Pemikiran Mustofa Bisri tentang sastra
Layaknya orang yang diolesi balsem, kelompok orang yang saya singgung dalam puisi saya juga akan merasa panas, tapi hanya sebentar. Setelah itu, ia
bisa saja malah membenarkan apa yang ingin saya coba sampaikan sajak- sajak tersebut‖.
103
Kemunculan Gus Mus dalam blantika sastra Indonesia dianggap telah memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia, melainkan
juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Jamal D. Rahman yang mengatakan bahwa
puisi-puisi Gus Mus adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Di tahun
1980-an, kebanyakan puisi protes sosial bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata mendelik. Sedangkan,
Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras, namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita
geram, namun juga tersenyum. Senyum pahit, tentu saja.‖
104
Di dalam proses kreatifnya, Gus Mus mengaku hanya menulis, karena menurutnya, dirinya hanya menulis dan tidak bisa menilai, bahkan
sekedar mengomentari tulisannya sendiri. Pengakuan tersebut bisa saja sebagai bentuk kerendahatian atau strategi literer bahwa karya sastra yang ia
tulis menjadi sah untuk diterima, apapun bentuk dan isi pemikirannya. Meskipun Sapardi Djoko Damono memberikan cap bahwa dari segi stalistik
maupun tematik puisi Gus Mus menggunakan taktik yang sama dengan puisi mbeling, namun pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini
dikarenakan puisi Gus Mus tidak memiliki ideologi literer maupun ideologisme sebagaimana puisi mbeling yang dimotori oleh Remy Sylado.
Selain itu, puisi Gus Mus juga menyimpang dari kebiasaan gaya ungkap
103
Ruly Baharudin, Hidup dalam Sehari Kiai Haji Ahmad ‗Penyair Balsem‘ Mustofa
Bisri, Republika, edisi 23 Mei 1993, h. 4.
104
Labibah Zain dan Lathiful Khuluq eds, op.cit., h. 30.
puisi yang dipakai oleh penyair mapan, seperti Taufik Ismail, Goenawan Muhamad, dan WS. Rendra.
105
Gus Mus juga pernah menuturkan, bahwa ―saya tidak peduli orang mau mengatakan puisi saya itu apa. Tetapi, yang penting saya menulis puisi.
Tidak menjadi soal mau digolongkan puisi mbeling, kontemporer atau apa lagi. Urusan saya kan menuangkan apa yang ingin saya tuangkan ke dalam
puisi. Penggolongan itu urusan k ritikus sastra‖.
106
Gus Mus juga menanggapi komentar Sapardi Djoko Damono dengan dengan jujur. Ia
menuturkan, bahwa ―kepada merekalah sedikit banyak saya belajar menulis puisi. Justru mereka yang cermat meneliti karya-karya saya, insya Allah
saya akan dapat merasakan adanya berbagai pengaruh dari banyak penulis atau penyair lain di dalamnya. Ada puisi saya yang ‗berbau ka‘ab‘, ‗berbau
Ma‘arry‘. ‗berbau Khayyam‘, ‗berbau Busheiry‘, ‗berbau Iqbal‘, ‗‘berbau Ibn Shabaq‘, ‗berbau Sauqi‘, ‗berbau Goenawan‘, ‗berbau Emha‘, ‗berbau
Danarto‘, ‗berbau Taufiq‘, ‗berbau Sapardi‘, ‗berbau Zawawi‘, ‗berbau Yudistira‘...‖
107
Ciri khas dari puisi Gus Mus dapat dilihat pada pengungkapan masalah sosial dan spritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari dan
pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan Gus Mus cukup wajar dan sederhana, namun di balik kesederhanaan tersebut terdapat makna yang
lebih. Sajak-sajak Gus Mus juga banyak menggunakan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial, sehingga seolah sajak
tersebut bertemakan religi, padahal hakikatnya menyuarakan protes. Menyimak Gus Mus dan karya-karyanya, setidaknya terdapat
beberapa bentuk pembebasan yang cukup menarik. Arif Fauzi Marzuki, dalam harian Republika, mengungkapkan ada tiga bentuk pembebasan yang
105
Abdul Wachid B.S., K. H. A. Mustofa Bisri dan Puisi, Pikiran Rakyat, edisi 23 Oktober 2005, h. 26.
106
Tri Agus Kristanto, ―K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi Balsem‖, dalam Harian Kompas, edisi 31 Januari 1994, h. 20.
107
Abdul Wachid B.S., loc. cit.
dilakukan oleh Gus Mus, yaitu pembebasan terhadap tradisi keulamaan, pembebasan pemakaian bahasa, pembebasan teori sastra yang baku.
108
Pembebasan Gus Mus terhadap tradisi keulamaan dapat dilihat dari posisinya sebagai seorang ulama, namun muncul di tengah masyarakat
sambil membacakan puisi secara nakal, sarat banyolan, dan kritik. Sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh seorang ulama. Selanjutnya, pembebasan
yang dilakukan Gus Mus terhadap pemakaian bahasa dapat dilihat dari penggunaan bahasa pada setiap karya-karyanya. Ia tidak hanya
menggunakan diksi-diksi atau metafor-metafor yang puitis dan penuh imaji, melainkan menggunakan bahasa keseharian yang akrab di telinga
masyarakat. Hal itulah yang membuat jarak antara penyair dan penikmat sastra menjadi lenyap. Selain itu, dapat dilihat dari ketiadaan konsistensi
pengucapan dan bentuk-bentuk dalam puisi-puisi Gus Mus, sehingga dapat dikatakan bahwa Gus Mus telah melakukan pembebasan teori sastra yang
baku. Mengenai bentuk pengucapan yang dilakukan oleh Gus Mus dalam
setiap puisi-puisinya, Dami N Toda mengungkapkan: Pengucapan puisi K. H. A Mustofa Bisri tuntas mengungkapkan
kenyataan demi kenyataan yang merundung sejarah Tanah Air, terikut realistis lokasi tempat kejadian, objek penderita, dan nama-
nama tokoh lakon yang terlibat menindihnya berupa referensi tak putus untuk hikmah inti permenungan kemanusian hakiki universal
tanpa rasialis kulit luar membedakan suku, agama, partaigolongan keyakinan, Walaupun penyair masih tetap reservir referensi
apologis, namun di dalam harmoni unsur-unsur referen itu, puisi- puisinya justru semakin terukur rasa santun, jujur, luhur budi, tetapi
rendah hati, universal bergema di dalam kalbu dan mengendap.
109
108
Arief Fauzi Marzuki., loc. cit.
109
Dami N. Toda, ―Baca Puisi Gus Mus di Universitas Hamburg‖, dalam Harian Kompas, edisi 16 Januari 2000, h. 5.