Pandangan Masyarakat Tentang Poligami

Secara sosiologis, aturan hukum keluarga yang dibawa Islam sesungguhnya sangat fundamental. Yaitu mengangkat posisi perempuan ke tempat yang semestinya, setelah sekian lama dirampas oleh proses sejarah primitif manusia. Karena Islam memposisikan semua manusia adalah sama, meskipun atribut yang melekat padanya meniscayakan keberagaman. Poligami dalam Islam adalah solusi yang ditawarkan apabila terjadi hal-hal yang luar biasa. Dalam sejarahnya, poligami itu dalam rangka memberdayakan dan membebaskan kelompok tertindas dalam hal ini perempuan.

4.5.3. Pandangan Masyarakat Tentang Poligami

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Cinta mawaddah, Rahmah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan, dan Amanah ketenteraman. Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memilikimengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memilikimengawini sekian banyak lelaki. Poligami merupakan suatu tindakan yang saat ini masih menjadi pro-kontra di masyarakat. Hal ini dikarenakan perbedaan pandangan masyarakat akan poligami itu sendiri. Masih banyak masyarakat yang menganggap poligami adalah suatu perbuatan Universitas Sumatera Utara yang negatif. Ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja. Berikut ini adalah hasil wawancara saya dengan I.D Pr,50 Tahun : “saya menentang pernikahan poligami itu dan mengecam tindakannya sebagai tindakan yang melecehkan kaum perempuan dan mengecapnya sebagai suami yang tidak setia, yang tega menyakiti hati istrinya, karena bagaimanapun tidaklah ada seorang perempuan pun di muka bumi ini yang rela berbagi kasih dengan orang lain apalagi harus berbagi suami”. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibu N.N Pr, 40 Tahun “saya miris apabila poligami hanya dijadikan tameng seorang laki-laki untuk memuaskan nafsunya saja, poligami seharusnya hanya dijadikan solusi apabila sang istri tidak bisa menjalankan kewajibannya, namun nyatanya sekarang poligami seolah dijadikan hal yang wajar dilakukan terutama apabila si suami merasa istrinya tidak muda lagi, tidak semenarik dulu lagi”. Menurut ibu L.N Pr, 40 tahun “Sepertinya, poligami terlalu “melelahkan” perasaan perempuan”. Juga dikatakan oleh R.N Pr,35 tahun “Saya tidak berpendapat bahwa saya menolak poligami, tapi kita memang harus realistik dalam melihatnya. Yang bermasalah adalah praktiknya, apakah kita bisa melaksanakan konsep keadilan itu. Banyak laki-laki mempraktekkan poligami tanpa kesadaran dasar tentang konsekuensi dari poligami, yaitu berbuat adil. Dan menurut saya keadilan itu hanya bisa dicapai jika mempunyai satu patner suami-istri. Artinya tidak ada pengistimewaan kepada salah satu istri dibanding istri yang lain”. Informan P.J lk, 27 tahun “argumentasi baik yang bersifat normative, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender”. Informan K.K Pr, 25 tahun Universitas Sumatera Utara “poligami sebagai pilihan hidup setiap orang” Begitu juga yang dikatakan bapak U.T lk2, 52 Tahun yang setuju dengan perkawinan poligami. “saya setuju,poligami itu dibolehkan dengan aturan2 tertentu dan jangan dilarang justru yg harus dilarang adalah perselingkuhan, punya istri simpanan dan perbuatan mesum lainnya. Selama ini saya lihat masalah poligami hanya dilihat dr sisi perempuannya saja yg dikatakan sbg pihak yg teraniaya atau disakiti,dan mengatakan lelaki sbg pihak yg melakukan kekerasan dan mau enaknya sendiri.padahal banyak lelaki yg berpoligami juga tidak rela jadi pejantan bagi perempuan, saya melakukan poligami untuk sesuatu yg diyakini akan lebih baik bagi keluarga dan masyarakat”. Informan bapak A.L Lk, 70 tahun “Jumlah perempuan selalu lebih besar dibanding lelaki yang layak menjadi suami. Poligami akan memperkecil ketidakseimbangan itu”. Menurut Bapak A.J Lk,60 tahun Mengatakan “Poligami dilakukan karena keadaan darurat, misalnya ingin memiliki keturunan” Hal yang serupa juga yang dikatakan oleh informan saya bapak F.R Lk,40 tahun mengatakan “Saya kira poligami harus disikapi secara proporsional, arif, dan obyektif. Bagaimanapun juga poligami adalah pilihan keluarga yang dibolehkan dalam Islam. Jadi silakan setiap orang mempunyai kebebasan untuk secara sadar mengambil pilihan selama dalam kerangka kebolehan secara syari dan dilakukan secara bertanggung jawab. Tidak perlu saling menghina dan menjelekkan atas pilihan yang mungkin diambil berbeda dengan kita”. Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk Universitas Sumatera Utara menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki. Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Seperti yang dikatakan ibu E.M Pr, 51 tahun “Poligami itu hanya menyakiti hati kaum perempuan” Universitas Sumatera Utara Dan juga ibu I.Y Pr, 45 Tahun “Poligami tak ubahnya seperti makanan yang ditaruh racun yang membuat perempuan semakin tersiksa”. Perkawinan poligami pasti mengundang reaksi dari pihak lain terutama keluarga dan masyarakat sekitar. Reaksi tersebut bisa saja berimplikasi buruk atau bisa juga tidak menjadi masalah. Apabila sejak pertama pelaku poligami menabur kebaikan, komunikasi dan solusinya baik, tanggung jawab penuh tanpa ada sesuatu yang merasa ada yang kehilangan maka efek yang muncul juga bersifat kebaikan, namun jika yang terjadi sebaliknya maka poligami akan melahirkan banyak persoalan yang mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga dan belum lagi efek domino bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami. Mereka merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan mereka secara tidak langsung dididik dalam suasana keluarga yang selalu dihiasi dengan pertengkaran orang tuanya. Seperti yang dikatakan oleh ibu E.P Pr,27 Tahun “ayah saya telah berselingkuh karena telah berpoligami dan semenjak ayah menikah lagi dia lebih memprioritaskan keluarganya yang baru. Dan sifat ayah juga berubah cenderung lebih pemarah, dan egois setelah berpoligami. Ekonomi keluarga saya pun menurun setelah ayah berpoligami, sehingga menyebabkan ibu saya ikut menopang kehidupan keluarga kami “. Di Indonesia sendiri, masih belum adanya Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan. Tujuan hidup berkeluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya poligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam rumah tangga dapat menjadi hilang. Keharmonisan dalam keluarga juga akan hilang. Hal ini tentu merugikan bagi istri Universitas Sumatera Utara dan anak-anaknya karena mereka beranggapan bahwa mereka tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami. Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun ada juga yang menentang. Terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini diperparah dengan perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan poligami. Tabel 4.6 Hubungan Alasan Masyarakat Tentang Fenomena Poligami No Informan Pendapat Masyarakat Tentang Fenomena Poligami Setuju Tidak setuju Netral Alasan 1. A.J Lk, 60 Tahun Ya Poligami dilakukan karena keadaan darurat, misalnya ingin memiliki keturunan 2. U.T Lk, 52 Tahun Ya saya setuju,poligami itu dibolehkan dengan aturan2 tertentu dan jangan dilarang justru yg harus dilarang adalah perselingkuhan, punya istri simpanan dan perbuatan mesum lainnya. Selama ini saya lihat masalah poligami hanya dilihat dr sisi perempuannya saja yg dikatakan sbg pihak yg teraniaya atau disakiti,dan mengatakan lelaki sbg pihak yg melakukan kekerasan dan mau enaknya sendiri.padahal banyak lelaki yg berpoligami juga tidak rela jadi pejantan bagi perempuan, saya melakukan poligami untuk sesuatu yg diyakini akan lebih baik bagi keluarga Universitas Sumatera Utara dan masyarakat 3. A.L Lk, 70 Tahun Ya Jumlah perempuan selalu lebih besar dibanding lelaki yang layak menjadi suami. Poligami akan memperkecil ketidakseimbangan itu 4 E.m Pr, 51 Tahun Tidak setuju Sebenarnya poligami hanya menyakiti kaum wanita saja 5 Eli Pr, 38 Tahun netral Menganggap daripada jadi janda lebih baik dipoligami 6 I.Y Pr, 45 Tahun Tidak setuju Poligami itu tidak ubah seperti makanan yang ditaruh racun 7 Epi Pr, 27 Tahun Tidak setuju Poligami itu sama aja seperti perselingkuhan 8 R.N Pr, 24 Tahun Netral tidak berpendapat bahwa saya menolak poligami, tapi kita memang harus ฀isbandin dalam melihatnya. Yang bermasalah adalah praktiknya, apakah kita bisa melaksanakan konsep keadilan itu. Banyak laki- laki mempraktekkan poligami tanpa kesadaran dasar tentang konsekuensi dari poligami, yaitu berbuat adil. Dan menurut saya keadilan itu hanya bisa dicapai jika mempunyai satu patner suami-istri. Artinya tidak ada pengistimewaan kepada salah satu istri ฀isbanding istri yang lain 9 10 I.D Pr, 50 Tahun N.N Pr, 40 Tahun Tidak setuju menentang pernikahan poligami itu dan mengecam tindakannya sebagai tindakan yang melecehkan kaum perempuan dan Universitas Sumatera Utara mengecapnya sebagai suami yang tidak setia, yang tega menyakiti hati istrinya, karena bagaimanapun tidaklah ada seorang perempuan pun di muka bumi ini yang rela berbagi kasih dengan orang lain apalagi harus berbagi suami Tidak setuju miris apabila poligami hanya dijadikan tameng seorang laki-laki untuk memuaskan nafsunya saja, poligami seharusnya hanya dijadikan solusi apabila sang istri tidak bisa menjalankan kewajibannya, namun nyatanya sekarang poligami seolah dijadikan hal yang wajar dilakukan terutama apabila si suami merasa istrinya tidak muda lagi, tidak semenarik dulu lagi 11 F.R Lk, 40 Tahun Setuju Saya kira poligami harus disikapi secara proporsional, arif, dan obyektif. Bagaimanapun juga poligami adalah pilihan keluarga yang dibolehkan dalam Islam. Jadi silakan setiap orang mempunyai kebebasan untuk secara sadar mengambil pilihan selama dalam kerangka kebolehan secara syar’I dan dilakukan secara bertanggung jawab. Tidak perlu saling menghina dan menjelekkan atas pilihan yang mungkin diambil berbeda dengan Universitas Sumatera Utara kita 12 I.J Pr, 44 Tahun Tidak setuju Poligami itu dilakukan laki-laki karena tidak puas hanya dengan satu isteri 13 L.N 45 Tahun Tidak setuju Sepertinya, poligami terlalu “melelahkan” perasaan perempuan 14 K.K Pr, 25 Tahun Setuju poligami sebagai pilihan hidup setiap orang 15 P.J Lk, 27 Tahun Netral Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus controversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normative, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender

4.5.4. Interaksi Keluarga Yang Berpoligami