politik, mereka tetap mempunyai pengaruh signifikan terhadap sistem tersebut. Oleh karena itu, masyarakat memiliki kesadaran untuk memberi totalitas, masukan,
keluaran dalam sistem politik yang ada karena masyarakat diarahkan pada peran individu sebagai bagian dari aktivitas masyarakat, meskipun mereka berhak menerima
maupun menolak. Penilaian terhadap budaya politik Amerika didasarkan pada faktor sejarahnya,
yang mana budaya Amerika bersifat multikultural. Artinya, budaya Amerika terdiri dari beragam nilai budaya yang dibawa oleh berbagai bangsa yang datang ke wilayah
itu. Berangkat dari latar belakang kehidupan sosiopolitik yang berproses secara cross cutting, George Washington menyatakan bahwa Amerika dipersatukan oleh agama,
sikap, kebiasaan, dan prinsip politik yang sama. Hal itu berlangsung sampai datangnya imigran dari Jerman, Skandinavia, dan katolik Irlandia serta Yahudi.
Semakin pluralnya budaya, maka semakin memunculkan kerawanan terjadinya konflik. Namun konflik tersebut dapat diselesaikan dengan akomodasi dan kompromi.
Kompromi menghasilkan nilai dasar aturan main kehidupan sosial politik yang disebut civil rights. Berkembangnya hak sipil tersebut kemudian menjadi alasan bagi legalitas
tindakan politik yang dilakukan masyarakat Amerika. Dengan kata lain, internalisasi hak-hak sipil melahirkan budaya politik partisipan di Amerika
7
Pada dasarnya, perilaku politik tidak serta merta sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, akan tetapi mengandung keterkaitan dengan hal-hal lain. Perilaku politik yang
ditunjukkan oleh individu merupakan hasil pengaruh beberapa faktor, baik internal .
1.6.2. Perilaku Politik
7
Leo Suryadinata. Golkar dan Milter,: Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992.
Universitas Sumatera Utara
maupun eksternal, yang menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, Subakti, 1992:131
8
. Sastroatmodjo 1995:2 mengatakan bahwa interaksi politik antara pemerintah dan
masyarakat, antarlembaga pemerintahan dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan
politik merupakan perilaku politik
9
a Lingkungan politik secara langsung, yaitu mempengaruhi dan membentuk
kepribadian aktor politik, seperti agama, sekolah, dan kelompok pergaulan. .
Perilaku politik secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, dalam Sastroatmodjo,1995:2 diantaranya adalah:
b Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu, yaitu terdiri dari
kepentingan minat dan kebutuhan, penyesuaian diri keharmonisan dengan obyek dan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri.
c Faktor sosial politik langsung berupa situasi yaitu keadaan yang
mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan suatu keadaanseperti cuaca, keadaan keluarga, ancaman dalam berbagai bentuk,
suasana kelompok, keadaan ruang dan kehadiran seseorang
10
Faktor–faktor tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap perilaku seorang aktor politik yang notabene terjun secara langsung dalam aktivitas politik praktis,
tetapi juga berpengaruh pada masyarakat yang tidak terjun secara langsung dalam aktivitas politik praktis, namun mempunyai peran dalam suatu peristiwa politik,
.
8
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya sarana, 1992, hal 131
9
Sudijono Sastroatmodjo , Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995. Hal 2
10
Ibid. Hal 2
Universitas Sumatera Utara
contohnya adalah partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Faktor–faktor itu berpengaruh kepada orientasi dan perilaku memilih masyarakat dalam sebuah
pemilihan umum. Harrop dan Miller 1987 mengatakan bahwa studi perilaku pemilih sangat
dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran yang kesemuanya berasal dari paradigma positivis liberal, yaitu, mazhab sosiologis yang dikembangkan oleh Columbia
University Bureau Allied Social Science. Kedua adalah mazhab psikologis yang dikembangkan oleh Michigan’s Survey Research. Ketiga adalah mazhab yang
penekanannya kepada pendekatan ekonomi yang dikenal dengan model Rational Choice. Ketiga pendekatan tersebut, merupakan pendekatan yang secara konsepsional
dari berbagai pandangan dan realitas yang memungkinkan lahirnya kecenderungan untuk berperilaku, khususnya dalam salah satu konteks perilaku politik, yaitu memilih
dalam Pemilu. Fisben dan Ijek 1975 mengatakan bahwa perilaku selalu dipengaruhi sistem yang terdiri dari; kepercayaan belief, sikap attitude, maksud intention, dan
perilaku behavior sistem ini merupakan dasar dari aturan sistem yang menjadikannya sebagai aksen activity. Anthony Giddens dalam Piliang, 2004
memberikan dimensi lain yang mempengaruhi perilaku memilih, yaitu karena motivasi tak sadar unsconsious motives, kesadaran praktis practicalconsciousnes
dan kesadaran diskursif discursive consciousnes. Dalam hal ini, pemilih dengan motivasi tak sadar melakukan kegiatan dalam Pemilu dengan asumsi sebagai sebuah
arena pesta atau seperti suasana karnaval. Menurut Milbraith dalam Sudijono. S, 1995, faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap perubahan partisipasi politik seseorang adalah: 1 kepekaan menerima rangsangan politik yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan nilai- nilai,
Universitas Sumatera Utara
pengalaman-pengalaman, dan kepribadian; dan 2 karakteristik sosial seperti usia, status ekonomi, karakter suku, jenis kelamin dan agama atau keyakinan ketiga sifat
dan sistem partai keempat perbedaan regional atau perbedaan watak dan tingkah laku individu. Miriam Budiarjo 1981 mengatakan bahwa ada empat faktor yang
berpengaruh terhadap pemilih: 1 kekuasaan, yaitu cara mencapai yang diinginkan melalui sumber-sumber di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat; 2
kepentingan, yaitu tujuan yang dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok-kelompok politik; 3 kebijakan, yaitu hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang
biasanya dalam perundang-undangan; dan 4 budaya politik, yaitu orientasi subyektif individu terhadap sistem politik
11
a Orientasi Kognitif: pengetahuan, keyakinan
. Pada individu, orientasi individu terhadap obyek politik dapat dilihat dari
beberapa komponen, yaitu:
b Orientasi Afektif: perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya
tentang obyek politik. c
Orientasi Evaluatif: penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.
Berdasarkan orientasinya, seorang individu memiliki tingkat akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya dan masalah-masalah dari
kebijakannya. Inilah yang disebut dimensi kognitif. Namun individu tersebut dapat memiliki perasaan alienasi atau penolakan terhadap sistem. Hal ini dapat disebabkan
karena keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti itu. Dengan kata lain, individu tersebut tak merespon tuntutan dari sistem. Itulah yang disebut dimensi
11
Mariam Budiarjdo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia pustaka Utama, 1981,
Universitas Sumatera Utara
afektif. Akhirnya, seseorang mungkin memiliki penilaian moral terhadap sistem. Inilah yang disebut dimensi evaluasi. Dimensi-dimensi ini menurut Setiawan mungkin
berkaitan dan memiliki kombinasi dalam berbagai cara www.wordpress.com. Grenstein 1969 menjelaskan bahwa orientasi memilih terkait dengan tiga fungsi
sikap, yaitu: 1 sikap sebagai fungsi kepentingan, yaitu penilaian terhadap suatu obyek yang diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan individu bersangkutan;
2 individu bersikap tertentu sesuai keinginan individu tersebut, untuk dapat sama atau berbeda dengan tokoh panutan yang diseganinya; dan 3 fungsi sikap yang merupakan
fungsi eksternalisasi dari pertahanan diri, yaitu upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan diri atau defence
mechanism dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi.
Berangkat dari komponen kognitif, afektif dan evaluatif, kemudian muncul cara pandang terhadap perilaku pemilih yang disebut ”memilih retrospektif” atau
memilih secara memandang ke belakang. Jika konsep memilih prospektif menekankan pada kemampuan pemilih untuk memilih berdasarkan pada pengetahuan kognitifnya,
terhadap isu-isu kebijakan, maka konsep memilih retrospektif menekankan pada kemampuan pemilih untuk memilih berdasarkan penilaiannya pada penampilan
kontestan di masa yang lalu. Mallarangeng, 1997 Konsep ini memandang bahwa kontestan atau kandidat dalam suatu rekruitmen pada masa lalu merupakan informasi
yang paling valid dan efisien untuk menggambarkan janji-janjinya. Hal ini terjadi karena sebagian besar pemilih tidak memiliki pengetahuan yang memadai maupun
rasa ingin tahu yang sama tentang segala isu kebijakan. Dalam hal ini, pemilih menganggap bahwa kebijakan-kebijakan dan pengalaman-pengalaman yang mereka
Universitas Sumatera Utara
alami adalah hasil dari “kebijakan” atau “kebodohan” dari mereka yang berkuasa. Ini merupakan informasi yang mudah didapat karena dapat dimonitor setiap saat oleh
para pemilih. Perilaku memilih retrospektif tidak ubahnya seperti memberikan ganjaran atau
hukuman kepada kontestan yang sedang berkuasa. Pemilih memberikan ganjaran jika ia merasakan adanya perbaikan terhadap nasibnya dan kepentingannya selama masa
berkuasa sang kontestan. Sebaliknya, pemilih akan memberikan hukuman berupa memilih kontestan lain jika dirasakannya nasib dan kepentingannya tidak berubah atau
bertambah buruk. Seperti yang dikatakan oleh Andi Sukmono Kumba 2008 bahwa peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan seseorang.
Kemampuan rakyat Amerika Serikat untuk memberi ganjaran inilah yang menurut Rational Choice School menunjukkan letak rasionalitas dari pemilih Amerika Serikat.
Cipto 2007:44 mengatakan bahwa para pemilih Amerika Serikat kurang berminat dengan label partai sebagaimana masih menjadi pusat perhatian utama di negara-
negara demokrasi baru. Dalam pendekatan pilihan rasional yang terkait dengan proses pemilihan
umum, terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih. Orientasi tersebut adalah orientasi isu dan kandidat itu sendiri. Artinya, memang kapasitas, latar
belakang dan track record seorang kandidat menjadi hal utama yang diperhatikan daripada asal partai politiknya. Indikasinya adalah dalam Primary Election yang
dilakukan oleh sebuah partai politik di Amerika Serikat, ada ruang bagi konstituen suatu partai untuk menyeberang dan memberikan dukungan berupa suara kepada
kandidat partai lain bila memang kandidat yang bersangkutan memiliki kapabilitas yang dapat mengakomodasi kepentingannya tanpa harus berpindah partai politik.
Universitas Sumatera Utara
1.6.3. Komunikasi Politik