kemungkinan terjadinya banjir. Pemerintah menganggap bahwa daerah rawan bencana banjir tidak terlalu luas sehingga tidak membutuhkan persiapan yang
lebih.
6.2 Mitigasi
Selain kesiapsiagaan, kegiatan lainnya dalam penanggulangan bencana yang harus dilaksanakan adalah mitigasi. Mitigasi merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana, khususnya dalam hal ini adalah kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir.
Kegiatan mitigasi berhubungan dengan aktifitas pembangunan secara fisik bangunan-bangunan yang dapat mengurangi resiko terjadinya banjir, tata ruang
daerah untuk menghindari terjadinya banjir, dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengahadapi kemungkinan terjadinya banjir.
Kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan bangunan diluar daerah sempadan sungai, bangunan yang tahan banjir, pelestarian
lingkungan, pelatihan dan pendidikan mengenai bencana dan pembangunan tanggul atau bendungan. Kegiatan-kegiatan ini diukur pada masyarakat
Katulampa melalui responden yang berasal dari dua daerah, yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah mengenai usaha
menjaga kelestarian alam, penempatan rumah, jenis rumah, latihan pencegahan dan penanganan banjir, pendidikan umum mengenai bencana dan partisipasi
dalam pembangunan bendungan. Usaha menjaga kelestarian alam dilihat dari kegiatan pengrusakan dan
pelestarian pohon-pohon yang berada dipinggiran sungai. Pertanyaan yang diajukan kepada
responden berupa pertanyaan tertutup yang dijawab dengan “Ya”
atau “Tidak” berdasarkan pengalaman yang mereka rasakan dan lakukan. Pertanyaannya adalah “apakah anda pernah menebang pohon yang berada di
sekitar sungai pohon yang ukurannya besar dan belum layak untuk ditebang karena sifatnya mengganggu?” dan “apakah anda pernah menanam pohon di
sekitar sungai?”. Dari pertanyaan tersebut didapatkan data kegiatan pelestarian alam yang dilakukan oleh responden.
Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon
Menebang Pohon Menanam Pohon
Jawaban Jumlah
Jawaban Jumlah
Ya 1
3,33 Ya
9 30
Tidak 29
96,67 Tidak
21 70
Jumlah 30
100 Jumlah
30 100
Responden lebih banyak tidak pernah melakukan penebangan pohon yaitu 96,67 persen, sedangkan yang pernah melakukan penanaman pohon di sekitar
sungai hanya 30 persen responden. Hal ini disebabkan oleh lahan yang sempit dan memang tidak adanya pohon besar yang dapat ditebang di sekitar sungai. Daerah
Katulampa merupakan daerah yang jarang terdapat pohon dan hutan-hutan kecil disekitar sungai. Daerah ini adalah daerah pinggiran kota yang sudah lama
menjadi pemukiman penduduk karena aksesnya yang lebih dekat dengan pusat kota. Disepanjang aliran Ciliwung, jumlah pohon-pohon sangat sedikit dan bukan
pohon yang besar dan mampu untuk menyerap air dengan baik. Kegiatan mitigasi banjir bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya
banjir, salah satunya adalah melalui pembangunan pemukiman yang berada di luar sempadan sungai, yaitu 50 meter dari pinggir sungai. Akan tetapi pada daerah
penelitian, seluruh responden berada di daerah yang seharusnya dikosongkan untuk sempadan sungai. Tanah yang berada di pinggir sungai adalah tanah
warisan atau tanah adat masyarakat setempat yang dikonversi menjadi pemukiman penduduk. Kebijakan mengenai hilangnya sempadan sungai ini
memang sudah dirumuskan, namun tidak dapat dilaksanakan karena hak kepemilikan tanah ada pada masyarakat. Pemerintah setempat seperti Kelurahan
sudah memberikan peringatan kepada masyarakat, namun pemerintah tidak mampu untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal dipinggir sungai
karena relokasi penduduk akan membutuhkan biaya yang banyak dan adanya keengganan penduduk untuk pindah karena tidak perlu menyewa tempat lain yang
lebih mahal harganya. Keadaan fisik bangunan juga menentukan apakah masyarakat sudah
melakukan mitigasi dengan baik. Fisik bangunan dapat dilihat melalui jenis bangunan permanen, semi permanen atau tidak permanen dan kondisi fisik
bangunan yang dapat mengurangi resiko banjir yaitu rumah bertingkat atau tidak. Keadaan fisik bangunan sangat menentukan kemampuan untuk mengurangi resiko
terjadinya banjir dan dampaknya. Keadaan fisik bangunan yang permanen lebih kuat dibandingkan dengan bangunan semi permanen maupun tidak permanen. Jika
terjadi banjir ketahanan rumah permanen lebih tinggi dan kemungkinan untuk terbawa hanyut lebih rendah.
Begitu pula dengan kondisi fisik bangunan yang mampu untuk mengurangi resiko banjir dan dampak banjir yaitu bangunan bertingkat. Rumah
bertingkat lebih aman dibandingkan dengan rumah yang tidak bertingkat karena barang-barang berharga dapat dipindahkan dengan cepat ke lantai atas yang lebih
tinggi atau bahkan seluruh barang berharga dapat disimpan di lantai atas sehingga barang-barang yang dianggap berharga dapat terjaga dengan baik.
Di daerah penelitian, responden yang memiliki rumah permanen adalah sebanyak 73,33 persen, semi permanen 16,67 persen dan tidak permanen
sebanyak 10 persen. Sedangkan kondisi bangunannya adalah 90 persen tidak bertingkat dan 10 persen bertingkat. Rata-rata rumah responden adalah rumah
permanen yang tidak bertingkat dan berada di pinggir sungai. Keadaan ini memungkinkan terjadinya kerugian yang sangat besar apabila terjadi banjir karena
banyak barang-barang berharga yang akan terendam atau hanyut terbawa arus air.
Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah, Katulampa Tahun 2010
22 5
3 5
10 15
20 25
Permanen Semi Permanen Tidak Permanen
Ju m
lah
Kondisi Bangunan
Kondisi Bangunan
Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Bentuk Bangunan Rumah, Katulampa Tahun 2010
Peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan mengenai banjir dan penanggulangannya juga dibutuhkan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menghadapi banjir melalui usaha pengurangan resiko banjir. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah latihan dalam upaya
penanggulangan bencana dan pendidikan umum mengenai banjir. Responden yang sudah pernah mengikuti latihan upaya penanggulangan banjir sebanyak
23,33 persen sedangkan yang sudah pernah mengikuti pendidikan mengenai bencana banjir hanyalah 16,67 persen.
Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan Banjir, Katulampa Tahun 2010
Latihan Penanggulangan Banjir Pendidikan tentang Banjir
Keikutsertaan Jumlah Keikutsertaan Jumlah
Pernah 7
23,33 Pernah
5 16,67
Tidak Pernah 23
76,67 Tidak Pernah
25 83,33
Total 30
100 Total
30 100
Selama ini pemerintah telah memberikan penyuluhan mengenai tindakan yang diperlukan apabila terjadi banjir. Penyuluh datang ke rumah-rumah
3
27 Bertingkat
Tidak Bertingkat
masyarakat untuk memberikan penyuluhan. Forum khusus yang diadakan untuk pendidikan dan pelatihan mengenai banjir sendiri belum pernah diadakan secara
khusus. Responden yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai banjir adalah responden yang mengikuti penyuluhan yang diadakan oleh
pemerintah. Mitigasi juga dapat dilakukan melalui pembangunan tanggul, dam atau
pun bendungan untuk mengendalikan laju air apabila debit air naik. Pengendalian debit air ini akan membantu masyarakat untuk menyiapkan keadaan sebelum
terjadinya banjir atau bahkan dapat mengendalikan banjir. Akan tetapi apabila jumlah air yang dialirkan dikendalikan, biasanya daerah yang berada di hulu
bendungan akan menjadi lebih rentan karena jumlah air akan menjadi lebih tinggi karena tidak dialirkan. Di Katulampa terdapat sebuah bendungan, yaitu Bendung
Katulampa yang sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Bendungan ini dibagi menjadi dua aliran yaitu aliran Ciliwung dan aliran sungai kecil untuk
irigasi. Responden yang ikut serta dalam pembangunan atau perbaikan bendungan
tidaklah banyak. Hanya 40 persen yang dapat berperan serta dalam proses perbaikan bendungan. Hal ini dikarenakan oleh jarak RT 5 RW I dari bendungan
lumayan jauh, sehingga menyulitkan masyarakat untuk dapat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan penjagaan dan perbaikan bendungan. Selain itu sudah ada
pekerja khusus yang bertugas untuk menjaga bendungan dan memperbaikinya. Kegiatan mitigasi ini juga harus didukung oleh pemerintah kelurahan
setempat agar resiko terjadinya banjir dapat dikurangi. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk prosedur tanggap darurat
dalam penanggulangan banjir. Undang-undang ini dibentuk di tingkat kecamatan, yaitu oleh SATKORLAK tingkat kecamatan. Prosedur tanggap darurat ini berisi
mengenai prosedur tanggap bencana dan penanggulangan bencana di tingkat kecamatan dan kelurahan. Di Kelurahan Katulampa telah terdapat peta rawan
bencana kemungkinan akan terjadi, peta rawan bencana tersebut ditempel di kantor kelurahan agar warga yang berada di daerah tersebut dapat melihat peta
rawan bencana tersebut sehingga masyarakat dapat mengetahui titik-titik rawan bencana yang terdapat di Katulampa.
Pedoman tanggap darurat bencana juga sangat dibutuhkan untuk mitigasi bencana. Di Katulampa pedoman tanggap darurat dilakukan di tingkat kecamatan
bersama undang-undang mengenai bencana. Sedangkan pengkajian bersama masyarakat mengenai karakteristik bencana belum dilakukan karena pemerintah
menganggap bahwa masyarakat sudah tahu karakteristik bencana melalui penyuluhan.
Pemerintah gencar dalam melakukan publikasi penanggulangan bencana banjir melalui penyuluhan, akan tetapi apabila tidak diiringi dengan kebijakan
mengenai pembangunan yang mengupayakan penanggulangan bencana khususnya mitigasi tentunya proses mitigasi tidak akan berjalan dengan baik. Pemerintah
setempat telah memberikan kebijakan kepada masyarakat mengenai pembangunan yang mengutamakan upaya penanggulangan banjir dengan memberikan izin
bangunan yang letaknya diluar sempadan sungai. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidaklah mudah karena rata-rata masyarakat mendirikan rumah
diatas tanah warisan atau tanah adat, sehingga pemerintah memiliki kekuasaan yang kecil dalam memberikan kebijakan tata ruang untuk mengurangi terjadinya
banjir. Masyarakat sendiri sudah mengetahui mengenai kebijakan ini namun mereka tetap mengabaikan kebijakan ini karena mereka merasa tanah tersebut
adalah hak milik mereka. Selain pendidikan terhadap masyarakat, anak-anak sejak dini juga harus
diberikan pendidikan mengenai bencana. Pendidikan yang diberikan pada kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah-sekolah yang berada di
daerah Katulampa tidak berfokus pada pendidikan mengenai banjir, akan tetapi pendidikan mengenai lingkungan hidup dan cara menjaga lingkungan hidup.
Anak-anak juga diajarkan bagaimana menjaga kebersihan lingkungan seperti sampah, mengajarkan anak-anak untuk praktek membuat sumur resapan dan
biopori. Namun karena pendidikan yang ditanamkan kurang mengena dan anak- anak masih terpengaruh kuat dari lingkungan, mereka masih belum dapat menjaga
kelestarian lingkungan dengan baik. Mereka masih mengabaikan praktek-praktek yang diadakan di sekolah.
Pemerintah yang berada di daerah rawan bencana juga harus membentuk forum-forum yang membahas mengenai bencana. Begitu pula dengan Kelurahan
Katulampa juga membentuk forum khusus yang membahas mengenai kebencanaan. Namun forum ini tidak dibentuk untuk masyarakat, akan tetapi
hanya untuk aparat pemerintah saja bersama ketua RT dan RW. Keterlibatan masyarakat dirasakan kurang dan juga pelaksanaan forum ini tidak rutin karena
forum ini diadakan apabila sudah terjadi keadaan darurat atau setelah terjadinya banjir.
Selain pembentukan forum dan himbauan serta penyuluhan kepada masyarakat, pemerintah kelurahan setempat juga membuat papan-papan tanda
bahaya dan peringatan mengenai banjir. Akan tetapi sikap masyarakat yang masih kurang memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan sekitar, dari 20 tanda
peringatan yang dipasang sekarang hanya tinggal 2 tanda peringatan yang masih terpasang. Pemerintah seharusnya juga melakukan perencanaan daerah
penampungan sementara dan apabila terjadi banjir pemerintah juga harus melakukan pemindahan ke daerah evakuasi atau tempat penampungan sementara
yang aman. Pemerintah Katulampa mempunyai daerah penampungan sementara yang aman untuk warga yang terkena banjir yaitu rumah-rumah penduduk yang
tidak mengalami banjir. Mereka tidak memiliki penampungan khusus untuk masyarakat yang mengalami banjir.
Dalam upaya mitigasi ini pemerintah tidak melakukan pengkajian resiko bencana bersama masyarakat karena pemerintah sudah memberikan penyuluhan
kepada masyarakat. Akan tetapi aparat pemerintah diberikan pelatihan untuk penanggulangan bencana agar pada saat keadaan tanggap darurat dapat dilakukan
dengan baik usaha pencegahan akibat yang lebih besar. Kegiatan mitigasi oleh pemerintah ini sudah lumayan baik karena sudah banyak kegiatan yang dilakukan
untuk mengurangi risiko terjadinya bencana. Akan tetapi tanggapan atas usaha pemerintah dari masyarakat dirasa masih kurang baik karena sikap masyarakat
yang kurang peduli terhadap kehidupan dan lingkungan sekitar.
BAB VII KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA