1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia memiliki wilayah pesisir dan laut yang cukup luas yaitu sekitar 67 dari total luas wilayah. Namun demikian perhatian pemerintah Indonesia
terhadap wilayah pesisir dan laut baru berkembang sejak tahun 1988, yaitu sejak diselesaikannya studi yang berjudul “Indonesia’s Marine Environment : A
Summary of Policies, Strategies, Actions and Issues” kerjasama BAPPENAS dan
CIDA Bappenas, 2004. Sejak saat itu, sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah dan masyarakat Indonesia
serta masyarakat Internasional, sehingga pembangunan perikanan dan kelautan menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dan diharapkan dapat menjadi
sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Produksi perikanan selama ini telah menjadi sumber protein utama
masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsinya senantiasa meningkat setiap tahun. Dengan luas wilayah teritorial lautan 3,1 juta kilometer persegi, Indonesia
mempunyai potensi lestari sumberdaya perikanan tangkap sebesar 6,2 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan sebesar 3,6 juta ton Bappenas, 2004. Menurut
Kusumastanto 2001 pada tahun 1998 sektor kelautan telah memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto sebesar 20,06. Peran yang besar tersebut
menggambarkan potensi perikanan dapat dijadikan sebagai sektor unggulan dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Secara nasional berdasarkan potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, pada umumnya dapat dikatakan bahwa perairan teritorial di kawasan Barat
Indonesia yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Cina Selatan telah menunjukkan gejala tangkap lebih Nikijuluw, 2002. Terjadinya tangkap lebih
di suatu wilayah perairan selain disebabkan oleh jumlah nelayan dan armada penangkapan yang semakin banyak juga dapat disebabkan oleh penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti jaring trawl Dwiponggo,1988. Teknologi trawl telah dikenal dan digunakan di Indonesia untuk
menangkap udang secara komersial sejak tahun 1969 Manggabarani, 2003. Karena sangat efektif dan menguntungkan sehingga alat tangkap ini berkembang
2 dengan pesat dan diusahakan oleh pengusaha-pengusaha perikanan di wilayah
perairan Selat Malaka, Selat Makasar, Laut Arafura dan Pantai Utara Jawa Nikijuluw,2002. Pesatnya perkembangan alat tangkap tersebut telah memicu
timbulnya konflik antara nelayan skala kecil dengan pemilik trawl, karena terjadi kompetisi daerah penangkapan Kusnadi, 2002. Selain masalah konflik sosial
teknologi trawl juga memberikan dampak negatif karena rendahnya selektivitas alat tangkap ini sehingga menghasilkan tangkapan sampingan dalam jumlah yang
lebih besar dibandingkan hasil tangkapan target yaitu udang, tertangkapnya ikan- ikan keciljuvenil yang belum masuk pada nilai ekonomis pasar serta degradasi
sumberdaya perikanan Naamin et al., 1983; Nikijuluw,2002 dan Ditjen Perikanan Tangkap, DKP., 2005.
Akibat dari permasalahan tersebut pemerintah mengeluarkan Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan alat tangkap trawl di seluruh perairan
Indonesia . Berdasarkan Keppres tersebut maka hanya alat tangkap pukat udang yang dilengkapi dengan alat penyaring hasil tangkapan sampingan by-catch
reduction device, BRDs yang hanya diizinkan beroperasi di wilayah perairan
Arafura dan sekitarnya. Sejak terbitnya Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring
trawl , telah dilakukan berbagai modifikasi alat tangkap trawl dan sejenisnya oleh
nelayan di lapangan, baik nelayan skala industri maupun skala kecil. Berbagai jenis alat tangkap trawl modifikasi tersebut antara lain : pukat ikan, pukat udang,
jaring arad, cantrang, dogol, lampara dasar dan sebagainya. Sebagai akibat, Keppres tersebut dinilai tidak efektif lagi. Jika ditinjau dari desain dan teknik
pengoperasiannya alat tangkap hasil modifikasi merupakan trawl PKSPL–IPB, 2002. Di pantai Utara Jawa dikenal dengan nama jaring arad dan digunakan oleh
nelayan mulai dari Cirebon sampai Tegal Manadiyanto et al., 2000. Jaring arad yang dioperasikan di pantai Utara Tegal berdasarkan metode
penangkapan termasuk alat tangkap bottom trawl, yaitu alat tangkap yang pengoperasiannya dilakukan dengan cara diseret di atas dasar perairan von
Brandt, 1984. Menurut nelayan setempat jaring arad lebih menghasilkan produktif dibandingkan dengan penggunaan alat tangkap lain.
3 Pengoperasian alat tangkap jaring arad di Kota Tegal di sekitar wilayah
pesisir pada jalur I A 0-3 mil bersama-sama dengan alat tangkap lain yang sifatnya tidak aktif tentunya dapat berdampak buruk karena akan memicu
timbulnya konflik pemanfaatan. Hal ini didasarkan pada potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di pantai Utara Jawa telah mengalami tangkap
lebih over fishing. Kondisi ini harus segera diantisipasi oleh pemerintah Kota Tegal yaitu dengan melakukan pengaturan melalui pengelolaan sumberdaya
perikanan di wilayah pesisir dan laut secara baik dan benar dengan berazaskan pada kelestarian sumberdaya dan keberlanjutan kegiatan perikanan.
1.2 Perumusan Masalah