Uji Stabilitas HASIL DAN PEMBAHASAN

49 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2 Uji Stabilitas

Evaluasi stabilitas pada proses pengembangan vaksin sangat sulit, berbeda dengan sediaan farmasi yang lain. Hal ini karena sediaan vaksin sangat sulit untuk dikarakterisasi yang berakibat analisis terkait standar pembandingnya kurang dapat terdefinisi dengan baik dan sulitnya pengawasan kualitas produk saat proses produksi. Sediaan vaksin dibandingkan sediaan farmasi yang lain lebih kompleks dan kurang dapat diprediksi, baik dalam hal proses maupun hasil produknya yang berakibat terjadinya variabilitas pada produk akhir selama siklus produksi. Pengembangan sediaan vaksin butuh model proses secara empiris untuk menghubungkan parameter input dan kualitas output, sehingga nantinya diperoleh ambang batas yang kuat dan jelas yang bermanfaat dalam hal pelaporan terkait perubahan saat proses produksi. Oleh karena itulah penelitian dalam hal vaksin dilakukan dengan menggunakan prinsip Quality by Design QbD. Prinsip ini merupakan suatu pendekatan sistematis dalam proses pengembangan suatu vaksin yang dimulai dengan penetapan tujuan utama, kemudian menegaskan pemahaman terhadap proses dan produk dan pemahaman terhadap pengendalian proses, berdasarkan ilmu pengetahuan yang tepat dan kualitas manajemen resiko. QbD mengidentifikasi karakteristik yang kritis pada kualitas produk, menerjemahkannya menjadi atribut produk sediaan yang harus dimiliki, dan menetapkan bagaimana parameter proses kritis tersebut dapat bervariasi secara konsisten menghasilkan produk sediaan dengan karakteristik yang diinginkan. Dalam penelitian ini diterapkan suatu desain parameter proses kritis untuk mengetahui stabilitas potensi antigen rotavirus dalam sediaan vaksin dalam rangka meningkatkan kualitas produk vaksin rotavirus, yakni kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan. Kriteria pengukuran dari uji stabilitas kombinasi tersebut adalah potensi viabilitas rotavirus yang dinyatakan dengan konsentrasi titer rotavirus FCFUmL dalam vaksin pada tiap waktu pengukuran hari yang berbeda, yaitu 42, 60, 90, dan 120 hari. Hal ini dilakukan agar interaksi antara kedua variabel tersebut terhadap stabilitas sediaan kandidat vaksin rotavirus selama waktu tertentu dapat dipahami dengan baik, karena variabel-variabel tersebut mempengaruhi kualitas produk, sehingga nantinya dapat ditetapkan kombinasi manakah yang paling tepat untuk menjaga potensi dan stabilitasnya. 50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk mengetahui pengaruh berbagai kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan vaksin terhadap stabilitas rotavirus dalam vaksin tersebut, dilakukan pengamatan viabilitas rotavirus dalam vaksin tersebut menggunakan metode immunofluorescence assay IFA. Viabilitas dalam konteks ini adalah kemampuan rotavirus tersebut untuk mempertahankan diri dan potensinya di dalam vaksin tersebut. Prinsip dari IFA pada penelitian ini adalah memberikan pewarnaan fluorescence kepada sel MA104 yang terinfeksi oleh rotavirus. Pewarnaan tersebut disebabkan karena penggunaan antiserum poliklonal rabbit anti SA11 antibodi primer dan antiserum IgG goat anti rabbit antibodi sekunder. Antiserum IgG goat anti rabbit adalah antibodi yang secara kimiawi terkonjugasi oleh pewarna fluorescent. Antiserum ini menempel pada antiserum poliklonal rabbit anti SA11 yang menempel pada rotavirus yang menginfeksi sel MA104. Mekanisme penempelan tersebut berdasarkan interaksi antigen-antibodi layaknya mekanisme kunci dan gembok. Dengan menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder pada penelitian ini menunjukkan bahwa metode IFA yang digunakan adalah metode tidak langsung indirect. Metode ini memiliki kepekaan yang lebih besar dibandingkan metode langsung direct karena terdapat amplifikasi sinyal yang disebabkan ada lebih dari satu antibodi sekunder yang menempel pada satu antibodi primer, sehingga menghasilkan pewarnaan yang terang dan jelas. Untuk memastikan validitas dari metode IFA, digunakan kontrol positif dan kontrol negatif. Kontrol positif yang digunakan adalah rotavirus murni sedangkan kontrol negatifnya adalah media murni. Kontrol positif bertujuan untuk memastikan bahwa sel monolayer MA104 dan media yang digunakan cocok dan berfungsi dengan baik pada rotavirus. Artinya, bila jumlah sel MA104 yang ber- fluorescence pada kontrol positif sangat banyak, maka metode IFA yang digunakan, sel MA104, dan media pada plate tersebut sudah sesuai dan data yang diperoleh dapat digunakan. Sedangkan kontrol negatif bertujuan untuk memastikan bahwa sel MA104 yang ber-fluorescence pada plate 96 well yang digunakan adalah benar-benar sel MA104 yang terinfeksi rotavirus. Artinya, bila pada plate kontrol negatif tidak terdapat sel MA104 yang ber-fluorescence, maka sel MA104 yang ber-fluorescence adalah benar sel MA104 yang terinfeksi 51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta rotavirus antibodi yang digunakan spesifik untuk rotavirus. Desain plate 96 well dalam metode immunofluorescence assay pada penelitian ini digambarkan pada tabel 4.4. Dengan dilakukannya pengamatan viabilitas pada selang waktu yang cukup lama dapat dipelajari berbagai hal di antaranya pengaruh freezing dalam hal menjaga proses dormansi rotavirus dalam selang waktu tertentu serta dalam hal pengaruh suhu penyimpanan terhadap viabilitas rotavirus tersebut. Uji stabilitas vaksin dengan mengamati viabilitas virus dalam vaksin dalam rentang waktu tertentu merupakan metode yang sangat efektif karena dapat mengatasi keterbatasan sampel dan menghasilkan data stabilitas yang cukup tinggi. Proses pengolahan data dilakukan secara statistika menggunakan ANOVA untuk membantu menarik kesimpulan kombinasi manakah yang paling tepat. Tabel 4.4 Desain plate 96 well pada immunofluorescence assay 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 A B C D E F G H Kontrol positif Kontrol negatif Sampel vaksin Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence dalam vaksin pada tiap waktu pengamatan ditunjukkan pada lampiran 1. Nilai tersebut kemudian dikonversikan ke dalam bentuk konsentrasi titer rotavirus dengan satuan FCFUmL yang kemudian diolah secara statistik menggunakan program SPSS 20.0. Seperti yang telah diduga, konsentrasi rotavirus yang diperoleh memiliki variasi yang tidak dapat diprediksi. Hasil perhitungan konversi jumlah sel MA104 yang ber- fluorescence menjadi konsentrasi rotavirus dalam vaksin ditunjukkan pada tabel 4.5 – 4.7. 52 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 4.5 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing -70 o C Keterangan Waktu hari Suhu ᵒC 42 60 90 120 2-8 1,02 x 10 6 1,41 x 10 6 9,83 x 10 5 6,96 x 10 5 2,74 x 10 6 1,13 x 10 6 1,47 x 10 6 1,29 x 10 6 -20 1,39 x 10 6 1,35 x 10 6 1,39 x 10 6 1,52 x 10 6 2,17 x 10 6 1,82 x 10 6 1,68 x 10 6 4,10 x 10 6 -70 1,93 x 10 6 9,63 x 10 5 2,21 x 10 6 1,31 x 10 6 1,47 x 10 6 2,27 x 10 6 2,13 x 10 6 2,50 x 10 6 Kontrol + Rotavirus 1,18 x 10 8 1,24 x 10 8 8,87 x 10 7 1,44 x 10 8 Tabel 4.6 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing -152 o C Keterangan Waktu hari Suhu ᵒC 42 60 90 120 2-8 5,53 x 10 5 1,06 x 10 6 7,78 x 10 5 8,19 x 10 5 6,86 x 10 5 1,25 x 10 6 1,35 x 10 6 7,58 x 10 5 -20 7,48 x 10 5 1,60 x 10 6 1,60 x 10 6 1,97 x 10 6 9,32 x 10 5 2,33 x 10 6 1,02 x 10 6 1,11 x 10 6 -70 9,32 x 10 5 1,64 x 10 6 2,87 x 10 6 1,47 x 10 6 1,04 x 10 6 1,88 x 10 6 3,19 x 10 6 2,17 x 10 6 Kontrol + Rotavirus 1,18 x 10 8 1,24 x 10 8 8,87 x 10 7 1,44 x 10 8 Tabel 4.7 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing nitrogen cair Keterangan Waktu hari Suhu ᵒC 42 60 90 120 2-8 1,58 x 10 6 1,86 x 10 6 9,63 x 10 5 7,99 x 10 5 1,66 x 10 6 1,17 x 10 6 9,42 x 10 5 1,84 x 10 6 -20 1,60 x 10 6 1,47 x 10 6 1,47 x 10 6 1,84 x 10 6 1,64 x 10 6 2,79 x 10 6 1,93 x 10 6 1,43 x 10 6 -70 1,62 x 10 6 2,27 x 10 6 2,50 x 10 6 1,41 x 10 6 1,04 x 10 6 1,86 x 10 6 3,89 x 10 6 1,66 x 10 6 Kontrol + Rotavirus 1,18 x 10 8 1,24 x 10 8 8,87 x 10 7 1,44 x 10 8 53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Berdasarkan data hasil konsentrasi rotavirus dalam vaksin FCFUmL dengan teknik freezing dan suhu penyimpanan yang berbeda terhadap waktu penyimpanan tabel 4.5 – 4.7, terdapat perbedaan kadar konsentrasi antigen rotavirus yang bervariasi. Dari data tersebut, dapat diketahui sementara bahwa terdapat kaitan perubahan nilai konsentrasi rotavirus terhadap perbedaan teknik freezing dan suhu penyimpanan vaksin tersebut, dan bukan terhadap waktu penyimpanan. Waktu penyimpanan diduga tidak memiliki kaitannya terhadap penurunan konsentrasi dikarenakan nilai konsentrasi dari data tersebut tidak secara konstan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Untuk mengetahui kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan vaksin yang paling baik selama waktu penyimpanan 120 hari dilakukan pengolahan data statistik dengan menggunakan disain two-way anova disain faktorial menggunakan analisis repeated measures, di mana pengolahan tersebut memisahkan waktu penyimpanan bukan sebagai variabel. Sebelum data konsentrasi diinput ke dalam program SPSS, terlebih dahulu nilai konsentrasi tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk logaritmanya agar nilai konsentrasinya bernilai kecil sehingga datanya mudah dibaca. Tabel sidik ragam dari hasil pengolahan data konsentrasi rotavirus secara statistik menggunakan analisis repeated measures pada program SPSS 20.0 dengan significance level 0.1 rentang kepercayaan 90 dapat terlihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Sidik ragam hasil pengolahan data analisis Repeated Measures Tests of Between-Subjects Effects Transformed Variable: Average Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Intercept 2740.586 1 2740.586 100665.407 .000 1.000 Suhu penyimpanan .559 2 .280 10.274 .005 .695 Freezing .169 2 .085 3.111 .094 .409 Storage Freezing .064 4 .016 .586 .681 .207 Error .245 9 .027 54 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bila melihat hasil pengolahan data secara statistik pada tabel 4.8 tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat interaksi perbedaan yang sangat signifikan antar tiap suhu penyimpanan nilai signifikansi 0,005 dan terdapat interaksi perbedaan yang cukup signifikan antar tiap teknik freezing nilai signifikansi 0,094. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang ditimbulkan baik oleh teknik freezing maupun suhu penyimpanan terhadap potensi rotavirus dalam sediaan kandidat formulasi vaksin ini. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa teknik freezing dan suhu penyimpanan tidak memiliki keterkaitan secara bersama terhadap pengaruhnya dengan potensi rotavirus. Hal ini ditunjukkan dari nilai signifikansi teknik freezing dan suhu penyimpanan terhadap potensi rotavirus sebesar 0,681 tidak signifikan. Untuk mengetahui kestabilan sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap stabilitas potensi, dilakukan pengamatan perubahan konsentrasi rotavirus selama waktu penyimpanan. Hal ini dapat diketahui dengan mengolah data secara statistika menggunakan analisis Repeated Measures, mengelompokkan data sesuai dengan teknik freezing-nya masing-masing dan menjadikan konsentrasi potensi rotavirus dalam waktu 42, 60, 90, dan 120 hari dipisahkan sebagai suatu faktor yang dibandingkan dengan suhu penyimpanan. Hasil data tersebut terdapat pada lampiran 2. Dari hasil pengolahan data tersebut dapat diketahui bahwa pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus yang di-freezing pada suhu -70 o C, suhu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap potensi rotavirus. Pada teknik freezing ini juga diperoleh hasil bahwa waktu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan, artinya sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing suhu -70 o C pada suhu penyimpanan manapun masih dapat mempertahankan kestabilan potensinya. Pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing -152 o C, suhu penyimpanan pada suhu 2 – 8 o C memiliki perbedaan yang signifikan dengan suhu penyimpanan -20 o C dan -70 o C, dengan nilai potensi paling rendah. Terdapat perbedaan yang signifikan pada waktu peyimpanan antara 42 hari dengan 60 hari, namun antar-hari berikutnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini masih menunjukkan bahwa kandidat formulasi vaksin rotavirus 55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan teknik freezing -152 o C pada suhu penyimpanan manapun masih dapat mempertahankan stabilitasnya. Sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair, suhu penyimpanan pada suhu 2 – 8 o C memiliki perbedaan yang signifikan dengan suhu penyimpanan -20 o C dan -70 o C, dengan nilai potensi paling rendah. Waktu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan, artinya sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair pada suhu penyimpanan manapun dapat mempertahankan kestabilannya. Dari hasil uraian yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa seluruh sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus yang dibekukan pada semua teknik freezing dapat mempertahankan stabilitas potensi rotavirus selama waktu penyimpanan 120 hari baik pada suhu penyimpanan 2 – 8 o C, -20 o C, dan -70 o C. Namun dalam hal perbandingan tingkat potensi yang dimiliki masing-masing suhu penyimpanan dan tingkat potensi yang dimiliki tiap teknik freezing masih belum dapat disimpulkan dengan data tersebut, sehingga dilakukan kembali pengolahan data secara statistik untuk mengetahui kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan yang memiliki potensi paling tinggi. Dilakukan pengolahan seluruh data menggunakan analisis Repeated Measures dan dijabarkan kembali perbandingan konsentrasi rotavirus antar tiap teknik freezing dan antar tiap suhu penyimpanan untuk menentukan kombinasi yang paling tepat. Data hasil statistik ini dapat dilihat pada lampiran 3. Dari data statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara teknik freezing suhu -152 o C dengan kedua teknik freezing yang lain, di mana teknik freezing suhu -152 o C memiliki nilai konsentrasi rotavirus yang paling rendah. Sedangkan pada suhu penyimpanan, terdapat perbedaan yang signifikan antara suhu penyimpanan 2 – 8 o C dengan kedua suhu penyimpanan yang lain, di mana suhu penyimpanan 2 – 8 o C memiliki nilai konsentrasi rotavirus paling rendah. Hasil yang telah diuraikan tersebut dipertegas kembali dengan gambaran grafik hubungan antara teknik freezing, suhu penyimpanan, dan waktu penyimpaan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap viabilitasnya yang dapat dilihat pada gambar 4.1 – 4.3. Ketiga 56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta grafik tersebut dibuat dengan memplotkan nilai rata-rata konsentrasi rotavirus untuk mempermudah melihat perbedaan antar tiap perlakuan. Grafik lain yang menggambarkan konsentrasi rotavirus pada tiap waktu penyimpanan dapat dilihat pada lampiran 4. Gambar 4.1 Grafik hubungan teknik freezing dan suhu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya Gambar 4.2 Grafik hubungan teknik freezing dan waktu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya 57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 4.3 Grafik hubungan suhu penyimpanan dan waktu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, stabilitas yang harus dicapai oleh kandidat formulasi vaksin rotavirus dalam penelitian ini dianalisis setidaknya meliputi tiga hal, diantaranya stabilitas terhadap suhu yang sangat rendah, freezing stress, dan thawing pencairan saat akan digunakan. Oleh karena itu, upaya utama selain menentukan formulasi optimum dari sukrosa dalam hal ini sebagai cryoprotectant yang berperan membantu menjaga stabilitas vaksin terhadap ketiga hal tersebut adalah menentukan teknik freezing yang paling optimum yang nantinya berpengaruh pula pada spesifikasi suhu penyimpanan bila dikaitkan dengan pencairan yang merupakan proses yang harus terjadi nantinya. Teknik freezing akan menentukan karakteristik dari kristal es yang dihasilkan. Bila ditinjau dari segi teknik freezing, sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair dan teknik freezing hingga suhu -70 o C memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik freezing -152 o C. Hal ini dapat dipahami dengan mengetahui karakteristik dari kristal es yang dihasilkan dari tiap teknik freezing. Teknik freezing -152 o C merupakan teknik slow freezing yang menghasilkan karakteristik extracellular ice terbentuknya kristal di luar sel dengan ukuran kristal es yang besar. Sedangkan pada teknik freezing -70 o C rapid freezing dan teknik freezing menggunakan nitrogen cair veryultra rapid freezing, keduanya menghasilkan karakteristik 58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta intracellular ice terbentuknya kristal di dalam sel dengan ukuran kristal es yang besar pada teknik freezing -70 o C dan ukuran kristal es yang sangat kecil pada teknik freezing menggunakan nitrogen cair. Untuk membantu melihat perbedaan karakteristik intracellular dan extracellular ice tersebut, karakteristik ini diilustrasikan pada gambar 4.4. [Sumber: Mazur, 1984] Gambar 4.4 Karakteristik intracellular ice dan extracellular ice pada sel Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada proses rapid freezing dan very rapid freezing, teknik ini selain menghasilkan karakteristik intracellular ice juga menghasilkan extracellular ice. Bila mengasumsikan rotavirus yang terkandung dalam vaksin tersebut sebagai sel, karakteristik intracellular ice ditinjau dari kemampuan bertahan hidup antigen sebenarnya tidak baik karena intracellular ice dapat menimbulkan kerusakan pada bagian membran dan sitoplasma secara letal dan selain itu kemampuan viabilitasnya dilaporkan dipengaruhi oleh laju pencairan, di mana pada karakteristik intracellular ice, laju pencairan yang cepat menghasilkan konsentrasi sel atau antigen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju pencairan lambat, hal sebaliknya terjadi pada karakteristik extracellular ice Mazur, 2004. Karena proses pencairan yang dilakukan sebelum pemberian vaksin nantinya adalah proses pencairan lambat maka dengan demikian seharusnya slow freezing adalah teknik yang efektif dalam kasus ini. 59 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Namun hal tersebut tidak dapat diputuskan secara langsung, artinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam menentukan teknik yang tepat, karena kondisi pada setiap jenis antigen atau sel berbeda-beda terhadap karakteristik intracellular dan extracellular ice, dan kedua karakteristik ini memang memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Misalnya vaksin dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair. Walaupun karakteristik es yang dihasilkan adalah intracellular ice namun kristal extracellular ice yang dihasilkan sangat kecil sehingga dalam proses freezing selama penyimpanannya, resiko terjadinya kerusakan dan kematian rotavirus semakin kecil karena minimnya efek langsung dari es yang dihasilkan dan antigen atau sel yang terkandung tidak mengalami dehidrasi akibat peristiwa osmotik seperti pada proses slow freezing. Namun secara termodinamika, karakteristik intracellular ice dengan ukuran yang sangat kecil relatif tidak stabil dibandingkan dengan kristal es dengan ukuran yang besar, sehingga konsekuensi yang muncul adalah terjadinya kecenderungan kristal- kristal es kecil yang terbentuk tersebut mengalami agregasi membentuk kristal besar selama proses pencairan rekristalisasi. Korelasi peristiwa rekristalisasi intracellular ice ini juga telah diamati pada sel hidup lain, diantaranya ragi, sel tumbuhan tingkat tinggi, dan kultur sel jaringan hamster dengan sama-sama menggunakan teknik freezing nitrogen cair -196 o C di bawah mikroskop dan kematian sel pun terjadi secara signifikan Mazur, 1984. Oleh karena itu, dalam kasus very rapid freezing, peristiwa rekristalisasi yang terjadi selama proses pencairan lah yang menjadi permasalahannya, apakah rotavirus di dalam vaksin tersebut akan dapat bertahan hidup selama proses pencairan berlangsung dan hasil yang diperoleh akan lebih baik dibandingkan dengan teknik freezing yang lain. Begitu pula pada teknik freezing -70 o C yang diduga sama-sama menghasilkan karakteristik intracellular ice seperti pada freezing menggunakan nitrogen cair. Pada teknik freezing ini, kristal es yang dihasilkan lebih stabil ukurannya yang besar dibandingkan dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair sehingga proses rekristalisasi minim terjadi, namun kerusakan pada bagian membran dan sitoplasma secara letal sebagai konsekuensi dari karakteristik intracellular ice masih dapat mungkin terjadi. Selain itu kristal es 60 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan ukuran besar tersebut dapat melukai antigen atau sel hidup di dalamnya, sehingga walaupun terdapat sukrosa sebagai cryoprotectant, kristal es tersebut masih dapat melukai rotavirus yang terdapat di dalamnya terutama ketika proses pencairan terjadi. Berbeda yang terjadi pada teknik freezing -152 o C, di mana diduga menghasilkan karakteristik extracellular ice. Walaupun karakteristik ini dapat meningkatkan viabilitas suatu antigen atau sel menghindari terjadinya intracellular ice terutama saat proses pencairan vaksin, konsekuensinya adalah terjadinya kerusakan sebagai akibat langsung dari es berukuran besar yang dihasilkan di dalam vaksin tersebut dan terjadinya perubahan koefisien osmotik yang disebabkan dari penurunan potensi kimia pada air dalam sel akibat perubahan konsentrasi larutan eksternal hasil konversi dari air menjadi es, sehingga sel tersebut mengalami dehidrasi hal ini terjadi pada sel, di mana terjadinya penyusutan sel secara osmotik sebagai respon perubahan konsentrasi. Kemudian, terpaparnya sel atau antigen tersebut terhadap perubahan konsentrasi zat terlarut yang terjadi di dalam dan luar sel atau antigen juga dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian sel atau antigen sering disebut kerusakan solution-effect Mazur, 2004. Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing yang menghasilkan karakteristik intracellular ice rapid freezing dan very rapid freezing memiliki potensi lebih tinggi dibandingkan teknik slow freezing yang tidak mengalami karakteristik intracellular ice. Hal ini dikaitkan dengan sukrosa sebagai cryoprotectant untuk melindungi antigen di dalam larutan yang akan dibekukan pada suhu yang sangat rendah. Sukrosa dalam formulasi sediaan kandidat vaksin ini mampu melindungi rotavirus dengan membentuk lapisan monolayer atau mekanisme lainnya saat proses pembekuan, artinya sukrosa diduga dapat melindungi rotavirus dari terjadinya karakteristik intracellular ice, sehingga es yang terdapat di dalam rotavirus dapat minim terjadi. Berbeda yang terjadi pada teknik slow freezing. Teknik ini memang tidak mengalami intracellular ice, namun efek dehidrasi dan perubahan konsentrasi zat terlarut di dalam dan luar sel 61 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masih dapat terjadi karena laju pembekuan yang lambat, sehingga mekanisme kerusakan terkait hal tersebut kemungkinan cukup besar. Sedangkan untuk pengaruh suhu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus ini diduga melibatkan proses stabilitas pada saat pencairan dan sangat bergantung pada karakteristik sel atau antigen, dalam hal ini adalah rotavirus. Alasan ini diperkuat dengan adanya data statistika yang menunjukkan bahwa ada interaksi yang sangat signifikan antara suhu penyimpanan dengan waktu penyimpanan. Hal ini dapat dilihat pula pada grafik 4.1 dan 4.3, bahwa suhu penyimpanan 2 – 8 o C adalah suhu penyimpanan dengan nilai konsentrasi rotavirus paling rendah dibandingkan dengan suhu penyimpanan yang lain. Selain karena rotavirus yang terkandung di dalam vaksin tersebut sudah mengalami kerusakan baik kerusakan reversible ataupun irreversibleletal akibat hubungan antara freezing dan thawing pencairan yang dialami, suhu penyimpanan ini juga menyebabkan rotavirus hidup tersebut tidak lagi dalam keadaan dorman. Hal ini berbeda dengan suhu penyimpanan -20 o C dan -70 o C di mana vaksin tersebut masih dalam keadaan beku, sehingga masih dapat mempertahankan status dorman dari rotavirus yang terkandung di dalamnya. Hasil statistika dan gambaran grafik tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat batas suhu penyimpanan di mana suhu tersebut tidak mengalami penurunan potensi yang signifikan. 62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Teknik freezing dan suhu penyimpanan berpengaruh terhadap potensi rotavirus di dalam sediaan kandidat formulasi vaksin ini pada waktu penyimpanan 42, 60, 90, dan 120 hari. 2. Semua desain kombinasi antara teknik freezing freezing suhu -70 o C, freezing suhu -152 o C, dan freezing menggunakan nitrogen cair dengan suhu penyimpanan suhu 2 – 8 o C, -20 o C, dan -70 o C yang digunakan pada penelitian ini mampu mempertahankan stabilitas potensi produk kandidat vaksin rotavirus selama waktu penyimpanan 120 hari. 3. Kandidat vaksin rotavirus yang dibekukan menggunakan teknik freezing suhu -70 o C dan teknik freezing menggunakan nitrogen cair memiliki hasil potensi yang baik ditinjau dari viabilitas rotavirus. Sedangkan teknik freezing suhu -152 o C merupakan teknik freezing yang menghasilkan nilai potensi rotavirus paling rendah diantara kedua teknik freezing yang lain. 4. Dalam hal metode penyimpanan, perlakuan penyimpanan pada suhu -20 o C dan suhu -70 o C adalah metode penyimpanan yang baik untuk menjaga stabilitas kandidat vaksin rotavirus ini. Sedangkan suhu penyimpanan 2 – 8 o C merupakan metode penyimpanan yang menghasilkan nilai potensi rotavirus paling rendah dibandingkan dengan metode penyimpanan pada suhu yang lain. 5. Kombinasi terbaik dari teknik freezing dan suhu penyimpanan kandidat vaksin rotavirus ini adalah teknik freezing menggunakan nitrogen cair atau teknik freezing suhu -70 o C dengan suhu penyimpanan vaksin tersebut pada -20 o C atau -70 o C.

5.2 Saran

Secara manufaktural, proses produksi sediaan kandidat vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair skala besar dapat mungkin