Persepsi Keluarga Pemulung Terhadap Pendidikan Formal Anak (Studi Deskriptif Terhadap Keluarga Pemulung di Daerah Pinang Baris, Medan)

(1)

Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

PERSEPSI KELUARGA PEMULUNG TERHADAP PENDIDIKAN

FORMAL ANAK

(Studi Deskriptif Terhadap Keluarga Pemulung di Daerah Pinang Baris,

Medan)

SKRIPSI Diajukan Oleh:

ELISABETH SITOHANG NIM: 090901048 Departemen: Sosiologi

Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Studi Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara 2013


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh : Nama : Elisabeth Sitohang

Nim : 090901048 Departemen : Sosiologi

Judul : Persepsi Keluarga Pemulung Terhadap Pendidikan Formal Anak (Studi Deskriptif Terhadap Keluarga Pemulung di Daerah Pinang Baris, Medan)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Soaiologi

( Dra. Linda Elida, M.Si) (Dra. Lina Sudarwati, M.Si) NIP. 19670201991032001 NIP. 196603181989032001

Dekan FISIP USU

(Prof. Dr. Badaruddin, M. Si) NIP. 196805251992031002


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan semestinya. Penulisan skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Persepsi Keluarga Pemulung Terhadap Pendidikan Formal Anak (Studi Deskriptif Terhadap Keluarga Pemulung di Daerah Pinang Baris, Medan)”.

Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada orangtua tercinta dan tersayang yakni, Ayahanda Dionesius Sitohang dan Ibunda Ratna Magdalena Tampubolon, atas semua doa, dukungan, pengorbanan dan kasih sayangnya yang telah diberikan kepada penulis sampai saat ini. Dorongan motivasi dan juga pengertian yang diberikan oleh orangtua penulis semakin menambah semangat penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Tak lupa juga kepada abang dan kakak penulis tersayang, Masta K. Sitohang, SE, Julius Sitohang, Stefani Sitohang, ST, Saut Marolop, Amd, dan Isabella Sitohang yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis, terima kasih atas pesan-pesan yang diberikan sehingga mampu menambah semangat penulis.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM) Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Baddaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan para pembantu dekan serta seluruh staf pegawai dan administrasi.


(4)

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang sekaligus menjadi dosen penguji dalam skripsi penulis yang memberikan banyak masukan sehingga mampu membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Drs. T. Ilham Saladin selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

5. Ibu Dra. Linda Elida, M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktunya ditengah-tengah kesibukan beliau serta sabar dalam membimbing penulis hingga penulisan skripsi ini selesai. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang beliau berikan kepada penulis serta diberikan kesehatan dan umur yang panjang. 6. Kakanda Fenni Khairifa, Kakanda Nurbaiti, dan Kakanda Sugi Astuti yang membantu

penulis dalam proses administrasi selama masa perkuliahan .

7. Kepada seluruh Dosen Sosiologi dan Staff pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan berbagai materi kuliah selama penulis menjalani perkuliahan.

8. Untuk seluruh keluarga besar penulis dan sepupu penulis yang selalu mendukung dan mendoakan penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

9. Sahabat-sahabat terbaik di Stambuk 2009 yang menjadi keluarga penulis selama menjalani perkuliahan yakni: Bertha, Nonni, Bernita, Lydia, Corry, Palty, Arfy, Ricardo, Lukas, Risman, Immanuel, Nasrul, Wisnu, Willer, Ledy, Melita, Elisabeth, Siska, Serdita, Monic, Yohan, Angeline, Dian, Michael, Almert, Vero, dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan disini terima kasih untuk kebersamaan dan semangat kalian.


(5)

10.Teman dekat penulis Januar dan keluarga, yang selalu membantu dan memberikan motivasi kepada penulis.

11.Buat senior dan junior penulis di departemen Sosiologi yakni, kakanda Yan Berlianta S.Sos, kakanda Nari S.Sos, kakanda Eninta S.Sos, abang Salmen S.Sos, abang Franklin S.Sos, Adian, Gabriel, Fararat, Elisabeth turnip, Maiusna dan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

12.Para informan yakni keluarga pemulung di daerah Pinang Baris yang bersedia menyisakan waktunya untuk memberikan penjelasan mengenai keseharian mereka, terima kasih untuk pengertiannya yang telah bersedia menerima kehadiran penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

13.Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan skripsi ini. Akan tetapi saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Penulis,


(6)

Abstrak

Masalah perkotaan yang semakin meningkat pada dasarnya dipicu oleh semakin bertambahnya penduduk di daerah perkotaan. Daya tarik kota yang semakin mengundang perhatian masyarakat pedesaan untuk melakukan perpindahan ke kota demi meningkatkan pendapatan, semakin menambah populasi penduduk dan mempersempit tata ruang kota, seperti halnya Kota Medan. Munculnya pekerjaan di sektor informal merupakan akibat dari terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Salah satunya pekerjaan di sektor informal adalah pemulung. Kota Medan yang terdiri atas beberapa wilayah menyumbang pemulung dari berbagai daerah asal, seperti daerah Pinang Baris. Banyaknya pemulung di daerah Pinang Baris juga disebabkan oleh volume sampah yang tinggi di daerah ini. Tidak jarang ditemui anak-anak yang juga turut membantu orangtuanya dalam mencari pulungan. Hak mendapatkan pendidikan formal yang seharusnya didapatkan oleh si anak, harus terkadang direlakan untuk kepentingan yang lain. Perbedaan pemahaman akan pentingnya pendidikan menjadi salah satu penyebab ketidaktertarikan dalam menetapkan pendidikan formal sebagai salah satu kebutuhan keluarga.

Penelitian yang digunakan merupakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan pemahaman keluarga pemulung terhadap pendidikan formal anak melalui wawancara dan observasi yang diinterpretasikan dalam bentuk narasi. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah orangtua yang bekerja sebagai pemulung sebanyak lima orang dan anak dari pemulung itu sendiri sebanyak empat orang.

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan pendapat akan pentingnya nilai pendidikan yang dipahami oleh orangtua yang bekerja sebagai pemulung dengan anak dari pemulung itu sendiri. Kebanyakan anak dari pemulung yang juga turut serta dalam membantu orangtuanya bekerja atau bahkan memiliki pekerjaan di tempat lain beranggapan bahwa pendidikan hanyalah sarana yang membantu mereka untuk menulis dan menghitung. Sedangkan orangtua yang bekerja sebagai pemulung menganggap bahwa pendidikan merupakan salah satu mobilitas yang mampu merubah anak mereka kea rah yang lebih baik karena sudah dibekali oleh pendidikan yang baik.


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Abstrak... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

1.5 Defenisi Konsep ... 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 16

2.1Tinjauan Tentang Kondisi Pemulung ... 16

2.2 Fenomena Pemulung dan Kemiskinan di Perkotaan ... 19

2.3 Pendidikan dan Mobilitas Sosial ... 21

2.4 Teori Fungsionalisme... 25

2.5 Persepsi Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Pendidikan Bagi Anak .... 31

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Jenis Penelitian... 35

3.2 Lokasi Penelitian ... 35

3.3 Unit Analisis Data dan Informan ... 36

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 36

3.5 Interpretasi Data ... 38

3.6 Keterbatasan Penelitian ... 38


(8)

BAB 4 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA 40

4.1 Deskripsi Wilayah ... 40

4.2 Kelurahan Lalang ... 42

4.2.1 Komposisi Jumlah Penduduk ... 43

4.2.2 Pola Pemukiman ... 45

4.2.3 Sarana dan Prasarana ... 47

4.2.4 Sistem Kemasyarakatan ... 49

4.2.4.1 Sistem Kekerabatan ... 49

4.2.4.2 Sistem Kepemimpinan ... 51

4.3 Daerah Pinang Baris, Kelurahan Lalang ... 51

4.4 Profil Informan... 53

BAB 5 TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA... 76

5.1 Komunitas Pemulung di Kota Medan ... 76

5.2 Alasan Memilih Menjadi Pemulung ... 79

5.3 Aktivitas Keluarga Pemulung ... 81

5.3.1 Aktivitas di Pagi Hari ... 81

5.3.2 Aktivitas di Siang Hari ... 82

5.3.3 Aktivitas di Malam Hari. ... 83

5.3.4 Sebaran Wilayah Kerja ... 84

5.4 Pola Konsumsi Keluarga Pemulung ... 85

5.5 Persepsi Pemulung Terhadap Pendidikan Formal Anak ... 87

5.6 Pendidikan Menurut Teori Fungsionalisme ... 92


(9)

Bab 6 PENUTUP ... 96 6.1 Kesimpulan ... 99 6.2 Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penggunaan Tanah di Kelurahan Lalang...43

Tabel 2 Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ...44

Tabel 3 Komposisi Penduduk Menurut Agama...45

Tabel 4 Sarana Pendidikan yang Terdapat di Kelurahan Lalang...49

Tabel 5 Pandangan Orangtua yang Bekerja Sebagai Pemulung Terhadap Pendidikan Formal Anak ...74

Tabel 6 Pandangan Anak Pemulung Terhadap Pendidikan Formal ...75

Tabel 7 Perbedaan Pemulung Lokal dan Pemulung Pendatang…...77

Tabel 8 Karakteristik Pemulung di Lokasi Penelitian...78


(11)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kehidupan kota yang selalu dinamis berkembang dengan segala fasilitasnya yang serba gemerlapan, lengkap dan menarik serta menjanjikan tetap saja menjadi suatu faktor utama yang menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di kota harus mempunyai strategi, yaitu bagaimana bisa memanfaatkan dan menikmati segala fasilitas yang serba menjanjikan tersebut namun juga bisa mengatasi tantangan dan permasalahan yang ada di dalamnya.

Penyebab utama terjadinya perkembangan kota adalah berkembangnya kehidupan industri di dalamnya. Kehidupan industri yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak memberi dan mewarnai harapan orang untuk selalu mencari kehidupan di kota. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dicatat pendapat Schoorl (1980: 59), bahwa ada satu ciri sentral dari kehidupan masyarakat industri, yaitu sumber kekuatannya yang bersendi pada penemuan dan pemanfaatan sumber energi baru yang diperoleh dalam jumlah terbatas, yang memaksanya untuk melakukan pekerjaan secara besar-besaran. Makna yang terkandung dari ungkapan tersebut adalah adanya pekerjaan dalam skala besar (mass product) yang tentunya membutuhkan tenaga kerja cukup banyak, dan adanya iklim persaingan yang cukup tinggi.

Masalah perkotaan yang semakin meningkat pada dasarnya dipicu oleh semakin bertambahnya penduduk di daerah perkotaan. Daya tarik kota yang semakin mengundang perhatian masyarakat pedesaan untuk melakukan perpindahan ke kota demi meningkatkan


(12)

pendapatan, semakin menambah populasi penduduk dan mempersempit tata ruang kota. Perkembangan kota dan industrinya memang menumbuhkan ekonomi kota, hal ini terlihat dengan lajunya pembangunan fisik gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat pertokoan, dan pabrik-pabrik, tetapi sejalan dengan ini masalah lowongan pekerjaan, PHK, dan pengangguran makin menekan. Maka untuk mampu bertahan hidup, masyarakat harus memiliki keahlian di berbagai bidang.

Kepesatan perkembangan suatu kota ternyata juga membawa dampak sosial akibat tingginya iklim kompetitif dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat cenderung terbagi menjadi 2 segmen, yaitu (1) kelompok masyarakat yang menang dan berhasil dalam iklim kompetisi ini, dan (2) kelompok masyarakat yang kalah dan tersingkir (Sumardjito, 2007:7). Dampak sosial lain yang sangat terasa akibat iklim ini adalah pada perilaku masyarakat pada masing-masing segmen atau antarsegmen tersebut yang cenderung individualis.

Daya tarik kota yang mereka yakini mampu mengubah perekonomian mereka, menjadi faktor lain yang harus diperhitungkan. Maka hal inilah yang menjadi pendorong masyarakat desa berpindah ke daerah perkotaan. Namun bagi masyarakat yang tidak bisa bertahan dikarenakan kemampuannya yang kurang memadai serta tingkat pendidikannya yang rendah menyebabkan persaingan yang tinggi, ataupun terbatasnya lapangan pekerjaan, sehingga banyak masyarakat yang membuka sektor informal karena tidak mampu bersaing di sektor formal, salah satunya adalah pemulung.

Dalam realitas di masyarakat, keberadaan pemulung dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda (Simanjuntak, 2002). Disatu sisi, profesi memulung ini mampu memberikan peluang kerja kepada pemulung dengan segala keterbatasan akan keterampilan dan pengetahuan. Disisi


(13)

lain, keberadaan pemulung dianggap menganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Seringkali pemulung dipukuli atau diusir dari tempat mereka mencari nafkah, tanpa memberikan solusi yang terbaik bagi mereka. Selain itu, pemulung sering mengalami diskriminasi oleh pemerintah dalam mengurus administrasi ataupun surat keterangan tidak mampu.

Pemulung merupakan orang-orang yang melakukan kerja memungut mencari barang rongsokan di tempat-tempat seperti bak sampah, rumah-rumah penduduk, jalan-jalan, sungai, daerah pertokoan, daerah industri, dan tempat pembuangan sampah akhir. Pemulung secara tidak langsung telah turut membantu pihak Dinas Kebersihan setempat dalam mengurangi jumlah sampah karena sampah plastik yang setiap hari pemulung diambil adalah sampah yang mencemari lingkungan. Namun, pemulung adalah kaum marginal yang kerap kali dilecehkan seperti kehadiran pemulung di TPA juga dinilai menganggu Dinas Kebersihan setempat. Masalah tersebut biasanya karena pemulung tidak menaati peraturan yang telah dibuat oleh Dinas Kebersihan (Simanjuntak, 2002).

Pemulung tidaklah sama dengan gelandangan atau pengangguran (Twikromo,1999) karena pemulung menghabiskan waktunya untuk mengumpulkan barang bekas dan ditukarkan dengan sejumlah uang yang menjadi haknya. Kerja pun diartikan kegiatan dimana seseorang memperoleh bayaran. Pemulung miskin bukanlah karena mereka tidak bekerja atau kurang jumlah jam kerjanya, tetapi mereka miskin karena faktor-faktor struktural yang menghalangi pemulung untuk memperoleh kelebihan keuntungan dari kegiatan pulungan yang mereka lakukan (Twikromo, 1999).

Ada dua jenis pemulung yaitu pemulung jalanan dan pemulung tetap. Pemulung jalanan, yaitu pemulung yang hidup bebas di jalanan dan pemulung tetap yaitu pemulung yang


(14)

mempunyai rumah (bedengan) yang berada di sekitar TPA atau sekitar lapak (tempat menjual barang hasil pulungan pemulung). Pemulung pada kenyataannya dinilai sebagai aktivitas yang lebih positif dibanding dengan profesi jalanan lainnya dalam perspektif pemerintah maupun masyarakat kota sehingga banyak orang jalanan berganti profesi menjadi pemulung jika dinilai lebih menguntungkan (Twikromo, 1999). Walaupun terkadang pemulung masih mendapatkan kesulitan untuk bergabung di pemukiman warga karena masyarakat masih menganggap pemulung adalah pekerjaan yang rendah.

Pemulung di kota Medan, kebanyakan merupakan masyarakat migran yang berusaha mempertahankan hidupnya dengan menggunakan tenaga mereka dalam mencari barang bekas, karena kurangnya kemampuan mereka dalam bersaing dengan masyarakat lainnya. Namun, ada juga masyarakat penduduk asli kota Medan yang termasuk dalam komunitas pemulung ini. Komunitas pemulung ini cenderung lebih suka hidup berkelompok dengan sesama pemulung, misalnya di daerah Pinang Baris yang menjadi lokasi penelitian. Daerah Pinang Baris yang merupakan salah satu terminal di Kota Medan, merupakan daerah penghasil sampah dikarenakan daerah ini menjadi tempat persinggahan bagi masyarakat yang datang ataupun sekedar menunggu angkutan umum, sehingga masyarakat bebas saja membuang sampah sembarangan, sehingga hal inilah yang menyebabkan banyaknya pemulung di sepanjang jalan Pinang Baris ini.

Lokasi TPA di wilayah Sumatera Utara yang tersebar di 26 kabupaten dan kota. TPA tersebut berstatus lokal yang melayani pengelolaan sampah di masing- masing kabupaten/ kota. Kemudian sampah dari TPA lokal itu akan diangkut ke TPA pusat yakni Namo Bintang dan TPA Terjun. Jumlah pemulung TPA di provinsi Sumatera Utara diperkirakan mencapai 10.400 orang yang tersebar di 26 kabupaten/ kota, yang mana jumlah pemulung di TPA Namo Bintang dan


(15)

TPA Terjun 1000 orang dengan jumlah KK 400KK sedangkan sisanya tersebar di berbagai kelurahan (Dinas Kebersihan Kota Medan, 2008).

Ditinjau dari aspek ekonomi, Pemulung tergolong “urban poor“ yang diperkirakan mempunyai penghasilan antara Rp.3500,- sampai 8.500,- per hari. Posisi mereka selalu dalam keadaan lemah karena nilai tambah yang mereka peroleh sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Melihat perekonomian masyarakat pemulung yang kurang memadai, menyebabkan keikutsertaan anak untuk bekerja demi menambah penghasilan. Jika dikaji berdasarkan jumlah penghasilan pemulung, maka mereka dapat dikategorikan pada masyarakat miskin absolut dengan penghasilan dibawah 1 dollar perhari menurut World Bank tahun 2011. Di daerah Pinang Baris yang menjadi lokasi penelitian, menjadi gambaran dimana anak- anak juga ikut serta sebagai pemulung, tidak hanya disore hari, namun pada jam sekolah, banyak sekali anak- anak yang ikut serta membantu orangtua mereka. Hal ini merupakan masalah sosial yang menjadi kajian besar serta dibutuhkannya peranan orangtua sebagai agen sosialisasi pertama akan pentingnya pendidikan.

Kota Medan yang merupakan salah satu perkotaan yang menarik bagi masyarakat untuk melakukan migrasi, merupakan wilayah yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal. Namun untuk bertahan, diperlukan kemampuan untuk mampu bersaing dalam mencari pekerjaan. Namun banyaknya masyarakat yang tidak memiliki kemampuan, menyebabkan pengangguran yang berdampak pada peningkatan jumlah kemiskinan di Kota Medan. Menurut data BPS Sumatera Utara tahun 2011, warga miskin yang paling tinggi di kota Medan yaitu 527,716 ribu jiwa, Kabupaten Langkat di posisi kedua dengan 472.906 jiwa. Dari 402.100 orang penyumbang angka pengangguran di Sumatera Utara (Sumut), terbesar adalah kelompok anak-anak putus sekolah yakni sebesar 43 persen. (Sumber: sumut.bps.go.id diakses pada 2 April 2013). Melihat


(16)

tingginya angka pengangguran yang disebabkan oleh anak-anak putus sekolah menjadi salah satu permasalahan di Kota Medan yang menimbulkan ketidakmampuan untuk bersaing karena kurangnya pendidikan yang dimiliki.

Secara umum, Pendidikan dimaknai sebagai usaha optimis manusia dalam mencapai tujuannya yaitu kesejahteraan kehidupan. Tujuan dari pendidikan sendiri adalah mengembangkan kemampuan dan potensi manusia untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Disamping itu, pendidikan juga dimaksudkan untuk membentuk manusia yang mampu hidup dalam tatanan sosial dan mampu berinteraksi dengan sosial dengan baik sesuai dengan nilai dan norma.

Pendidikan sebagai salah satu lembaga sosial memiliki fungsi yang nyata (manifest) yakni, mempersiapkan peserta didik untuk mampu mencari nafkah, mengembangkan bakat perseorangan, dan menanamkan keterampilan. Dan fungsi laten dari lembaga pendidikan adalah mengurangi pengendalian orangtua, mempertahankan system kelas sosial dan memperpanjang masa remaja. Fungsi dari lembaga pendidikan harus mampu dirasakan oleh peserta didik sehingga menunjukkan keberhasilan fungsional dari lembaga itu sendiri.

Bidang kajian sosiologi yang berkaitan langsung dengan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) Pendidikan dan masyarakat dan (2) Pendidikan dan perubahan sosial. Pendidikan dan masyarakat jika dilihat dari sudut masyarakat secara keseluruhan, fungsi pendidikan adalah untuk memelihara kebudayaan. Kebudayaan berhubungan dengan nilai-nilai, kepercayaan, norma-norma yang turun temurun dari generasi dan generasi yang selalui mengalami perubahan. Maka dalam hal ini pendidikan juga mempengaruhi kemampuan anak- anak pemulung dalam memelihara kebudayaan yang mereka dapatkan dari sistem sosial.


(17)

Sedangkan pendidikan dan perubahan sosial fungsi sekolah dan masyarakat saling mempengaruhi dalam berbagai cara terhadap perkembangan individu. Beberapa di antara perubahan tersebut adalah perubahan teknologi yang menuntut individu untuk semakin memiliki keterampilan baru, perubahan demografi yang mempengaruhi pendidikan dimana pertambahan penduduk menuntut keseimbangan fasilitas pendidikan, serta sekolah menjadi pengalaman pendidikan yang menjadi sarana untuk menyesuaikan diri para peserta didik untuk hidup diperkotaan.

Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang. Pentingnya pendidikan, diyakini menjadi salah satu indikator dari kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dan pendidikan merupakan bekal untuk mampu masuk ke dunia kerja. Namun melihat tingginya tingkat permintaan akan kebutuhan hidup menyebabkan banyak masyarakat harus melupakan sektor pendidikan demi memenuhi kebutuhan lain yang dipercaya lebih penting. Populasi penduduk yang semakin tinggi, menyebabkan lapangan pekerjaan yang semakin berkurang dan semakin tertutup bagi masyarakat yang tidak memiliki dasar pendidikan. Sehingga banyak penduduk yang masuk dalam kategori miskin. Saat ini, jumlah penduduk miskin tersebut semakin bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk dan krisis ekonomi nasional yang tak kunjung selesai.

Sekalipun pengaruh kemiskinan sangat besar terhadap anak- anak yang tidak bersekolah, namun kemiskinan bukanlah satu- satunya faktor yang berpengaruh. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah pola pikir pendek dan sederhana akibat rendahnya pendidikan. Dalam budaya Indonesia, kepala rumah tangga terutama seorang ayah mempunyai peranan yang sangat besar dalam keluarga termasuk dalam mengambil keputusan boleh atau tidaknya seorang anak


(18)

mendapatkan pendidikan. Untuk mengambil keputusan tersebut, maka akan sangat bergantung kepada persepsi orangtua terhadap pendidikan formal.

Keluarga merupakan unit sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak serta anggota keluarga lainnya, mempunyai arti yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian si anak di kemudian hari. Dalam lingkungan keluarga seseorang akan mempelajari sistem pengetahuan tentang norma- norma serta kedudukan dan peran yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kedudukan dan peran memberikan hak untuk mencari apa yang tidak boleh dilakukan serta kewajiban apa yang dilakukan sebagai warga dari sebuah system social. Oleh karena itu penanaman budaya dalam keluarga merupakan dasar pembentukan pribadi anak. Penanaman nilai budaya pada anak tidak hanya pengawasan, sopan santun, melainkan meliputi pentingnya pendidikan yang berusaha ditanamkan oleh orangtua.

Daerah Pinang Baris merupakan suatu wilayah perkotaan yang dihuni oleh komunitas keluarga pemulung karena adanya TPA lokal yang mampu menjadi tempat bagi mereka untuk memulung. Pada komunitas ini, bukan orangtua saja yang bekerja, namun anak- anak juga turut dalam membantu orangtua. Ketertarikan penulis untuk menjadikan komunitas keluarga pemulung di daerah ini sebagai objek kajian adalah berdasarkan pra penelitian yang dilakukan, kebanyakan berusia 10 tahun yang seharusnya mengecap pendidikan di sekolah dasar atau tingkat pendidikan lainnya ikut serta membantu orangtua mereka dalam menambah perekonomian, meski terkadang harus merelakan waktu belajar mereka.

Pemahaman keluarga pemulung di daerah Pinang Baris ini terhadap pendidikan, sepertinya sudah mulai menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan si anak. Hal ini terlihat dengan banyaknya anak-anak pemulung yang bersekolah, meskipun terkadang harus ikut bekerja


(19)

membantu orangtuanya untuk saat-saat tertentu. Komunitas pemulung yang bersifat heterogen terdiri dari multi etnis, namun sebagian besar berasal dari etnis batak akan tetapi ada juga etnis jawa, nias dan melayu. Dan didaerah ini, cukup banyak pemulung yang berjenis kelamin perempuan dan mereka pada umumnya merupakan penduduk pendatang dan memilih pekerjaan pemulung sebagai mata pencaharian akibat terbatasnya lapangan pekerjaan.

Penelitian mengenai fenomena pemulung sebagai salah satu masalah sosial di Indonesia sangat tertarik untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai fenomena pemulung difokuskan pada kehidupan sosial pemulung, karakteristik pemulung, kehidupan ekonomi pemulung dan pemberdayaan pemulung. Namun, dari para peneliti terdahulu belum ada yang meneliti mengenai persepsi (pandangan) dari keluarga pemulung sendiri mengenai pendidikan formal anak. Mengingat bahwa keputusan pemerintahan yang mewajibkan belajar 9 tahun yang harus dilaksanakan merupakan perwujudan amanat pembukaan UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. serta pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang, maka peneliti tertarik untuk meneliti dan mengetahui pandangan keluarga pemulung terhadap pentingnya pendidikan formal, apakah hanya menjalankan wajib belajar 9 tahun saja, atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Maka dari ketertarikan ini, penulis mencoba melihat bagaimana persepsi keluarga pemulung terhadap pendidikan formal anak, yang pada akhirnya dapat menggambarkan seperti apa pengetahuan mereka terhadap pendidikan, faktor- faktor apa sajakah yang mempengaruhi persepsi mereka terhadap pendidikan, serta harapan- harapan mereka di masa depan setelah mengecap pendidikan.


(20)

1.2 Rumusan Masalah

Jumlah pemulung di berbagai kota di Indonesia menjadi suatu realita sosial yang hingga pada saat ini menjadi perbincangan yang belum ada penyelesaiannya. Keterbatasan akan akses pendidikan formal dan teknologi menyebabkan pemulung tidak dapat memiliki pekerjaan yang lebih layak lagi. Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi titik perhatian dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana persepsi orangtua yang bekerja sebagai pemulung terhadap pendidikan formal anak?

2. Bagaimanakah persepsi anak pemulung terhadap pendidikan formal?

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui persepsi orangtua yang bekerja sebagai pemulung terhadap pendidikan formal anak.


(21)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan informasi terutama untuk kajian- kajian sosiologis mengenai kehidupan para pemulung bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan agar penulis lebih dapat meningkatkan kemampuan dalam menulis karya ilmiah tentang kehidupan pemulung di daerah perkotaan, serta hasilnya dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami kehidupan pemulung sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas pada umumnya, dan pemulung pada khususnya.

1.5 Defenisi Konsep

Berikut ini akan diuraikan definisi konseptual dari variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian guna memperoleh batasan yang jelas dan menyamakan persepsi dari variabel serta konsep yang terdapat dalam penelitian ini, sehingga dapat dilakukan pengukurannya, sebagai berikut:

1. Pemulung adalah orang yang bekerja dengan cara memunguti barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan kembali.

2. Persepsi keluarga pemulung, terhadap pendidikan formal anak adalah penilaian pemulung terhadap pendidikan formal berdasarkan informasi yang didapat dari faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Sejauh mana keluarga pemulung menganggap


(22)

pentingnya pendidikan formal itu terhadap keluarga. Dalam hal ini, persepsi anak pemulung juga menjadi tolak ukur dalam konsep penelitian.

3. Sosialisasi merupakan suatu proses dimana seseorang kemampuan social untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan social. Kemampuan sosial ini erat kaitannya dengan perkembangan social anak.

4. Harapan pemulung merupakan suatu keadaan yang menjadi angan-angan dan yang diinginkan pemulung supaya terjadi kelak dikemudian hari. Harapan pemulung di masa depan terbagi menjadi dua yaitu pemulung yang ingin tetap mempertahankan profesi pemulung dengan pendapatan meningkat atau memiliki pekerjaan lain yang lebih baik dan lebih menguntungkan.

5. Kemiskinan merupakan kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Salah satu konsep pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs).

6. Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi ( Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan).


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Kondisi Pemulung

Profesi pemulung dapat digolongkan ke dalam definisi kerja sektor informal, yaitu sebagai bagian dari sistem ekonomi yang tumbuh untuk menciptakan kerja dan bergerak di bidang produksi serta barang dan jasa dan dalam usahanya menghadapi keterbatasan modal, keterampilan, dan pengetahuan. Keberadaan pemulung jalanan dapat ditinjau dari beberapa demensi sosial yang ada, antara lain dimensi sosial budaya, dimensi sosial ekonomi, dan dimensi lingkungan.

a. Kondisi Pemulung Ditinjau Dari Dimensi Sosial Ekonomi

Sebenarnya keberadaan pemulung berperan dalam pembangunan meskipun tampaknya remeh. Di samping perannya dalam menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri dalam memenuhi penghasilan untuk keluarga atau biasa disebut Laskar Mandiri. Oleh karena itu, seharusnya para pemulung mendapatkan pembinaan yang tepat agar dapat menempatkan diri dalam masyarakat.

Selain itu, pemulung turut serta dalam menghemat devisa Negara dalam kegiatan ekonominya, terutama dalam penyiapan bahan baku yang murah dari barang-barang bekas. Seperti, gelas, plastik, besi, kaleng, kertas, karton, dan sebagainya. Barang-barang itu akan diolah kembali oleh pabrik-pabrik dengan proses daur ulang untuk dijadikan barang-barang yang bermanfaat dan turut menggiatkan kegiatan ekonomi.

Meskipun peranan pemulung sangat vital dalam mata rantai jaringan transaksi barang-barang bekas, namun mereka tidak berdaya untuk mempertahankan “haknya” sesuai dengan


(24)

pengorbanan yang telah mereka berikan. Ini dapat terlihat dari harga barang-barang bekas dari pemulung relatif murah jika dibandingkan dengan harga jual pengepul ke pabrik-pabrik.

b. Kondisi Pemulung Ditinjau Dari Dimensi Sosial Budaya

Ditinjau dari kondisi sosial budaya, para pemulung digolongkan ke dalam kelompok masyarakat yang memiliki sub kultur tersendiri, yaitu kultur yang memcerminkan budaya atau kebiasaan-kebiasaan hidup dari golongan masyarakat miskin. Tata nilai dan tata norma yang ada berbeda dengan tata nilai dan tata norma dalam masyarakat, dan biasanya cenderung dinilai negatif. Namun dari sudut pandang mereka, apa yang ada itu tidak dianggap sebagai suatu yang kurang baik, walaupun oleh sebagian besar masyarakat cara hidup mereka dianggap kurang wajar, karena tampak menyimpang dari tujuan yang biasa diidam-idamkan oleh warga masyarakat oleh masyarakat pada umumnya. Pada dasarnya para pemulung ingin hidup bebas, tidak mau terikat dengan aturan dan norma, sehingga bila dibandingkan dengan kondisi yang ada di kalangan warga masyarakat lainnya timbul perbedaan yang mencolok, terutama pada segi estetika, etika, dan idealisme hidup.

Dalam kehidupan pemulung yang tergolong masyarakat miskin, rasa estetika tanpaknya sangat rendah. Misalnya, mereka tidak merasa perlu berpenampilan rapi. Terkadang, walaupun belum mandi mereka sudah berkeliaran kemana-mana dengan pakaiaan kumal dan kotor. Berpenampilan seperti itu tentu saja kurang diterima masyarakat di tempat umum, karena mengganggu pemandangan dan menyebarkan bau yang kurang sedap terhadap orang-orang sekelilingnya. Rasa etika hidup juga banyak dijumpai hal-hal yang kurang baik. Seolah-olah mereka tidak mengenal rasa malu. Pakaiaan yang mereka kenakan kurang sopan untuk dikenakan di tempat umum. Sedangkan tentang idealisme hidup, mereka tidak terlalu berpikir ke depan. Mereka mengutamakan kebutuhan sesaat. Oleh karena itu, banyak diantara pemulung


(25)

cenderung beristirahat mencari barang-barang bekas apabila merasa telah mendapatkan sejumlah uang untuk beberapa hari.

Walaupun pemulung digolongkan ke sub kultur semacam ini, namun sebenarnya mereka masih memiliki kondisi sosial budaya yang lebih baik daripada gelandangan dan pengemis. Mereka memiliki etos kerja yang lebih tinggi. Hasrat untuk mandiri cukup besar, sehingga pemulung lebih bisa diarahkan dan dibina kepada kehidupan yang lebih baik.

c. Kondisi Pemulung Ditinjau Dari Dimensi Lingkungan

Ditinjau dari dimensi lingkungan peran pemulung sangat besar. Mereka ikut andil dalam menciptakan kebersihan di lingkungan perkotaan. Dengan jalan mengurangi volume sampah dari jenis yang justru tidak dapat atau sukar hancur secara alamiah. Meskipun secara kuantitatif pengurangannya kecil, sehingga kurang terlihat pengaruhnya. Sedangkan di lain pihak, dalam kegiatannya mengumpulkan barang-barang bekas, para pemulung tidak atau kurang memikirkan kebersihan dan keindahan lingkungan. Ternyata mereka merasa tidak wajib untuk turut menjaga keindahan dan kebesihan lingkungan. Seperti, banyak diantara mereka dengan seenaknya mendirikan gubuk-gubuk luar di sembarang tempat dan menumpuk barang-barang bekas di depan gubuk mereka.

Perlu ditinjau dampak dari keberadaan pemulung terhadap aspek lingkungan yang lain, dalam hal ini sejauh mana pengaruhnya terhadap sistem keamanan lingkungan. Ternyata tidak semua pemulung berperilaku jujur, terkadang ada juga yang mau mengambil hak milik orang lain yang bukan barang-barang bekas. Dengan kenyataan yang demikian itu maka kehadiran para pemulung di lingkungan daerah pemukiman sering menimbulkan curiga dan khawatir pada sebagian penduduk.


(26)

Komunitas pemulung merupakan salah satu komunitas yang memadati perkotaan. Komunitas yang sehari-harinya bekerja mengumpulkan pulungan ini, dapat dimasuki oleh siapa saja, meskipun tidak memiliki keahlian sekalipun. Persaingan yang tinggi di perkotaan, menuntut kemampuan dan keahlian di berbagai bidang bagi masyarakat, menyebabkan masyarakat yang tidak dapat mengembangkan kemampuannya, harus mencari pekerjaan yang tidak menuntut keahlian. Dan pekerjaan pemulung pun menjadi salah satu pilihan. Dengan melihat volume sampah di perkotaan yang begitu tinggi, menyebabkan lahan pekerjaan pemulung semakin banyak.

Munculnya komunitas pemulung di daerah perkotaan merupakan suatu wujud kemiskinan di perkotaan itu sendiri. Laju pertumbuhan yang semakin meningkat, semakin menyebabkan keterpurukan ekonomi yang belum mapan. Lapangan pekerjaan yang tidak sejalan dengan pertumbuhan pendudukan, menyebabkan banyaknya masyarakat yang pengangguran sehingga menyebabkan munculnya pekerjaan di sektor informal seperti pemulung. Penghasilan yang sedikit tidak sesuai dengan pemenuhan kebutuhan dasar, menyebabkan rendahnya kesejahteraan masyarakat pemulung, yang terlihat dari keikutsertaan anak dalam memulung.

Selain itu, tingkat kepedulian masyarakat perkotaan yang sangat jauh berbeda dengan masyarakat pedesaan, menimbulkan sifat individualis yang ingin bertahan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan msyarakat lainnya. Misalnya, dalam hal membuang sampah masyarakat perkotaan cenderung tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya. Sehingga hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan terhadap masyarakat yang lainnya. Kawasan kumuh yang dihuni oleh berbagai komunitas masyarakat yang salah satunya komunitas pemulung, merupakan suatu bukti kemiskinan di perkotaan.


(27)

Ketertarikan masyarakat migran untuk menetap di perkotaan memberikan perubahan tata ruang kota akibat peningkatan penduduk, sehingga menjadikan wilayah di perkotaan semakin sempit, yang menimbulkan munculnya daerah kumuh. Munculnya komunitas- komunitas baru di daerah perkotaan menjadi akibat dari peningkatan kependudukan, sehingga masyarakat perkotaan cenderung memiliki sifat hidup berkelompok. Begitu juga dengan pemulung, yang tergabung atas kesamaan pekerjaan, menyebabkan intensitas tatap muka sesama pemulung semakin tinggi, dikarenakan bertemu di jalanan ketika mencari pulungan, atau bahkan ketika menjual hasil pulungan mereka di tauke yang sama.

Semakin banyaknya sektor informal yang muncul di perkotaan, semakin menunjukkan bahwa persaingan dalam mencari lapangan kerja dalam sector formal semakin tinggi. Kemampuan dan keahlian sangat dibutuhkan untuk mampu bersaing, dan jika tidak memiliki keduanya, maka muncullah komunitas penduduk yang membuka lapangan kerja di sector informal seperti komunitas pemulung ini. Maka dapat disimpulkan, semakin banyaknya pemulung dalam suatu daerah perkotaan, menjadi wujud kemiskinan di daerah perkotaan itu juga.

2.3 Pendidikan dan Mobilitas Sosial

Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Pada semua sistem sosial, tentu terdapat berbagai macam kedudukan atau status.

Menurut Pitirim Sorokin (Kamanto, Sunarto: 2004) mengukur status sosial seseorang dapat dilihat dari: jabatan, pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan, kekayaan, politis,


(28)

keturunan dan agama. Kelas sosial timbul karena adanya perbedaan dalam penghormatan dan status sosial seseorang. Misalnya, seorang anggota masyarakat dipandang terhormat karena memiliki status sosial yang tinggi, dan seorang anggota masyarakat dipandang rendah karena memiliki status sosial yang rendah. Dengan demikian masyarakat berusaha menaikkan status sosialnya salah satunya dengan melalui pendidikan yang tinggi.

Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemampuan sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan bermoral.

Oleh karena itu, pendidikan diyakini masyarakat sebagai salah satu tempat untuk merubah nasib, dengan adanya pendidikan tinggi sesorang bisa memiliki pekerjaan yang menjanjikan masa depannya, dipandang terhormat oleh masyarakat dan dipandang dapat memegang peran untuk kemajuan masyarakat, sehingga hampir semua orang mementingkan pendidikan untuk memperbaiki status ekonomi dan sosialnya.

Pendidikan merupakan anak tangga mobilitas yang penting. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pendidikan mampu meningkatkan status sosial seseorang. Hal ini karena pendidikan itu sendiri mempunyai peran yang penting bagi diri sendiri maupun masyarakat setempat. Hal tersebut bisa dilihat mulai dengan menilik fungsi-fungsi pendirian lembaga pendidikan. Rafil Karsidi dalam salah satu tulisannya menyebutkan berbagai fungsi lembaga pendidikan yang dikaitkan dengan realitasnya. Fungsi-fungsi tersebut secara ringkasnya adalah sebagai berikut:


(29)

1. Lembaga pendidikan mempersiapkan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan.

Jika proses perjalanan pendidikan sepanjang masa ditinjau secara menyeluruh, maka dapat dilihat kenyataan bahwa kemajuan dalam pendidikan beriringan dengan kemajuan ekonomi secara bersamaan. Peserta didik yang menamatkan sekolah diharapkan sanggup melakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dunia pekerjaan. Semakin tinggi pendidikannya, maka semakin besar kesempatannya untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

2. Sebagai alat transmisi kebudayaan.

Fungsi transmisi kebudayaan masyarakat kepada peserta didik menurut Vembrianto (1990) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) transmisi pengetahuan dan keterampilan; dan (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Transmisi pengetahuan mencakup pengetahuan tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial serta penemuan-penemuan teknologi. Dari segi transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma masing-masing lembaga dalam konteks karakter sosiokultural juga tidak bisa dipungkiri peran dan fungsinya. Di lembaga pendidikan, peserta didik tidak hanya mempelajari pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga sikap, nilai-nilai dan norma-norma.

3. Mengajarkan peranan sosial.

Pendidikan diharapkan membentuk manusia sosial yang dapat bergaul dengan sesama manusia sekalipun berbeda agama, suku bangsa, pendirian dan sebagainya. Ia juga harus dapat menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang berbeda-beda. Lebih dari itu, peserta didik diharapkan mampu dan memiliki peranan yang baik dengan memberikan sumbangsihnya atas berbagai permasalahan sosial di sekitarnya.


(30)

Semenjak diterapkannya sistem pendidikan yang bisa dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh penjuru tanah air maka secara otomatis telah mendobrak tembok ketimpangan sosial masyarakat feodal dan menggantinya dengan bentuk mobilitas terbuka. Sekolah menjadi tempat yang paling strategis untuk menyalurkan kebutuhan mobilitas vertikal dalam kerangka stratifikasi sosial masyarakat.

5. Menyediakan tenaga pembangunan.

Bagi negara-negara berkembang, pendidikan dipandang menjadi alat yang paling ampuh untuk menyiapkan tenaga produktif guna menopang proses pembangunan. Kekayaan alam hanya mengandung arti bila didukung oleh keahlian. Maka karena itu manusia merupakan sumber utama bagi negara.

6. Menciptakan integrasi sosial.

Dalam masyarakat yang bersifat heterogen dan pluralistik, terjaminnya integrasi sosial merupakan fungsi pendidikan sekolah yang cukup penting. Masyarakat Indonesia mengenal bermacammacam suku bangsa masing-masing dengan adat istiadatnya sendiri, bermacam-macam bahasa daerah, agama, pandangan politik dan lain sebagainya. Dalam keadaan demikian bahaya disintegrasi sosial sangat besar. Oleh karena itu, tugas pendidikan di lembaga pendidikan yang terpenting adalah menjamin integrasi sosial. Upaya yang telah dilakukan untuk itu misalnya dengan mengajarkan bahasa nasional, mengajarkan pengalaman-pengalaman yang sama melalui keseragaman kurikulum dan buku-buku pelajaran.

7. Kontrol sosial.

Ketika permasalahan sosial begitu kompleks dan rumitnya, seperti soal kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan, di sinilah pendidikan memiliki peran fungsionalnya sebagai


(31)

kontrol atau stabilisator agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut atau meminimalisir agar efeknya tidak meluas. Karena fungsi-fungsi tersebut, maka pendidikan dipercaya masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan hidup.

2.4 Teori Fungsionalisme

Dalam tahun 1940-an, Parsons mulai menekankan arti penting fungsionalisme sebagai suatu teori sosiologis. Usaha Parsons yang sistematis dan maksimal dalam membangun teori fungsional ialah The Social System. Parson melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan sosial bisa terorganisir (Poloma, 2004: 171). Disamping itu terdapat dua system tindakan lain yang saling melengkapi yaitu: sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol serta sistem kepribadian para pelaku individual. Bilamana sistem sosial dilihat sebagai sebuah sistem parsial, maka masyarakat itu dapat berupa setiap jumlah dari sekian banyak sistem-sistem yang kecil misalnya keluarga, system pendidikan, dan lembaga keagamaan.

Pemikiran Talcott Parsons, ketika pernah menjadi ahli biologi, banyak berpengaruh pada rumusan teori fungsionalismenya. Baginya, masyarakat manusia tak ubahnya seperti organ tubuh manusia, dan oleh karena itu masyarakat manusia dapat juga dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia (Suwarsono, 2006:11). Pertama, seperti struktur tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, masyarakat , menurut Parsons juga memiliki berbagai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung sama lain. Untuk hal ini, Parsons menggunakan konsep “sistem” untuk menggambarkan koordinasi harmonis antarkelembagaan tersebut.


(32)

Kedua, karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas (specific), maka demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat. Setiap lembaga dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut. Parsons merumuskan istilah “fungsi pokok” (fungtional imperative) untuk menggambarkan empat macam tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak “mati” yang terkenal dengan sebutan AGIL (adaptation to the environment, goal attainment, integration, and latency). Lembaga ekonomi menjalankan fungsi adaptasi lingkungan, pemerintah bertugas untuk pencapaian tujuan umum, lembaga hukum dan agama menjalankan fungsi integrasi, dan yang terakhir, keluarga dan lembaga pendidikan berfungsi untuk usaha pemeliharaan.

Analogi dengan tubuh manusia mengakibatkan Parsons merumuskan konsep “keseimbangan dinamis-stasioner” (homeostatic equilibrium). Jika satu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Ini maksudnya untuk mengurangi ketegangan intern dan mencapai keseimbangan baru. Demikian pula halnya masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan, tetapi teratur. Perubahan sosial yang terjadi pada satu lembaga akan berakibat pada perubahan di lembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru. Dengan demikian, masyarakat bukan sesuatu yang statis tetapi dinamis, sekalipun perubahan itu amat teratur dan selalu menuju pada keseimbangan baru.

Berikutnya Parsons merumuskan konsep “faktor kebakuan dan pengukur” (pattern variables), dalam rangka menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Faktor kebakuan dan pengukur ini menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial yang langgeng, berulang dan mewujud dalam system kebudayaan, yang bagi Parsons merupakan sistem yang tertinggi dan terpenting.


(33)

Selanjutnya Parson menyatakan, bahwa masyarakat tradisional belum merumuskan fungsi-fungsi kelembagaannya secara jelas (fungctionally diffused) dan karenanya akan terjadi pelaksanaan tugas yang tidak efisien, sebaliknya masyarakat modern telah merumuskan secara jelas tugas masing-masing kelembagaan (fungctionally specific). Dalam hal ini, tugas lembaga keluarga dan pendidikan yang sejalan menjadi salah satu pedoman keberhasilan dari keberhasilan sistem. Dengan demikian keempat prasyarat fungsional itu berkaitan dengan hubungan system dan lingkungannya serta sarana-sarana melalui mana penyelesaian ini harus dipenuhi.

Jika pada masyarakat modern fungsi lembaga sudah dirumuskan secara jelas, salah satunya lembaga pendidikan, maka akan sangat mempengaruhi lembaga keluarga yang mana keduanya bertugas untuk usaha pemeliharaan. Pendidikan itu sendiri merupakan salah satu karakteristik manusia modern menurut Alex Inkeles. Teori Alex Inkeles menekankan tentang lingkungan material dalam hal ini lingkungan pekerjaan. Teori pada dasarnya berbicara tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan dalam hal ini manusia modern. Bagi Inkeles (Suwasono: 2006, 30-32) menyebutkan bahwa karakteristik dari manusia modern adalah:

1. Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti bahwa manusia modern selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru.

2. Manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orangtua, kepala suku (etnis), dan raja.

3. Manusia modern percaya akan ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya menundukkan alam semesta.


(34)

5. Manusia modern memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh di depan dan mengetahui apa yang akan mereka capai dalam waktu lima tahun ke depan misalnya.

6. Manusia modern aktif terlibat dalam percaturan politik. Mereka bergabung dengan berbagai organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal. Lebih jauh bahwa kurikulum teknis seperti Matematika, Kimia, Biologi, bukan merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap penyerapan nilai dan pembentukan manusia modern. Bagi Inkeles, justru kurikulum informal seperti misalnya kecenderungan tenaga pengajar pada nilai- nilai barat, pemakaian buku- buku barat, dan melihat film- film barat, membantu penyerapan nilai- nilai modern. Kedua, jenis pekerjaan yang diukur dari satuan pabrik, memiliki pengaruh independen terhadap pembentukan nilai- nilai modern. Jika terjadi keterlambatan sosialisasi karena misalnya seseorang telah tidak mengalami pendidikan formal, maka orang tersebut masih memiliki kesempatan untuk menjadi manusia modern jika ia bekerja pada pabrik yang berskala besar. Dari hasil penelitiannya, mereka berkesimpulan bahwa pendidikan adalah yang paling efektif untuk mengubah manusia dan pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa.

Namun jika dikaji lebih jauh, pendidikan formal yang pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin, menghasilkan kerjasama yang merata bagi semua yang mengeyam pendidikan formal, ataupun alasan lain yang menimbulkan ketertarikan bagi berbagai kalangan untuk mencapai pendidikan formal tidaklah dapat dilafalkan dalam kehidupan suatu Negara berkembang. Sebagai akibatnya, maka berkembanglah kesadaran dalam berbagai Negara sedang membangun bahwa perluasan pendidikan formal tidak selalu sama dengan perluasan belajar, bahwa kepentingan yang ekslusif dari para anak didik dan guru terhadap pemilikan


(35)

ijazah sekolah dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak perlu dihubungkan dengan kemampuan murid yang telah diperbaiki untuk melakukan pekerjaan produktif, bahwa pendidikan yang hampir seluruhnya berfungsi sebagai alat investasi saja yang nantinya belum tahu akan digunakan kemana jika tidak memiliki suatu kemampuan lain (Todaro, 1978: 435).

Maka bagi pemulung, pendidikan formal menjadi salah satu sasaran yang ingin mereka capai demi mampu bersaing serta mampu menerima proses modernisasi di daerah perkotaan. Meskipun tidak mengetahui bagaimana substensi pendidikan di masa depan bagi kehidupan mereka, namun setidaknya dengan mendapatkan pendidikan formal, mampu menaikkan prestise

mereka dalam lingkungan perkotaan. Melihat jenis pekerjaan pemulung yang berada di sector informal, dikarenakan kemampuan yang tidak memadai untuk bekerja di pabrik ataupun perkantoran, maka pendidikan menjadi wadah untuk mampu menerima pengaruh modernisasi yang mana diperlukannya fungsi lembaga keluarga untuk menghasilkan usaha yang maksimal dari lembaga pendidikan dan keluarga, sehingga fungsi pokok yang dirumuskan oleh Parsons, mencapai keseimbangan.

2.5 Persepsi Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Pendidikan bagi Anak

Persepsi merupakan pemahaman akan sesuatu hal yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, sehingga mampu membentuk pola pikir seseorang terhadap hal tersebut. Sosialisasi adalah proses mengembangkan kebiasaan, nilai-nilai, perilaku dan motif untuk dapat menjadi anggota masyarakat. Proses tersebut bermula dari keluarga sebagai tempat anak melakukan kontak pertama dan berkembang terus selama kehidupan anak. Pengertian ini juga mencakup mengenai proses transaksi dengan orang lain dalam lingkungan sekolah, maupun


(36)

dengan teman sebayanya. Sosialisasi bergantung pada proses internalisasi standar-standar sosial yang berlaku dalam kelompok. Anak-anak menerima standar sosial tersebut atau tidak tergantung pada rasa aman yang dirasakan oleh anak tersebut di dalam kelompoknya.

Persepsi keluarga terhadap pendidikan sangat dipengaruh oleh mediator yang memperkenalkan peran penting dari pendidikan itu sendiri. Keluarga sebagai agen sosialisasi pertama dalam proses perkembangan si anak, sangat berpengaruh penting dalam memperkenalkan pendidikan. Sebelum memperkenalkan, maka keluarga harus memiliki pemahaman akan dasar-dasar pendidikan serta kepentingannya di masa mendatang. Fasilitas yang mendukung, akan semakin meningkatkan keingintahuan si anak dalam mencapai pendidikan yang lebih baik.

Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orangtua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang.

Agen sosialisasi adalah kelompok- kelompok dimana suatu individu mendapatkan proses belajar sosialisasi. Agen-agen sosialisasi tersebut adalah: (1) Keluarga, (2) Teman sebaya, (3) Sekolah, dan (4) Media. Setiap agen sosialisasi memiliki bentuk dan nilai yang berbeda bagi proses sosialisasi anak. Keluarga merupakan agen sosialisasi anak yang paling awal, dimana keluarga merupakan tempat pertama anak melakukan hubungan sosial. Anak akan membawa ingatan mengenai hubungan keluarganya dalam melakukan kontak sosial dengan sahabat, guru, tetangga dan lainnya (Hetherington dan Parke, 1999).

Wahini (2002) mengemukakan bahwa keluarga merupakan tempat pertama dan utama terjadinya sosialisasi pada anak. Pengaruh paling besar selama perkembangan anak pada lima


(37)

tahun pertama kehidupannya terjadi dalam keluarga. Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemauan anak akan ikut menentukan proses perkembangannya. Kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak. Anggota keluarga yang pertama yang paling berpengaruh dalam proses sosialisasi adalah orangtua. Bentuk pengasuhan, sikap orangtua terhadap anak semuanya dapat mempengaruhi proses sosialisasi anak kedepannya (Hethrington & Parke, 1999).

Pentingnya pendidikan bagi anak, merupakan peran orangtua dalam mensosialisasikannya. Keluarga sebagai pusat pendidikan yang pertama dan memiliki banyak kesempatan merupakan wadah yang cukup strategis untuk terus membina dan menanamkan nilai- nilai tata pergaulan yang sudah dianggap baik dan sudah dilakukan. Sedangkan sekolah merupakan kebutuhan setiap orang. Oleh karenanya investasi masyarakat semakin banyak ditanam di sekolah. Dalam hubungan ini, Dimyati Mahmud (dalam Jarkasi, 1996:7) menambahkan bahwa meraih dua tujuan yaitu:

1. Tujuan-tujuan yang menitik beratkan pada aspek individual, yakni mengembangkan anak didik secara optimal agar kelak menjadi pribadi yang bebas dan pandai dalam memikirkan serta merencanakan masa depan yang lebih baik.

2. Tujuan yang lebih menekankan pada aspek sosial, yakni memindahkan warisan- warisan budaya yang penting untuk kebaikan dan kesejahteraan hidup serta kehidupan bersama. Pendidikan merupakan sarana yang strategis untuk meningkatkan kualitas manusia. Artinya, melalui pendidikan kualitas manusia dapat ditingkatkan. Dengan kualitas yang meningkat, maka produktivitas individual pun akan semakin meningkat.


(38)

Keluarga juga merupakan media pertama yang memancarkan budaya kepada anak- anak sebab keluarga adalah dunia yang pertama kali menyentuh kehidupan anak- anak. Maka untuk keberhasilan anak, dibutuhkan sosialisasi keluarga yang baik. Demi meningkatkan kualitas hidup, maka keluaraga seharusnya mampu menerapkan pentingnya pendidikan formal bagi anak yang mampu meningkatkan kualitas individualnya sehingga menunjang produktivitas individual si anak ke depannya.

Maka dalam kajian penelitian ini, keluarga pemulung merupakan agen sosialisasi yang sangat mempengaruhi peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal. Namun jika ingin melakukan sosialisasi, maka sangat dibutuhkan pemahaman akan pentingnya pendidikan formal oleh orangtua demi menunjang keberhasilan sosialisasi yang akan dilakukan.


(39)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah agar lebih dapat memahami masalah yang akan diteliti, sehingga lebih mudah untuk mendapatkan gambaran serta penjelasan mengenai permasalahan yang diteliti. Penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif ini dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diamati serta digambarkan dan dijelaskan dengan maksud untuk mengetahui hasil dari masalah yang diteliti. Dalam masalah ini, yang dijelaskan adalah persepsi keluarga pemulung terhadap pendidikan formal anak, yang terlihat dengan pemanfaatan akses pendidikan oleh komunitas keluarga pemulung tersebut.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di daerah Pinang Baris Kelurahan Lalang, Kecamatan Medan Sunggal. Pemilihan lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan kemudahan akses penelitian, keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu peneliti (Singarimbun, 1989). Selain itu, daerah Pinang Baris yang merupakan salah satu lokasi terminal di Kota Medan yang menyumbang banyak sampah, sehingga jumlah pemulung di daerah ini juga tidak sedikit.

3.3Unit Analisis Data dan Informan 3.3.1Unit Analisis Data

Unit analisis data adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek dari penelitian (Arikunto.1999:22). Adapun yang menjadi unit analisis ataupun objek kajian dalam penelitian ini


(40)

adalah 25 keluarga yang terdiri dari berbagai etnis dan agama serta tinggal menetap di Daerah Pinang Baris Kelurahan Lalang Kecamatan Medan Sunggal.

3.3.2 Informan

Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Keluarga pemulung yang tinggal menetap di daerah Pinang Baris Kelurahan Lalang, Kecamatan Medan Sunggal. Yang mana jumlah informan dari keluarga pemulung yakni 5 orangtua yang bekerja sebagai pemulung dan 4 anak pemulung. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan lamanya orangtua tersebut bekerja sebagai pemulung, serta dengan melihat jumlah anak yang dimiliki. Sedangkan anak pemulung yang juga dipilih secara sengaja, berdasarkan tingkatan pendidikannya.

2. Tokoh masyarakat di daerah ini.

3. Pengurus dari pihak Dinas Kebersihan Kota Medan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan-permasalahan yang bersangkutan. Di dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, yang dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Data primer yaitu data yang didapat dengan cara melakukan penelitian lapangan, yaitu pengumpulan data dengan langsung terjun ke lokasi penelitian yang dapat digunakan melalui:

1.1Participant observer/ observasi partisipasi, adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indra sebagai alat bantu utamanya. Observasi partisipasi


(41)

yang dimaksud adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian pengamat betul-betul menyelami kehidupan objek pengamatan dan bahkan tidak jarang pengamat kemudian mengambil bagian dalam kehidupan budaya mereka (Burhan.2007:115-116).

1.2Wawancara mendalam (depth interview), yaitu proses tanya jawab yang dilakukan peneliti kepada informan untuk lebih dapat menggali data secara lebih lengkap.

2. Data sekunder yaitu sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2010: 137). Data sekunder ini diperoleh dari studi kepustakaan dengan mengumpulkan data dari buku, artikel, surat kabar, internet, maupun media lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder antara lain disajikan dalam bentuk data-data, tabel-tabel, diagram-diagram, dokumentasi (berupa dokumen-dokumen dan foto-foto) atau mengenai topik penelitian. Data ini merupakan data yang berhubungan secara langsung dengan penelitian yang dilaksanakan.

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan memilah dan mengelompokkan data yang telah dikumpulkan dari lapangan melalui pengamatan maupun wawancara, dan maupun dari studi kepustakaan yang ada. Setelah semua data dikumpul dan dikelompokkan, lalu data dipisahkan dan dikategorikan sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan kesimpulan yang baik.


(42)

3.6 Keterbatasan Penelitian

Adapun yang menjadi keterbatasan penulis dalam penelitian ini adalah karena penulis masih belum menguasai secara penuh teknik dan metode penelitian sehingga dapat menjadi keterbatasan dalam mengumpulkan dan menyajikan data. Kendala tersebut dapat diatasi melalui proses bimbingan dengan dosen pembimbing, serta penulis juga berusaha mencari informasi dari berbagai sumber yang dapat mendukung proses penelitian ini. Selain itu terbatasnya waktu yang dimiliki oleh informan juga mempengaruhi pengerjaan tulisan ini.

3.7 Jadwal Penelitian

No Kegiatan Bulan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Proposal 

2 ACC Penelitian 

3 Penyusunan Proposal penelitian  

4 Seminar Proposal Penelitian 

5 Revisi Proposal Penelitian 

6 Penelitian Lapangan    

7 Pengumpulan dan Analisa Data    

8 Bimbingan Skripsi  

9 Penulisan Laporan Akhir  


(43)

BAB 4

DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN

4.1 Deskripsi Wilayah

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

Kotamadya Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini merupakan wilayah yang subur di wilayah dataran rendah timur dari propinsi Sumatera Utara dengan ketinggian berada di 22,5 meter di bawah permukaan laut. Kota ini dilalui oleh dua sungai yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka. Kotamadya Medan memiliki 21 Kecamatan dan 158 Kelurahan.

Sumber: Pemko Medan. Profil Kota Medan, (Medan : Pemerintah Kotamadya Medan, 2004) hal.36

Penduduk Kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, menunjukkan keberagaman etnis namun belum pernah ada konflik antar etnis di Kota Medan. Terbentuknya komunitas berdasarkan etnis memiliki tujuan masing-masing yang tidak mengganggu tujuan komunitas lainnya. Dengan perbedaan tujuan yang tidak saling mengganggu, menciptakan hubungan sosial


(44)

yang baik dan terjadi kerjasama antar etnis. Hal ini dapat terlihat dari bentuk kerjasama di bidang perekonomian. Tidak jarang terlihat banyaknya etnis yang berbeda-beda mampu bekerjasama dalam sector formal maupun informal.

Dalam hal pendidikan, Kota Medan memiliki sarana pendidikan yang lengkap dalam berbagai tingkatan. Universitas ternama juga ada di Kota Medan ini, yang menunjukkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang harus dicapai dan mudah diakses oleh masyarakat yang tinggal di Kota Medan. Dan pendidikan yang ditawarkan bebas dinikmati oleh siapa saja tanpa memandang etnis maupun agama yang dimiliki.

Namun Kota Medan sebagai salah satu kota strategis mengundang perhatian masyarakat untuk datang ke kota ini. Sehingga banyaknya masyarakat pendatang menimbulkan kekurangan lapangan pekerjaan demi pemenuhan perekonomian masyarakat. Hal inilah yang menimbulkan munculnya pekerjaan di sektor informal dan kemiskinan di perkotaan.

4.2 Kelurahan Lalang

Kelurahan Lalang adalah salah satu kelurahan di dalam Kecamatan Medan Sunggal, Medan, Sumatera Utara. Kelurahan ini adalah pintu gerbang sebelah barat Kota Medan, dilintasi oleh Jalan Raya Lintas Sumatera menjadikan daerah ini sebagai sebuah daerah yang pesat perkembangannya di Kota Medan. Namun kepesatan perkembangan tersebut tidak diimbangi oleh tata ruang kota yang baik sehingga terkesan semrawut. Adanya terminal pinang baris di daerah Kelurahan Kampung Lalang ini menyebabkan banyaknya angkutan umum yang semakin mempersempit tata ruang kota. Kelurahan Lalang ini memiliki luas wilayah 125 Ha dan terdiri


(45)

atas 13 (tiga belas) lingkungan yang wilayahnya terdiri dari pemukiman masyarakat, perkantoran, taman dan sebagainya.

Batas-batas wilayah Kelurahan Lalang adalah:

Sebelah Timur: Kelurahan Sei Sikambing Kecamatan Medan Sunggal.

Sebelah Barat: Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Selatan: Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal.

Sebelah Utara: Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia.

Dan komposisi luas wilayah Kelurahan Lalang adalah:

Tabel 1

Penggunaan Tanah di Kelurahan Lalang No Jenis Penggunaan Tanah Luas (Ha) %

1. Pemukiman 80 64

2. Pekarangan 1,5 1,2

3. Taman 1,5 1,2

4. Perkantoran 20 16

5. Lain-lain 22 17,6

Jumlah 125 Ha 100%

Sumber: Kantor Kelurahan Lalang, 2011, dan data diolah kembali oleh peneliti.

Melihat luasnya penggunaan tanah terhadap pemukiman penduduk, menunjukan jumlah penduduk yang sejajar dengan luas pemukiman di kelurahan ini. Dengan banyaknya jumlah penduduk, maka volume sampah di kelurahan ini juga sangat tinggi. Kelurahan Lalang yang memiliki terminal sebagai tempat persinggahan bagi masyarakat pendatang, menjadi daya tarik


(46)

bagi masyarakat pendatang untuk berdomisili di daerah ini. Ketersediaan sarana dan prasarana menimbulkan keinginan untuk bertahan didaerah ini. Meskipun harus bekerja di sector informal, namun dengan segala kemudahan sarana pemerintah yang diberikan menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat.

4.2.1 Komposisi Jumlah Penduduk

Dari komposisi wilayah, terlihat bahwa lebih dari setengah luas wilayah kelurahan lalang merupakan daerah pemukiman masyarakat. Agar lebih mengetahui komposisi penduduk di Kelurahan Lalang ini, penulis memaparkan jumlah penduduk di kelurahan ini.

Tabel 2

Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah/Orang %

1. Laki-laki 9112 48,84

2. Perempuan 9543 51,15

Jumlah 18.655 Jiwa 100%

Sumber: Kantor Kelurahan Lalang, 2011, dan data diolah kembali oleh peneliti.

Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di atas menunjukkan kesetaraan jumlah penduduk di daerah ini. Perbedaan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang hanya sedikit, ternyata tidak mempengaruhi perbedaan kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan. Kesetaraan dalam hal kepemilikan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, terlihat dari banyaknya pekerjaan yang tidak memberi batasan berdasarkan jenis kelamin. Contohnya pekerjaan pemulung yang dikerjakan oleh perempuan dan laki menunjukkan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam mencari pekerjaan di daerah ini.


(47)

Tabel 3

Komposisi Penduduk Menurut Agama

No Agama Jumlah Penduduk %

1. Islam 10265 55,02

2. Kristen 7926 42,48

3. Hindu 307 1,64

4. Budha 157 0,84

Jumlah 18.655 Jiwa 100%

Sumber: Kantor Kelurahan Lalang, 2011, dan data diolah kembali oleh peneliti.

Keberagaman agama yang dianut oleh masyarakat di Kelurahan Lalang ini menunjukkan harmonisasi sistem sosial di daerah ini. Berbagai kegiatan maupun pekerjaan yang dilaksanakan oleh masyarakat dari berbagai agama, menunjukkan toleransi yang sangat baik antar sesama masyarakat. Solidaritas yang terjalin dalam kegiatan yang disponsori oleh kelurahan, dilaksanakan oleh masyarakat tanpa memandang agama. Komunitas pemulung yang menjadi objek penelitian ini, juga terdiri dari masyarakat yang menganut agama yang berbeda-beda namun tidak saling mengganggu, bahkan sering bekerja bersama.

4.2.2 Pola Pemukiman

Kelurahan Lalang yang dilintasi Jalan Raya Lintas Sumatera, dibatasi oleh jalan-jalan raya besar, gang-gang kecil, bangunan pertokoan dan rumah-rumah penduduk. Di pinggiran jalan pada umumnya yang terlihat adalah bangunan-bangunan perkantoran dan jejeran bangunan berbentuk Rumah Toko (RUKO) yang memakai corak bangunan pertokoan modern. Deretan


(48)

rumah yang berada di pinggiran jalan, sebagian besar digunakan pemiliknya untuk membuka usaha.

Rumah-rumah pemukiman penduduk lainnya biasanya terlihat apabila kita sudah masuk ke dalam gang. Hal ini dikarenakan perumahan penduduk sudah banyak tertutup oleh jejeran bangunan ruko yang ada di depannya. Di belakang bangunan ruko yang bertingkat ini barulah kita dapati rumah-rumah penduduk yang berkelompok cukup padat dan dihubungkan oleh gang-gang kecil.

Rumah-rumah penduduk ini memiliki pola pemukiman yang berupa perumahan dan saling berhadap-hadapan serta lurus ke belakang gang dengan kontur tanah yang cukup datar. Rumah-rumah penduduk ini masing-masing memiliki pekarangan yang tidak terlalu besar, cenderung sempit, tetapi mereka mengupayakan menanam berbagai jenis tanaman di sekitar pekarangan mereka dengan jarak yang cukup rapat.

Masyarakat di kawasan Kelurahan Lalang pada umumnya tidak kesulitan tidak pernah memiliki kesulitan dalam mencari air bersih, namun pada masyarakat yang bermukim dengan membentuk gang- gang kecil sudah memiliki kamar mandi sendiri di setiap rumah. Jika pada masyarakat yang mendirikan rumah mereka di dekat jalanan lebih memiliki kesadaran tentang rumah sehat dan sanitasi yang bagus.

Pengadaan listrik di daerah Kelurahan Lalang juga cukup baik, yang diusahakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Walaupun akhir–akhir ini sering sekali PLN melakukan pemadaman listrik yang cukup meresahkan warga, sehingga untuk mengatasinya banyak dari warga masyarakat yang menggunakan generator atau genset untuk sumber daya rumah tangga atau keperluan bisnis mereka apabila sedang terjadi pemadaman listrik tersebut Masyarakat


(49)

setempat (host population) Kelurahan Lalang terdiri dari berbagai macam etnis tinggal berdampingan dengan masyarakat etnis tionghoa, etnis batak dan beberapa masyarakat lainnya. Mereka yang tinggal di Kelurahan Lalang ini hidup rukun dan jarang terdengar masalah diantara masyarakat yang berbeda etnis. Walaupun ada sedikit jarak diantara masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi tetapi tidak nampak secara jelas di Kelurahan Lalang ini.

Pemukiman pemulung yang tidak membentuk kelompok atau perkampungan pemulung, namun terpisah dan tetap berada dalam satu lingkungan. Alasan mereka tidak membentuk kelompok karena kebanyakan masyarakat yang menjadi pemulung merupakan masyarakat pendatang yang ingin mendapatkan tempat tinggal dengan sewa yang murah meskipun harus terpisah dengan teman seprofesinya.

4.2.3 Sarana dan Prasarana

Lingkungan Lalang merupakan daerah yang memiliki cukup banyak sarana kehidupan masyarakat, bisa dibilang cukup lengkap, terutama di daerah pasarnya. Di daerah ini terdapat berbagai macam toko yang menjual bermacam–macam peralatan, pusat–pusat perbelanjaan seperti supermarket, bank-bank swasta dan bank-bank pemerintah. Terdapat pula banyak apotik, bengkel sepeda motor dan mobil, kantor Lurah Lalang, dan sebagainya. Toko–toko yang terdapat di daerah pasar Kelurahan Lalang ini pun bervariasi, ada toko yang menjual peralatan rumah tangga seperti furniture, toko yang menjual spare part sepeda motor, toko yang menjual barang– barang elektronik yang jumlahnya cukup banyak, cafee dan restoran elit, toko kelontong, dan banyak lainnya.

Di bidang sarana komunikasi, masyarakat Kelurahan Lalang bisa dibilang sudah sangat baik dalam hal penggunaan sarana komunikasi tersebut. Jika disurvey, maka sudah hampir


(50)

seluruh rumah tangga memiliki alat komunikasi seperti handphone. Di samping itu, media massa pun dapat dengan mudah mereka dapatkan seperti koran, ataupun media elektronik seperti internet yang ditawarkan oleh masyarakat setempat yang membuka usaha dalam bidang internet.

Dalam bidang kesehatan, di daerah Kelurahan Lalang ini sudah banyak dokter spesialis yang membuka praktek sendiri demi memudahkan masyarakat setempat dalam berobat. Serta ada 9 posyandu dan banyak apotik yang beradah di wilayah ini. Sedangkan dalam bidang keagamaan, pemerintah menyediakan fasilitas bangunan bagi penganut agama Islam yakni mesjid sebanyak 8 buah, gereja bagi agama Kristen yakni 8 buah, Klenteng bagi agama Hindu sebanyak 1 buah, namun wihara bagi agama Buddha tidak ada karena kebanyakan masyarakat yang beragama Buddha di daerah ini beribadah ke pusat Kota Medan.

Dalam bidang pendidikan, sarana yang diberikan kepada masyarakat Keluruhan Lalang bisa terbilang baik. Adapun sarana yang diberikan adalah:

Tabel 4

Sarana Pendidikan yang Terdapat di Kelurahan Lalang

No Jenis Jumlah

1. Play Group 6

2. TK 4

3. SD 6

4. SMP 6

5. SMA 5

Jumlah 26

Sumber: Kantor Kelurahan Lalang, 2011, dan data diolah kembali oleh peneliti.

Sarana pendidikan yang diberikan kepada masyarakat dipergunakan dengan baik serta dapat diakses dengan mudah karena sarana pendidikan yang letaknya strategis dan dekat dengan


(51)

pemukiman penduduk. Setiap keluarga di kelurahan ini tercatat pernah menggunakan sarana pendidikan yang tersedia di kelurahan ini.

4.2.4 Sistem Kemasyarakatan

4.2.4.1 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Kelurahan Lalang adalah masyarakat yang heterogen, dikatakan demikian, karena terdiri dari berbagai etnis yang hidup dan bertempat tinggal di kelurahan ini sejak lama seperti etnis Batak, Jawa, Melayu, dan etnis Tionghoa. Mereka umumnya memiliki sistem kekerabatan patrilineal yaitu melihat garis keturunan menurut garis ayah. Dapat kita lihat pada kartu keluarga di setiap keluarga di Kelurahan Lalang yang menekankan ayah sebagai kepala keluarga. Jadi dalam artian masyarakat tetap mempertahankan ikatan-ikatan kultural. Masing-masing masyarakat beraneka suku dan etnis saling berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat lainnya.

Bagi masyarakat pribumi di Kelurahan Lalang biasanya yang mengikat mereka adalah kesamaan agama. Mereka saling bantu-membantu apabila ada peristiwa-peristiwa penting seperti perkawinan, bencana, kematian, mendirikan rumah dan peristiwa-peristiwa lainnya. Masyarakat etnis tionghoa biasanya juga akan ikut membantu tetapi hanya sekedarnya saja atau misalnya datang ketika ada acara perkawinan atau kematian di masyarakat pribumi. Disini dijumpai kelompok kekerabatan yang berdasarkan etnis, seperti pada kelompok keluarga etnis batak, kelompok keluarga etnis Tionghoa dan lain-lain. Tetapi kelompok-kelompok ini hanya aktif apabila ada kejadian penting dalam kehidupan anggota-anggotanya.


(52)

Kelompok pemulung selalu ikut terlibat dalam kegiatan sistem sosial tanpa memandang status pekerjaan mereka. Kesamaan etnis ataupun agama menjadi perekat bagi pemulung untuk mengikuti suatu kegiatan yang berbau etnis maupun agama, sehingga status pekerjaan mereka tidak menjadi pemisah dengan anggota lainnya pada suatu kegiatan.

4.2.4.2 Sistem Kepemimpinan

Sistem kepemimpinan terdiri dari pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin informal adalah orang yang dituakan dan dianggap memiliki kemampuan agama yang lebih daripada penduduk Kelurahan Lalang lain, yang hanya berfungsi pada saat adanya acara-acara adat. Sedangkan pemimpin formal adalah lurah, kepala-kepala lingkungan dan perangkat pemerintahan lainnya.

Bagi pemulung yang kebanyakan merupakan masyarakat pendatang, menjadi anggota dalam kepemimpinan formal maupun informal dalam sistem sosial. Mereka tidak bisa menjadi pemimpin karena pendidikan yang mereka miliki masih rendah serta berdomisilinya di Kelurahan Lalang masih belum begitu lama.

4.3 Daerah Pinang Baris, Kelurahan Lalang

Lokasi penelitian ini merupakan salah satu lingkungan dari Kelurahan Lalang. Daerah ini termasuk dalam Lingkungan X Kelurahan Lalang yang memiliki luas wilayah 24 Ha dipimpin oleh seorang kepala lingkungan. Lingkungan ini terdiri dari 538 Keluarga. Pola pemukiman masyarakat di daerah ini yang sangat dekat dengan Jalan Raya Lintas Sumatera, semakin memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan dalam membuka usaha.


(53)

Adanya Terminal Pinang Baris di daerah ini menyebabkan padatnya penduduk di lingkungan ini. Namun dalam hal sarana transportasi sangat mudah dijangkau di daerah ini. Rumah penduduk yang berderet terlihat sempit karena banyaknya penduduk di daerah Pinang Baris ini, baik penduduk tetap maupun yang tidak tetap dan hanya menjadikan daerah Pinang Baris sebagai daerah persinggahan karena adanya terminal di daerah ini.

Begitu juga dengan sarana kesehatan yang dimana di daerah ini terdapat 2 posyandu, 4 apotik dan praktek dokter yang mudah dijumpai. Sarana pendidikan seperti sekolah negeri ataupun swasta, tidak sulit kita jumpai di daerah Pinang Baris ini. Sebab ada satu TK, dua Paud, satu sekolah dasar, satu SMP dan satu SMA. Dalam hal sarana peribadahan, terdapat 1 mesjid dan 1 gereja, maka daerah ini merupakan daerah yang lengkap untuk berbagai sarana.

Aktivitas yang dilakukan masyarakat yang tinggal di daerah Pinang Baris ini sangat beragam. Ada yang bekerja di perusahaan pemerintah ataupun swasta, dan ada yang membuka usaha di sector informal. Pemulung yang mudah dijumpai di daerah ini merupakan salah satu pekerjaan di sector informal dan menjadi salah satu pekerjaan yang sangat mudah dilakukan. Banyaknya sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dengan rasio timbulan sampah 0,60kg/jiwa/hari di daerah ini semakin memberikan penghasilan bagi pemulung yang dapat memberdayaan pulungan yang didapatnya (Dinas Kebersihan Kota Medan, 2008).

4.4 Profil Informan

Profil informan merupakan biodata sumber pemberi informasi yang mendukung pemenuhan data penelitian. Pentingnya profil informan bertujuan untuk memfokuskan masalah


(54)

penelitian dan dengan adanya informan, maka membantu penggambaran masalah di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini, profil informan disajikan dengan menggunakan inisial demi menjaga identitas si pemberi informasi atau informan.

4.4.1 Informan Pertama (Warga daerah Pinang Baris yang keduanya bekerja sebagai pemulung)

Nama: Dina Sitanggang

Nama Suami: Thomson Panjaitan Usia: 38 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan Jumlah anak: 4 orang Pendidikan Terakhir: SMP Suku: Batak Toba

Agama: Kristen

Lamanya menekuni pekerjaannya: 3 tahun

Ibu DS merupakan salah satu pemulung yang mencari pulungan dekat dengan tempat tinggalnya yakni di daerah Pinang Baris. Memiliki empat orang anak yang terdiri dari satu laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertamanya adalah perempuan dan sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas tiga, sedangkan anak kedua yang merupakan laki-laki, duduk di bangku sekolah dasar (SD) kelas 6, anak ketiga masih kelas 4 SD dan anak yang paling kecil masih berumur 4 tahun. Suami dari ibu DS ini memiliki pekerjaan yang sama dengannya yakni sebagai pemulung.

Pekerjaan pemulung yang mereka tekuni selama 3 tahun, merupakan pilihan terbaik untuk memenuhi kebutuhan mereka dikarenakan oleh pendidikan keduanya hanya tamat SMP. Keluarga ini merupakan salah satu keluarga migran yang berasal dari daerah Sidikalang, alasan


(55)

mereka melakukan migrasi ke kota Medan, karena adanya masalah keluarga, sehingga menyebabkan tanah mereka di daerah Sidikalang tersita. Ketiga anak mereka yang sedang bersekolah, hanya mampu mereka sekolahkan di sekolah inpres yang terbilang murah. Menurut mereka, sudah bisa menyekolahkan anak saja, itu sudah cukup tanpa harus memandang kualitas sekolah anak mereka.

Keinginan Ibu DS dan Pak TP ini terhadap anak mereka yang bersekolah adalah agar si anak mampu membaca dan menghitung, sehingga jika sudah mampu bekerja, tidak akan ditipu oleh orang lain. Bagi keluarga ini, bisa menyelesaikan sekolah di tingkat SMA saja, sudah sangat patut disyukuri, karena kemampuan ekonomi mereka yang lemah.Mereka berharap agar anak-anak mereka kelak tidak menjadi pemulung seperti mereka, namun dapat menjadi manusia yang lebih berguna lagi.

Perkembangan pendidikan yang semakin menimbulkan persaingan, dapat mereka ketahui melalui televisi dan koran. Namun untuk dapat mengikuti perkembangan pendidikan tersebut terhadap anak-anaknya, Ibu DS dan Pak TP tidak menjadikan hal tersebut sebagai prioritas dalam kebutuhan keluarga mereka. Pendidikan formal yang mereka pahami, hanyalah suatu program pemerintah yang ingin mengurangi tingkat melek huruf bagi masyarakat Indonesia. Dengan penghasilan setiap hari yang rata-rata hanya Rp30.000,- untuk mencukupi kebutuhan pangan saja mereka sudah sangat bersyukur. Namun dengan adanya program Pemerintah yang memberikan wajib belajar 9 tahun dengan biaya yang murah di sekolah-sekolah tertentu, maka Ibu DS dan Pak TP ini mempermudah keluarga ini dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka.


(56)

Terkadang untuk memenuhi kebutuhan mereka, Pak TP memiliki kerja sampingan sebagai tukang becak. Namun dia tidak ingin menjadikan pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan utamanya karena biaya sewa becak yang mahal menurutnya, tidak sebanding dengan jumlah penumpang yang kebanyakan sudah memiliki langganan tukang becak. Karena sulitnya mencari pekerjaan yang mampu menjamin masa depan mereka, sering sekali anak-anak mereka mengorbankan waktu belajar mereka untuk membantu orangtua mereka mencari pulungan.

4.4.2 Informan Kedua (Warga daerah Pinang Baris yang hanya ditekuni oleh salah satu anggota keluarga)

Nama: Rani Gultom Nama Suami: M. Panjaitan Usia: 35 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan Jumlah anak: 2 orang Pendidikan Terakhir: SMA Suku: Batak Toba

Agama: Kristen

Lamanya menekuni pekerjaannya: 1 tahun

Ibu RG ini merupakan warga Kelurahan Kampung Lalang yang bertempat tinggal di daerah Pinang Baris, yang mana ukuran rumahnya yang begitu kecil, menunjukkan bahwa tingkat perekonomian keluarga ini masih rendah. Kehidupan sehari-hari Ibu RG merupakan seorang pemulung, sedangkan suaminya bekerja sebagai tukang becak dayung. Pekerjaan yang ditekuni oleh Ibu RG ini selama setahun, terpaksa dilakukannya demi membiayai kehidupan


(57)

keluarganya. Dulunya Ibu RG ini bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, namun karena terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukannya, maka dia pun berhenti bekerja.

Menurut Ibu RG ini, bekerja sebagai pemulung, dapat dia kerjakan tanpa harus mendapatkan tekanan dari pihak manapun. Sedangkan ketika dia bekerja di rumah makan dulu, dia dipaksa harus bekerja dengan cepat dan tepat. Kegiatan memulung menurut Ibu RG ini merupakan pekerjaan yang mudah dan hanya bermodalkan kekuatan berjalan saja. Tanpa harus meninggalkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, Ibu RG ini lebih dulu menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya kemudian mencari pulungan.

Anak pertama dari Ibu RG ini sedang duduk di kelas empat sekolah dasar, dan anaknya yang paling kecil masih berumur 4 tahun. Ibu RG yang sehari-harinya mencari pulungan, juga mengajak anaknya yang paling kecil untuk ikut bekerja bersamanya. Alasan Ibu ini mengikutsertakan anaknya karena tidak ada yang bisa memperhatikan anaknya jika dia memulung sedangkan anaknya sendirian di rumah. Suami dari Ibu RG ini sehari-harinya bekerja sebagai tukang becak dayung, berusaha untuk pulang sebelum pukul delapan malam. Hal ini dia lakukan untuk menemani Ibu RG mencari pulungan pada malam hari, hingga pukul 22.00wib.

Perekonomian keluarga ini yang belum seimbang dengan kebutuhan keluarga ini, menyebabkan si anak harus ikut bekerja di waktu senggangnya. Kebutuhan seperti kebutuhan pangan, dan sewa rumah, harus mampu mereka penuhi agar dapat bertahan. Biaya pendidikan anak pertama mereka yang masih duduk di sekolah dasar, belum begitu banyak menghabiskan biaya, karena si anak bersekolah si sekolah dasar negeri. Namun, untuk membiayai kebutuhan lainnya seperti tagihan air dan listrik, sewa rumah dan kebutuhan pangan sehari-hari


(58)

membutuhan uang yang tidak sedikit, sehingga keluarga ini bekerja hingga malam hari untuk mencari pulungan.

Bagi keluarga ini, pendidikan formal merupakan syarat yang diberikan pemerintah, agar anak-anak mereka bisa bersaing di dunia kerja nantinya. Maka Ibu RG dan Pak MP ini berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak mereka minimal tamat SMA, agar kelak anak mereka mampu bekerja di sebuah lapangan pekerjaan yang layak, sehingga kehidupan anak-anak mereka dapat lebih baik lagi. Mudahnya mereka mendapatkan informasi mengenai perkembangan pendidikan karena lokasi tempat tinggal mereka yang sangat ramai dengan media massa, semakin menambah semangat keluarga ini untuk meningkatkan pendidikan anak-anak mereka agar dapat merasakan kemudahan ketika mencari pekerjaan.

4.4.3 Informan Ketiga (Warga daerah Pinang Baris yang hanya ditekuni oleh salah satu anggota keluarga)

Nama: Salve Gea Nama Suami: P Halawa Usia: 41 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan Jumlah anak: 3 orang Pendidikan Terakhir: SMP Suku: Nias

Agama: Kristen

Lamanya menekuni pekerjaannya: 2 tahun

Ibu SG ini merupakan masyarakat migran yang sudah tinggal di Kota Medan selama kurang lebih 5 tahun. Pekerjaan suaminya sebagai tukang pangkas rambut, diharapkan mampu menambah pendapatan keluarga ini. Alasan keluarga ini melakukan migrasi ke Kota Medan


(1)

LAMPIRAN

Gambar 1: Peta Kelurahan Lalang

Gambar 2: Ibu Dina (Informan 1) dan Roma (Informan 6) yang menuju ke daerah Binjai untuk mencari pulungan


(2)

Gambar 3: Ibu Rani ( Informan 2) dan Ibu Nuryati (Informan 4) yang juga menuju ke daerah Binjai untuk mencari pulungan.


(3)

(4)

DRAFT WAWANCARA

I. Profil Informan yang bekerja sebagai pemulung 1. Nama :

2. Jenis Kelamin : 3. Usia :

4. Suku : 5. Agama : 6. Pekerjaan :

7. Pendidikan Terakhir : 8. Alamat :

1. Sudah berapa lama anda tinggal di Daerah Pinang Baris?

2. Apakah alasan anda memilih untuk tinggal di Daerah Pinang Baris ini? 3. Sebelum bekerja sebagai pemulung, apakah pekerjaan anda?

4. Mengapa anda memilih bekerja sebagai pemulung?

5. Apakah kendala yang anda hadapi ketika melakukan pekerjaan sebagai pemulung? 6. Menurut anda, adakah keterkaitan antara tingkat pendidikan yang rendah dengan jenis

pekerjaan yang ditekuni?

7. Apakah anda menganggap pendidikan sebagai kebutuhan yang sangat penting? 8. Apakah suatu kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak anda? 9. Bagaimana anda mendapatkan informasi mengenai perkembangan pendidikan? 10.Apakah fungsi pendidikan menurut anda?

11.Apakah keuntungan yang akan didapatkan jika mengenyam pendidikan? 12.Apakah kendala yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak?


(5)

13.Apakah harapan anda terhadap anak anda yang mendapatkan pendidikan formal? 14.Bagaimanakah pemahaman anda akan pentingnya pendidikan formal anak?

II. Profil Informan yakni anak pemulung 1. Nama :

2. Jenis Kelamin : 3. Usia :

4. Suku : 5. Agama : 6. Pekerjaan :

7. Pendidikan Terakhir : 8. Alamat :

1. Apakah pendidikan merupakan hak yang harus anda dapatkan?

2. Adakah kesulitan yang anda dapatkan untuk dapat merasakan pendidikan? 3. Apakah pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi anda?

4. Menurut anda, apakah pendidikan dapat mengubah kedudukan anda nantinya?

5. Adakah pembedaan yang anda rasakan saat mendapatkan pendidikan di sekolah dengan anak lainnya?

6. Berapa lama anda membantu orangtua anda sehari-hari?

7. Adakah peraturan yang ditetapkan oleh orangtua anda dalam mengatur waktu anda? 8. Pernahkah anda ikut bekerja mencari pulungan bersama orangtua anda?

9. Apakah mencari pulungan yang mampu memberi anda penghasilan sendiri menjadi lebih menarik daripada belajar?


(6)

10.Apakah penting mendapatkan pendidikan formal sebagai bekal untuk mampu bersaing dalam mencari pekerjaan yang lebih baik?