BAB VI KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA
6.1 Kesiapsiagaan
Indonesia merupakan negara yang sangat sering mengalami bencana, seperti gempa, tsunami, banjir, dan gunung meletus. Dalam beberapa tahun
terakhir telah banyak daerah yang menjadi korban bencana, salah satunya adalah Katulampa. Daerah Katulampa dialiri oleh salah satu sungai besar yang berada di
daerah Jawa Barat hingga ke Jakarta, yaitu Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung telah mempunyai catatan sejarah yang buruk bagi masyarakat Jakarta karena
setiap tahunnya selalu mengakibatkan terjadinya banjir. Tidak hanya Jakarta dan sekitarnya, Bogor juga pernah mengalami banjir akibat meluapnya debit air
Sungai Ciliwung. Salah satu daerah yang mengalami banjir bandang akibat naiknya jumlah debit air Ciliwung adalah Katulampa. Air yang meluap merendam
rumah warga dengan ketinggian lebih dari 1 meter. Dilihat dari sejarah banjir yang terjadi di sepanjang Ciliwung, Katulampa
dapat digolongkan menjadi daerah rawan bencana banjir. Dalam 10 tahun terakhir, Katulampa telah dilanda banjir sebanyak dua kali. Oleh karena itu
masyarakat yang berada di Katulampa, khususnya yang berada di sepanjang aliran Sungai Ciliwung harus memiliki tingkat kesiapsiagaan yang tinggi. Tidak hanya
dari pemerintah, akan tetapi juga dari masyarakatnya sendiri. Kesiapsiagaan masyarakat ditelaah melalui pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan preventif yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat sebelum terjadinya banjir, seperti keikutsertaan dalam asuransi,
perlindungan terhadap barang-barang berharga, persiapan terhadap daerah
evakuasi, persedian kebutuhan hidup sebelum terjadinya banjir, kepemilikan barang-barang pokok untuk perlindungan keluarga saat terjadi bencana dan
sharing pengetahuan mengenai kebencanaan kepada orang-orang terdekat seperti keluarga.
Kesiapsiagaan itu sendiri merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan suatu masyarakat untuk menghadapi kemungkinan
terjadinya bencana, misalnya melalui peningkatan kemampuan diri dan keluarga. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan keluarga dengan
mengikuti asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa, mempersiapkan barang- barang yang mungkin dibutuhkan pada saat terjadinya bencana seperti makanan
dan tenda, memberikan perlindungan menyuluruh pada barang-barang yang dianggap berharga dan memperkuat pengetahuan mengenai kebencanaan.
Untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam mengahadapi kemungkinan terjadinya bencana, diberikan pernyataan-pernyataan yang
berhubungan dengan sikap yang akan diambil masyarakat apabila responden diposisikan dalam kondisi akan terjadi bencana. Dari pernyataan tersebut
responden diminta untuk memberikan tanggapan persetujuan. Pernyataan yang diberikan kepada responden dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden terhadap Banjir Katulampa 2010
Pernyataan Sangat
Tidak Setuju
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju Sangat
Setuju
Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan memindahkan
barang-barang berharga
ke tempat yang aman.
3,33 50,00
46,67
Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga
akan pindah
ke daerah evakuasi.
63,33 36,67
Saya akan membeli persediaan makanan apabila debit air
sungai sudah pada status siaga 4.
10,00 26,67
33,33 26,67
3,33 Saya
akan memindahkan
barang-barang berharga saya apabila debit air sungai sudah
pada status siaga 4. 3,33
3,33 66,67
26,67
Saya memberikan pendidikan mengenai kebencanaan kepada
anggota keluarga saya. 6,67
3,33 73,33
16,67
Data sikap di atas menunjukkan bahwa persiapan responden dalam menghadapi bencana khususnya untuk pengamanan barang-barang berharga
cukup baik. Hanya 3,33 persen responden yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengamanan barang-barang berharga dalam menghadapi bencana.
Sedangkan sisanya menyatakan kesetujuannya terhadap pengamanan barang- barang yang dianggap berharga oleh responden, dengan tingkat kesetujuan yaitu
setuju sebesar 50 persen dan sangat setuju sebesar 46,67 persen. Berdasarkan pengakuan beberapa orang responden barang-barang berharga yang mereka
amankan biasanya adalah surat-surat penting. Barang-barang berharga lainnya seperti televisi, kulkas, dan lainnya menjadi pilihan terakhir untuk diamankan
karena ukurannya yang besar dan sulit untuk memindahkannya. Menurut sebagian
besar responden, hal pertama yang harus diselamatkan adalah nyawa keluarga. Barang-barang berharga lainnya akan diselamatkan apabila seluruh anggota
keluarga sudah aman. Data di atas juga menunjukkan bahwa seluruh responden akan berpindah
ke daerah evakuasi apabila terjadi banjir. Tingkat persetujaun responden berbeda, namun menunjukkan sikap yang sama yaitu akan berpindah apabila terjadi banjir.
Responden yang setuju adalah sebanyak 63,33 persen sedangkan yang menyatakan sangat setuju adalah sebanyak 36,67 persen. Responden menyatakan
bahwa selama ini tidak ada daerah evakuasi khusus yang disediakan oleh pemerintah bagi masyraakat yang mengalami banjir. Akan tetapi mereka pindah
ke daerah yang lebih aman dan sedikit lebih dekat dengan lokasi banjir. Mereka tidak mau untuk meninggalkan daerah terlalu jauh untuk memastikan bahwa
barang-barang yang tertinggal di dalam rumah lebih aman. Biasanya tempat yang dijadikan sebagai tempat perlindungan adalah rumah tetangga yang lebih tinggi
dan tidak terkena banjir. Dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir, hanya 30 persen dari
responden yang setuju untuk membeli persediaan makanan untuk berjaga-jaga jika pasokan makanan habis atau terbawa hanyut. Dari jumlah responden yang
setuju, hanya 3,33 persen yang menyatakan sangat setuju sedangkan sisanya menyatakan setuju. Responden yang menyatakan kurang setuju adalah sebanyak
33,33 persen, tidak setuju sebanyak 26,67 persen dan sangat tidak setuju sebanyak 10 persen. Kecenderungan responden memilih kurang setuju maupun tidak setuju
adalah karena anggapan responden mengenai pasokan makanan itu sendiri. Mereka menyatakan bahwa menyiapkan pasokan makanan tidak terlalu penting
karena di sekitar daerah rawan banyak terdapat warung yang dapat menyediakan bahan kebutuhan pokok. Selain itu berdasarkan pengalaman responden dari banjir
tahun lalu, pemerintah biasanya memberikan pasokan bahan makanan selama satu minggu kepada korban banjir. Oleh karena itu mereka tidak terlalu membutuhkan
persediaan makanan yang berlebih. Ketika debit air sudah mulai meningkat, 93,33 persen responden
menyatakan bahwa mereka akan memindahkan barang-barang berharga mereka ke tempat yang lebih aman. Dari jumlah tersebut, sebanyak 66,67 persen
menyatakan setuju dan 26,67 persen menyatakan sangat setuju. Sikap responden ini memang sudah terlihat juga pada pernyataan mengenai memindahkan barang
pada saat terjadi banjir. Akan tetapi, pada bagian ini responden ditanyakan sikapnya apabila sudah ada tanda-tanda akan terjadinya banjir yaitu status
ketinggian sungai sudah mencapai Siaga 4. Hampir seluruh responden menyatakan bahwa mereka akan memindahkan barang-barang berharga mereka
ke tempat yang lebih aman. Salah seorang responden menyatakan bahwa ia memiliki kotak penyimpanan khusus untuk menyimpan surat-surat berharga.
Untuk daerah RT 5 RW I yang letaknya jauh dari bendungan, mereka menggunakan ukuran ketinggian air yang merendam batu besar dipinggir sungai.
Selain persiapan
secara materi,
responden juga
membutuhkan kesiapsiagaan pengetahuan mengenai kebencanaan. Sebagian besar responden,
yaitu 90 persen dari jumlah total responden memberikan pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarganya. Pendidikan kebencanaan yang mereka
berikan biasanya adalah mengenai tanda-tanda datangnya banjir dan akibat dari
banjir tersebut. Pengetahuan yang diberikan bisa juga berupa larangan-larangan untuk mendekati sungai apabila debit air sudah naik.
Untuk dapat meningkatkan kemampuan menghadapi bencana, masyarakat juga harus mempersiapkan alat-alat yang mungkin dibutuhkan pada saat
terjadinya bencana. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan tempat yang mampu untuk menampung keseluruhan keluarga dan menyimpan barang-barang
berharga, seperti tenda. Di daerah penelitian tidak satu pun ditemukan responden yang memiliki tenda untuk menampung keluarga apabila terjadi banjir. Hal ini
diakibatkan oleh akses responden yang mudah untuk mendapatkan tempat perlindungan seperti rumah masyarakat lainnya yang tidak mengalami banjir.
Persiapan lain yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat yang berada di daerah rawan bencana adalah keikutsertaan dalam asuransi, baik asuransi
kesehatan maupun asuransi jiwa. Asuransi memberikan jaminan kepada anggotanya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bencana juga memberikan
dampak pada kesehatan korban setelah terjadinya bencana. Untuk itu diperlukan persiapan yang matang terhadap kesehatan untuk mengatasi dampak kesehatan
setelah terjadinya bencana. Di daerah penelitian RT 5 RW I dan RT 3 RW IX hanya 6,67 persen responden yang memiliki asuransi. Sedangkan yang lainnya
tidak memiliki asuransi, baik asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa. Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi
Kepemilikan Asuransi Jumlah
Asuransi Kesehatan 2
6,67 Asuransi Jiwa
Tidak Mengikuti Asuransi 28
93.33
TOTAL 30
100
Kepemilikan asuransi oleh responden tidak dianggap terlalu penting karena anggapan responden bahwa untuk mendapatkan asuransi harus memiliki
jaminan keuangan yang pasti tiap bulannya. Kebanyakan responden memiliki status ekonomi yang tidak tinggi sehingga respondennya tidak mampu untuk
membayar asuransi dengan rata-rata responden berpenghasilan sekitar Rp. 300.000,00 sampai Rp. 1.200.000,00. Penghasilan tersebut hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga responden. Responden yang memiliki asuransi adalah responden yang bekerja sebagai pegawai negeri yang memang
mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah. Kesiapsiagaan ini tidak datang hanya dari masyarakat yang berada di
daerah yang rawan bencana saja. Akan tetapi juga dari pemerintah setempat yang memiliki kebijakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan pemerintah maupun
masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Kesiapsiagaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pengaktifan pos-pos siaga
bencana, pelatihan siaga bencana, membeli dan membuat peralatan pendukung dalam keadaan darurat, simulasi bencana, pembentukan tim penyelamatan dan tim
kesehatan, pembagian media publikasi mengenai ancaman bencana dan tindakan pencegahannya, serta mempersiapkan alat peringatan datangnya bahaya.
Wawancara mengenai kesiapsiagaan pemerintah kelurahan dilakukan dengan wawancara kepada salah satu anggota TAGANA TARUNA SIAGA
BENCANA tingkat Kecamatan Bogor Timur yang juga merupakan pegawai Kelurahan Katulampa, yaitu Bapak K. Bapak K menyatakan bahwa pada saat
banjir sudah memiliki tanda-tanda akan datang, seluruh aparat yang ada di dalam masyarakat mulai bersiapsiaga dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir.
Untuk pertama, pihak penjaga bendungan memberitahukan kondisi air di bendungan Katulampa, jadi apabila debit air meningkat masyarakat dapat bersiap-
siap menghadapi kemungkinan terjadinya banjir. Pemerintah kelurahan menyampaikan informasi dari pihak bendungan kepada ketua RT dan ketua RW
yang berada di daerah rawan bencana agar bersiaga. Kemudian baru masyarakat diberitahu oleh ketua RT atau ketua RW setempat.
Jika kemungkinan terjadinya banjir besar atau memang sudah terjadi banjir, pihak kelurahan akan langsung mengaktifkan pos-pos siaga bencana banjir
untuk penanganan dalam tanggap darurat. Aparat pemerintah kemudian menghubungi DISNAKERSOS Dinas Tenaga Kerja dan Sosial untuk
mendapatkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan untuk tanggap darurat. Pemerintah kelurahan sendiri tidak memiliki alat-alat tanggap darurat seperti
tenda dan obat-obatan. Birokrasi yang ada pada prosedur tanggap darurat ini dinilai lamban karena kesiapan dinas yang bertanggung jawab belum tentu tinggi,
sehingga seharusnya pemerintah setempat memiliki alat-alat tanggap darurat tanpa harus menunggu bantuan dari dinas lain. Sesuai dengan wawancara dengan Bapak
K 38 tahun yang merupakan salah satu anggota TAGANA, beliau menyatakan: “... jadi, kalau udah banjir baru pihak kelurahan menghubungi
DISNAKERSOS buat mendapatkan alat-alat bantuan untuk tanggap darurat seperti bahan makanan, tenda dan obat-obatan...
” Pada masa tanggap darurat, pemerintah setempat membentuk tim
penyelamatan yang terdiri atas SATKORLAK Satuan Koordinasi Pelaksana dan ketua-ketua RT yang gunanya adalah untuk membantu masyarakat dalam masa
tanggap darurat seperti evakuasi ketempat yang lebih aman dan menjamin keselamatan anggota keluarga lainnya. Tim kesehatan tidak dibentuk oleh
pemerintah kelurahan karena biasanya apabila terjadi bencana, DISNAKERSOS langsung bekerja sama dengan rumah sakit Palang Merah Indonesia PMI untuk
tanggap darurat dan pemeriksaan kesehatan setelah terjadinya bencana. Tim kesehatan ini sebenarnya juga harus langsung ada pada saat tanggap darurat dan
tidak menunggu bantuan dari rumah sakit karena apabila terjadi keadaan bahaya maka pertolongan pertama harus dilakukan.
Sebelum terjadinya banjir, alat peringatan akan terjadinya bencana harus diaktifkan sehingga masyarakat mengetahui dan bersiap untuk menghadapi
bencana. Akan tetapi di Kelurahan Katulampa atau pun di bendungan Katulampa tidak terdapat alat peringatan akan terjadinya banjir. Untuk memberitahukan
kepada masyarakat, pemerintah kelurahan dan penjaga bendungan hanya melakukan koordinasi melalui telepon dan tidak ada sirine atau alat khusus yang
memberitahukan datangnya banjir. Begitu pula dengan media publikasi seperti poster, leaflet ataupun brosur mengenai bencana dan penanggulangannya juga
tidak disebar oleh pemerintah setempat. Pemerintah hanya memberikan himbauan kepada masyarakat untuk bersiapsiaga.
Pada kasus Kelurahan Katulampa, aparat pemerintah kelurahan tidak melalukan pelatihan khusus yang membahas masalah bencana, akan tetapi melalui
penyuluhan mengenai bencana dan penanggulangannya. Dalam penyuluhan masyarakat diberitahu mengenai cara-cara penanggulangan banjir dan akibat yang
diberikan oleh banjir. Pemerintah kelurahan atau pun pihak bendungan juga tidak melakukan kegiatan simulasi banjir dengan masyarakat karena mereka sudah
memadatkannya dalam bentuk penyuluhan. Berdasarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, kesiapsiagaan pemerintah masih belum maksimal untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya banjir. Pemerintah menganggap bahwa daerah rawan bencana banjir tidak terlalu luas sehingga tidak membutuhkan persiapan yang
lebih.
6.2 Mitigasi