KANDUNGAN ASAM LEMAK OMEGA-3 PADA KONDISI OPTIMUM
31 nilai prediksi yang diberikan, yaitu 51,74. Ketika dibandingkan, nilai hasil verifikasi
menunjukkan ketepatan pada respon yang diuji sebesar 98,43 dengan selisih nilai keduanya sebesar 0,57. Perbedaan nilai yang tidak mencapai 5 mengindikasikan bahwa model
tersebut cukup baik dan layak dalam memprediksi tingkat hidrolisis minyak ikan lemuru. Minyak ikan lemuru mengandung berbagai macam asam lemak, baik asam lemak jenuh
maupun asam lemak tidak jenuh. Namun, kandungan asam lemak tidak jenuh didalamnya yang lebih besar menjadi potensi yang baik karena manfaatnya yang baik dalam bidang kesehatan.
Kandungan utama yang disoroti dalam minyak ikan lemuru ini ialah asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak tidak jenuh berantai panjang dengan ikatan
rangkap jamak atau yang juga dikenal sebagai polyunsaturated fatty acid PUFA. Usaha memperkaya kandungan asam lemak omega-3 dapat dilakukan dengan hidrolisis
enzimatik. Penggunaan enzim lipase dari kapang Aspergillus niger pada proses hidrolisis ini mengandalkan selektifitas enzim dalam memotong ikatan pada posisi tertentu, dimana
diketahui enzim ini memotong ikatan ester triasilgliserol pada posisi sn-1 atau sn-3. Pemotongan pada posisi tersebut akan menjaga produk omega-3 yang berada pada sn-2
gliserol. Enzim lipase akan memotong ikatan ester triasilgliserol secara parsial menjadi monoasilgliserol, diasilgliserol, dan asam lemak. Kemampuan tersebut dinyatakan dalam suatu
ukuran berupa tingkat hidrolisis. Tingkat hidrolisis dapat dihitung apabila tersedia informasi bilangan asam awal
sebelum hidrolisis, bilangan asam setelah hidrolisis, dan bilangan penyabunan. Data-data tersebut kemudian dapat menentukan tingkat hidrolisis minyak ikan lemuru oleh Amano
Lipase A dari Aspergillus niger menggunakan rumus seperti yang ada pada Lampiran 3. Tingkat hidrolisis minyak yang tinggi akan menyebabkan tingginya kadar asam lemak bebas
minyak. Tingginya tingkat hidrolisis minyak tersebut disebabkan oleh besarnya jumlah konstituen yang mampu menghidrolisis minyak, yaitu jumlah air yang cukup tinggi atau
tingginya aktivitas enzim lipase dalam minyak tersebut. Usaha pengkayaan asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkat jamak PUFA
omega-3 dapat dilakukan melalui reduksi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh tunggal MUFA Carvalho et al., 2009. Pada kondisi optimum, tingkat hidrolisis yang terukur
lebih tinggi dibandingkan pada kondisi di luar optimum. Penelitian yang dilakukan oleh Raharja et al. 2010 memperlihatkan adanya hubungan antara tingkat hidrolisis dengan
kandungan total omega-3. Guna mengetahui kandungan omega-3 di dalamnya, dilakukan uji menggunakan GC-MS. Pada hasil diuji tersebut terlihat bahwa kandungan omega-3 dalam
sampel meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat hidrolisis yang diperoleh. Hasil pada kondisi optimum dalam penelitian ini diuji menggunakan GC-MS untuk
melihat kandungan omega-3 di dalamnya. GC-MS merupakan gabungan antara kromatofrasi gas dengan spektrometer massa. Pada umumnya sistem pemisahan pada GC berdasarkan pada
perbedaan tekanan uap dari setiap komponan yang akan dipisahkan. Terdapat dua fase pada GC, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam berupa padatan atau cairan, sedangkan fase
gerak berupa gas pembawa yang bersifat inert seperti He, N
2
, dan H
2
. Spektrometer massa MS digunakan pada GC sebagai detektor untuk memisahkan masing-masing komponen
dalam suatu sampel sekaligus mengidentifikasi komponen tersebut. MS akan mengidentifikasi komponen setelah terpisah pada analisis GC dan keliar dari kolom mengalir ke dalam MS,
identifikasi tersebut didasarkan pada bobot molekul senyawanya Skoog et al., 2004. Analisa komposisi asam lemak omega-3 menggunakan GC-MS dapat dilakukan secara
kualitatif maupun kuantitatif. Identifikasi komponen-komponen asam lemak tersebut dilakukan
32 dengan menyamakan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standarnya. Waktu retensi
retention time menunjukkan waktu yang diperlukan oleh suatu komponen sampel untuk melintasi kolom pada panjang tertentu, dalam aplikasinya pada GC-MS rentention time
merupakan waktu yang diperlukan sampel mulai dari injeksi hingga munculnya peak maksimum. Apabila waktu retensi keduanya sama atau mendekati satu sama lain maka dapat
dilakukan perhitungan secara kualitatif ataupun kuantitatif setiap komponennya. Pada penelitian ini dilakukan analisa menggunakan GC-MS namun tidak digunakan
standar yang spesifik asam lemak omega-3. Standar yang digunakan merupakan standar umum untuk senyawa non-polar sehingga komponen yang teridentifikasi pada sampel penelitian tidak
hanya asam lemak omega-3. Komponen yang ditampilkan antara lain asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh tunggal, asam lemak tidak jenuh jamak, maupun alkana dan hidrokarbon
karena adanya penggunakan pelarut pada sampel. Pada prinsipya perhitungan tersebut memerlukan data luas area komponen pada standar
dan sampel. Luas area pada sampel dapat diketahui, namun luas area standar tidak diketahui. Tidak adanya data standar tidak memungkinkan untuk menghitung konsentrasi komponen yang
diinginkan secara kualitatif maupun kuantitatif, namun menurut McNair dan Bonelli 1988 diketahui bahwa luas area puncak pada kromatogram berbanding lurus dengan komsentrasi
komponennya. Hal ini berarti semakin besar luas area komponen pada kromatogram akan semakin besar pula konsentrasi komponen tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan Bawa
2010 ketika meneliti konsentrasi komponen dalam sampel minyak ekstrak etanol daging biji kepuh, terlihat hasil analisa menggunakan GC-MS yang memiliki luas area terbesar ternyata
juga memiliki konsentrasi terbesar dibandingkan komponen dengan luas area yang lebih kecil. Begitu pula hasil yang diperoleh pada penelitian Pontoh dan Buyung 2011 yang
menganalisa asam lemak dalam minyak kelapa murni. Diperoleh luas untuk asam laurat sebesar 2525125 atau 37,68 lebih besar dibandingkan asam kaprilat yang hanya sebesar
424363 atau 7,4, konsentrasi asam laurat pun ternyata lebih besar dibandingkan asam kaprilat yang memiliki luas lebih kecil. Prinsip tersebut dapat digunakan sebagai pernyataan
pendukung bahwa ada peningkatan jumlah asam lemak omega-3 dilihat dari luas area komponen yang semakin besar. Hasil uji ini merupakan pendekatan besarnya konsentrasi
komponen omega-3 dalam sampel karena tidak dapat diketahuinya angka pasti kandungan komponen tersebut.
Tabel 9. Perbandingan luas area komponen asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru sebelum dan setelah hidrolisis pada kondisi optimum
Luas Area Minyak sebelum
hidrolisis Minyak setelah
hidrolisis
Total EPA
DHA ETA
1,81 1,81
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
6,99 4,14
0,40 0,82
Terlihat pada tingkat hidrolisis sebesar 50,93 diperoleh omega-3 dengan total luas area sebesar 6,99 dari luas area semua komponen yang terdeteksi lebih tinggi dibandingkan
luas area sebelum minyak dihidrolisis. Hasil omega-3 terdapat asam eikosapentanoat EPA yang mengalami peningkatan luas area dari 1,81 menjadi 4,14, sedangkan asam
dokosaheksanoat DHA dan asam eikosatetranoat ETA yang pada minyak awal tidak
33 diketahui luasnya karena terlampau kecil memiliki luas area 0,40 dan 0,82 setelah
hidrolisis. Sedangkan sisanya merupakan asam lemak lain yang termasuk dalam golongan omega-3 namun jumlahnya sangat kecil, diantaranya asam oktadekatrienoat ALA dan asam
heksadekatrienoat HTA. Pada data tersebut terlihat adanya peningkatan luas area pada komponen asam lemak omega-3, sehingga dapat diduga pula adanya peningkatan konsentrasi
asam lemak omega-3 setelah dilakukan hidrolisis secara enzimatik. Hasil analisa GC-MS minyak ikan lemuru awal tersebut ditampilkan pada Lampiran 6.
Senyawa asam lemak omega-3 merupakan bentuk turunan dari asam linoleat, dimana menurut Zarevucka dan Wimmer 2008 asam linoleat dapat berubah menjadi asam
α-linolenat omega-
γ, asam -linolenat omega-6, asam arachidonat hingga asam dihomo- -linolenat melalui biosintesis. Asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA diperoleh dari perubahan
asam α-linolenat. Kandungan DHA pada sampel memang cenderung lebih kecil daripada EPA, hal ini dikarenakan pada minyak ikan lemuru yang digunakan dalam penelitian lebih banyak
mengandung EPA daripada DHA Halldorsson et al., 2003.
34