Karakteristik sosial budaya masyarakat dalam kaitannya dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di daerah rawan bencana: studi kasus Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor

(1)

(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

Oleh: Thresa Jurenzy

I34070062

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

Oleh:

THRESA JURENZY

I34070062

SKRIPSI

Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor 2011


(3)

Indonesia frequently hit by disaster like flood, earthquake, tsunami, volcano eruption and many others. All of these disasters will give physical and non physical impacts. Therefore, disaster management should be implemented. In disaster management, preparedness and mitigation are very important to reduce disaster risks. This research investigates about community socioculture characteristics, preparedness and mitigating systems and correlations between them. The research was conducted in Katulampa administrative village, which is passed by Ciliwung river and potentially flooding. Research popolation is the victims of flood on February 2010. The research methods are quantitative and qualitative. The research found that community of Katulampa has socioculture characteristics that very important in disaster and environment, such as social stratification, institutions, social cohesion, local wisdom and knowledge and attitude. Preparedness and mitigating systems in Katulampa is not implemented yet. Quantitatively, sociocultural characteristics like wealth stratification, education and knowledge and attitude of community in Katulampa has no correlations with preparedness and mitigating systems because the community is surrender and some of institutions does not work properly. Therefore, the community is not ready to face the posibility of flood yet.


(4)

THRESA JURENZY.KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor). Di bawah bimbingan Rilus A. Kinseng

Beberapa tahun terakhir di Indonesia sering terjadi bencana dan

meninggalkan dampak bagi orang-orang yang mengalaminya. Bencana yang

sering melanda Indonesia adalah banjir, gempa, tsunami, tanah longsor dan

gunung meletus. Dampak yang diakibatkan dapat berupa dampak fisik maupun

non fisik. Oleh karena itu perlu diadakan kegiatan penanggulangan bencana yang

berfungsi untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana. Kegiatan

penanggulangan bencana terdiri atas kesiapsiagaan, mitigasi, peringatan dini,

tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, untuk dapat

mengurangi resiko terjadinya bencana, maka perlu dilakukan peningkatan

kesiapsiagaan dan mitigasi. Setiap masyarakat memiliki karakteristik sosial

budaya tertentu yang berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi terhadap

bencana. Karakteristik sosial budaya ini berbeda antara suatu masyarakat dengan

masyarakat lainnya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik sosial budaya

masyarakat, kesiapsiagaan dan mitigasi, serta hubungan keduanya berkaitan

dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di Kelurahan

Katulampa. Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang dialiri sungai besar,

yaitu Ciliwung. Daerah ini sangat rentan untuk mengalami banjir dan sudah

pernah mengalami banjir dalam satu tahun terakhir. Penelitian ini menggunakan


(5)

didapatkan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan panduan

pertanyaan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data

primer didapatkan dari hasil kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data

sekunder didapatkan dari buku, jurnal, hasil penelitian, monografi kelurahan dan

Ciliwung.

Karakteristik sosial budaya yang dikaji dalam penelitian ini adalah

stratifikasi sosial, kelembagaan, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan dan

sikap yang berkembang di dalam masyarakat. Upaya pencegahan bencana yang

dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana adalah dengan

kesiapsiagaan dan mitigasi. Kesiapsiagaan dan mitigasi ini diduga berhubungan

dengan karakteristik sosial budaya masyarakat, sehingga dapat dilihat sejauh

mana kesiapan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Katulampa memiliki

karakteristik sosial yang terdiri atas kelembagaan, stratifikasi sosial, kohesi sosial,

kearifan lokal dan pengetahuan dan sikap. Akan tetapi karakteristik sosial budaya

ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi,

sehingga masyarakat masih belum memiliki kesiapan yang matang dalam


(6)

MASYARAKAT

Judul Skripsi : Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat dalam Kaitannya Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

Nama Mahasiswa : Thresa Jurenzy Nomor Mahasiswa : I34070062

Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. NIP. 19590506 198703 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan: ___________________


(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM

KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA

DI DAERAH RAWAN BENCANA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA

PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Februari 2011

THRESA JURENZY I34070062


(8)

di Kota Bukittinggi. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak

dari pasangan suami istri Jumardi, S.Pd dan Resnetty. Penulis telah menempuh

pendidikan sekolah dasar di SDN 09 Belakang Balok, dilanjutkan di SMP Negeri

1 Bukittinggi dan SMA Negeri 2 Bukittinggi. Kemudian penulis melanjutkan

pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, jurusan Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat dengan jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB

(USMI).

Pada saat duduk di bangku SMA, penulis mengikuti Menuju Olimpiade

Sains Indonesia 2+ tingkat Kota Bukittinggi. Penulis juga aktif dalam organisasi,

baik pada masa sekolah maupun di tingkat perguruan tinggi. Pada saat SMP,

penulis mengikuti Forum Studi Islam dengan kedudukan sebagai ketua Divisi

Hubungan Masyarakat. Ketika SMA, penulis juga aktif dalam organisasi ekstra

kurikuler sekolah yaitu Sanggar Konsultasi Remaja (SKR) sebagai Ketua Umum.

Selain itu, penulis juga aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan

posisi sebagai Ketua Sub Unit SKR.

Di bangku kuliah, penulis juga mengikuti berbagai organisasi

kemahasiswaan. Pada tahun 2008/2009, penulis mengikuti Organisasi Mahasiswa

Daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor sebagai Ketua Divisi Hubungan

Luar. Tahun 2009/2010 penulis aktif menjadi Badan Pengawas Anggota Ikatan

Pelajar Mahasiswa Minang Bogor, dan terakhir penulis juga aktif di Divisi

Jurnalistik Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan


(9)

Selain organisasi kemahasiswaan, penulis juga aktif dalam berbagai

kepanitiaan dalam acara-acara yang diadakan oleh organisasi kemahasiswaan.

Penulis aktif dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen dan Masa

Perkenalan Fakultas (2009), Indonesia Ecology Expo (2008), Bukti Cinta

Lingkungan (2009), Ecology Sport Event (2010), Let’s Get The Essential of CSR (2010), Seminar Lahan Gambut Berkelanjutan (2010) dan Konser Amal Mini

(2010).

Peneliti juga aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengasahan

kemampuan di luar bidang akademis dan organisasi, yaitu pelatihan dan magang.

Peneliti pernah mengikuti Pelatihan Pendampingan Korban Bencana Alam yang

diadakan oleh Pusat Studi Bencana- IPB (2010), magang di Institute for Research


(10)

dan karunia- Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Karakteristik Sosial Budaya

Masyarakat dalam Kaitannya Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di

Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor

Timur, Kota Bogor).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial budaya yang

terdapat di dalam masyarakat serta hubungannya dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi bencana sebagai salah satu upaya penanggulangan bencana. Dengan

melihat hubungan tersebut dapat di peroleh kesiapan masyarakat dalam

menghadapi bencana banjir, khususnya di daerah rawan bencana banjir.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkaitan

dengan penanggulangan bencana, yaitu bagi akademisi terutama penulis,

pemerintah dan masyarakat.

Bogor, Februari 2011


(11)

karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan dukungan materil maupun moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing, memberikan saran dan masukan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Dr Satyawan Sunito selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis.

3. Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen penguji kedua yang juga telah memberikan saran dan arahan kepada penulis.

4. Ir. Hadiyanto, MS selaku dosen penguji petik yang telah memberikan banyak masukan dalam format penulisan kepada penulis.

5. Papa, Mama, dan Viona yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, memanjatkan do’a, memberikan dukungan, semangat dan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi.

6. Aris Safrudin, yang selalu memberikan segala motivasi, semangat, dukungan, dan perhatiannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

7. Ibu Zakiyah dan seluruh warga RT 3 RW I Kelurahan Katulampa yang membantu penulis untuk mendapatkan informasi dan data.

8. Ma’rifatu Rodiah dan keluarga yang telah menerima dan memberikan dukungan kepada penulis.

9. Sahabat-sahabat terbaikku Eka, Dian, Tita, Kidut, Akira, Dewi, Mutia dan Ira. 10. KPM 44 yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis. Semoga kita

menjadi orang-orang yang sukses. Amin.

Semoga kita semua dapat menjadi orang-orang yang sukses dan berbahagia. Amin.


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

2.1 Tinjauan Pustaka ... 5

2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam ... 5

2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi ... 6

2.1.3 Karakteristik Sosial ... 10

2.2 Kerangka Pemikiran ... 18

2.3 Hipotesis Penelitian ... 19

2.3.1 Hipotesis Uji ... 19

2.3.2 Hipotesis Pengarah ... 20

2.4 Definisi Operasional ... 20

BAB III PENDEKATAN LAPANG ... 23

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Metode Penelitian ... 23

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 24

3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan ... 24

3.5 Teknik Analisis Data ... 25

4.1 Kelurahan Katulampa ... 27

4.1.1. Kondisi Fisik ... 27

4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan ... 28

4.2 Sungai Ciliwung ... 31

BAB V KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ... 33

5.1 Kelembagaan ... 33


(13)

5.3 Stratifikasi Sosial ... 39

5.4 Kearifan Lokal ... 45

5.5 Pengetahuan dan Sikap ... 47

BAB VI KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA ... 58

6.1 Kesiapsiagaan ... 58

6.2 Mitigasi ... 67

BAB VII KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA ... 76

BAB VIII PENUTUP ... 88

8.1 Kesimpulan ... 88

8.2 Saran ... 91


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 ... 28 Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 ... 29 Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008 ... 30 Tabel 4. Pengetahuan Mengenai Rawan Bencana oleh Responden Korban Banjir,

Katulampa Tahun 2010 ... 48 Tabel 5. Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab Banjir, Katulampa Tahun 2010

(N=30) ... 49 Tabel 6. Pengetahuan Responden Mengenai Akibat Banjir, Katulampa Tahun 2010

(N=30) ... 51 Tabel 7. Pengetahuan Responden Mengenai Cara Mengurangi Resiko Banjir, Katulampa

Tahun 2010 (N=30) ... 52 Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Sampah Rumah Tangga,

Katulampa Tahun 2010 ... 53 Tabel 9. Pengetahuan Responden Mengenai Partisipasi dalam Penanggulangan Banjir,

Katulampa Tahun 2010 (N=30) ... 54 Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Alam, Katulampa Tahun

2010... 56 Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden

terhadap Banjir Katulampa (2010) ... 60 Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi ... 63 Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon ... 68 Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan Banjir,

Katulampa Tahun 2010 ... 71 Tabel 15. Hasil Korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan Ukuran

Kekayaan, Pendidikan dan Pengetahuan dan Sikap Responden Korban Banjir Katulampa Tahun 2010 ... 80


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 19

Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010 ... 32

Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ... 41

Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 42

Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan ... 43

Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan ... 44

Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah ... 70


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ... 97

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan ... 101

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian ... 103

Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa ... 104


(17)

1.1 Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir Indonesia sering dilanda bencana. Posisi

Indonesia yang berada di antara tiga lempeng besar dunia telah mengakibatkan

Indonesia menjadi sangat rentan terhadap bencana. Selain itu terdapat beberapa

faktor lain yang menimbulkan bencana. Faktor lainnya adalah akibat kerusakan

ekologi, yang akar permasalahannya adalah manusia. Beberapa bencana besar

yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah gempa dan tsunami Aceh

(2004), gempa Nias (2006), gempa Jogjakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa

dan tsunami Pangandaran (2006), banjir Jakarta (2007), gempa Bukittinggi

(2007), lumpur Sidoarjo (2006), jebolnya Situ Gintung (2009), gempa

Tasikmalaya (2009), gempa Padang (2009), longsor Ciwidey (2009), dan berbagai

bencana lainnya. Semua bencana ini telah merenggut banyak korban jiwa dan

mengakibatkan berbagai kerugian fisik dan kerugian materil bagi korbannya.

Psikologis masyarakat yang menjadi korban maupun tidak menjadi korban pun

ikut terganggu.

Bencana telah mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi korban

dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Kerugian tidak hanya dialami oleh

masyarakat, akan tetapi juga dirasakan oleh pemerintah. Untuk mengatasi dan

mengurangi kerugian tersebut, diadakanlah kegiatan penanggulangan bencana.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana, penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan


(18)

bencana ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, tapi

juga lembaga-lembaga lain yang ikut membantu dan tanggap dalam bencana

seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan, masyarakat pun juga ikut

dalam usaha penanggulangan bencana.

Usaha penanggulangan bencana harus dimulai sedini mungkin, yaitu

sebelum terjadinya bencana di daerah yang tergolong rawan bencana. Perspektif

penanggulangan bencana ini telah berubah seiring dengan pertambahan jumlah

bencana yang terjadi di Indonesia. Pada awalnya penanggulangan bencana

dipusatkan pada usaha yang dilakukan setelah terjadinya bencana, seperti tanggap

darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, perspektif ini telah bergeser

menjadi penanggulangan bencana yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana,

yaitu peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan upaya untuk mengurangi resiko

bencana (mitigasi). Bencana tidak pernah diketahui kapan akan melanda suatu

daerah, untuk itu dibutuhkan kesiapan orang-orang yang akan menghadapi

bencana, terutama di daerah rawan bencana.

Kesiapsiagaan dan mitigasi bencana merupakan usaha yang dilakukan

untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana. Usaha pengurangan

resiko bencana ini melibatkan berbagai pihak yang sangat terkait dengan bencana.

Pihak-pihak tersebut adalah pemerintah, LSM, masyarakat dan lembaga lainnya

yang ikut membantu dalam penanggulangan bencana. Begitu pula pada usaha

yang dilakukan saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana sangat

dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkaitan dalam masalah ini.

Upaya peningkatan kesiapan dan tindakan penanggulangan bencana sangat


(19)

yang mempengaruhi adalah kelembagaan sosial, derajat kohesivitas, stratifikasi

sosial masyarakat, dan pengetahuan lokal masyarakat. Semua karakteristik sosial

budaya ini mungkin dimiliki oleh masyarakat dan dapat digunakan sebagai modal

bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana dan mengurangi

resiko bencana dan dapat mempengaruhi tindakan yang diambil oleh masyarakat

pada saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana, sehingga dapat

dilihat tingkat kesiapan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah rawan bencana

dalam menghadapi kemungkinan bencana yang akan terjadi. Akan tetapi,

karakteristik sosial yang dimiliki oleh masyarakat ini juga dapat menjadi kendala

dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.

Fokus penelitian ini adalah daerah rawan bencana yang berada di

Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Daerah ini adalah

daerah yang tergolong rawan bencana banjir karena berada pada aliran Sungai

Ciliwung dan berada pada pintu air Bendungan Katulampa yang debit airnya

sering naik pada beberapa bulan terakhir. Pada Februari 2010 lalu daerah ini

mengalami banjir bandang dan merugikan kurang lebih 80 rumah tangga yang

mengalami langsung akibat banjir ini. Daerah ini juga termasuk ke dalam daerah

rawan banjir menurut peta rawan bencana Kelurahan Katulampa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja karakteristik sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Kelurahan

Katulampa khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan


(20)

2. Bagaimanakah hubungan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh

masyarakat dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di Kelurahan

Katulampa?

3. Bagaimanakah kesiapan masyarakat Kelurahan Katulampa dalam

menghadapi bencana?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat ditentukan tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji karakteristik sosial budaya masyarakat di Kelurahan

Katulampa, khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan

lingkungan hidup.

2. Untuk mengkaji hubungan karakteristik sosial budaya masyarakat Kelurahan

Katulampa dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.

3. Untuk mengkaji kesiapan masyarakat Kelurahan Katulampa dalam

menghadapi bencana.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang terkait, terutama

bagi akademisi dan perguruan tinggi. Penelitian ini dapat berguna bagi perguruan

tinggi sebagai salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu bidang

penelitian dan peningkatan pengetahuan mengenai kesiapan masyarakat dalam

menghadapi bencana yang dikaitkan dengan karakteritik sosial yang dimiliki oleh

masyarat sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai usaha


(21)

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam

Bencana merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang memberikan

kerugian yang besar pada masyarakat, yang bersifat merusak, merugikan dan

mengambil waktu yang panjang untuk pemulihannya (Sugiantoro dan Purnomo,

2010). Pengertian ini lebih diperjelas lagi dalam UU Nomor 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian

peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang menganggap bencana

merupakan suatu kejadian yang murni disebabkan oleh alam. Padahal, bencana

tidak hanya diakibatkan oleh faktor alam, tapi juga nonalam dan manusia. Namun,

dalam penelitian ini akan difokuskan pada bencana alam. Menurut Lindell dan

Prater (2003), bencana alam terjadi akibat adanya suatu keadaan geologi,

metereologi dan hidrologi yang sangat besar dan mengakibatkan komunitas tidak

mampu untuk mengatasinya.

Sugiantoro dan Purnomo (2010) dalam bukunya juga mendefinisikan

bencana alam sebagai suatu kejadian yang bersifat alami dan berasal dari alam.

UU Nomor 24 tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, mendefinisikan


(22)

peristiwa yang disebabkan oleh, antara lain berupa tsunami, gempa bumu, gunung

meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.

Di Indonesia, banyak daerah yang rentan atau memiliki ancaman bencana

yang cukup besar. Ancaman bencana merupakan kemungkinan suatu kejadian

dapat menimbulkan bencana. Ancaman bencana ini menimbulkan kerawanan di

daerah-daerah yang ancaman bencananya besar. Rawan bencana merupakan suatu

keadaan geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,

politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu

yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan

mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk dari bahaya tertentu

(UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).

2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi

Penanggulangan bencana merupakan segala upaya dan kegiatan yang

dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan pada saat

sebelum terjadinya bencana serta penyelamatan pada saat bencana, rehabilitasi

dan rekonstruksi setelah terjadinya bencana (Sekretariat Bakornas PB, 2009).

Dalam tulisan Fothergill dan Peek (2004) menjelaskan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam penanggulangan bencana terdiri dari kesiapsiagaan yang terdiri

atas peringatan bahaya. Kegiatan selanjutnya adalah tanggap darurat, pemulihan,

dan terakhir rekonstruksi.

Kegiatan pencegahan merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi

dan menghilangkan resiko bencana melalui tindakan pengurangan ancaman dan


(23)

usaha yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana melalui peningkatan

kualitas fisik dan peningkatan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan dalam

menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan suatu usaha yang dilakukan

untuk menghadapi kemungkinan datangnya bencana melalui kegiatan-kegiatan

peningkatan kemampuan untuk menghadapi kemungkinan bencana. Tanggap

darurat merupakan kegiatan yang dilakukan sesaat setelah terjadinya bencana

untuk menanggulangi semua kemungkinan dampak yang terjadi akibat bencana,

penanganan pertama terhadap korban bencana dan upaya penyelamatan korban

terhadap kemungkinan bencana susulan.

Kesiapsiagaan dan mitigasi juga didefinisikan dalam UU Nomor 24 tahun

2007 mengenai Penanggulangan Bencana. Kesiapsiagaan merupakan serangkaian

kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian

serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Mitigasi merupakan

serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan

fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi

bencana.

Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kesiapsiagaan (UU No. 24 Tahun

2007 tentang Penanggulangan Bencana) yaitu:

1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana.

2. Pengorganisasian, pengujian, dan pemasangan sistem peringatan dini.

3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar.

4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme

tanggap darurat.


(24)

6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap

darurat.

7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan

pemulihan prasarana dan sarana.

Sedangkan kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah (UU No. 24

Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana):

1. Pelaksanaan penataan ruang.

2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata ruang.

3. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan baik secara modern

maupun secara konvensional.

Tindakan pencegahan dibagi menjadi dua yaitu mitigasi dan

kesiapsiagaan. Mitigasi dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif

(BNPB, 2008). Kegiatan mitigasi pasif yang dapat dilakukan adalah:

1. Penyusunan peraturan perundang-undangan.

2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.

3. Pembuatan pedoman/ standar/ prosedur.

4. Pembuatan poster/ brosur/ leaflet.

5. Penelitian/ pengkajian karakteristik bencana.

6. Pengkajian/ analisis resiko bencana.

7. Internalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal pendidikan.

8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana

9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum.


(25)

Sedangkan mitigasi aktif dilakukan dengan cara:

1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, larangan, dan bahaya

memasuki daerah rawan bencana.

2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang,

ijin mendirikan bangunan, dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan

pencegahan bencana.

3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.

4. Pemindahan penduduk dari daerah rawan bencana ke daerah yang lebih aman.

5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.

6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika

terjadi bencana.

7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi mencegah, mengamankan, dan

mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti tanggul, dam,

penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.

Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana terindetifikasi akan

terjadi. Upaya yang dapat dilakukan dalam kegiatan ini adalah:

1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.

2. Pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor penanggulangan

bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).

3. Inventarisasi sumberdaya pendukung kedaruratan.

4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/ logistik.

5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna

mendukung tugas kebencanaan.


(26)

7. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).

8. Mobilisasi sumberdaya (personil, dan sarana/prasarana peralatan).

2.1.3 Karakteristik Sosial 2.1.3.1 Kelembagaan

Lembaga biasa dikenal sebagai lembaga sosial, pranata sosial, atau

institusi sosial. Lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu

tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan

kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan

prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu (Horton dan

Hunt, 1999). Selain itu, Raharjo (2004) menyimpulkan bahwa lembaga

merupakan suatu kompleks nilai dan norma yang berpusat pada kepentingan atau

tujuan tertentu. Lembaga dapat diciptakan dengan sengaja dan tidak dengan

sengaja. Lembaga yang ditumbuhkan secara sengaja adalah lembaga pendidikan,

hutang piutang, dan lainnya. Sedangkan lembaga yang tidak sengaja ditumbuhkan

adalah adat istiadat, kepercayaan, pernikahan, dan lainnya. Tonny (2004)

menyatakan dalam laporan penelitiannya, kelembagaan mengarahkan perilaku

individu dan masyarakat agar sejalan dengan tujuan umum yang ditetapkan.

Setiap masyarakat memiliki lembaga-lembaga kemasyarakatan tanpa

memperdulikan apakah masyarakatnya adalah masyarakat bersahaja atau

masyarakat modern. Kelembagaan sosial ini memiliki wujud konkrit yaitu asosiasi

(Soekanto, 2003). Lembaga bersifat dinamis dan selalu berubah dari waktu ke

waktu seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat (Raharjo,

2004). Menurut Horton dan Hunt (1999), lembaga dasar yang sangat penting


(27)

perekonomian, dan pendidikan. Hal ini hampir serupa dengan yang disampaikan

oleh Sunarto (1993), sejumlah institusi utama adalah institusi di bidang ekonomi,

politik, keluarga, pendidikan dan agama yang kemudian menghasilkan cabang

khusus dalam sosiologi.

Fungsi kelembagaan masyarakat dalam kehidupan masyarakat menurut

Soekanto (2003) adalah:

1. Memberikan pedoman bertingkah laku kepada anggota masyarakat dalam

menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama mengenai

kebutuhan-kebutuhan.

2. Menjaga keutuhan masyarakat.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem kontrol

sosial atau pengendalian sosial, mengawasi tingkah laku anggotanya.

Menurut Horton dan Hunt (1999), fungsi lembaga terdiri atas fungsi

manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes merupakan fungsi lembaga yang

diharapkan oleh orang-orang akan terpenuhi. Misalnya, keluarga memlihara

anak-anaknya, lembaga ekonomi untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan

ekonomi. Sedangkan fungsi laten kelembagaan adalah konsekuensi lembaga yang

tidak dapat dihindari dan diramalkan. Fungsi laten ini kadang mendukung fungsi

manifes, tidak relevan atau menjatuhkan fungsi manifes.

Ciri-ciri kelembagaan menurut Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan

Soemardi (1964) adalah:

1. Kelembagaan merupakan sebuah organisasi konseptual dan pola kebiasaan


(28)

2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga

kemasyarakatan.

3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu.

4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan,

yaitu bangunan, alat-alat, mesin, perabotan dan lainnya.

5. Simbol merupakan karakterisik lembaga kemasyarakatan.

6. Lembaga kemasyarakatan memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang

merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya.

Pengembangan kelembagaan merupakan proses dimana anggota-anggota

masyarakat meningkatkan kapasitas kelembagaannya untuk memobilisasi dan

mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang

berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka

(Tonny, 2004). Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soekanto (2003) lembaga

kemasyarakatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Crescive institutions dan enacted institutions.

2. Basic institutions dan subsidiary institutions.

3. Approved atau social sanctioned-institutions dan unsanctioned institutions.

4. General institutions dan restricted institutions.

5. Operative institutions dan regulative institutions.

Perbedaan antara organisasi dan kelembagaan menurut Knight (1992) adalah,

Whereas institutions are sets of rules that structure interactions among actors, organizations are collective actors who might be subject to institutional constraint. Organizations generally have an internal structure, an instituitional framework governing the interactions of those persons who constitute the organizations”.


(29)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan aturan-aturan

sedangkan organisasi merupakan sekumpulan orang yang terlibat dalam

kelembagaan tersebut.

Persiapan dalam tahap penanggulangan bencana menurut Lindell dan

Parter (2003) salah satunya adalah dengan menentukan dan mengkoordinasikan

organisasi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Organisasi

tersebut harus mendapatkan sumberdaya yang dapat digunakan dalam

penanggulangan bencana seperti fasilitas, anggota dan alat bantu.

2.1.3.2 Derajat Kohesi Sosial Masyarakat

Kohesivitas kelompok atau masyarakat merupakan karakteristik sosial

yang sangat penting didalam masyarakat. Menurut Cartwright dan Zander (1968)

yang dikutip oleh Hadipranata (1986), kohesivitas merupakan derajat kekuatan

ikatan yang berperan dalam keanggotaan kelompok. Lebih lanjut lagi, kohesivitas

merupakan kekuatan interaksi diantara anggota kelompok dalam suatu kerjasama.

Masyarakat lebih ditentukan oleh sosialisasi atau interaksi yang memiliki

kohesivitas sehingga kelompok tersebut berdiri bersama-sama (Shaw, 1971 dalam

Hadipranata, 1986).

Johnson dan Johnson (1975) sebagaimana dikutip oleh Ramdhani dan

Martono (1996) mengartikan kohesivitas kelompok sebagai suatu keadaan

kelompok yang sudah membentuk kohesi, yang ditandai dengan kapasitas

kelompok tersebut untuk mempertahankan keanggotaan anggotanya sehingga

akan bekerjasama dengan kompak dalam mencapai tujuan bersama. Di lain pihak,


(30)

kelompok merupakan keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap

tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Sebuah

kelompok dikatakan sudah kohesif apabila terdiri dari anggota yang berusaha

untuk mengaktualisasikan berbagai kemampuan untuk mencapai kehendak

bersama (Ramdhani dan Martono, 1996).

Dion (1973) dalam Ramdhani dan Martono (1996) melaporkan bahwa

dalam kelompok yang kohesif, komunikasi lebih lancar, kooperatif, dan lebih

dimungkinkan untuk memberikan koreksi yang positif. Kohesivitas juga membuat

anggota kelompok saling mempengaruhi dengan kuat, bahkan membuat

kesepakatan kelompok yang kompak dalam pengambilan keputusan kelompok

(Festinger dkk, 1950 dalam Hadipranata, 1986).

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2005) mengenai penanggulangan

bencana berbasis masyarakat menemukan bahwa hubungan kekerabatan yang

sangat erat dan nilai gotong royong yang sangat tinggi dapat membantu

masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana.

2.1.3.3 Stratifikasi Sosial

Pada setiap masyarakat terdapat stratifikasi sosial atau pelapisan sosial.

Stratifikasi sosial menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) adalah

pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat,

sedangkan menurut Sunarto (1993) stratifikasi sosial merupakan pembedaan

anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya

Ukuran yang biasa digunakan untuk menggolongkan anggota masyarakat


(31)

1. Unsur kekayaan, dimana lapisan teratas biasanya yang memiliki kekayaan

paling banyak. Kekayaan bisa berbentuk rumah, kendaraan, dan pakaian.

2. Ukuran kekuasaan, lapisan teratasnya adalah yang paling memiliki kekuasaan

atau wewenang terbesar.

3. Ukuran kehormatan, dimana orang-orang yang paling dihormati dan disegani

berada di lapisan teratas.

4. Ukuran ilmu pengetahuan, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu

pengetahuan. Terkadang berakibat negatif karena yang dihargai adalah

gelarnya bukan ilmu yang dimilikinya.

Fothergill dan Peek (2004) dalam tulisannya menyatakan bahwa

penanggulangan bencana dipengaruhi oleh status sosial ekonomi masyarakat.

Pendidikan dan pendapatan memiliki hubungan dengan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam tahap persiapan untuk menghadapi bencana. Ditemukan bahwa

masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi lebih siap dalam

menghadapi bencana seperti kepemilikan terhadap asuransi, alat-alat yang

digunakan dalam masa tanggap darurat dan memperkuat keadaan rumah mereka.

Hal ini juga dijelaskan oleh Brym (2009) dalam tulisannya yang berjudul

Hurricane Katrina and The Myth of Natural Disaster dalam bukunya Sociology

as a Life or Death Isuues bahwa antara masyarakat yang berada pada kelas lebih

tinggi dengan masyarakat yang berada pada kelas lebih rendah tidak memiliki

keseimbangan kekuatan dalam menghadapi badai Katrina. Masyarakat yang

berada di kelas lebih rendah bertempat tinggal di daerah yang sangat rentan untuk

mengalami banjir, sedangkan masyarakat yang berada di kelas lebih tinggi dapat


(32)

lebih rendah adalah masyarakat berkulit hitam yang telah lama didiskriminasi dan

masyarakat miskin serta orang-orang tua.

2.1.3.4 Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau istilah lainnya yaitu pengetahuan lokal, pengetahuan

tradisional, local knowledge, atau local wisdom. Pengertiannya menurut Shaw

(2008) adalah segala sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya

tertentu dan mencerminkan gaya hidup suatu masyarakat tertentu. Dalam hal

pelestarian lingkungan, terdapat aturan tertentu dalam pengeksploitasian

lingkungan biofisik, dengan hukum sosial tertentu berdasarkan pengalaman

empirik manusia dan pelanggaran terhadap aturan tersebut memberikan sanksi

kepada pelanggarnya, sehingga kelestarian alam dapat dijaga (BPP-PSPL, 2005).

Pada umumnya masyarakat memiliki kearifan tradisional dalam mengelola

sumberdaya alam sekaligus dalam hal pemanfaatannya (Wirasena, 2010).

Kearifan lokal merupakan cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh

sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam mereka

mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat tinggal mereka secara

turun menurun (Shaw, 2008).

Karakteristik penting yang dimiliki oleh kearifan lokal di dalam

masyarakat adalah berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, disebarluaskan

secara non formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat yang bersangkutan,

dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, dan tertanam di

dalam kehidupan masyarakat untuk bertahan hidup (Shaw, 2008). Kearifan lokal


(33)

masa sekarang. Nilai-nilai budaya diturunkan dari nenek moyang, berkembang

dari lahir dan dari generasi ke generasi (Pattinama, 2009).

Berdasarkan penelitian yang diadakan Gunawan (2007) ditemukan bahwa

kearifan lokal dan semangat gotong royong masyarakat sangat berperan dalam

sistem peringatan dini sebelum terjadinya bencana, karena masyarakat telah lama

tinggal di daerah tersebut dan mengenal keadaan alam lebih baik dibandingkan

dengan yang lainnya.

2.1.3.5 Pengetahuan dan Sikap

Soekanto (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil

penggunaan panca indranya sehingga menimbulkan kesan di dalam pikirannya.

Pengetahuan masyarakat mengenai hutan diklat dalam penelitian Garnadi (2004)

hanya terkait dengan hal-hal yang menyangkut kebutuhan hidup mereka saja,

sedangkan mengenai pengelolaan hutan masih kurang diketahui oleh masyarakat.

Masyarakat juga memiliki sikap yang tidak terlalu menentang dan juga tidak

terlalu mendukung terhadap hutan diklat dan pengelolaannya.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusra (1998) mengenai

pengetahuan dan sikap pasangan usia subur mengenai gizi seimbang dan

pemasaran sosial ditemukan bahwa pengetahuan mereka masih tergolong rendah,

sedangkan sikapnya sudah tergolong tinggi. Akan tetapi dalam prakteknya,

pasangan usia subur masih tergolong rendah. Praktek gizi seimbang tersebut


(34)

2.2 Kerangka Pemikiran

Bencana datang kepada masyarakat secara tiba-tiba dan tidak dapat

diprediksi kapan akan melanda suatu masyarakat. Dampak yang diakibatkan oleh

bencana sangat besar dan bersifat merugikan. Bagi masyarakat yang mengalami

bencana, dapat mengalami kehilangan nyawa, harta benda dan gangguan

psikologis. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang bertujuan untuk mengurangi

dampak yang akan melanda masyarakat tersebut. Upaya tersebut adalah upaya

penanggulangan bencana yang terdiri atas upaya pencegahan, tanggap darurat dan

penanggulangan pasca bencana. Perspektif penanggulangan bencana yang

awalnya berpusat pada penanggulangan pasca bencana, kini telah berubah

menjadi perspektif penanggulangan bencana melalui tindakan pencegahan.

Tindakan pencegahan yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana ini terdiri

atas kesiapsiagaan dan mitigasi.

Kegiatan pencegahan ini ditujukan untuk meningkatkan kesiapan

masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Akan tetapi,

kesiapan masyarakat ini yang terintegrasi dalam upaya mitigasi dan kesiapsiagaan

dapat dipengaruhi oleh karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh

masyarakat.Karakteristik sosial tersebut adalah kelembagaan, kohesi sosial,

stratifikasi sosial, kearifan lokal, dan pengetahuan dan sikap yang sudah tertanam

di dalam masyarakat. Kelima dimensi karakteristik sosial budaya ini

mempengaruhi upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana dan akan


(35)

Hubungan antara karakteristik sosial budaya dengan kesiapan masyarakat

dalam menghadapi bencana dapat dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini:

Keterangan:

Hubungan

2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Hipotesis Uji

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

1. Kelembagaan memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi.

2. Derajat kohesi sosial masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan

dan mitigasi.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Karakteristik sosial dan budaya

Kelembagaan Kohesi Sosial Sratifikasi Sosial Kearifan Lokal

Kesiapan Pencegahan Bencana  Kesiapsiagaan  Mitigasi

Pengetahuan dan Sikap


(36)

3. Stratifikasi sosial di dalam masyarakat memiliki hubungan dengan

kesiapsiagaan dan mitigasi.

4. Kearifan lokal masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi.

5. Pengetahuan dan sikap masyarakat memliki hubungan dengan kesiapsiagaan

dan mitigasi.

2.3.2 Hipotesis Pengarah

Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah rawan bencana

berhubungan positif dengan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh

masyarakat, terkait dengan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengurangan

resiko bencana.

2.4 Definisi Operasional

Rumusan definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Individu/ Rumah Tangga

a.Stratifikasi Sosial

 Unsur kekayaan, dapat diukur melalui aset rumah tangga, dengan skor: Rentang Kelas 1 : Rendah

Rentang Kelas 2 : Sedang

Rentang Kelas 3 : Tinggi

 Ukuran ilmu pengetahuan, dapat diukur melalui tingkat pendidikan dengan skor:

Tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD : Rendah


(37)

Tamat SMA dan Perguruan tinggi : Tinggi

b.Pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai lingkungan dan bencana

 Pengetahuan mengenai rawan bencana  Penyebab banjir

 Akibat banjir

 Cara mengurangi resiko banjir

 Aktor yang berperan serta dalam penanggulangan banjir  Sikap terhadap tanaman/ pohon

 Sikap terhadap kelestarian alam  Ketergantungan hidup terhadap alam

 Sikap terhadap alam yang memberikan manfaat  Sikap terhadap pohon-pohon yang memiliki penunggu

c.Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya

bencana.

 Asuransi  Jenis asuransi

 Pengamanan barang berharga saat banjir  Pelaksanaan evakuasi

 Persiapan persediaan makanan ketika ada tanda-tanda banjir  Pengamanan barang berharaga ketika ada tanda-tanda banjir  Pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarga  Tenda penampung saat evakuasi


(38)

d.Mitigasi merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengurangi resiko

terjadinya bencana.

 Keadaan fisik rumah

 Jarak rumah dari pinggiran sungai  Kegiatan penebangan pohon  Kegiatan pelestarian pohon

 Latihan pencegahan dan penanganan banjir  Jenis rumah

 Pendidikan umum mengenai banjir

 Pembangunan tanggul, bendungan atau dam

e. Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yaitu suatu keadaan masyarakat dimana telah ada kesiapan baik secara fisik dan mental untuk menghadapi bencana.


(39)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor

Timur. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas potensi bencana yang terdapat di desa

tersebut atau daerah yang tergolong rawan bencana. Kelurahan Katulampa

tergolong daerah rawan bencana berdasarkan peta daerah rawan bencana Kota

Bogor. Daerah Katulampa memiliki potensi yang sangat besar untuk dilanda

banjir karena posisinya yang berada di daerah aliran Sungai Ciliwung yang sudah

seringkali menenggelamkan Kota Jakarta. Daerah ini juga pernah mengalami

banjir bandang yang sangat merugikan masyarakat pada bulan Februari 2010 lalu.

Daerah penelitian dilaksanakan khususnya di RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang

merupakan daerah rawan banjir sesuai dengan peta rawan bencana yang dapat

dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Juli-Agustus 2010 untuk penjajakan awal dan penelitian lanjutan akan

dilaksanakan pada bulan Oktober- November 2010.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian survai dengan tipe

decriptive-explanotory research, yaitu penelitian penjelasan yang menghubungkan antar

variabel-variabel penelitian dengan menguji hipotesa yang telah dirumuskan

sebelumnya (Singarimbun dan Effendi, 1989) dan menjelaskan secara deskriptif

keadaan yang ditemukan di lapangan. Pendekatan dalam penelitian ini


(40)

Pendekatan kualitatif ini menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada

responden. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan dengan pengumpulan data

melalui wawancara mendalam dan menggali pemahaman responden secara

subjektif sehingga dapat mendukung data kuantitatif.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer berasal dari kuesioner yang dibagikan kepada responden

dan data pendukung berupa wawancara mendalam terhadap responden. Data

sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi literatur melalui hasil

penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah,

informasi dari internet dan karya ilmiah lainnya.

Kuesioner yang dibagikan kepada responden terdiri atas pertanyaan

tertutup dan pertanyaan semi tertutup. Selain itu pertanyaan yang diberikan juga

dalam bentuk skala Lickert sehingga dapat diketahui mengenai sikap responden

mengenai objek penelitian.

3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan

Populasi studi ini mencakup masyarakat yang berada di daerah rawan

bencana yaitu Kelurahan Katulampa di Kecamatan Bogor Timur, khususnya

masyarakat yang pernah mengalami bencana banjir pada Februari 2010 lalu.

Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik convenience sampling dimana

sampel yang diambil adalah orang yang ada ditempat tersebut dan berdasarkan

data korban banjir Februari 2010 lalu yang terdaftar di dalam daftar korban banjir.


(41)

penelitian sudah berkurang akibat banjir, sehingga responden diambil berdasarkan

ketersediaan. Sebelumnya telah dilakukan teknik pengambilan responden secara

acak, kemudian dilanjutkan dengan teknik convenience sampling untuk

melanjutkan pengambilan responden karena jumlah rumah tangga yang tetap

tinggal di daerah penelitian sudah berkurang atau pindah rumah karena banjir.

Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 30 rumah tangga.

Wawancara dilakukan pada salah satu anggota rumah tangga yaitu suami atau

istri. Kuesioner untuk data kuantitatif diberikan kepada responden dan ditinggal di

tempat penelitian karena responden merasa lebih baik untuk ditinggal, sehingga

mereka dapat mengisi data dengan tenang dan tidak terburu-buru. Responden juga

merasa tidak nyaman dalam menjawab pertanyaan apabila ditanyakan langsung.

Informan yang diwawancarai adalah tokoh masyarakat yang ada di daerah

tersebut serta orang yang memiliki hubungan dengan penelitian ini. Data kualitatif

juga didapatkan melalui wawancara kepada informan melalui pendekatan

terhadap informan dengan cara tinggal di daerah penelitian dan ikut kegiatan yang

dilaksanakan di daerah tersebut.

3.5 Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh secara kuantitatif dianalisis terlebih dahulu dengan

pengkodean data agar data lebih seragam. Setelah itu dilakukan penghitungan

persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabel frekuensi. Data

tersebut dimasukkan ke dalam lembar kerja Microsoft Excel dan dilakukan

pengolahan data. Dari data kuantitatif yang telah terkumpul akan dilakukan

analisis uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Pearson untuk mengetahui


(42)

Untuk menentukan kelas responden maka digunakan rentang kelas

berdasarkan data yang didapatkan dari lapangan dengan rumus:

Klasifikasi = Nilai Maksimum-Nilai Minimum Banyaknya Kelas

Dengan menggunakan rumus ini maka didapatkan klasifikasi responden

berdasarkan banyak kelas yang diinginkan.

Data kualitatif dianalisis dengan mengumpulkan data yang telah dihimpun

selama penelitian berdasarkan wawancara mendalam dengan informan dan

responden. Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan pemisahan data-data

penting dan kemudian disimpulkan. Kemudian data tersebut digunakan sebagai


(43)

4.1 Kelurahan Katulampa 4.1.1. Kondisi Fisik

Kelurahan Katulampa merupakan salah satu kelurahan yang berada di

Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Kelurahan ini dialiri oleh salah satu sungai

besar di Jawa Barat, yaitu Ciliwung. Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari

pusat kota Bogor dengan jarak tempuh sekitar 15 menit. Kelurahan ini memiliki

luas 491 ha dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 82 RT dan Rukun

Warga (RW) sebanyak 13 RW. Curah hujan rata-rata tiap tahunnya adalah 250

mm dengan suhu rata-rata harian 25o C. Kelurahan ini berada pada ketinggian 300

meter diatas permukaan laut. Berdasarkan letak geografis, Kelurahan Katulampa

berbatasan dengan kelurahan lain, yaitu:

a. Sebelah utara : Kelurahan Cimahpar

b. Sebelah timur : Kelurahan Tajur

c. Sebelah barat : Kelurahan Baranangsiang

d. Sebelah selatan : Desa Cibaon/ Sukaraja

Kelurahan Katulampa berada di dekat pusat Kota Bogor sehingga sangat

berpotensi untuk menjadi tempat pemukiman bagi orang-orang yang bekerja di

sekitar Kota Bogor maupun luar Kota Bogor karena aksesnya yang dekat dengan

Tol Jagorawi. Keadaan ini sangat mempengaruhi keadaan sosial dan ekonomi

penduduk Kelurahan Katulampa.

Sarana dan prasarana yang tersedia di kelurahan ini berupa sarana


(44)

Sarana transportasi yang tersedia di daerah ini berupa sarana transportasi darat

berupa ojeg sebanyak 65 buah. Sarana komunikasi dan informasi yang tersedia

berupa telepon umum, telepon rumah dan telepon genggam. Kelurahan

Katulampa memiliki 1 Puskesmas pembantu, 19 Posyandu, dan 2 rumah bersalin.

Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Kelurahan Katulampa berupa 2 buah

gedung SMA, 4 buah gedung SMP, 5 buah gedung SD, 2 buah TK dan 2 buah

lembaga pendidikan agama. Sarana dan prasarana kebersihan di Kelurahan

Katulampa berupa tempat pembuangan sementara yang tersebar di lima lokasi dan

13 tong sampah dengan 10 orang anggota Satgas kebersihan.

4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan

Luas Kelurahan Katulampa cukup besar, yaitu 491 Ha dengan jumlah

penduduk yang lumayan padat, yaitu 25.065 jiwa. Jumlah penduduk laki-lakinya

adalah 12.527 jiwa sedangkan penduduk perempuannya sebanyak 12.539 jiwa.

Total kepala keluarga yang mendiami kelurahan ini adalah 6.462 kepala keluarga

dengan kepadatan penduduk sebesar 510 jiwa per km2. Pendidikan masyarakat

Katulampa cukup merata dari tamatan SD hingga perguruan tinggi. Akses

terhadap sarana dan prasarana pendidikan tergolong mudah sehingga pendidikan

yang ditempuh juga cukup baik.

Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (orang)

1. Tidak tamat SD 146

2. Tamat SD 5598

3. Tamat SMP/ sederajat 4230

4. Tamat SMA/ sederajat 3864

5. Tamat perguruan tinggi 681


(45)

Sebagian besar masyarakat Katulampa beragama Islam. Agama lainnya

seperti Kristen, Hindu dan Budha hanya sebagian kecil saja. Mata pencaharian

masyarakat Kelurahan Katulampa paling banyak pada sektor informal yaitu

berdagang, tukang bangunan, tukang ojeg, petani dan buruh tani. Sedangkan pada

sektor formal hanyalah sebagian kecil saja.

Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008

No. Mata Pencaharian Jumlah

1. Petani 1851

2. Buruh tani 651

3. Pegawai negeri sipil 154

4. Pengrajin industri rumah tangga 7

5. Pedagang keliling 41

6. Peternak 1

7. Montir 25

8. Dokter swasta 25

9. Bidan swasta 4

10. Pembantu rumah tangga 25

11. TNI/ Polri 41

12. Pensiunan 56

13. Pengusaha kecil dan menengah 10

14. Pengacara 7

15. Notaris 2

16. Dukun kampung terlatih 6

17. Jasa pengobatan alternatif 2

18. Dosen swasta 22

19. Arsitektur 7

20. Karyawan perusahaan swasta 3843

21. Karyawan perusahaan pemerintah 479

22. Lainnya (pedagang, tukang ojeg, tukang bangunan)

9205


(46)

Organisasi masyarakat yang berkembang di Kelurahan Katulampa adalah

organisasi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi ekonomi.

Organisasi yang berkembang di daerah ini di dukung oleh anggotanya.

Organisasi-organisasi yang berkembang di Kelurahan Katulampa dapat dilihat

dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008

No. Organisasi Masyarakat Jumlah Anggota (orang) Organisasi Pemerintahan

1. Kantor Kelurahan 15

Organisasi Kemasyarakatan

2. LKK 10

3. LPM 17

4. PKK 24

5. Rukun Warga 102

6. Rukun Tetangga 696

7. Karang Taruna 10

8. Kelompok Tani 10

9. Organisasi keagamaan (MUI) 10

Organisasi Ekonomi

10. KUD 60

11. Simpan Pinjam 60

Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008)

Penelitian ini difokuskan di daerah yang mengalami banjir di Kelurahan

Katulampa yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang berada di pinggir sungai

Ciliwung. Rata-rata penduduk RT 5 RW I adalah pendatang yang berasal dari luar

daerah Bogor, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah ini banyak

terdapat rumah yang disewakan atau dikontrakkan dan tidak banyak penduduk asli


(47)

penduduknya adalah penduduk asli. Kebanyakan dari penduduknya memiliki

hubungan darah satu sama lainnya.

4.2 Sungai Ciliwung

Sungai Ciliwung merupakan sungai yang berada dalam Satuan Wilayah

Sungai Ciliwung- Cisadane, dengan daerah tangkapan (daerah aliran sungai)

sepanjang lebih kurang 337 Km2. Daerah aliran Sungai Ciliwung dibagi menjadi

tiga (Munaf, 1992) yaitu:

a) DAS Ciliwung bagian I yang dimulai dari hulu sampai ke stasiun pengamat

Katulampa meliputi Kecamatan Kedunghalang, Cisarua dan Ciawi.

b) DAS Ciliwung bagian II yang dimulai dari stasiun pengamat Katulampa hingga

ke stasiun pengamat Ratujaya (Depok) meliputi Kecamatan Kedunghalang,

Kota Bogor, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Depok.

c) DAS Ciliwung bagian III yang dimulai dari stasiun pengamat Ratujaya sampai

ke stasiun pengamat Rawajati (Kalibata) meliputi wilayah Kecamatan Depok,

Kecamatan Cimanggis, dan Jakarta.

Penelitian ini difokuskan di daerah aliran Sungai Ciliwung bagian

Katulampa. Bendungan Katulampa dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran yang

berfungsi untuk irigasi dan aliran Sungai Ciliwung yang mengalir ke Jakarta.

Rata-rata debit air yang mengaliri bendungan Katulampa dari Januari hingga


(48)

Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000


(49)

5.1Kelembagaan

Kelurahan Katulampa memiliki lembaga-lembaga yang berkembang di

tengah masyarakat. Lembaga ini merupakan wadah bagi

kelembagaan-kelembagaan yang tidak disadari telah menjadi bagian dari masyarakat, mengatur

dan memberi nilai-nilai dan norma-norma tertentu. Horton dan Hunt (1999)

menyatakan bahwa lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu

tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan

kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan

prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu.

Kelembagaan-kelembagaan yang terlihat lebih kuat mempengaruhi masyarakat adalah pada

bidang keagamaan. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai aktifitas sosial dalam

kelembagaan berupa pengajian. Pengajian diadakan rutin dalam seminggu. Setiap

RT memiliki jadwal yang berbeda dengan jumlah pertemuan yang berbeda setiap

minggunya.

Nilai dan norma yang berkembang dalam kelembagaan ini adalah nilai dan

norma mengenai keagamaan. Nilai-nilai yang dianut diwujudkan dalam

kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama pengajian. Kegiatan pengajian ini gunanya adalah untuk memanjatkan syukur dan do’a-do’a kepada Sang Pencipta agar kehidupan mereka diberkahi serta memanjatkan do’a bagi orang-orang terdahulu. Kelembagaan agama ini memperkuat hubungan masyarakat karena masyarakat


(50)

berbagi pengalaman. Namun dalam pengajian ini tidak ada materi yang

disampaikan baik dalam bidang agama maupun bidang kehidupan lainnya.

Sesuai yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan

Soemardi (1964), kelembagaan agama ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kelembagaan merupakan organisasi konseptual dan pola kebiasaan yang

terwujud melalui aktifitas sosial dan hasil-hasilnya. Kelembagaan agama yang

terwujud melalui aktifitas sosial berupa pengajian ini telah menjadi pola

kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan ini rutin dilakukan dan jarang

ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajian merupakan organisasi yang terkonsep

dan memiliki kegiatan yang jelas dan dikonsep dengan rapi oleh anggotanya.

Pengonsepan kegiatan ini dilakukan bersama-sama seperti membahas masalah jadwal pelaksanaan dan pengonsepan do’a-do’a yang akan dipanjatkan. Selain itu, mereka juga menentukan tempat dilaksanakannya pengajian. Biasanya

setiap rumah dalam RT tersebut mendapatkan giliran untuk menyediakan

tempat pengajian.

2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga masyarakat.

Kegiatan pengajian ini telah lama dilaksanakan oleh masyarakat dan tidak

berubah dari dulu sampai saat ini.

3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu. Kegiatan pengajian ini

dilaksanakan atas tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya

pengajian ini adalah meningkatkan pendalaman mengenai agama, mendekatkan

diri pada Yang Maha Kuasa dan selain itu kegiatan ini bertujuan untuk mendo’akan keluarga yang sudah meninggal.


(51)

4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan,

seperti alat-alat, bangunan, perabotan dan lainnya. Fungsi kelembagaan

masyarakat sama seperti alat-alat, bangunan dan perabotan yang membantu

untuk mencapai tujuan kelembagaan itu sendiri. Pada lembaga pengajian rutin

yang dilakukan oleh masyarakat setempat, kelembagaan menjadi wadah bagi

masyarakat dan juga menjadi alat yang digunakan untuk mencapai

tujuan-tujuannya.

5. Simbol merupakan karakteristik lembaga kemasyarakatan. Simbol yang digunakan dalam kelembagaan ini adalah simbol keagamaan yaitu do’a-do’a yang dipanjatkan. Simbol-simbol do’a ini dituangkan ke dalam tulisan yang dimiliki oleh setiap anggota pengajian, dibawa dan dipanjatkan setiap kali

mereka mengadakan pengajian. Simbol yang berbentuk logo atau gambar tidak

ditemukan di dalam kelembagaan ini.

6. Lembaga masyarakat memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang

merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya. Pengajian yang

dilakukan secara rutin oleh masyarakat memiliki aturan-aturan yang tidak

tertulis. Dalam merumuskan aturan, masyarakat menggunakan musyawarah

dan mufakat dalam menentukan jadwal pelaksanaan, isi kegiatan dan tujuan

kegiatan.

Berdasarkan pengklasifikasian kelembagaan oleh Gillin dan Gillin dalam

Soekanto (2003), pengajian termasuk ke dalam Crescive Institution yaitu

kelembagaan primer yang tumbuh dari adat istiadat, yang salah satunya adalah


(52)

masyarakat dari dulu hingga sekarang dan menjadi arahan bagi masyarakat dalam

menguatkan keagamaan mereka.

Kelembagaan ekonomi lokal kurang berkembang di daerah ini. Kegiatan

yang berhubungan dengan perekonomian hanyalah sekitar jual-beli dan arisan.

Tidak adanya kelembagaan ekonomi ini menjadikan status ekonomi masyarakat

menjadi kurang berkembang karena tidak ada lembaga yang mampu untuk

mengekspresikan kreatifitas masyarakat dalam bidang ekonomi. Sedangkan arisan

hanyalah simpanan biasa yang kadang-kadang jumlah yang dituntut juga cukup

besar jika dibandingkan dengan penghasilan masyarakat dan tuntutan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kelembagaan ini tidak terlalu mengakar di

dalam masyarakat. Keterlibatan masyarakat tidak terlalu besar dan hanya

orang-orang tertentu yang mampu untuk mengikutinya, seperti masyarakat yang

memiliki kemampuan ekonomi yang sedikit berlebih dibandingkan dengan yang

lainnya.

Kelembagaan lain yang sangat berperan dalam kebencanaan adalah RT

dan RW sebagai perpanjangan tangan kelurahan dan penjaga bendungan.

Sistemnya adalah dari penjaga bendungan akan diberikan informasi mengenai

status debit air. Apabila debit air dirasa akan membahayakan dan dapat

mengakibatkan terjadinya banjir, maka pemerintah kelurahan akan menyampaikan

kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan datangnya banjir

melalui ketua RT dan ketua RW. Selain RT dan RW, lembaga lain yang juga

sangat berperan adalah TAGANA (Taruna Siaga Bencana) yang dibentuk di

kecamatan. Anggota TAGANA tersebut merupakan perwakilan dari setiap


(53)

anggota TAGANA. Mereka berperan dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan

mitigasi bencana bersama dengan pemerintah dan menjadi jembatan antara

pemerintah dengan masyarakat bersama ketua RT dan ketua RW apabila terjadi

banjir seperti yang diungkapkan oleh Bapak K (38 Tahun) sebagai anggota

TAGANA,

“... waktu air di Bendungan Katulampa naik, Bapak An yang ngejaga bendungan bakal ngasih kabar ke orang kelurahan. Dari kelurahan disampein ke Ketua RW, trus diterusin ke Ketua RT, baru disebar ke masyarakat untuk bersiap-siap. Kelurahan sama TAGANA juga bersiaga untuk kemungkinan terjadinya banjir...”

TAGANA bersama RT dan RW dilihat sebagai suatu kelembagaan yang

memiliki fungsi sebagai pengendali sosial, dimana mereka secara bersama-sama

mengendalikan masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan kesiapsiagaan dalam

menghadapi kemungkinan terjadinya banjir apabila debit air Sungai Ciliwung

mulai meningkat.

5.2Derajat Kohesi Sosial

Masyarakat di dalam suatu daerah memiliki derajat ikatan antar individu

yang disebut dengan derajat kohesi sosial. Masyarakat dianggap sebagai suatu

kelompok besar yang anggotanya adalah individu-individu yang tergabung di

dalam masyarakat tersebut. Derajat kohesivitas dapat dilihat melalui interaksi

pada anggota masyarakat yang melakukan kerjasama (Cartwright dan Zander,

1968). Derajat kohesi sosial di daerah penelitian khususnya RT 5 RW I dan RT 3

RW IX memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut adalah derajat ikatan

masyarakatnya. Pada RT 5 RW I, masyarakatnya cenderung untuk berpindah dari

satu tempat ke tempat lain, sedikit yang menetap di daerah tersebut. Mobilitas


(54)

yang dikontrakkan di daerah tersebut. Lebih dari 15 kepala keluarga dari 40

kepala keluarga yang merasakan banjir telah pindah rumah atau meninggalkan

daerah tersebut. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Collin dan Raven (1964)

dalam Arishanti (2005) mengenai faktor yang mendorong terjadinya kohesi

kelompok, yaitu keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal

dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Oleh karena itu di

RT 5 RW I tingkat kohesi sosialnya tergolong rendah karena tidak ada keadaan

yang mendorong anggota masyarakat untuk tetap tinggal, bahkan mereka

meninggalkan tempat tersebut karena takut terjadi banjir kembali.

Arus mobilitas penduduk yang cukup tinggi ini mengakibatkan tingginya

pertukaran anggota masyarakat. Harga sewa rumah yang lumayan murah yaitu

sekitar Rp. 100.000,00 – Rp. 150.000,00 per bulan mengakibatkan banyaknya jumlah pendatang di daerah ini. Untuk mendapatkan derajat keeratan yang tinggi,

masyarakat harus mampu untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu dengan

masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan sosial selain pengajian jarang dilakukan

di kedua tempat penelitian, misalnya gotong royong.

Berbeda dengan RT 5 RW I, masyarakat RT 3 RW IX tidak memiliki

tingkat mobilisasi yang tinggi karena di daerah tersebut kebanyakan

masyarakatnya memiliki hubungan darah dan masih terikat dengan daerah

tersebut. Daerah tersebut tidak termasuk daerah yang banyak pendatang. Rata-rata

masyarakatnya adalah masyarakat lokal yang memang sudah lama berdomisili di

daerah tersebut. Hubungan kekeluargaan lebih erat dan sering melakukan kegiatan

sosial bersama. Sehingga derajat kohesivitas masyarakatnya lebih tinggi


(55)

Derajat kohesivitas masyarakat ini juga dipengaruhi oleh keseragaman

(homogenitas) anggota kelompok tersebut seperti kesamaan tindakan dan

homogenitas perilaku (Mardikanto, 1993 dalam Redono, 2006). Keseragaman

yang dimaksud adalah keseragaman pada ciri-ciri sosial masyarakat tersebut.

Masyarakat dengan ciri-ciri sosial yang lebih mirip satu sama lainnya akan

memiliki kohesivitas yang cenderung lebih tinggi. Hal ini terjadi pada RT 3 RW

IX. Masyarakatnya cenderung lebih kohesif karena adanya keseragaman pada

tingkat ekonomi, hubungan darah dan mereka merupakan penduduk asli

Katulampa yang memiliki kesamaan budaya dan adat. Berbeda dengan RT 5 RW

I, masyarakatnya kebanyakan merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari

berbagai daerah seperti Jawa dan tidak menetap lama di daerah tersebut.

Perbedaan adat dan budaya antara pendatang dan penduduk asli mengakibatkan

kurangnya keseragaman, sehingga kohesivitasnya cenderung lebih rendah

dibandingkan dengan RT 3 RW IX.

5.3Stratifikasi Sosial

Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari pusat Kota Bogor. Hal ini

mengakibatkan Kelurahan Katulampa menjadi salah satu daerah yang dijadikan

sebagai alternatif untuk berdomisili atau bertempat tinggal agar akses terhadap

sumber-sumber ekonomi dan teknologi lebih mudah untuk dijangkau.

Masyarakatnya datang dari berbagai tingkatan ekonomi, maupun dari berbagai

etnis. Kehidupan masyarakat yang memiliki status sosial yang berbeda-beda ini

juga mempengaruhi pelapisan di dalam masyarakat. Pelapisan sosial ini juga


(56)

Pelapisan atau stratifikasi sosial terjadi akibat adanya

perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat secara bertingkat. Individu yang memiliki status

sosial tertentu akan masuk ke dalam lapisan-lapisan tertentu yang terdapat di

lingkungannya, baik lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan

pekerjaannya. Menurut Soekanto (2003), ukuran yang biasa digunakan untuk

menggolongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan,

ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan dan ukuran ilmu pengetahuan.

Responden yang diambil di daerah penelitian merupakan responden yang

pernah mengalami banjir dan berada di sepanjang aliran Ciliwung. Sungai ini

telah lama menjadi pusat kehidupan bagi masyarakat yang berada di sekitarnya

sehingga banyak masyarakat yang memilih tinggal di dekat sungai agar dapat

mengakses sumberdaya alam lebih mudah, seperti air. Banyaknya jumlah

pendatang, terutama di daerah RT 5 RW I telah memberikan dampak terhadap

lapisan sosial yang ada di dalam masyarakat. Stratifikasi sosial masyarakat di

dapatkan melalui kuesioner yang diserahkan kepada responden untuk dijawab.

Pertanyaannya adalah mengenai karakteristik individu responden tersebut untuk

mengukur stratifikasi berdasarkan ukuran kekayaan dan pendidikan. Sedangkan

untuk ukuran berdasarkan kekuasaan dan kehormatan dilakukan melalui

wawancara mendalam kepada informan.

Pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan ukuran kekayaan adalah

melalui aset rumah tangga atau pribadi, yaitu pendapatan, kepemilikan rumah,

tanah, barang berharga dan teknologi. Sedangkan untuk mendapatkan ukuran

pendidikan, pertanyaan yang diajukan adalah mengenai pendidikan yang telah


(57)

rata-rata masyarakat adalah sebesar Rp. 998.333,00 dengan pendapatan tertinggi

sebesar Rp. 3.000.000,00 dan terendah sebesar Rp, 300.000,00. Berdasarkan data

yang dihimpun, responden diklasifikasikan menjadi tiga yaitu responden dengan

pendapatan rendah, rata-rata dan tinggi sehingga didapatkan bahwa sebanyak 73,3

persen responden memiliki pendapatan yang rendah dengan kisaran pendapatan

antara Rp. 300.000,00 – Rp. 1.200.000,00. Sedangkan 23,3 persen responden memiliki pendapatan rata-rata yang berkisar antara Rp. 1.200.000,00 – Rp. 2.100.000,00. Sisanya sebesar 3,33 persen adalah responden dengan pendapatan

tinggi yang pendapatannya berkisar antara Rp. 2.100.000,00 – Rp. 3.000.000,00.

Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan, Katulampa Tahun 2010

Data di atas menunjukkan bahwa rata-rata responden berasal dari kalangan

ekonomi menengah kebawah yaitu sebanyak 22 orang responden memiliki

pendapatan dibawah Rp. 1.200.000,00. Banyaknya jumlah responden yang berada

pada golongan ekonomi ini diakibatkan oleh pekerjaan yang dilakukan oleh

responden rata-rata pada sektor iinformal seperti wiraswasta dan buruh yang tidak

memberikan penghasilan yang cukup besar. Responden yang bekerja dalam

1

7

22

Tinggi Menengah Rendah


(58)

bidang wiraswasta yaitu sebesar 36,67 persen, buruh sebesar 26,67 persen, ibu

rumah tangga dan pegawai swasta masing-masing sebesar 16,67 persen dan 10

persen serta diikuti oleh pegawai negeri, bertani dan pengangguran yang

masing-masingnya sebesar 3,33 persen.

Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Katulampa Tahun 2010

Data pada Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memiliki usaha sendiri atau berwiraswasta dan buruh. Hal ini berhubungan

dengan tingkat pendapatan responden yang tergolong ke dalam angka di bawah

rata-rata atau tergolong berekonomi menengah ke bawah. Kegiatan wiraswasta

yang dilakukan oleh responden rata-rata adalah berjualan atau pedagang kaki lima

dan warung.

Berdasarkan data pendapatan, aset kepemilikan rumah tangga berupa

rumah, tanah, tabungan, dan benda berharga didapatkan jenjang ukuran kekayaan

yang dimiliki oleh responden. Sebanyak 96,67 persen responden memiliki rumah

yang luasnya dibawah 200 m2, dan sisanya adalah kepemilikan rumah seluas 1500

m2. Rata-rata luas rumah responden adalah seluas 122 m2. Responden yang

1 1 3

11 8

5 0 1 0

Bertani Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Buruh

Ibu Rumah Tangga Pelajar

Menganggur Pensiun


(59)

memiliki jenjang ukuran kekayaan yang rendah adalah sebanyak 30 persen,

sedang atau menengah sebanyak 56,67persen dan tinggi sebanyak 13,3 persen.

Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan, Katulampa Tahun 2010

Data responden berdasarkan tingkat kekayaan ini diukur berdasarkan

kepemilikan rumah tangga, tidak hanya pendapatan tapi juga barang-barang

berharga dan bernilai tinggi. Pendapatan tidak dapat menggambarkan aset atau

kekayaan individu dan rumah tangga dengan baik, karena kepemilikan terhadap

benda berharga juga merupakan salah satu bentuk kepemilikan materi yang

tersimpan. Kepemilikan yang diukur, selain pendapatan adalah tabungan,

kepemilikan barang-barang elektronik seperti televisi, radio, kulkas, komputer dan

lainnya. Selain itu kepemilikan kendaraan juga menjadi salah satu ukuran dalam

mengukur kekayaan. Kepemilikan terhadap hewan ternak juga dimasukkan ke

dalam indikator pengukuran kekayaan. Hasil pengolahan data yang menentukan

stratifikasi merupakan kombinasi dari kepemilikan individu atau pun rumah

tangga.

4

17

9

Tinggi Menengah Rendah


(60)

Seperti dalam menentukan ukuran kekayaan, ukuran pendidikan

ditentukan melaui pendidikan formal yang telah ditempuh oleh responden.

Walaupun pendidikan formal tidak selalu dapat menjadi ukuran pengetahuan

responden. Pertanyaan yang diajukan adalah menganai pendidikan terakhir yang

responden tempuh dalam jalur formal. Didapatkan bahwa 36,67 persen responden

menempuh pendidikan hanya sampai pada pendidikan dasar yaitu sekolah dasar.

Responden yang menempuh pendidikan sampai pada jenjang sekolah menengah,

baik sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas adalah sebanyak

60 persen dan sisanya sebanyak 3,33 persen responden menempuh pendidikan

tinggi.

Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan, Katulampa Tahun 2010

Stratifikasi masyarakat ditentukan dengan berbagai ukuran, sebagaimana

yang telah disebutkan diatas yaitu ukuran kekayaan, pendidikan, kekuasaan dan

kehormatan. Ukuran kekuasaan dilihat dengan menggali informasi kepada

beberapa informan mengenai siapa yang berkuasa di daerah tersebut. Kekuasaan

11 18 1 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi

Ju m lah R e sp o n d e n Kategori Pendidikan


(1)

8. Kehidupan saya tergantung pada keadaan alam (mis: cuaca) 9. Selama saya masih bisa mengambil manfaat dari alam saya akan

menggunakan sesuka hati saya.

10. Pohon-pohon yang berada di sekitar saya harus dijaga karena ada penjaga/penunggunya.

D. KESIAPAN MASYARAKAT

a) Apakah anda pernah mengadakan dan atau ikut serta dalam latihan-latihan dan upaya pencegahan dan penanganan banjir?

1. Ya 2. Tidak

b) Apakah rumah anda tergolong rumah yang tahan atau anti banjir (rumah bertingkat)?

1. Ya 2. Tidak

c) Apakah anda pernah mengadakan dan ikut serta dalam pendidikan umum yang berkaitan dengan banjir?

1.Ya 2. Tidak

d) Apakah anda pernah mengadakan dan ikut serta dalam gotong royong membersihkan saluran/ drainase/ selokan?

1. Ya 2. Tidak

e) Apakah anda pernah ikut bergotong royong membantu pembangunan dam/ tanggul/ bendungan?

1. Ya 2. Tidak

f) Apakah anda memiliki tenda yang dapat menampung satu keluarga?

1. Ya 2. Tidak

g) Menurut anda apakah anda sudah siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir? Jelaskan.

1. Ya 2. Tidak

... ... ... ...


(2)

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan

1. Siapakah orang-orang yang sangat berpengaruh di kelurahan ini?

2. Bagaimanakah bentuk pengaruhnya kepada masyarakat?

3. Karena apakah dia berpengaruh?

4. Dalam 3 tahun terakhir, sudah berapa kali terjadi banjir di daerah ini?

5. Berapakah besar kerugian yang dialami karena banjir ini?

6. Apa saja penyebab terjadinya banjir?

7. Bagaimana akibatnya kepada masyarakat?

8. Tindakan apa yang anda lakukan terhadap masalah ini?

9. Bagaimanakah reaksi masyarakat pada saat air di bendungan naik?

10. Apakah masyarakat sering mengadakan gotong royong membersihkan

sungai/ saluran air.

11. Dimanakah biasanya masyarakat membuang sampah rumah tangganya?

12. Bagaimanakah hubungan antara masyarakat dengan alam sekitarnya?

13. Apakah disini ada kepercayaan-kepercayaan yang sifatnya turun temurun

yang berhubungan dengan penjagaan alam?

14. Apakah ada tempat-tempat yang sifatnya mistis dan tidak boleh diganggu?

15. Apakah ada aturan-aturan yang melarang atau meperbolehkan mengambil

kayu atau menebang pohon ditempat-tempat tertentu dengan waktu tertentu?

16. Apakah di kelurahan ini masyarakat sering mengadakan

pertemuan-pertemuan?

17. Apakah ada suatu kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama

dan rutin, dihadiri oleh anggota masyarakat dan bersifat merekatkan hubungan antar masyarakat?

18. Bagaimanakah kesiapsiagaan dan mitigasi di kelurahan ini, sesuai dengan

indikator dibawah ini?

No. Kegiatan Ada Tidak Ada

1. Pos-pos siaga bencana

2. Pelatihan siaga bencana

3. Membeli dan membuat peralatan

pendukung dalam keadaan darurat

3. Simulasi bencana

4. Pembentukan tim Penyelamatan dan tim

kesehatan

5. Pembagian leaflet/ brosur/ poster mengenai

ancaman bencana dan tindakan pencegahan

6. Alat peringatan datangnya bencana


(3)

8. Pembuatan dan publikasi peta rawan bencana

9. Pembuatan pedoman tanggap darurat

bencana

10. Pembuatan leaflet/ poster/ brosur mengenai bencana

11. Pengkajian karakteristik bencana bersama masyarakat

12. Mengutamakan upaya penanggulangan

bencana dalam pembangunan

13. Pengawasan dalam pelaksanaan peraturan dalam izin mendirikan bangunan dan tata ruang yang berkaitan dengan pencegahan bencana.

14. Muatan lokal mengenai bencana dalam kurikulum pendidikan

15. Organisasi penanganan bencana

16. Forum khusus membahas masalah bencana 17. Pembuatan tanda peringatan bahaya dan

larangan di daerah rawan bencana

18. Pelatihan dasar kebencanaan untuk aparat dan masyarakat.

19. Pemindahan penduduk ke daerah aman dari bencana

20. Penyuluhan mengenai bencana

21. Perencanaan daerah penampungan

sementara jika terjadi bencana 22. Pembangunan dam atau tanggul

23. Pengkajian resiko bencana bersama


(4)

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Sungai Ciliwung Gambar 2. Bendungan

Gambar 4. Batu Penanda Banjir


(5)

Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa

Daerah Penelitian

Daerah Penelitian


(6)

Dokumen yang terkait

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI KELURAHAN NUSUKAN KECAMATAN BANJARSARI Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Di Kelurahan Nusukan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

0 2 16

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI KELURAHAN NUSUKAN KECAMATAN BANJARSARI KOTA SURAKARTA Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Di Kelurahan Nusukan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

1 2 17

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI KELURAHAN JOYOSURAN Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Di Kelurahan Joyosuran Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta.

1 1 17

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR KELURAHAN SUMBER KECAMATAN BANJARSARI KOTA Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Kelurahan Sumber Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

1 3 16

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR KELURAHAN SUMBER KECAMATAN BANJARSARI KOTA Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Kelurahan Sumber Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

0 1 9

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT RAWAN BENCANA BANJIR DI KECAMATAN BANJARSARI KOTA SURAKARTA Kesiapsiagaan Masyarakat Rawan Bencana Banjir Di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

1 6 16

PENDAHULUAN Kesiapsiagaan Masyarakat Rawan Bencana Banjir Di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

0 7 7

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT RAWAN BENCANA BANJIR DI KECAMATAN BANJARSARI KOTA SURAKARTA Kesiapsiagaan Masyarakat Rawan Bencana Banjir Di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

0 2 12

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI KELURAHAN SEMANGGI KECAMATAN Kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir di kelurahan semanggi kecamatan pasar kliwon kota surakarta.

0 1 11

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI KELURAHAN GANDEKAN Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Di Kelurahan Gandekan Kecamatan Jebres Kota Surakarta.

0 1 13