yang dimaksud oleh anggota masyarakat itu adalah kekuasaan formal yaitu ketua RT dan ketua RW di daerah setempat. Informan yang diwawancarai adalah ketua
RT di RT 5 RW I yaitu Bapak E dan ketua RW IX yaitu Bapak S. Stratifikasi di dalam masyarakat terlihat dengan jelas apabila dilihat dari ukuran kekuasaan.
Masyarakat menjadi lebih patuh terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan baik formal maupun informal.
Sama halnya dengan ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan juga didapatkan melalui wawancara dengan beberapa orang informan mengenai orang
yang mendapatkan kehormatan lebih dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Informan yang diwawancarai adalah Ibu Z. Ibu Z sangat dihormati oleh
masyarakat setempat karena suaminya dipercayai sebagai penolak banjir atau orang yang dipercaya dapat mengontrol saat datangnya banjir agar dampak banjir
tidak menjadi lebih merugikan. Ibu Z mendapatkan kehormatan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat lainnya juga sebagai orang yang lebih dituakan
di daerah tersebut karena beliau adalah penduduk asli daerah tersebut dan telah lama tinggal di daerah tersebut.
5.4 Kearifan Lokal
Kearifan lokal menurut Shaw 2008 merupakan segala sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan mencerminkan gaya hidup
suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal merupakan cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman
yang mendalam mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat tinggal mereka secara turun temurun.
Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang sangat luas dengan jumlah RW sebanyak 13 RW dan jumlah penduduk lebih dari 6.000 kepala keluarga.
Penduduknya tidak berasal dari daerah setempat saja, akan tetapi juga dari luar daerah yang menetap di daerah Katulampa. Khususnya di daerah penelitian yaitu
RT 5 RW I dan RT 3 RW IX dijumpai adanya praktik-praktik yang dikembangkan oleh masyarakat dan berkembang secara turun temurun.
Masyarakat setempat memiliki kepercayaan bahwa banjir akan datang apabila batu yang berukuran besar di pinggir sungai sudah terendam sampai atas.
Batu tersebut telah menjadi ukuran sejak lama dan memberikan peringatan kepada masyarakat setempat untuk bersiap-siap dalam menghadapi banjir. Tinggi batu
tersebut kurang lebih 2,5 meter. Selama ini batu tersebut telah memberikan peringatan datangnya banjir kepada masyarakat, akan tetapi berbeda dengan banjir
yang terjadi pada Februari 2010 lalu. Banjir yang melanda daerah tersebut adalah banjir bandang, sehingga masyarakat tidak dapat bersiap-siap dan tidak ada tanda-
tanda terendamnya batu tersebut sebelumnya. Pada saat terjadinya banjir, masyarakat mempercayai bahwa salah seorang
anggota masyarakat dapat mengusir banjir yang melanda daerah tersebut. Menurut penuturan beberapa orang informan terdapat sebuah kepercayaan yang
berkembang di dalam masyarakat mengenai banjir. Informan mengatakan bahwa Bapak A mampu untuk mengusir banjir dengan cara mengambil air banjir tersebut
dengan wajan, kemudian di rebus dan diberikan do’a-do’a. Kemudian air yang direbus tersebut dibuang kembali ke arah sungai. Kepercayaan ini telah lama
diyakini oleh masyarakat setempat dan menurut pengakuan Ibu T, air yang diberikan do’a-do’a tersebut mujarab dan langsung menyurutkan banjir yang
melanda daerah tersebut. Hal ini juga dilakukan pada saat banjir yang terjadi Februari 2010 lalu.
Selain kepercayaan mengenai banjir, masyarakat juga memiliki kepercayaan mengenai lingkungannya, yaitu pohon-pohon yang berada disekitar
mereka. Masyarakat yang menganggap bahwa pohon-pohon yang berada di sekitar mereka memiliki penunggu berupa arwah atau roh adalah sebanyak 40
persen. Masyarakat yang menganggap pohon-pohon tersebut memiliki penunggu menyatakan bahwa mereka tidak akan menebang pohon tersebut. Kepercayaan-
kepercayaan inilah yang membuat lingkungan mereka menjadi lebih lestari karena adanya rasa takut untuk melakukan penebangan pohon secara sembarangan. Oleh
karena itu jumlah pohon tidak berkurang, sehingga air yang dapat diserap lebih banyak.
5.5 Pengetahuan dan Sikap