Kajian Teori KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori

Untuk mengemukakan adanya kebutuhan akan teori adalah suatu hal; sedangkan untuk mengetahui apa yang harus diperbuat untuk itu merupakan hal yang lain. Dalam membicarakan kebutuhan akan teori dalam bidang komunikasi manusia, hampir semua kritikus kelihatannya tidak memiliki ide yang jelas tentang apa yang membentuk tujuannya. 39 Dalam buku berjudul Theories of Human Commnunication, Stephen Little Jhon mengatakan bahwa secara umum teori pada dasarnya memiliki cara yang sama. Pertama, sebagai seperangkat abstraksi karenanya bukanlah mencakup semua yang dikonseptualisasikannya, ia parsial dan karenanya pula tak bakal ada teori tunggal soal kebenaran. Kedua, sebagai sebuah konstruk, teori adalah hasil bentukan manusia, bukan Tuhan. Ia menyediakan beragam cara mengamati lingkungan, tetapi dirinya bukanlah refleksi semua realitas. 40 Jika teori diartikan bukan sebagai suatu sistem pandangan yang mirip aturan hukum, melainkan sebagai sejumlah gagasan yang status dan asalnya bervariasi dan dapat dipakai untuk menjelaskan atau menafsirkan fenomena, maka kita akan dapat membedakan sekurang-kurangnya empat teori yang berkenaan dengan komunikasi massa. 41 Teori jenis pertama yang biasanya dicakup dalam buku teks semacam ini adalah teori ilmu pengetahuan sosial, yakni pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan sifat dasar, cara kerja, dan pengaruh komunikasi massa, yang bersumber dari observasi sistematis yang sedapat mungkin diupayakan bersifat objektif. Juga 39 Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi Bandung: Rosdakarya, 1986, h.38. 40 Lihat lebih jauh Stephen W.Litle Jhon, Theories of Human Communicaion, 6th Ediion California: Wadawort Publishing Company, 1999. Di buku ini Litle Jhon juga menguip Abraham Kaplan yang menyatakan bahwa pembentukkan sebuah teori idak sekedar menemukan fakta tersembunyi, karena teori juga adalah jalan atau cara yang mengorganisir dan merepresentasikannya. 41 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, Edisi Kedua Jakarta: Erlangga, 1989, h.4. bersumber dari kenyataan tentang media. Teori jenis ini sering kali tergantung pada teori ilmu pengetahuan sosial lainnya. Teori ragam kedua disebut teori normatif cabang filsafat sosial yang lebih berkenaan dengan masalah bagaimana seharusnya media berperan bilamana serangkaian nilai sosial ingin diterapkan dan dicapai sesuai dengan sifat dasar nilai- nilai sosial tersebut. Jenis teori ini penting karena ia memang berperan dalam pembentukkan institusi media dan berpengaruh besar dalam menentukan sumbangsih media, sebagaimana yang diharapkan oleh publik media itu sendiri dan organisasi, serta para pelaksana organisasi sosial itu. Jenis teori ketiga adalah yang sebagian bersifat normatif tetapi bersifat praktis juga. Jenis teori ini ditemukan dan dikembangkan oleh para pelaksana media itu sendiri. Ragam teori ini dapat disebut sebagai teori praktis, karena ia menyuguhkan penuntut tentang tujuan media, cara kerja yang seharusnya diterapkan agar dapat seirama dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan sosial yang sifatnya lebih abstrak, dan cara-cara pencapaian beberapa sasaran tertentu. Teori-teori tersebut bersifat praktif karena ia membantu dalam menemukan jawaban dari pertanyaan, misalnya “Apakah yang dapat menyenangkan publik?”, “Apakah yang dapat membuahkan hasil?”, “Berita apakah yang berharga?” Permasalahan-permasalahan tersebut mungkin tidak dipersoalkan secara sadar, namun merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan. Untuk itulah kemudian kita menemukan teori Atribusi Attribution Theory yang mencoba menjelaskan tentang perilaku individu dalam masyarakat. Selain itu, yang keempat ada juga seperangkat pengetahuan yang kurang tepat disebut sebagai teori. Meski demikian sifatnya tetap saja berpengaruh bahkan sering ditemukan dalam penelitian komunikasi. Barangkali kita dapat menyebutnya common senses yang merupakan pengetahuan atau gagasan yang dimiliki orang dengan berdasarkan pengalaman empirik atau datang dengan sendirinya dalam benaknya begitu saja. Selanjutnya apa yang coba dijelaskan melalui pendekatan teori komunikasi yang akan dipaparkan di bawah ini adalah ketidakproporsinya perwakilan umat Islam melalui partai politik Islam dalam sistem demokrasi di Indonesia. Dari Pemilu ke Pemilu tidak menunjukkan proporsi yang sepadan. Pada Pemilu tahun 2009 ini, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi MK menyatakan bahwa partai peserta Pemilu harus mencapai Parliamentry Threshold PT yaitu ambang batas minimal perolehan suara partai politik peserta Pemilu secara nasional sebesar 2,5 . Hal ini berarti bahwa setiap partai politik peserta Pemilu akan tersingkir dengan sendirinya atau dengan kata lain tidak dapat mengikuti Pemilu berikutnya jika perolehan suaranya tidak mencapai ambang batas minimal 2,5 . 42 Selanjutnya ada sembilan Parpol yang lolos PT Pemilu 2009 dan kemudian secara otomatis menjadi peserta Pemilu 2014 ditambah Partai Nasional Demokrat Nasdem, Partai Bulan Bintang PBB, Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia PKPI. Sedangkan tiga lagi merupakan partai lokal di Aceh yakni Partai Damai Aceh PDA, Partai Nasional Aceh PNA, Partai Aceh PA. Partai lokal Aceh ini tidak dipilih secara nasional, namun hanya mengikuti Pemilu untuk Provisi Aceh. TABEL 1: Partai Politik Lolos Parliamentary Threshold dan Perolehan Kursi DPR Pemilu Legislatif 2009 No Partai Politik Perolehan Suara Kursi Parlemen Perhitungan I Revisi Demokrat 20,85 148 150 Golkar 14,45 108 107 PDIP 14,03 93 95 PKS 7,88 59 57 PAN 6,01 42 43 PPP 5,32 39 37 PKB 4,94 26 27 Gerindra 4,46 30 26 Hanura 3,77 15 18 Jumlah 100 560 560 Sumber: KPU.go.id 42 Muhammad Yahya Selma, “Perjalanan Panjang Pemilu Di Indonesia”, Jurnal Konsitusi PKK-FH Universitas Muhammadiyah Palembang, Volume I Nomor 1, Juni 2009, h.10.

A. Implementasi Prinsip-prinsip Komunikasi Islam