakinan kelompok. Selain itu, makna tersebut juga dapat dilihat dari kebutuhan akan kemakmuran, keadilan, kecerdasan, demokratisasi, kejujuran, moral, akhlak, dan transparansi pemerintahan. Kedua adalah produk politik. Sebuah partai atau seorang tokoh politik dapat memasarkan gagasan baru kepada pemilih. Secara umum, makna politis yang terdapat dalam produk itu meliputi institusi partai politik atau kandidat politik dengan berbagai kelengkapannya seperti ideologi, visi, misi, platform, program, para kandidat. Ketiga adalah pemilih. Makna politis yang berlokasi pada pemilih ini merupakan serangkaian proses mengonsumsi produk politik seperti mengenakan atau memasang atribut partai, menghadiri pertemuan politik, memberi sumbangan kepada partai atau kandidat politik, menjadi sukarelawan, mempengaruhi pemilih lainnya, melakukan advokasi partai dan menjatuhkan pilihan pada hari pemilihan. Hal tersebut menunjukan afiliasi politiknya pada partai atau kandidat tersebut. Berdasarkan ketiga lokasi tersebut, maka terlihat adanya tiga lintasan transfer, yaitu:

a. Dari lingkungan sosial fisik masyarakat ke produk politik.

b. Dari produk politik ke individual pemilih.

c. Dari individual pemilih ke dalam kehidupan masyarakat.

Political Marketing yang dilakukan oleh organisasi politik bertujuan untuk: a) Mengomunikasikan pesan-pesannya, ditargetkan atau tidak ditargetkan kepada

pendukungnya dan pemilih lainnya.

b) Mengembangkan kredibilitas dan kepercayaan pendukung, pemilih lain dan sumber-sumber eksternal agar mereka memberi dukungan finansial dan untuk


(28)

mengembangkan dan menjaga struktur manajemen di tingkat lokal maupun nasional.

c) Berinteraksi dan merespon pendukung influencers, legislator, competitor dan d) masyarakat umum dalam pengembangan dan pengadaptasian kebijakan- kebijakan

dan strategi, antara lain: 1) Menyampaikan kepada semua pihak yang berkepentingan atau stake holders, melalui berbagai media informasi, saran dan kepemimpinan yang diharapkan dalam negara demokrasi; 2) Menyediakan pelatihan, sumber daya informasi dan materi-materi kampanye untuk kandidat, agen, pemasar atau aktivis partai,dan; 3) Berusaha mempengaruhi dan mendorong pemilih, media-media dan influencers penting lainnya untuk mendukung partai atau kandidat yang diajukan organisasi supaya tidak mendukung pesaing.

Dalam produk politik, komponen-komponen dari masing-masing obyek (fisik, sosial, abstrak) dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu substansi dan presentasi. Presentasi dianggap sebagai bagian dari produk karena juga berperan sebagai meaning provider. Substansi produk-produk politik meliputi:

a. Partai, yaitu struktur, ideologi, dan visi-misi b. Platform, program kerja, isu dan kebijakan publik

c. Figur kandidat dan orang-orang yang ada kandidat, baik saat ini ataupun yang akan membantu kandidat kelak.

Sedangkan medium untuk menyampaikan substansi adalah: a. Agen (orang atau institusi)

b. Event (kegiatan atau peristiwa tertentu)


(29)

Efektivitas program dalam Political Marketing akan terlihat pada tingkat keberhasilan makna dari produk politis kepada pemilih. Transfer makna terjadi melalui aksi nyata pemilih melalui ritual, yakni tindakan simbolis pemilih untuk menciptakan, menegaskan, membangkitkan, dan mendukung makna politis yang ditawarkan oleh institusi atau kandidat politik. Tindakan simbolis itu meliputi beberapa ekspresi sebagai berikut:

a. Memberi pernyataan kepada lingkungan sekitar bahwa dia mendukung partai atau kandidat tertentu.

b. Memiliki, mengenakan, memasang atribut partai atau kandidat tertentu, seperti kaos, bendera, lencana, dan lain-lain.

c. Menghadiri pertemuan, kegiatan dan rapat umum partai atau kandidat.

d. Memberi bantuan nyata kepada partai seperti sumbangan materi atau sumbangan tenaga sebagai sukarelaan partai atau kandidat tertentu.

e. Melakukan persuasi kepada orang lain untuk mendukung partai atau kandidat. f. Melakukan advokasi untuk kepentingan partai atau kandidat tertentu.

g. Menjadi anggota partai atau kandidat tertentu. h. Mencoblos partai atau kandidat tertentu.

i. Ikut merayakan atau prihatin atas keberhasilan atau kegagalan partai atau kandidat tertentu.

Faktor yang dapat digunakan untuk melihat keberhasilan kinerja pemasaran politik (dalam Nursal, 2004:24), yaitu:

a. Pangsa suara (share of vote) b. Perolehan kursi (seats on)


(30)

d. Tingkat kepercayaan pemilih (voter’s confidence)

e. Pengaruh timbal balik sengan pemilih (voter’s interaction)14

1.7. Metodelogi Penelitian

1.7.1. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2001:4) mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai kata-kata, baik tertulis maupun lisan, dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Oleh karena itu, pendekatannya diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara holistik15. Menurut Denzin dan Lincoln (dalam Moloeng, 2004:5) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah. Hal ini dimaksudkan untuk menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada16

Sedangkan Jane Richie (dalam Moloeng, 2004:6) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan upaya menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam dunia, dari konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti

.

17

14

Adnan , Nursal. 2004, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan, DPR, DPD, Presiden (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),hal 24

15

Lexy J. Moleong, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1990), Hal 4

16

Ibid. Hal 5

17

Ibid. Hal 6 .

Tipe dari penelitian ini adalah studi pustaka. Studi pustaka merupakan bentuk penulisan yang mengandalkan intepretasi. Intepretasi ini mengacu pada referensi yang ada, yaitu data-data berupa teks yang relevan.


(31)

1.7.2. Pendekatan Penelitian

Untuk mendapatkan pemahaman dengan landasan argumentasi yang memadai, maka pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dialektika antara pemahaman teks secara menyeluruh dan intepretasi dari bagian-bagiannya, yang deskripsinya diharapkan membawa makna dengan dibimbing oleh penjelasan yang diperkirakan. Dipilihnya pendekatan ini karena selain data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen- dokumen tertulis, juga karena saya ingin memahami isi teks dengan mencari konteks dan mengkontekstualisasikannya dengan topik penelitian18

Untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau kriteria masuk-keluar (inclusion-exclusion criteria) suatu infromasi yang baru diperoleh. Dengan bimbingan dan arahan suatu fokus, seorang peneliti tahu persis data mana dan data tentang apa yang perlu dikumpulkan dan data mana yang walaupun mungkin menarik, karena tidak relevan, tidak perlu dimasukan dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan. Untuk penelitian ini, digunakan data tertulis, data-data yang dikumpulkan adalah berupa artikel-artikel dari internet, jurnal, dan literatur-literatur yang berhubungan dengan fokus masalah

.

1.7.3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini terletak pada bagaimana multikulturalisme di Amerika Serikat terhadap Barac Obama dalam proses Democratic Primary Election 2008. Moleong (2001:21) mengatakan bahwa tujuan dari memfokuskan penelitian, yaitu:

19

18

Lexy J. Moleong, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1990), Hal 278

19

Ibid. Hal 21


(32)

1.7.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data sekunder, yaitu dokumen-dokumen berupa artikel-artikel dari koran maupun internet mengenai apa yang menjadi fokus penelitian serta buku- buku atau literatur yang dapat membantu analisis data.

Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dari data yang bersifat fakta dan opini. Dalam proses analisis peneliti akan membandingkan serta menyinkronkan data berupa fakta dengan data berupa opini.

1.7.5. Metode Analisis

Metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka penafsiran, seperti tradisi, kepentingan praksis, bahasa, dan budaya. Dengan kata lain, yakni menggunakan teks, konteks, dan kontekstualisasi20

Dalam setiap penelitian, diperlukan sebuah standar untuk melihat derajat kepercayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Dalam penelitian kualitatif, derajat penelitian itu disebut dengan keabsahan data. Keabsahan data dalam penelitian ini ditempuh melalui teknik koroborasi. Koroborasi adalah bagian utama yang kompleks dari metode penelitian kesejarahan dan studi pustaka. Teknik ini

. (Raharjo, 2008:31)

1.7.6. Keabsahan Data

20

Analisis dalam penelitian ini berangkat dari data-data teks berupa berita tertulis, artikel, ataupun literatur. Kemudian dari data teks tersebut akan dicari konteks dari makna yang ada dalam sebuah informasi (fakta) atau ungkapan dari seeorang. Makna tersebut lalu akan dikontekstualisasikan dengan apa yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini.


(33)

dilakukan dengan membandingkan antara dua atau lebih sumber untuk menentukan masalah atau bukti-bukti yang kontradiktif21.

21

Dalam hal ini sumber data perlu dikoroborasikan (secara harfiah: bukti penguat) dengan melakukan konfirmasi dengan fakta sejarah atau ilmiah lainnya. Caranya adalah dengan membandingkan antara data penelitian dengan literatur-literatur pustaka lainnya, baik yang mendukung maupun yang berlawanan sehingga di dapat keabsahan data


(34)

BAB II

MILTIKULTURALISME DAN NILAI-NILAI BUDAYA AMERIKA DALAM PROSES PEMILIHAN UMUM

Budaya politik yang terdapat di sebuah negara tentunya dibentuk oleh budaya yang ada dalam masyarakat di negara tersebut. Dalam negara multikultur seperti Amerika, pergulatan berbagai macam budaya dari tiap bangsa yang ada di sana tentunya - mau atau tidak mau - akan mengalami sebuah proses asimilasi yang kemudian akan melahirkan sebuah budaya baru yang akan disebut sebagai budaya Amerika. Olson dan Degler (dalam Suparlan, 1991:6) mengatakan bahwa kebudayaan Amerika itu bercorak heterogen dan majemuk. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan Amerika dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang muncul akibat pecampuradukan dari keanekaragaman kebudayaan asal etnik yang beradaptasi dengan lingkungan Amerika. Degler (dalam Suparlan, 1991:6) menganalogikan corak kebudayaan Amerika sebagai salad bowl atau sepiring asinan, seperti kutipan berikut:

“....some habits of all country were not discarded;. .. .the children of immigrants even into the third and fourth generations restrained their differences. In view of such failure to melt and to fuse, the metaphor of melting pot is unfortunate and misleading. A more accurate analogy would be salad bowl. Though salad is entity, the lecture can still be distinguished from chichory, the tomato from cabbage. “

(Beberapa kebiasaan dari semua negara tidak dilewatkan begitu saja; ... anak-anak imigran sampai pada generasi ketiga atau keempat terus bertahan dengan perbedaan-perbedaan yang melekat di diri mereka. Berangkat dari kegagalan untuk larut dan melebur, akan berupa sepiring asinan melting pot tidak lagi menguntungkan dan tidak lagi tepat digunakan. Asinan adalan entitas, penasihat dapat tetap membedakan dari chichory, tomat dan kubis.)

Dari kutipan tersebut, dilihat bahwa pecampuradukan budaya mutlak terjadi. Namun demikian, pecampuradukan tersebut seharusnya tidak semata-mata membuat sebuah nilai-nilai budaya dari kelompok minoritas menghilang dan melebur jadi satu dengan


(35)

nilai-nilai budaya dari kelompok mayoritas, melainkan harus menjadi sebuah pergulatan nilai dari budaya-budaya yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, pergulatan nilai dari budaya-budaya yang terlihat sebagai sebuah salad bowl (sepiring asinan) dan mencerminkan sifat paradoks akan menghidupkan kebersamaan sekaligus keberagaman dalam kesetaraan. Sifat paradoks tersebut tentunya akan dijalani oleh tiga buah unsur yang ada di Amerika, yaitu individu, masyarakat dan negara. Ketiga hal tersebut hidup dalam kaitan dan dukungan budaya-budaya yang sakral. Meskipun masing-masing berdiri sendiri, namun unsur individu, mayarakat dan negara selalu berkaitan dan saling mempengaruhi. Suparlan (1991:8) mengatakan bahwa individu, masyarakat dan negara berada dalam susunan hirarki sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai serta kepentingannya. Dalam susunan hirarkis tersebut, individu berada dalam satuan terkecil dalam susunan hiirarkis; sementara masyarakat mewakili keberagaman masyarakat Amerika dalam kerangka multikulturalisme; sedangkan negara berada dalam satuan yang lebih luas yang di dalamnya termasuk individu dan masyarakat.

Nilai-nilai budaya Amerika, pada realitasnya melebur dalam tiap aspek kehidupan masyarakat Amerika, baik kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Dalam kehidupan politik, nilai-nilai budaya Amerika begitu sangat terlihat, misalnya nilai two fold judgement (penilaian dua sisi). Two fold judgement adalah nilai yang berasal dari pandangan masyarakat Amerika dalam tataran yang normatif, yaitu berbicara tentang benar-salah, bermoral-tidak bermoral, religius-sekuler ataupun legal-ilegal (Spradley, James dan Rynkiewich, 1975:367). Dengan demikian, twofold judgement tidak lepas dari konsepbifor mity (dua bentukan). Kammen (dalam Ahdiati, 2007:74) mengatakan bahwabifor mity adalah “the conjuction of two organism


(36)

without loss of identity, a pair of correlative things, a paradoxical coupling of opposites.” (penghubung dari dua organisme tanpa kehilangan identitas, pasangan dari dua hal yang berkorelasi, pasangan yang masing-masing bertolak belakang secara paradoks.) Selanjutnya Triana Ahdiati (2007) menjelaskan bahwa bi for mity digunakan sebagai titik ekuilibrium dari berbagai perspektif yang pantas bagi peradaban bangsa Amerika. Artinya, bi for mity merupakan penyeimbang dari pertentangan pandangan masyarakat Amerika terhadap suatu hal. Pertentangan pandangan ini tidak lepas dari semangat yang dimiliki oleh masyarakat Amerika dalam menghargai kebebasan tiap-tiap individu ataupun kelompok. Namun kebebasan tersebut tidak lepas dari nilai-nilai budaya ataupun norma yang berlaku dalam masyarakat Amerika, yang diyakini sebagai the way of life dalam kehidupan masyarakat Amerika. Di sinilah letak dari pantas atau tidaknya pandangan yang muncul dalam peradaban bangsa Amerika.

Twofold judgement, misalnya, terlihat dalam sebuah proses politik di mana kaum perempuan dan kaum Amerika-Afrika muncul dalam sebuah pemilihan umum. Kemunculan dua kelompok minoritas dengan sejarah diskriminasi yang hampir sama tersebut tentunya mengundang dua pandangan yang berbeda dari masyarakat Amerika. Namun, demikian, perbedaan pandangan yang terjadi dalam konteks tersebut, pada dasarnya tidak bisa bertentangan dengan nilai-nilai equality (kesetaraan) yang menjadi landasan utama berdirinya Amerika. Nilai equality bisa jadi merupakan sebuah jalan tengah untuk menengahi keberagaman yang ada dalam masyarakat Amerika, sebab dalam pengertian multikulturalisme pun terhadap prinsip-prinsip mengenai kesetaraan dalam perbedaan. Untuk itulah, nilai-nilai equality


(37)

melebur ke dalam motto dalam tujuan seluruh rakyat Amerika yang melekat pada Konstitusi Amerika, yaitu life, liberty, and the pursuit of happiness.

Untuk mewujudkan life, liberty and the pursuit of happiness, masyarakat Amerika dituntut untuk bekerja keras secara mandiri sesuai dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Semangat kemandirian ini merupakan esensi dari kebebasan individu yang dimiliki oleh tiap warga negara di Amerika. Spradley dan Rynkiewich (1975:384-385) menjelaskan :

“Self-reliance is, as it has always been, the key of individual freedom, and the only real security comes from the ability and the determination to work hard, to plan and to save the present and the future.”

(Kemandirian, seperti yang sudah selalu demikian adanya, adalah kunci dari kebebasan individu, dan satu-satunya keamanan yang sesungguhnya adalah berasal dari kemampuan dan determinasi untuk bekerja keras, untuk merencanakan dan menyelamatkan masa kini dan masa depan.)

Nilai-nilai kemandirian ini pun terlihat dari mekanisme pemilihan umum, misalnya dalam Primary Election. Dalam Primary Election, tiap calon kandidat yang ingin mengajukan diri sebagai kandidat calon presiden diharuskan membuat tim kampanyenya sendiri, membuat perencanaan serta pencarian dana kampanye secara mandiri tanpa ada intervensi dari partai politik yang bersangkutan. Proses ini menunjukan kemandirian dalam masyarakat Amerika. Kemandirian inipun memunculkan sebuah semangat berusaha dan jiwa yang optimistik. Tanpa semangat untuk berusaha dan berjiwa optimistik, maka kemandirianpun tidak akan terwujud. Spradley dan Rynkiewich (1975:373) menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap kemajuan dan sebuah pandangan konstan terhadap masa depan merupakan asumsi-asumsi dasar munculnya semangat berusaha dan jiwa yang optimistik. Dengan demikian, semangat berusaha dan rasa jiwa yang optimitik ini sangat kental dan menjadi ciri utama dari generasi muda Amerika, terutama usia 17 sampai 40 tahun.


(38)

Dalam kelompok usia produktif ini, generasi muda selalu berpikiran mengenai masa depan yang lebih baik dan upaya untuk mewujudkannya, termasuk dalam konteks politik, demikian juga generasi muda Amerika. Oleh karena itu, peran generasi muda untuk melakukan sebuah perubahan dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik menjadi sangat sentral, terutama dalam sebuah proses politik seperti pemilihan umum. Dengan orientasi masa depan yang lebih baik, generasi muda Amerika atau yang sekarang disebut dengan millenium generation turut mempengaruhi proses pemilihan umum, lewat hak pilihnya ataupun keterlibatannya dalam berbagai aktivitas politik seperti kampanye.

2.1. Multikulturalisme

Secara etimologis multikulturalisme terdiri dari kata multi yang berarti plural, kulturalyang berati kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau kepercayaan. Jadi multikulturalismesecara sederhana adalah paham atau aliran tentang budaya yang plural. Dalam pengertian yang lebih mendalam istilah multikulturalisme bukan hanya sekedar pengakuan terhadap budaya (kultur) yang beragam melainkan pengakuan yang memiliki implikasi-implikasi politis, sosial,ekonomi dan lainnya. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Multikulturalisme adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.

Suparlan (2004:117) mengatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi tentang perbedaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme mempunyai fondasi kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud sebagai sebuah mozaik dari kebudayaan-kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat multikultural. Sebagai sebuah ideologi yang menekankan perbedaan dalam


(39)

kesederajatan, multikulturalisme didukung oleh ideologi demokrasi yang di dalamnya menganut prinsip persamaan dan kebebasan.

Multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budaya (cultural pluralism) dengan menekankan kesederajatan-kebudayaan yang ada pada sebuah masyarakat. Untuk itulah, ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Dalam konteks sebuah masyarakat permasalahan tersebut tentunya tidak akan lepas dari sebuah perbedaan. Iris Marion Young (1993:296) mengatakan bahwa:

“We seek a society in which differences of race, sex, religion, and ethnicity no longer make difference to people’s rights and opportunities.

(Kita memerlukan suatu masyarakat, dimana perbedaan ras, jenis kelamin, dan etnis tidak lagi membuat pembedaan terhadap hak dan kesempatan tiap orang.) Dari kutipan tersebut, jelas terlihat bahwa multikulturalisme berkaitan erat dengan keberadaan kelompok minoritas, perbedaan ras, agama, etnis dan jenis kelamin, serta hak dan kesempatan individu-individu ataupun kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Sampai dengan Perang Dunia ke-2, masyarakat Amerika hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen (Suparlan, 2002). Hal ini terjadi karena kentalnya keberadaan kelompok WASP di Amerika sehingga menempatkan masyarakat dengan latar belakang White Anglo-Saxon Protestan menjadi masyarakat nomor satu. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam


(40)

masyarakat Amerika digolongkan sebagai kelompok minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi.

Di Amerika berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an, dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam dan berwarna di tempat-tempat umum. Perjuangan hak-hak sipil ini dilanjutkan secara lebih efektif dengan cara memanfaatkan kegiatan affirmative action22

“... Male identification is the act whereby women place men above women, including themselves, in credibility, status, and importance in most situation, regardless of the comparative quality the women may bring to the situation ... Interaction with women is seen as a lesser form of relating on every level.” yang diadakan oleh pemerintah untuk membantu kelompok minoritas agar dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan kulit putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha.

Selain ras, permasalahan yang sempat menjadi kontroversi di Amerika adalah permasalahan tentang keberadaan perempuan. Dalam sejarah Amerika perempuan selalu ditempatkan di ranah domestik, misalnya dalam pembuatan Mayflower Compact. Dari 41 orang yang bersepakat, kesemuanya adalah laki-laki. Padahal orang-orang yang terdapat dalam kapal Mayflower pada saat itu tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Contoh lain adalah digunakannya kata “men” dalam Declaration of Independence. Digunakannya kata “men” menjadi sebuah kontroversi karena keberadaan dan peran perempuan sangat dipertanyakan.

22

Affirmative action pertama kali diperkenalkan oleh Presiden John F. Kennedy. Affirmative action adalah follow up dari Pemerintah Amerika terhadap Civil Right Act 1964 berupa penyediaan kerja, pendidikan, dan kegiatan lainnya bagi kelompok minoritas dan kaum perempuan Amerika agar tidak ketinggalan dengan masyarakat kulit putih terutama yang laki-laki. Dikutip dari www.infoplease.com


(41)

(Abelove, Barale, & Halperin, 1993:237; lihat juga Hollinger & Capper, 1993:352-356)

(…..Identifikasi laki-laki adalah tindakan dimana kaum perempuan menempatkan kaum laki-laki diatas kaum perempuan, termasuk diri mereka sendiri, dalam bentuk kredibilitas, status, dan peran penting mereka dalam setiap kebanyakan situasi tanpa melihat kualitas perbandingan yang dibawa kaum perempuan dalam situasi tersebut. ..…Interaksi dengan kaum perempuan dilihat sebagai satu bentuk yang kurang kuat dalam hubungannya dengan setiap tingkatan.)

Dalam hal ini, permasalahan ketidakadilan atas peran perempuan ini sangat terasa di bidang ekonomi dan politik, khususnya politik. Hal ini terjadi karena memang dua bidang inilah yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dalam suatu negara.

Permasalahan ras dan jenis kelamin ini, jika dikerucutkan, akan mengacu pada permasalahan eksistensi dari suatu kelompok dalam masyarakat. Dalam konsep multikulturalisme, eksistensi berarti ditujukan untuk mencapai suatu kesederajatan. Eksistensi ini tidak semata-mata akan datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan. Salah satu usaha untuk menunjukkan eksistensi ini salah satunya dapat dilakukan melalui proses politik, yaitu, dengan cara menempatkan wakil yang bisa merepresentasikan kepentingan kelompoknya dalam lembaga pemerintahan ( group representation). Seperti yang dikatakan oleh Iris Marion Young (dalam Green, 1993:310):

“A democratic public should provide mechanisms for the effective recognition and representation of the distinct voices and perspectives of those of its constituent groups that are oppressed or disadvantaged.”

(Suatu masyarakat yang demokratis hendaknya menyediakan mekanisme bagi pengakuan dan representasi dari suara-suara dan perspektif-perspektif yang berbeda dari kelompok-kelompok konstituen yang tertindas dan tidak diuntungkan.)

Wakil yang ditempatkan di lembaga pemerintahan diharapkan dapat mempengaruhi pembuatan undang-undang yang sesuai dengan aspirasi kelompok yang diwakilinya. Hal ini terkait dengan sistem pelaksanaan demokrasi di Amerika


(42)

yang berbentuk perwakilan, dimana Amerika menempatkan wakilnya pemerintahan melalui proses pemilihan umum. Mengacu pada pendapat seperti yang dikatakan oleh Alexis de Tocqueville (dalam Green, 1993:42) mengenai demokrasi di Amerika:

“... Society governs itself for itself. ... The nation participates in the making of its laws by the choice of its legislators, and in the execution of them by the choice of the agents of the executive government; it may almost be said to govern itself, so feeble and so restricted is the share left to the administration, so little do the authorities forget their popular origin and the power from which they emanate. The people reign in the American political world as the Deity does in the universe. They are the cause and the aim of all things; everything comes from them, and everything is absorbed in them.”

(….. Masyarakat memerintah sendiri untuk dirinya sendiri. ….. Negara berpartisipasi dalam pembuatan hukum dengan pilihan agen-agen pemerintahan eksekutif, dan dalam pelaksanaannya dengan pilihan dari para agen dari pemerintah eksekutif tersebut; hampir dapat dikatakan bahwa untuk memerintah sendiri, yang sangat lemah dan sangat terbatas adalah dalam pembagian administrasinya, namun sangat kecil kemungkinannya bagi para penguasa untuk melupakan daerah asalnya yang merakyat dan kekuatan dari mana mereka berasal. Rakyat menguasai dunia politik Amerika seperti dewa menguasai alam semesta. Rakyat menjadi sebab dan tujuan dari semua hal; segala sesuatu berasal dari mereka, dan kembali pada mereka.)

Untuk itulah, keterwakilan suatu kelompok dalam suatu negara yang multikultur sangat penting. Jika sebuah kelompok tidak menempatkan wakilnya pada posisi strategis di pemerintahan, maka kepentingannya akan terlindas oleh kepentingan kelompok lain yang memiliki wakil di pemerintahan. Seperti yang dikatakan oleh Young (1993, 197), bahwa:

“A politic difference argues…..that equality as the participation and inclusion of all groups sometimes requires different treatment for oppressed or disadvantaged groups……social policy should sometimes accord special treatment to groups.”

(Sebuah perbedaan politik menengarai ….. bahwa kesetaraan sebagai partisipasi dan inklusi dari semua kelompok terkadang mensyaratkan perlakuan yang berbeda bagi kelompok yang tertindas dan tidak diuntungkan ... kebijakan sosial terkadang harus menyesuaikan perlakuan khusus dengan masing-masing kelompok.)


(43)

Keterwakilan sebuah kelompok dalam suatu pemerintahan tidak serta merta dapat berhasil mewujudkan keinginan kelompok tersebut, melainkan harus melalui proses tarik menarik nilai dengan kelompok yang lain. Usaha dengan merepresentasikan wakil dari sebuah kelompok di lembaga pemerintahan hanyalah untuk menunjukkan eksistensi kelompok tersebut.

2.2. Kebudayaan dan Masyarakat Amerika

Mengacu pada karya-karya Malinowski (dalam Suparlan, 2004:4) mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan, dan mengacu pada karya Kluckhohn (dalam Suparlan, 2004:4) yang melihat kebudayaan sebagai blueprint, bagi kehidupan manusia, serta Geerts (dalam Suparlan, 2004:4) yang melihat kebudayaan sebagai sistem-sistem makna, maka kebudayaan merupakan pedoman bagi kehidupan masyarakat yang secara bersama dimiliki oleh raga sebuah masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi sebuah masyarakat dan warganya. Sedangkan masyarakat adalah sekelompok individu yang secara langsung maupun tidak langsung saling berhubungan sehingga merupakan sebuah satuan kehidupan yang mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat lain. (Suparlan, 2004:4)

Ada beberapa pendekatan dalam memahami sebuah kebudayaan. Salah satunya adalah pendekatan fungsional. Melalui pendekatan struktural-fungsional, Parsudi Suparlan (1991:4) melihat kebudayaan sebagai sebuah sistem yang terdiri atas unsur-unsur, dimana unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan menghidupi satu sama lainnya secara keseluruhan. Dengan memusatkan perhatian pada sebuah nilai budaya mendasar yang ada dalam sebuah kebudayaan, yaitu yang


(44)

sakral, maka keseluruhan kaitan hubungan dalam saling menghidupi nilai-nilai budaya yang ada dalam kebudayaan tersebut akan terungkap dan corak kebudayaan tersebut akan dipahami.

2.2.1. Nilai-Nilai Budaya Amerika

Amerika Serikat merupakan bangsa besar yang terdiri dari, bukan lagi beragam suku bangsa, akan tetapi beragam bangsa-bangsa. Keragaman bangsa yang ada dalam masyarakat Amerika tidak terlepas dari sejarah terbentuknya bangsa Amerika. Sejarah kedatangan bangsa-bangsa di Amerika bermula dari migrasi bangsa Asia melalui selat Bering yang membeku pada 28000 SM menuju Amerika Utara. Kemudian dilanjutkan dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa, seperti mendaratnya kapal Spanyol yang dipimpin Crhistopher Colombus pada tahun 1492, atau kedatangan bangsa lain seperti Perancis, Portugal, Inggris, Irlandia, dan Jerman. Kedatangan bangsa-bangsa tersebut di Amerika tentunya membawa berbagai macam nilai budaya dari kebudayaan daerah asalnya. Berbagai macam nilai-nilai tersebut kemudian berakulturasi dan membentuk suatu nilai budaya baru.

Di antara nilai-nilai budaya yang ada di Amerika, ada satu nilai yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya nilai budaya Amerika. Nilai tersebut berasal dari ajaran yang dibawa oleh kaum migran dari Inggris, yaitu puritanisme. Nilai-nilai dari ajaran puritan tersebut adalah: 1) percaya bahwa manusia pasti berbuat dosa. Untuk itulah, penganut puritanisme senantiasa beribadah untuk menghapus dosa mereka; 2) percaya bahwa Tuhan telah menentukan takdir dari seluruh laki-laki dan perempuan. Kepercayaan inilah yang membuat penganut puritanisme yakin dan percaya diri bahwa mereka bisa membuat keadaan mereka menjadi lebih baik; 3) percaya bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupan moral mereka. Untuk itulah, penganut


(45)

puritanisme yakin akan adanya kemurahan Tuhan dan Tuhan memanggil mereka untuk senantiasa bekerja keras serta memasang mata dengan tajam atas segala bentuk dosa; dan (4) percaya pada Bible yang merujuk kepada perkataan Tuhan. Untuk mengerti Bible, penganut puritanisme mengharuskan diri mereka untuk belajar membaca sehingga menurut mereka pendidikan itu sangat penting.

Ajaran puritan tersebut kemudian tercermin dalam kehidupan bangsa Amerika dan melahirkan nilai-nilai dasar budaya Amerika. Nilai-nilai dasar tersebut adalah: 1) kebebasan individu dan kemandirian. Artinya, masyarakat Amerika mengakui adanya kebebasan individu untuk melakukan sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum yang telah disepakati bersama. Berawal dari kebebasan inidividu kemudian memunculkan suatu kemandirian dari individu-individu masyarakat Amerika. Kemandirian itu tidak hanya berada individu, tetapi juga menjadikan Amerika sebagai negara yang mandiri; 2) persamaan untuk memperoleh kesempatan dan kompetisi. Nilai ini berkaitan dengan kebebasan individu, setiap inidividu dalam masyarakat Amerika mempunyai jaminan atas kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan, misalnya ekonomi, keamanan, dan politik. Adanya jaminan atas kesetaraan dalam memperoleh kesempatan itulah kemudian muncul kompetisi. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dari setiap individu Amerika menuntut mereka untuk berkompetisi agar kebutuhannya tercapai; dan 3) kemakmuran dan kerja keras. Tuntutan akan kemakmuran bagi masyarakat Amerika juga mendasari adanya semangat kerja keras bagi masyarakat Amerika, karena percuma saja mereka mendapat kesempatan akan tetapi tidak mempergunakannya dengan maksimal. Prinsip ini juga yang mendasari pemikiran ‘time is money’. Masyarakat Amerika beranggapan bahwa waktu harus secara maksimal untuk mendapatkan hasil yang


(46)

maksimal pula. Untuk itulah, diperlukan usaha yang keras. Selain itu, kerja keras dan penghargaan terhadap waktu juga melahirkan prinsip lain, yaitu ‘learning by doing’s. Artinya, bangsa Amerika tidak ingin membuang waktu terlalu banyak untuk mempelajari sesuatu dalam kehidupannya. Nilai ini turut dipengaruhi oleh pragmatisme. Hollinger dan Capper (1993) mengatakan:

“It is clear that pragmatism in this sense of trial becomes the idea of having efforts to seek for the meaning of something; something crucial that can influence the life of individuals as human beings. One of the crucial things is truth in which it defines many aspects of human lives.“

(Sudah jelas bahwa pragamtisme dalam arti coba-coba menjadi pemikiran untuk memiliki usaha dalam rangka pencarian terhadap makna suatu hal; sesuatu yang krusial yang dapat mempengaruhi kehidupan para individu sebagai manusia. Salah satu yang menjadi hal krusial adalah kebenaran yang menentukan banyak dari aspek kehidupan manusia.)

Dalam menghadapi permasalahan di kehidupannya, bangsa Amerika juga dipengaruhi oleh konsep biformity (dua bentukan). Konsep biformity dalam istilah lain disebut dengan paradoks. Kammen (dalam Suparlan, 1991:6) memperlihatkan bahwa kebudayaan Amerika itu penuh paradoks. Terjadi pertentangan antara satu unsur nilai budaya dengan unsur atau nilai budaya lainnya terhadap suatu permasalahan yang sama Paradoks bangsa Amerika sangat terlihat dalam pengambilan sebuah keputusan ( two fold judgement ). Contohnya dalam kasus invansi Irak yang merupakan kebijakan Presiden George W. Bush, di satu sisi mayoritas masyarakat Amerika menentang invasi tersebut karena bertentangan dengan demokrasi, tetapi di sisi lain mereka ingin membuktikan apakah dugaan terhadap kepemilikian Irak atas senjata biologi yang ditakutkan oleh pemerintah Amerika benar adanya. Inilah salah satu contoh dari paradoks Amerika. Di satu sisi, Pemerintah Amerika harus membuktikan kebenaran akan adanya senjata biologi milik Irak. Sementara di sisi lain, Pemerintah Amerika harus menghadapi konflik dalam negeri sendiri. Dalam konteks


(47)

membuktikan kebenaran itu, terdapat prinsip ‘seeing is believing’. Artinya, untuk mempercayai suatu kebenaran mereka harus melihat sendiri kebenaran tersebut, atau dengan kata lain bangsa Amerika berpegang pada prinsip rasionalitas. Nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupan bangsa Amerika tersebut secara turun-temurun tertanam dengan baik oleh setiap individu dalam masyarakat Amerika. Sampai sekarang pun, nilai-nilai tersebut masih menjadi inspirasi bagi Amerika untuk menjadi bangsa yang besar.

2.2.2. Pluralisme Bangsa Amerika

Luedtke (dalam Suparlan, 1991:5) memperlihatkan bahwa keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan Amerika terwujud karena adanya tiga faktor, yaitu: 1) berkumpulnya secara terus-menerus dan tetap berbagai macam ras dan bangsa yang saling berbeda satu sama lainnya, yang datang dari berbagai penjuru dunia dan menetap di Amerika karena alasan-alasan kepentingan ekonomi, politik, dan agama. Oleh karena itu, selalu ada unsur-unsur segar yang mendorong lestarinya keanekaragaman tersebut; 2) kewarganegaraan Amerika tidak ditentukan oleh faktor keturunan, hubungan darah, ataupun kebudayaan yang dipunyai oleh seseorang, tetapi oleh pilihan bebas yang dilakukan seseorang untuk menjadi warganegara Amerika atau bukan warga negara Amerika; 3) komitmen secara politik dan ideologi yang harus dipunyai oleh seorang warga negara terhadap Amerika, yaitu mendukung kesatuan nasional yang didasari oleh nilai-nilai yang mendasar, yaitu justice, equality, the inalieneble rights of the individual, dan government by and for the people.

Apa yang diungkapkan oleh Luedke sebenarnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat Amerika terdapat suatu keseragaman komitmen secara politik dan ideologi. Namun dalam keseragaman tersebut, terdapat kebebasan-kebebasan secara


(48)

individual berkenaan dengan cara-cara hidup dan kebiasaan sehari-hari yang dijalani dengan kebudayaan yang dijadikan pedoman hidup warga Amerika. Dari situ, kita dapat melihat bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat pluralisme Amerika. Tiga hal tersebut adalah: individu, masyarakat dan negara. Suparlan (2004:10) mengatakan bahwa tiga hal tersebut merupakan simbol-simbol yang sakral dalam kebudayaan Amerika. Bahkan ketiga simbol sakral tersebut merupakan simbol-simbol yang terakhir dan mutlak. Simbol-simbol tersebut akan berkaitan dengan nilai-nilai sakral yang ada di Amerika, seperti persamaan hak, kebebasan, dan kompetisi. Selain itu, terdapat juga konformiti atau penyesuaian diri secara lahiriah untuk kesamaan kedudukan, gerak, dan pertentangan, keteraturan, dan ketertiban, serta hirarki sebagai lawan dari keadaan setaraf.

2.3. Demokrasi di Amerika

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani ‘demokratia’, yaitu ‘demos’ yang berarti rakyat (people) dan ‘kratos’ yang berarti aturan (rule). (Williams, 1993:19) Demokrasi Amerika adalah demokrasi pertama dalam pengertian kontemporer, yaitu suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di zaman Yunani memang sudah ada demokrasi, namun itu adalah demokrasi kaum elite kekuasaan hanya dipegang oleh raja dan bangsawan. Plato sangat membenci demokrasi pada saat itu karena sifatnya yang anarkis atau bersifat medioker (Mallarangeng, 2006). Dalam sejarah Amerika Serikat, tidak ada dokumen resmi yang menyatakan atau menandai lahirnya demokrasi, yang ada hanya dokumen mengenai bentuk Republik sebagai lawan dari Monarki. ( handout mata kuliah Politik dan Pemerintahan Amerika, 2007).

Lahirnya demokrasi di Amerika dipengaruhi oleh pemikiran kaum puritan yang hijrah dari Inggris pada tahun 15 November 1620, serta kaum pilgrims pada


(49)

akhir 1620. Semangat puritanisme yang dibawa oleh kedua kelompok ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya demokrasi Amerika. Cikal bakal lahirnya demokrasi Amerika ini lebih tepatnya terdapat dalam Mayflower Compact yang dibuat oleh kaum pilgrims pada saat mereka berada dalam perjalanan menuju Amerika. Isi dari Mayflower Compact itu adalah syarat-syarat tentang harus adanya keadilan, persamaan hukum dan kekuasaan politik atas kehendak bersama.

Pemikiran kaum pilgrims yang hijrah dari Inggris ke Amerika dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satu hal yang mempengaruhi adalah rasa kecewa dan ketidakpuasaan atas bentuk pemerintahan Inggris, yaitu monarki, kekuasaan raja begitu dominan. Selain itu, pemikiran politik dari John Locke tentang social contract23

23

Kontrak sosial versi Locke lahir karena adanya kebutuhan akan perlindungan hukum. Dengan adanya kontrak sosial ini, maka setiap individu harus tunduk dan patuh pada kehendak mayoritas yang dimanifestasikan melalui lembaga. Prinsip dari kontrak sosial adalah bahwa yang menggerakkan terjadinya kontrak sosial bukan rasa takut akan kehancuran, melainkan hak-hak individual. Individu tidak menyerahkan hak-hak dasarnya pada lembaga politik. Hak-hak yang diserahkan individu dalam kontrak sosial diberikan pada segelintir masyarakat yang merupakan pewaris sekaligus pembuat hukum dan batas-batas kekuasaan. Sumber Suhelmi, Ahmad. 2005, Pemikiran Politik Barat. PT Gramedia, Jakarta.

juga memberi pengaruh bagi terbentuknya demokrasi liberal di Amerika. Itulah sebabnya mengapa bersatunya 50 negara bagian di Amerika terjadi melalui proses konsensus. Kata ‘liberal’ dalam frasa demokrasi liberal tidak mengacu pada siapa yang berkuasa, namun lebih kepada bagaimana kekuasaan dijalankan. Dalam hal ini, kekuasaan pemerintah dibatasi oleh aturah hukum, khususnya hukum dasar atau konstitusi. Marc F. Plattner (2008:195) mengatakan bahwa kekuasaan pemerintah, terutama dibatasi oleh hak-hak setiap individu. Konsep hak alamiah atau hak yang tidak dapat dicabut, yang sekarang lebih umum disebut sebagai “hak azasi manusia”, berasal dari liberalisme.


(50)

Demokrasi Amerika juga dipengaruhi oleh banyak budaya yang dibawa oleh pendatang dari berbagai negara seperti Perancis, Irlandia, dan Jerman. Dari sekian banyak nilai budaya yang mempengaruhi lahirnya demokrasi Amerika, terdapat dua nilai yang secara signifikan mempengaruhi demokrasi di Amerika. Pertama adalah kesetaraan24

Dalam deklarasi kemerdekaan yang menyatakan “ all men are created equal” pun, terbersit semacam spirit dan inspirasi bagi seluruh bangsa Amerika untuk membawa kesetaraan dalam kehidupan mereka. (Ahdiati, 2007:2)

(equality). Kesetaraan menjadi salah satu hal yang utama dalam pembentukan demokrasi di Amerika. Hal ini terjadi karena Amerika bukan lagi terdiri dari suku bangsa yang plural, melainkan terdiri dari bangsa-bangsa yang datang dari beberapa negara Eropa, Asia, maupun Afrika. Pluralitas ini kemudian menuntut sebuah kesetaraan yang dapat menjamin kehidupan seluruh rakyat Amerika. Alexis de Tocqueville (dalam Green, 1993:39) dalam Democracy in America mengatakan:

America, then, exhibits in her social state an extraordinary phenomenon. Men are there seen on a greater equality in point of fortune and intellect, or, in other words, more equal in their strength, than in any country of the world, or in any age which history has preserved the remembrance “.

(Amerika, kemudian memamerkan fenomena yang luar biasa dalam kehidupan sosial bernegaranya. Kaum laki-laki terlihat dalam kesetaraan yang lebih besar pada sisi keuntungan dan intelektualitas, atau, dengan kata lain, lebih setara dalam kekuatan mereka, daripada dalam negara manapun di dunia, atau, dalam segala zaman di mana sejarah telah mengenangnya.)

25

Selain equality, salah satu hal yang menjadi esensi dari pembentukan demokrasi di Amerika adalah kebebasan individu atau dalam konteks sosial politik disebut civil rights (hak sipil), yaitu: kebebasan beribadah, berbicara, berkumpul,

24

Kesetaraan disini mengacu pada kesetaraan dalam berbagai bidang kehidupan warga negara Amerika, seperti ekonomi, kesehatan, sosial, hukum, dan politik. Nilai-nilai kesetaraan tercermin dalam motto dalam Konstitusi Amerika yaitu life, liberty, and the pursuit of happiness.

25

Triana, Ahdiati. 2007, Gerakan Feminis Lesbian: Studi Kasus Politik Amerika 1990-an, Kreasi Wacana, Yogyakarta. hal 2


(1)

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan

Sejarah multikulturalisme adalah sejarah masyarakat majemuk. Amerika, adalah sekian dari negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori mulikulturalisme dan juga pendidikan multikultur. Ini dikarenakan mereka adalah masyarakat imigran dan tidak bisa menutup peluang bagi imigran lain untuk masuk dan bergabung di dalamnya. Akan tetapi, negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur nenek moyangnya.

Dalam sejarahnya, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering diwacanakan oleh J Hector seorang imigran asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika, walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh kultur White Anglo Saxon Protestant (WASP) sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.

Kemudian, ketika komposisi etnik Amerika semakin beragam dan budaya mereka semakin majemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yang populer dengan nama salad bowl sebagai sebuah teori alternatif dipopulerkan oleh Horace Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam keragaman, Teori salad bowl atau teori gado-gado tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing


(2)

memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai sebuah budaya nasional. Pada akhirnya, interaksi kultural antar berbagai etnik tetap masing-masing memerlukan ruang gerak yang leluasa, sehingga dikembangkan teori Cultural Pluralism, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika. Akan tetapi, mereka juga memiliki ruang privat, yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisitasnya secara leluasa.

Dengan berbagai teori di atas, bangsa Amerika berupaya memperkuat bangsanya, membangun kesatuan dan persatuan, mengembangkan kebanggaan sebagai orang Amerika. Namun pada dekade 1960-an masih ada sebagian masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya belum terpenuhi. Kelompok Amerika hitam, atau imigran Amerika latin atau etnik minoritas lainnya merasa belum terlindungi hak-hak sipilnya. Atas dasar itulah, kemudian mereka mengembangkan multiculturalism, yang menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi etnik, agama, ras atau warna kulit. Multikulturalisme pada akhirnya sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa, dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak kelompok minoritas. Sikap apresiatif tersebut akan dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam membesarkan sebuah bangsa, karena mereka akan menjadi besar dengan kebesaran bangsanya, dan mereka akan bangga dengan kebesaran bangsanya itu.

Keberagaman Kebudayaan yang kita miliki jangan dianggap sebagai suatu kebanggaan semata, tetapi jadikanlah kekhasan tersebut sebagai kepribadian bangsa


(3)

yang melekat ke dalam jiwa, jati diri beserta hati nurani. Dan berusaha untuk senantiasa menjaga kebudayaan tersebut karena di era globalisasi dan modernisasi saat ini sudah banyak pengaruh yang masuk ke dalam diri individu yang mempengaruhi perubahan kebudayaan masing-masing budaya individunya. Namun itu semua bisa diatasi, dengan cara jangan menjadi manusia yang hanya menerima perubahan yang terjadi, tetapi kita menjadi manusia yang memfilter/menyaring perubahan tersebut. Kita sesuaikan, kalau perubahan yang datang kepada kita baik untuk kita, bangsa kita, masyarakat kita serta kebudayaan kita, maka kita terima dengan lapang dada perubahan tersebut masuk dan datang ke dalam diri kita akan tetapi apabila perubahan tersebut tidak berarti apa untuk diri kita tetapi malah menjadi masalah bagi diri kita dan bangsa, maka dengan sempit dada kita menolak perubahan tersebut dan sejauh mungkin kita menghindari perubahan tersebut.

Obama merupakan representasi dari kelompok minoritas dalam Democratic Primary Election Tahun 2008. Sebagai kelompok minoritas Obama mampu membuktikan tampil di depan publik dan meraih simpati dari konstituen Partai Demokrat. Bahkan kemenangan Obama dalam Democratic Primary Election Tahun 2008 - dengan mengalahkan kandidat lainnya, khususnya Hillary Clinton - menjadi bukti bahwa nilai equality yang merupakan salah satu nilai dasar dari pedoman hidup masyarakat Amerika benar-benar dapat terlihat dalam kehidupan politik Amerika. Kemenangan Obama dalam Democratic Primary Election Tahun 2008 merupakan respon dari konstituen partai Demokrat terhadap krisis yang dialami oleh Amerika sejak periode kedua kepemimpinan Presiden George W. Bush (2004-2008). Dalam proses merespon tersebut, terdapat pergulatan berbagai macam nilai budaya yang ada dalam masyarakat Amerika dan berpengaruh terhadap proses politik. Salah satunya


(4)

adalah pragmatisme Amerika yang melihat bahwa kepentingan negara sebagai salah satu unsur sakral dalam budaya Amerika adalah prioritas utama yang harus dipenuhi dibanding kepentingan masyarakat atau individu. Inilah yang menjadi faktor penentu kemenangan Obama dalam Democratic Primary Election Tahun 2008.


(5)

Daftar Pustaka

Ubaidillah abdul Rozak ,A. 2006 Pendidikan Kewargaan (Civic Education)Dem okrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,ICCE Uin Syarif Hidayatullah, EdisiRevisi, Jakarta

R Tilaar, H.A. 2003, Pendidikan Dan Kekuasan, Suatu tinjauan dari Perspetif Studi Kultural, Cet 1, Indonesia Tera, Magelang.

Baidhowi, Zakiyuddin, 2005, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Erlangga, Jakarta

Wasmi Alhasiri, dan Aryo Danusiri, 2002, Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan, SET, Jakarta.

 pidatonyaBarac Obama, di depam Dewan Chicago tentang masalah Global, “The American Moment”, 23 april 2007.

Saragih, Simon, 2009. “Ketekunan dan Hati Putih Barac Obama”( Kompas: Jakarta)

Suparlan, Parsudi. 1999, Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme. Vol V, Agustus-Desember. Jurnal Study Amerika.

Widjaya, Albert. 1982, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi, LP3ES, Jakarta.

Suryadinata, Leo. 1992, Golkar dan Milter,: Studi Tentang Budaya Politik, LP3ES, Jakarta.

Subakti, Ramlan.1992, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widya sarana, Jakarta.

Sastroatmodjo, Sudijono. 1995, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, Semarang.

Budiarjo, Miriam. 1981. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia pustaka Utama, Jakarta.

Nursal, Adnan. 2004, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Moleong, Lexy J. 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.


(6)

Raharjo, Mudjia. 2008, Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Ar-Ruzzmedia, Yogyakarta.

Dan Nimmo, 1989, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media (EdisiTerjemahan oleh Tjun Surjaman), PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.  Usman, 2008. Tocqueville. Agama dan Demokrasi, www.korantempo.com.

Diakses pada tanggal 13 Desember 2010, pukul 21.39.

Al-Arief, Mohamad. Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2000: Suatu Kritik terhadap Demokrasi Amerika dalam Jurnal Studi Amerika Vol VII, Pusat kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia, Jakarta.

Assyaukanie, Lutfi. Demokrasi dan puritanisme. www.assyaukanie.com. Diakses pada tanggal 13 Desember 2010, pukul 22..

 WASP merupakan singkatan dari White Anglo-Sexon Protestan. Dikutip dari www.answar.com, Diakses pada tanggal 13 Desember 2010, pukul 22.40.  “caucus IOWA, Awal menarik ke Gedung Putih’’. www.kompas.com. Diakses

pada tanggal 15 Desember 2010, pukul 20.35.

“The Hispanic Vote in The 2008 Democratic Presidential Primaries”. www.pewhispanic.com. Diakses pada 19 maret 2011, pukul 22.35 wib.

“The 2008 Dem primary: Race and age were the biggest dividers”. www.iss.com. Diakses pada tanggal 20 maret 2011, pukul 22.15 wib