Protein Stabilizer TINJAUAN PUSTAKA

34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik dalam penempelan dengan antigen maupun dengan antibodi sekunder Robinson, et al., 2009. Secara luas, metode fluoresensi tidak langsung lebih banyak digunakan dibandingkan imunofluoresensi langsung. Aplikasi imunofluoresensi langsung kebanyakan digunakan pada kasus-kasus tertentu, misalnya digunakan untuk lokalisasi IgG dalam kompleks imun pada biopsi kulit bagian dermal-epidermal junction dari pasien yang menderita lupus eritematosus sistemik Jennet dan Wick, 1988.

2.7 Protein Stabilizer

Osmolit memiliki kemampuan untuk melindungi komponen seluler terhadap terjadinya denaturasi akibat pengaruh lingkungan. Kemampuan dari suatu bahan osmolit tersebut untuk melindungi protein merupakan pengetahuan yang berharga untuk mengatasi permasalahan stabilitas protein, yang salah satunya berkaitan dengan bioteknologi dan biofarmasetika. Salah satu golongan osmolit alami yang dapat berfungsi sebagai pelindung protein adalah golongan gula atau poliol, seperti sukrosa, trehalosa, sorbitol, dll Bolen, D.W, 2001. Gula atau poliol banyak digunakan sebagai protein stabilizer di dalam larutan atau selama proses freeze-thawing dan freeze-drying. Keduanya baik digunakan sebagai cryoprotektan dan lyoprotektan. Tingkat dari stabilisasi yang dimiliki oleh gula dan poliol secara umum bergantung pada konsentrasinya Street, 2006. Dari hasil penelitian Tanaka et al 1991, sakarida dapat memproteksi protein dengan langsung berinteraksi dengan protein dan konsentrasi dari sakarida yang cukup dapat membentuk lapisan monomolekular pada permukaan protein untuk mencapai stabilitas dari protein. Namun, peningkatan konsentrasi gula atau poliol sampai melewati batas atau limit stabilisasi akan menyebabkan terjadinya destabilisasi protein selama freeze-drying. Tingkat proteksi protein yang dimiliki oleh gula atau poliol yang berbeda dapat mirip atau berbeda secara signifikan, tergantung dari komposisi formulasi, konsentrasi, dan sifat fisik stabilizer, dan kompatibilitasnya dengan protein. Dalam banyak kasus, disakarida merupakan stabilizer yang paling efektif dan umum digunakan diantara gula dan poliol. Sedangkan diantara disakarida, sukrosa 35 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan trehalosa merupakan eksipien yang sering digunakan. Ward et al., 1999; Change et al., 1996. Sukrosa -D-fructofuranosyl-α-D-glucopyranoside berbentuk kristal tidak berwarna, serbuk putih kristalin, tidak berbau, memiliki rasa yang manis, dan biasa digunakan dalam membuat gula-gula manisan; coating agent; bahan granulasi; suspending agent; pemanis; pengikat pada tablet; pengisi pada tablet dan kapsul; therapeutic agent; viscosity-increasing agent. Sukrosa larut dalam air, sukar larut dalam ethanol, dan praktis tidak larut dalam kloroform. Sukrosa memiliki kestabilan yang baik pada suhu ruang dan memiliki tingkat kelembaban yang cukup. Sukrosa dapat mengalami karamelisasi bila mencapai titik didihnya, yakni pada suhu diatas 160 o C Waide dan Waller, 1994. [Sumber: Waide, A. dan Waller, P. J., 1994] Gambar 2.7 Struktur kimia sukrosa Sukrosa dapat menghambat degradasi kimia hasil selama penyimpanan pada suhu 8, 30, dan 50 o C Change et al., 1996. Sukrosa merupakan stabilizer yang baik bila dikaitkan dengan protein, mekanisme degradasi, dan penyimpanan dibandingkan dengan trehalosa Miller et al., 1997. Mekanisme sukrosa dalam upaya protein stabilizer adalah dengan membentuk formasi kaca amorf amorphous glass selama proses freezing. Amorphous glass merupakan bentuk viskositas ekstrim dari keadaan seperti kaca yang dapat meningkatkan stabilitas protein dengan cara memperlambat interkonversi dari konformasi substrat dan 36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta konformasi relaksasi dari protein Hagen et al., 1995, 1996. Bahan amorf disini secara struktural lebih mirip bentuk liquid dibandingkan dengan bentuk kristal. Kaca dalam mekanisme ini dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu mudah pecah fragile dan kuat strong. Sukrosa memiliki bentuk kaca tipe mudah pecah, dimana pada tipe ini, viskositas akan meningkat lebih mendalam dari pada kaca tipe kuat bila diberikan temperatur dibawah temperatur transisi kaca. Dengan alasan demikian, maka eksipien yang membentuk kaca tipe mudah pecah ini memiliki kemampuan sebagai penstabil protein yang lebih baik Angell, 1995. [Sumber: Predoi, 2010] Gambar 2.8 Scanning Electron Microscope film tipis lapisan monolayer sukrosa Selain itu, mekanisme sukrosa lainnya dikenal dengan hipotesis penggantian air, dimana mekanisme ini melibatkan formasi dari ikatan hidrogen antara protein dengan sukrosa pada saat akhir proses pengeringan untuk memenuhi ikatan hidrogen gugus polar pada permukaan protein sebagai pengganti dari air yang hilang. Mekanisme ini terjadi pada sediaan solid Crowe et al., 1993; Allison et al., 1998. Untuk menjaga kestabilan protein dalam bentuk solid agar dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, sukrosa dapat menghambat terjadinya agregasi secara signifikan dan menghambat terjadinya degradasi kimia karena dapat mengurangi deamidasi yang terjadi Tanaka et al., 1991. Mekanisme baru terkait sukrosa lebih diperjelas oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Street, T., et al 2006. Dalam kesetimbangan reaksi protein 37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta folding, unfolded U ↔ native N, osmolit yang memiliki sifat proteksi sukrosa dapat menekan kesetimbangan kearah N. Mereka mengungkapkan bahwa mekanisme osmolit dalam menginduksi stabilitas dari protein ada kaitannya dengan transfer energi bebas protein backbone melalui air ke larutan airosmolit. Model prediksi ini juga menjelaskan bahwa perubahan energi bebas dari foldingunfolding secara liniear bergantung pada konsentrasi osmolit. Hasil kalkulasinya menggunakan model yang berkorelasi juga menunjukkan hasil yang sangat baik dan menggambarkan relevansi antara air-osmolit-backbone dalam model tersebut, sehingga pada akhirnya diprediksi bahwa osmolit dapat secara khusus terakumulasi disekeliling protein. 38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2013 di Laboratorium Research and Development PT Biofarma, Bandung, Indonesia. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 5 bulan terhitung dari bulan Januari 2013.

3.2 Alat Penelitian

Vial, Laminar Air Flow LAF cabinet, inkubator, inkubator CO 2 , kulkas, freezer, ultra-low freezer, syringe filter Filter Acrodisc, plate 96 well, mikroskop, mikroskop inverted, mikroskop fluorescence, pipet mikro, pipet mikro multi-channel, pipet tip, magnetic stirrer, tanki nitrogen cair, hemocytometer, T- flasks, ice bath, dan peralatan-peralatan gelas yang umum digunakan di laboratorium.

3.3 Bahan Penelitian

Bulk vaksin rotavirus beku, sukrosa steril, nitrogen cair, FTM Fluid Thioglycolate Medium steril dan SCDM Soybean Casein Digest Medium steril yang diperoleh dari bagian media PT Biofarma, sel MA 104 ginjal monyet, media pertumbuhan sel DMEM Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium, FBS Fetal Bovine Serum, antibiotik, dan NaHCO 3 , aseton 80, alkohol 70, tripsin, trypan blue, antibodi poliklonal rabbit anti SA 11, antibodi IgG goat anti rabbit, dan PBS Phosphate Buffered Saline.

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pembuatan Sediaan Kandidat Vaksin Rotavirus

Dilakukan proses sterilisasi pada alat gelas, vial, dan magnetic stirrer dengan menggunakan autoklaf suhu 121 o C selama 15 menit. Mencairkan bulk vaksin beku hasil pemanenan menggunakan water bath, kemudian dimasukkan kedalam gelas beker sebanyak 150 mL. Selanjutnya, virus stabilizer sukrosa dengan konsentrasi X sebanyak 57,7 mL ditambahkan dan diaduk dengan bantuan