Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas
26 negatif terhadap perilaku siswa. Meskipun ada pembenaran untuk menggunakan
teknik modifikasi perilaku pada situasi tertentu, guru biasanya hanya mengatasi perilaku pada saat itu dan bukan penyebabnya. Jadi, apabila tidak ada usaha dari
diri siswa mengatasi masalahnya yang mendasar, maka rencana modifikasi perilaku pun menjadi tidak efektif lagi.
Eileen S. Flicker Jannet Andron Hoffman 2006: 12 menambahkan bahwa faktor lingkungan meliputi pengaruh pergaulan, lingkungan tempat
tinggal yang buruk, kemiskinan, kekerasan dalam masyarakat dan di media, serta terorisme dan perang. Faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku mengganggu
adalah gender jenis kelamin. Pia Todras 2007: 7 menegaskan bahwa perbedaan jenis kelamin secara konsisten muncul ketika menguji tentang perilaku
mengganggu siswa. Anak laki-laki sering dianggap lebih mengganggu dibandingkan anak perempuan. Satu penjelasan yang mungkin dari fenomena ini
adalah bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki gejala yang berbeda yang mengacu pada perilaku mengganggu. Anak laki-laki pada umumnya
menunjukkan perilaku eksternal seperti mencuri, berbohong, berkelahi, dan merusak. Sedangkan anak perempuan umumnya menampilkan perilaku internal
seperti cemas, malu, menarik diri dari lingkungan, hipersensitive, dan mengeluh tentang fisiknya. Orang dewasa sering lebih menyadari kelakuan buruk anak laki-
laki karena perilaku tersebut mengganggu, dan mereka mungkin mengabaikan kelakuan tidak baik yang ditunjukkan anak perempuan karena tidak agresif dan
mengganggu.
27 Dugaan orangtua, guru, dan teman sebaya juga dapat menjelaskan
beberapa perbedaan gender atau jenis kelamin dalam perilaku yang dirasakan. Perilaku yang dianggap sesuai untuk satu gender dapat dianggap tidak sesuai
bagi gender yang lain. Anak perempuan dikenal lebih pasif dan memenuhi tuntutan. Sedangkan anak laki-laki biasanya dikenal lebih aktif dan agresif
dibanding anak perempuan, dan lebih memungkinkan untuk melanggar norma yang berlaku di masyarakat. Mungkin juga sekolah membentuk norma-norma
perilaku dan kebijakan-kebijakan yang cenderung lebih sering dilanggar oleh anak laki-laki, dan oleh karena itu anak laki-laki lebih dikenal sebagai penentang
aturan. Berbeda dengan kecenderungan umum, Webster dan Stratton 1999: 13
berpendapat bahwa orangtua cenderung berpersepsi berbeda pada perilaku mengganggu antar gender atau jenis kelamin. Menurut Webster dan Stratton,
ayah cenderung lebih toleran terhadap sikap agresi pada anak laki-laki, tetapi mempersepsikan masalah pada perilaku internal anak perempuan. Sedangkan ibu
dan guru tidak mempersepsikan perilaku internal anak perempuan sebagai sebuah masalah. Salah satu alasan bahwa anak perempuan tidak diakui memiliki
masalah perilaku mungkin karena ayah hanya menghabiskan sedikit waktu dengan anak perempuannya, dan ibu mungkin mungkin mengabaikan perilaku
tersebut karena mengganggapnya sebagai hal yang normal terjadi. Penjelasan lain mengenai perbedaan gender atau jenis kelamin adalah
bahwa anak laki-laki biasanya lebih sering mendapatkan hukuman fisik daripada
28 anak perempuan. Anak perempuan biasanya diberi nasehat dengan lebih lembut
dan tidak kasar. Jadi, ada kemungkinan besar perilaku-perilaku ekstenal yang ditunjukkan anak laki-laki terkait dengan perlakuan agresif yang mereka
dapatkan daripada perempuan Webster Stratton, 1999: 14. Dari paparan beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku mengganggu di kelas dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu meliputi emosional yang mencakup di dalamnya kepribadian temperamental,
kemarahan, penentangan, ketegasan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, kebosanan, overstimulasi, kebutuhan akan perhatian, kecemburuan, dan rendah diri. Faktor
fisiologis yang mencakup di dalamnya gizi buruk, kelaparan, kelelahan, penyakit, dan alergi. Sedangkan faktor dari luar individu meliputi faktor dari dalam rumah,
masyarakat, dan sekolah yang mencakup didalamnya perceraian, kemiskinan, kurangnya keterlibatan orang tua, kurangnya pengawasan, kurangnya perhatian
dan dorongan, penelantaran orangtua, kontrol berlebihan, hukuman fisik, pengaruh pergaulan, lingkungan tempat tinggal yang buruk, kekerasan dalam
masyarakat dan di media, terorisme dan perang dan gender jenis kelamin.