21 ketidaksopanan di sekolah maka akan muncul berbabai permasalahan, yaitu
sebagai berikut : membeda-bedakan teman, perkelahian, keterlambatan masuk kelas, menunjukkan diskriminasi gender jenis kelamin, pembolosan, penolakan
untuk berpartisipasi dalam aktivitas kelas, dan penggunaan kata-kata yang kotor. Division of Student Affairs University of Southern California 2004: 2
dalam booklet yang diterbitkannya dengan judul Disruptive and Threatening Student Behavior menjelaskan bahwa perilaku mengganggu dan mengancam
terbagi menjadi 3 tingkatan yang berbeda, yaitu : a. Tingkat pertama, yang adalah masalah yang tidak serius, mencakup setiap
situasi yang dapat ditangani secara informal antara guru dan siswa, yang mengarah ke penyelesaian masalah yang cepat.
b. Tingkat kedua melibatkan masalah yang sedang berlangsung, atau kejadian yang lebih serius di dalam kelas. Dalam situasi ini, Guru dapat berkonsultasi
dengan Bidang Kesiswaan. Jika diperlukan, tim penilai dari kesiswaan akan membantu guru dalam mengevaluasi dan menyelesaikan situasi.
c. Tingkat Ketiga adalah yang paling serius dan paling berbahaya dari beberapa tingkat perilaku mengganggu yang lain. Jika terjadi perilaku pada tingkat ini,
maka guru harus segera menghubungi Departemen Keamanan Publik. Dalam pembahasan yang sama, Howard Seeman 2009: 18 menyebutkan
beberapa perilaku mengganggu di kelas secara umum, diantaranya adalah tidak menghormati hak-hak dari sudut pandang siswa lain, memonopoli diskusi,
berbicara ketika guru atau siswa lain sedang berbicara, mengajukan pertanyaan
22 konstan yang mengganggu pengajaran guru, tidur atau melamun di kelas,
membaca atau membahas topik lain saat guru mengajar, makan di kelas, membuat kebisingan dengan kertas atau dengan menekan pena atau pensil,
datang ke kelas terlambat atau meninggalkan kelas lebih awal, menggunakan pager, ponsel, dan iPod di dalam kelas, terlalu banyak menuntut waktu dan
perhatian dari guru, kebersihan pribadi yang buruk misalnya, bau badan yang berlebihan, menulis pesan teks satu sama lain selama guru mengajar.
Pada kategori yang berat, perilaku menganggu selain merugikan guru juga merugikan siswa lain dan pelaku itu sendiri. Menurut Reed dan Kirkpatrick
Pia Todras, 2007: 5, guru takut berurusan dengan defiance penentangan, aggression penyerangan, dan immorality ketidaksopanan. Namun, sebagian
besar perilaku mengganggu pada kategori class disruptions gangguan kelas ataupun clowning around perilaku yang mengundang tawa sekitarnya dapat
ditangani langsung oleh guru. Meskipun kedua kategori perilaku tersebut tampak seperti perilaku yang kurang mengancam, tetapi secara langsung siswa telah
kehilangan banyak waktu untuk belajar dan guru kehilangan banyak waktu untuk mengajar.
Volenski dan Rockwood Reed Kirkpatrick, 1998: 2 mendefinisikan siswa yang mengganggu sebagai siswa yang menentang guru mereka dan
mengabaikan aturan yang diberlakukan di sekolah. Siswa tersebut menunjukkan perilaku yang menentang, tidak termotivasi dan tidak patuh. Karena siswa
tersebut secara berulang melanggar peraturan, mereka harus menghabiskan
23 banyak waktu pada kegiatan non akademik. Oleh karena itu, mereka biasanya
kurang memiliki pentingnya keterampilan akademik. Hal ini akan mempersulit para guru membantu siswa tersebut dalam belajar agar bisa mengembangkan diri
dan menyelesaikan sekolah dengan sukses. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
mengganggu di kelas dapat dikategorikan dalam empat indikator, yaitu kegiatan- kegiatan yang mengganggu pembelajaran, tidak ikut serta dalam aktivitas kelas,
kegiatan yang tidak relevan dengan pembelajaran, dan keterlambatan maupun ketidakhadiran.
4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas
Perilaku mengganggu siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Eileen S. Flicker Jannet Andron Hoffman 2006: 12 menyebutkan beberapa
faktor yang menyebabkan anak berperilaku mengganggu yang meliputi faktor emosional yang mencakup di dalamnya kepribadian temperamental, kemarahan,
penentangan, ketegasan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, kebosanan, overstimulasi, kebutuhan akan perhatian, kecemburuan, dan rendah diri. Faktor
fisiologis yang mencakup di dalamnya gizi buruk, kelaparan, kelelahan, penyakit, dan alergi. Kedua faktor tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal atau
faktor yang berasal dari dalam diri individu. Menurut Anhenbach, Howell, McConaughy, Stanger; Coie Dodge;
Loeber Farrington; McLoyd; Patterson, Reid, Dishion; Wolverton, Litcher, McCoy Pia Todras, 2007 : 10-11 perilaku mengganggu di dalam kelas
24 disebabkan dari faktor dalam rumah, masyarakat, dan sekolah. Menurut
Anhenbach, dkk; Coie Dodge; Loeber Farrington; McLoyd; Patterson, dkk; Wolverton, dkk, pengalaman anak di rumah secara signifikan dapat
mempengaruhi perilaku mereka di sekolah, khususnya bagi korban perceraian, kemiskinan, kurangnya keterlibatan orang tua, kurangnya pengawasan,
kurangnya perhatian dan dorongan, penelantaran orangtua, kontrol berlebihan dan hukuman fisik dapat berakibat buruk terhadap individu atau kemampuannya
untuk tampil di sekolah. Anak-anak dari keluarga yang sangat dysfunctional tidak berfungsi
dengan baik akan sangat rentan terhadap kesulitan penyesuaian di sekolah. Menurut Edwars Pia Todras, 2007: 13 empat aspek utama dari kesulitan-
kesulitan penyesuaian adalah kerusakan pada konsep diri, kurangnya perhatian, kurangnya kasih sayang, dan kontrol yang berlebihan. Perkembangan konsep diri
anak-anak dimulai jauh sebelum mereka mulai sekolah dan didorong oleh pengalaman mereka selama di rumah. Beberapa keluarga disfungsional hanya
memberikan sedikit atau bahkan tidak memberikan dukungan emosional kepada anak untuk mengembangkan akal sehat atau logika dan kontrol diri atas
kehidupannya sendiri. Hal inilah yang dapat menyebabkan anak-anak yang mengalami masalah kepribadian serius dan keberhasilan sekolah yang terbatas.
Kurangnya perhatian di rumah adalah faktor lain yang dapat menyebabkan beberapa anak menunjukkan masalah di sekolah. Orangtua
seringkali mengabaikan tingkah laku anak ketika mereka berperilaku dengan baik
25 dan tidak mengganggu. Akan tetapi, perhatian orangtua hanya diberikan ketika
anak melakukan kenakalan. Perilaku orangtua yang demikian akan mendorong anak untuk berperilaku tidak baik di sekolah karena anak mengganggap bahwa
satu-satunya cara mereka mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan adalah dengan melakukan kenakalan.
Pia Todras 1997: 15 menyatakan bahwa kurangnya kasih sayang juga dapat menyebabkan anak melakukan perilaku yang tidak baik di sekolah. Apabila
orangtua tidak memberikan kasih sayang yang cukup pada anak akan menyebabkan anak merasa tidak dicintai karena mereka mungkin
mempertimbangkan besarnya perhatian yang mereka terima dari orang tua sebagai indikasi bagaimana mereka dicintai. Anak-anak yang merasakan
kurangnya kasih sayang dapat menggunakan perilaku mengganggu untuk memenuhi kebutuhan ini. Kontrol orangtua yang berlebihan juga dapat
menyebabkan perilaku anak yang mengganggu di sekolah. Kontrol orangtua yang berlebihan tidak mengajarkan anak mereka untuk bersikap mandiri.
Orangtua yang demikian seringkali tidak melihat pemikiran anak secara mandiri dan sering melihatnya sebagai tindakan pemberontakan dari anak. Orang tua
seperti itu sering menghukum atau menyalahkan anak-anak mereka, yang pada akhirnya dapat menyebabkan anak-anak untuk menunjukkan gejala
pemberontakan, agresi, kekerasan, atau perilaku kriminal. Kohn 1999: 20 menegaskan bahwa penggunaan reward and punishment
penghargaan dan hukuman yang berlebihan dari guru juga dapat berpengaruh
26 negatif terhadap perilaku siswa. Meskipun ada pembenaran untuk menggunakan
teknik modifikasi perilaku pada situasi tertentu, guru biasanya hanya mengatasi perilaku pada saat itu dan bukan penyebabnya. Jadi, apabila tidak ada usaha dari
diri siswa mengatasi masalahnya yang mendasar, maka rencana modifikasi perilaku pun menjadi tidak efektif lagi.
Eileen S. Flicker Jannet Andron Hoffman 2006: 12 menambahkan bahwa faktor lingkungan meliputi pengaruh pergaulan, lingkungan tempat
tinggal yang buruk, kemiskinan, kekerasan dalam masyarakat dan di media, serta terorisme dan perang. Faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku mengganggu
adalah gender jenis kelamin. Pia Todras 2007: 7 menegaskan bahwa perbedaan jenis kelamin secara konsisten muncul ketika menguji tentang perilaku
mengganggu siswa. Anak laki-laki sering dianggap lebih mengganggu dibandingkan anak perempuan. Satu penjelasan yang mungkin dari fenomena ini
adalah bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki gejala yang berbeda yang mengacu pada perilaku mengganggu. Anak laki-laki pada umumnya
menunjukkan perilaku eksternal seperti mencuri, berbohong, berkelahi, dan merusak. Sedangkan anak perempuan umumnya menampilkan perilaku internal
seperti cemas, malu, menarik diri dari lingkungan, hipersensitive, dan mengeluh tentang fisiknya. Orang dewasa sering lebih menyadari kelakuan buruk anak laki-
laki karena perilaku tersebut mengganggu, dan mereka mungkin mengabaikan kelakuan tidak baik yang ditunjukkan anak perempuan karena tidak agresif dan
mengganggu.