PEMBAHASAN Pendidikan Tambahan Simposium, Workshop, Training, Lokakarya, Seminar

74

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian ini menilai efek penghambat COX-2 selektif etoricoxib atau non selektif piroxicam pada kemoradioterapi konkuren terhadap respon klinis dan ekspresi immunohistokimia pada karsinoma nasofaring. Subyek diambil dari pasien karsinoma nasofaring yang datang berobat ke poliklinik THT-KL FK USURSUP H. Adam Malik Medan sejak Januari 2011 sampai dengan Maret 2013, yaitu sebanyak 175 subyek. Dari 175 subyek yang didiagnosis dengan KNF, 118 subyek tidak ikut serta dalam penelitian oleh karena : 1. Tidak memenuhi kriteria inklusi. 2. Menolak melanjutkan terapi dikarenakan antara lain: a. Antrian jadwal radioterapi yang terlalu lama. b. Memilih melanjutkan pengobatan alternatif. c. Alasan biaya hidup. 3. Alasan yang tidak jelas. Hanya 57 subyek yang mendapat kemoradioterapi konkuren dimana 25 subyek mengikuti penelitian sampai selesai dan 32 subyek lainnya drop out. Pada subyek yang drop out dengan radioterapi kurang dari 15 kali pada perlakuan plasebo sebanyak 5 subyek, etoricoxib sebanyak 3 subyek, dan piroxicam sebanyak 4 subyek. Pada kelompok yang mendapat radioterapi 15-30 kali, subyek yang drop out pada perlakuan Universitas Sumatera Utara dengan plasebo sebanyak 3 subyek, etoricoxib sebanyak 3 subyek dan piroxicam sebanyak 4 subyek. Untuk yang mendapat radioterapi lebih dari 30 kali pada perlakuan dengan plasebo sebanyak 2 subyek, etoricoxib sebanyak 5 subyek, dan piroxicam sebanyak 3 subyek. Dapat dilihat pada masa awal pengobatan radioterapi 15 kali jumlah subyek yang drop out dari kelompok plasebo lebih besar dari kelompok etoricoxib dan piroxicam, hal ini menunjukkan mungkin drop out bukan disebabkan oleh beratnya efek samping dari penambahan perlakuan, karena subyek tanpa perlakuan plasebo juga tampak menunjukkan jumlah drop out yang lebih besar. Pada masa pemberian radioterapi 15-30 kali, jumlah subyek yang drop out dari kelompok piroxicam lebih besar dari kelompok yang lain. Hal ini bisa saja disebabkan oleh efek samping obat, selain dari efek samping pemberian kemoradioterapi konkuren. Tetapi ada juga kemungkinan disebabkan oleh masalah biaya hidup selama pengobatan ataupun alasan lainnya. Telah dilakukan upaya untuk mempertahankan subyek penelitian, seperti bekerjasama dengan bagian radioterapi agar jadwal radioterapi bagi pasien KNF di utamakan. Meskipun apresiasi dari bagian radioterapi baik, namun mengingat sarana radioterapi di RSUP H. Adam Malik Medan merupakan satu-satunya sarana radioterapi milik pemerintah Sumatera Utara, sehingga tetap menjadi kendala. Radioterapi merupakan pelayanan rawat jalan, sehingga bagi pasien yang berasal dari luar kota, biaya hidup sering menjadi kendala. Untuk Universitas Sumatera Utara mengatasi hal ini peneliti berusaha menyediakan penginapan di sekitar rumah sakit agar subyek tetap dapat menjalankan radioterapi secara rutin. Sebanyak 25 subyek yang menyelesaikan penelitian ini, kemudian dikelompokkan menjadi kelompok plasebo sebanyak 9 subyek, etoricoxib sebanyak 8 subyek dan piroxicam sebanyak 8 subyek yang dapat dijabarkan sebagai berikut : Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah pada kelompok umur 41-60 tahun yaitu sebanyak 15 60,00. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan penderita karsinoma nasofaring terbanyak pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3,2:1. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian lainnya. Adham et al 2012 mendapatkan bahwa frekuensi penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah pada kelompok umur 41-50 tahun yaitu sebanyak 69 32,40 diikuti kelompok umur 31-40 tahun yaitu sebanyak 50 23,50. Penelitian Xie et al 2013 yang dilakukan pada tahun1983-2008 di Hongkong mendapatkan bahwa penderita KNF terbanyak adalah laki-laki dengan perbandingan 2,7:1. Pada kelompok umur didapatkan bahwa usia penderita terbanyak adalah 55-59 tahun. Dilihat dari hasil histopatologi pada penelitian ini, dijumpai penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 15 60,00. Sedangkan undifferentiatied carcinoma yaitu sebanyak 10 40,00 jaringan karsinoma nasofaring. Universitas Sumatera Utara Hasil histopatologi ini tidak sesuai dengan penelitian Cao et al 2011 yang mendapatkan bahwa dari 198 penderita KNF yang diteliti, yang terbanyak adalah tipe Undifferentiated carcinoma sebanyak 133 67,20 Berdasarkan tabel 4.2 perbaikan gejala klinik sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren pada ketiga kelompok penelitian yang paling baik adalah pada gejala ingus bercampur darah dan epistaksis perbaikan 100 pada masing-masing kelompok penelitian. Secara umum perbaikan gejala lebih banyak dijumpai pada kemoradioterapi konkuren dengan penambahan etoricoxib apabila dibandingkan dengan penambahan piroxicam dan plasebo, terutama pada gejala hidung tersumbat penurunan jumlah subyek 100, nyeri kepala 100, telinga berdengung 80,00 dan benjolan di leher 25,00 Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun Wei, 2006. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian kemoradioterapi konkuren memberikan hasil yang lebih baik daripada pemberian radioterapi tunggal pada karsinoma nasofaring stadium II, stadium lanjut lokal locally advance, dan stadium lanjut Chen, 2011; Yu, 2012; Lin, 2003. Efek tidak langsung dari radiasi adalah efek radikal bebas teroksigenasi terhadap lipid membran dan transport membran, yang memicu edema dan kematian sel. Efek ini akan mengaktivasi sitoplasmik phospholipase A2, merangsang pelepasan asam arakhidonat dari phospholipid membran dan selanjutnya menghasilkan eiconasoid melalui jalur COX dan lipoxygenase. Beberapa jam setelah radiasi terjadi Universitas Sumatera Utara peningkatan level prostaglandin dan tromboksan dan peningkatan ini bertahan hingga beberapa hari hingga beberapa minggu Choy Milas 2003. Prostaglandin PG, terutama yang seri E, ditemukan mempengaruhi proliferasi sel dan respon imun host, menunjukkan perannya sebagai promotor dan memfasilitasi pertumbuhan dan penyebaran tumor Sobolewski et al. 2010; Gallo et al. 2001. Prostaglandin-E2 PGE2 dapat meningkatkan regulasi Bcl-2 yang merupakan protein antiapoptosis Sebolowski 2010. Sementara itu radioresistensi tergantung pada aktivasi terhadap jalur sinyal apoptosis Choy Milas 2003. PGE2 juga penting pada invasi tumor. Penelitian Ma et al. sebagaimana di kutip oleh Sebolowski 2010 dapat meningkatkan angka metastasis. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa PGE2 meningkatkan level VEGF Vascular Endotheliah Growth Factor. VEGF memproduksi matrix metalloprotein MMP. MMP memecah ektraseluler matrix. Hal ini merangsang migrasi sel endotel. Sel endotel mulai membelah begitu mereka bermigrasi ke jaringan sekitarnya. Kemudian tersusun menjadi pembuluh darah dan kemudian berkembang menjadi pembuluh darah matur Nishida 2006. Cyclooxygenase-2 dan reseptor tromboksan A2 memiliki peranan dalam pengaktifan invasi sel dan angiogenesis. Ekspresi COX-2 memacu berbagai sel untuk meningkatkan produksi PG. Oleh karena itu secara jelas COX-2 derivat PG mempunyai peranan dalam pertumbuhan kanker Universitas Sumatera Utara melalui mekanisme biokimia yang meliputi stimulasi pertumbuhan tumor dan neovaskularisasi Rishikesh Sadhana 2003. Penelitian oleh Soo 2005 mendapatkan bahwa pemberian penghambat COX-2 kepada penderita karsinoma nasofaring menyebabkan terjadinya penurunan angiogenesis. Angiogenesis merupakan suatu persyaratan untuk pertumbuhan dan metastasis tumor Poon, 2002. Penambahan penghambat COX-2 pada kemoraditoterapi konkuren diharapkan dapat mencegah radioresistensi sel dan mencegah efek tidak langsung radioterapi yang dapat memicu pertumbuhan tumor kembali, sehingga perbaikan gejala kinis yang lebih baik dapat diperoleh sebagaimana yang ditemukan pada penelitian ini. Walaupun ketahanan hidup yang lama merupakan tujuan utama kemoterapi, namun preservasi kualitas hidup juga merupakan pertimbangan yang penting dalam terapi Kayl dan Meyers, 2006. Pada tabel 4.3 terlihat Karnofsky Performance Status Scale pada subjek kelompok etoricoxib dan piroxicam yang cenderung membaik ditandai dengan peningkatan jumlah subjek dengan Karnofsky Performance Status Scale 80. Namun bila dilakukan uji secara statistik, hanya kelompok etoricoxib yang menunjukkan perbedaan yang bermakna p=0,025. Hal ini sesuai dengan hasil pada tabel 4.2, dimana perbaikan gejala ditemukan paling banyak pada kelompok etoricoxib dibandingkan dengan kelompok piroxicam dan plasebo. Universitas Sumatera Utara Guo et al 2014 mendapatkan bahwa terjadi peningkatan Karnofsky Performance Status Scale pada penderita KNF setelah kemoradioterapi dibanding sebelum kemoradioterapi. Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa perbedaan hasil pemeriksaan laboratorium yang bermakna sebelum dan sesudah kemoradioterapi pada kelompok plasebo ditemukan pada hasil pemeriksaan Hb, leukosit, trombosit dan SGPT. Penurunan kadar Hb pada penderita karsinoma nasofaring yang menjalani kemoradioterapi dikarenakan efek penekanan sumsum tulang akibat obat-obat kemoterapi, radioterapi, asupan makanan yang tidak mencukupi dan infiltrasi tumor pada tulang Gao, 2009. Gao 2009 meneliti nilai hemoglobin sebelum, sesaat dan sesudah radioterapi pada 520 pasien karsinoma nasofaring yang mendapat radioterapi dan menyimpulkan nilai Hb sebelum radioterapi saat radioterapi sesudah radioterapi. Leukopenia dapat terjadi setelah pemberian cisplatin 50 mgm 2 Kaye, 1992. Struktur sumsum tulang dapat dirusak oleh faktor-faktor dari luar. Pasien yang mendapat kemoterapi dosis tinggi hampir dapat dipastikan akan menderita kerusakan struktur sumsum tulang yang berakibat leukopenia. Radiasi energi tinggi juga dapat menyebabkan leukopenia akibat kerusakan sumsum tulang. Dampak yang ditimbulkan dapat diperkirakan dari tipe radiasi, dosis radiasi, dan keterpaparan sumsum tulang pada saat radiasi Hillman, 2005. Universitas Sumatera Utara Pasien yang mendapat kemoterapi kombinasi dosis tinggi hampir dapat dipastikan akan menderita kerusakan struktur tulang yang berakibat trombositopeni. Obat kemoterapi berdampak pada kerusakan permanen ringan dari sumsum tulang, karenanya bila dijumpai thrombositopeni, pemberian kemoterapi harus dihentikan sementara untuk memberikan masa pemulihan bagi sumsum tulang. Radiasi energi tinggi juga dapat menyebabkan trombositopenia Hillman, 2005. Cisplatin sangat jarang menyebabkan toksisitas hati pada dosis standar, namun sedikit peningkatan SGOT tidak jarang dijumpai. Pada dosis tinggi, telah dilaporkan bahwa dapat menyebabkan fungsi hati yang abnormal terutama SGOT dan SGPT King dan Perry, 2001. Hal diatas dapat menjelaskan mengapa ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada hasil pemeriksaan laboratorium sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren pada kelompok plasebo ditemukan pada hasil pemeriksaan Hb, leukosit, trombosit dan SGPT. Pada kelompok etoricoxib perbedaan yang bermakna pada hasil pemeriksaan laboratorim sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren ditemukan pada hasil pemeriksaan Hb. Sedangkan pada kelompok piroxicam ditemukan perbedaan yang bermakna pada hasil pemeriksaan Hb dan leukosit. Etoricoxib terutama dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin, dimana kurang dari 1 dari dosis oral ditemukan utuh pada urin. Etoricoxib juga di metabolisme di hati Brooks dan Kubler, 2006. Universitas Sumatera Utara Piroxicam, sebagaimana NSAID lainnya, dieksresikan melalui ginjal dan melewati eksresi dan reabsorpsi bilier sirkulasi enterohepatic Katzung dan Furst 1998. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perubahan yang berarti terhadap fungsi ginjal fungsi hati serta kadar elektrolit penderita karsinoma nasofaring setelah kemoradioterapi konkuren dengan penambahan penghambat COX-2, baik penghambat COX-2 selektif etoricoxib maupun non selektif piroxicam. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian penghambat COX-2 cenderung tidak memperberat efek samping kemoradioterapi konkuren. Dari tabel 4.5 uji nonparametrik terhadap ukuran tumor primer sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren menemukan adanya perbedaan yang bermakna pada kelompok perlakuan etoricoxib p=0,026, sementara itu tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada kelompok perlakuan plasebo p=0,317 dan piroxicam p=0,279. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian konkuren radioterapi memberikan hasil yang baik untuk karsinoma nasofaring stadium II, stadium lanjut lokal locally advance, dan stadium lanjut Lin, 2003; Chen, 2011; Yu, 2012. Efek tidak langsung dari ionisasi radiasi secara prinsipnya melibatkan efek dari oksigen yang mengandung radikal bebas pada lipid membran dan transport membran yang dapat menyebabkan edema. Ionisasi radiasi mengaktifkan cytoplasmic phospholipase A2 yang merangsang pengeluaran asam arakhidonat dari membran phospholipid yang Universitas Sumatera Utara kemudian menyebabkan produksi eicosanoid melalui jalur cyclooxygenase dan dan lipoxygenase. Sel yang teradiasi akan memproduksi berbagai macam eicosanoid termasuk PGE2 Choy dan Milas, 2003. PGE2 dapat merangsang terjadinya proliferasi melalui pembentukan EGFR dan MAPK. PGE2 juga dapat merang sang NFκB yang akan merangsang pembentukan Bcl-2 yang merupakan gen yang berperan sebagai anti apoptosis. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa pada pemberian kemoradioterapi konkuren pada kelompok plasebo dan piroxicam tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna, oleh karena setelah pemberian kemoradioterapi konkuren, faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya tumorigenesis juga dirangsang. Nix 2004 menyatakan bahwa penggunaan penghambat COX-2 diperkirakan dapat meningkatkan efek radioterapi. Overekspresi COX-2 pada sel telah dinyatakan resisten terhadap apoptosis, mekanisme yang penting pada kematian sel yang diinduksi oleh radiasi. Efek ini meningkatkan level penting dari protein Bcl-2 anti apoptosis pada sel epitel dengan meningkatkan ekspresi COX-2. Secara klinis, overekspresi COX-2 telah dihubungkan dengan kegagalan pengobatan radioterapi pada kanker leher. Penghambat COX-2 telah menunjukkan dapat memicu apoptosis pada sel tumor. Pemberian penghambat COX-2 selektif menyebabkan penurunan ekspresi Ki-67 sebagai penanda proliferasi sebanyak 48, sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 3. Tingkat ekspresi kaspase-3 sebagai penanda apoptosis meningkat dengan pemberian penghambat COX-2 Universitas Sumatera Utara selektif, yaitu perubahan 59 dibandingkan dengan 16 pada kelompok kontrol. Selanjutnya pemberian penghambat COX-2 selektif ini menyebabkan pengecilan tumor, yaitu 88 dibandingkan dengan 83 kelompok kontrol. Kemoradiasi menyebabkan proliferasi yang tampak dengan perubahaan negatif tingkat ekspresi Ki-67, sedangkan pemberian COX-2 selektif dan kemoradiasi menyebabkan penurunan tingkat proliferasi dengan perubahan positif tingkat ekspresi Ki-67. Sebaliknya, kemoradiasi saja menyebabkan peningkatan tingkat apoptosis dengan adanya perubahan negatif tingkat ekspresi kaspase-3, sedangkan pemberian penghambat COX-2 selektif dan kemoradiasi menyebabkan penurunan marker apoptosis dengan terjadinya perubahan positif tingkat ekspresi kaspase-3. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa pada penelitian ini subyek dengan perlakuan etoricoxib menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna apabila dibandingkan ukuran tumor primer sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren. Namun pada kelompok perlakuan piroxicam yang merupakan penghambat COX-2 non selektif tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna pada ukuran tumor sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren. Hal ini mungkin dapat dijelaskan bahwa penghambat COX-1 selektif juga dapat menurunkan proliferasi sel kanker. Namun, masih sedikit diketahui mekanisme molekular dari jalur COX-1 dalam regulasi pertumbuhan squamous sel karsinoma pada kepala dan leher. Koontongkaew dan Leelaha-vanichkul, 2012. Universitas Sumatera Utara Uji nonparametrik tabel 4.6 terhadap ukuran kelenjar getah bening leher sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren menemukan adanya perbedaan yang bermakna pada semua kelompok perlakuan, plasebo p=0,014, etoricoxib p=0,024 dan piroxicam p=0,046. Ditemukannya perbedaan yang bermakna pada penderita KNF dengan kemoradioterapi konkuren ditambah plasebo sesuai dengan penelitian oleh Yu 2012 menyatakan bahwa ada perbedaan yang bermakna secara statistik pada remisi kelenjar getah bening leher pasien-pasien KNF stadium lanjut yang mendapat konkuren kemoradioterapi. Lin 2003 menyatakan bahwa tingkat remisi komplit kelenjar getah bening leher penderita KNF setelah 1,6,dan 12 bulan pemberian kemoradioterapi adalah 91,5, 94,9 dan 98,3. Penelitian oleh Morita 2012 pada karsinoma sel skuamosa mulut, menunjukkan bahwa COX-2 menyebabkan limfangiogenesis tumor dan metastasis kelenjar getah bening dan inaktivasi COX-2 dengan pemberian COX-2 inhibitor pada tikus dapat menekan limfangiogenesis dan metastasis kelenjar getah bening. Beberapa penelitian menunjukkan efek COX inhibitor pada proliferasi sel kanker, invasi dan metastasis. Penghambat COX-2 selektif menurunkan kelangsungan hidup, kemampuan invasi dan adhesi dari sel karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher dengan menurunkan regulasi MMP-2, MMP-9 dan sekresi Vascular Endothelial Growth Factor VEGF Koontongkaew dan Leelahavanichkul, 2012. Universitas Sumatera Utara Pewarnaan imunohistokimia COX-1 endotel vaskuler hanya terlihat pada pembuluh darah normal yang tidak berhubungan dengan lesi kanker Sementara pada epitel jaringan normal, ekspresi COX-2 hanya dijumpai secara fokal dan pada kadar yang rendah. Ekspresi COX-2 dijumpai pada epitel kanker dan terutama pada pembuluh darah tumor yang berinvasi. Ini menunjukkan bahwa COX-2, bukan COX-1, terbentuk pada epitel maligna dan juga terekspresi pada sel yang mengalami respon angiogenik terhadap kanker Leahy, 2000. Hal diatas sesuai dengan yang ditemukan pada penelitian ini, dimana ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada ukuran kelenjar getah bening leher setelah pemberian kemoradioterapi konkuren dengan penambahan plasebo, etoricoxib maupun piroxicam. Dari tabel 4.7 uji nonparametrik terhadap ukuran stadium klinis sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren menemukan adanya perbedaan yang bermakna pada kelompok semua kelompok perlakuan, yaitu plasebo p=0,038, etoricoxib p=0,024 dan piroxicam p=0,024. Penelitian oleh Yu 2013 menunjukkan bahwa kemoradioterapi konkuren dapat meningkatkan tingkat ketahanan keseluruhan overall survival rate dan tingkat kontrol lokal penderita karsinoma nasofaring. Penghambat COX-2 selektif, NS-398, dapat meningkatkan efek dari radioterapi baik secara in vitro maupun secara in vivo pada sel manusia dengan overekspresi COX-2. Penghambat COX-2 selektif NS-398 dan SC-236 merupakan zat analgetik non toksik, yang tidak memiliki efek samping gastrointestinal seperti yang umumnya dijumpai pada Universitas Sumatera Utara penghambat COX non selektif seperti aspirin. Dengan pemakaian penghambat COX-2, klinisi dapat meningkatkan sensitivitas radioterapi pada kanker laring. Hal ini dapat mengurangi kegagalan pengobatan dengan radioterapi. Ini juga dapat menguntungkan pasien dari dampak psikologis dan kehilangan fungsional akibat pembedahan setelah kegagalan pengobatan Nix, 2004. Penghambat COX-2 juga memberikan keuntungan pada pasien kanker laring stadium lanjut yang tidak mempunyai pilihan pengobatan sebagaimana pasien stadium dini. Tumor stadium lanjut umumnya diobati dengan kombinasi tindakan bedah dan radioterapi, sebaliknya pada stadium dini dilakukan dengan modalitas tunggal Nix, 2004. Non-steroidal anti-inflammatory drugs NSAIDs dan penghambat COX-2 selektif merupakan obat yang secara luas digunakan untuk penanganan nyeri dan inflamasi. Obat ini menginhibisi aktivitas katalitik dari isoenzim cyclooxygenase sehingga menghambat produksi dari prostaglandin dan thromboxane, yang merupakan dua kelas utama dari molekul lipid derivate pro inflamasi. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa NSAID dan penghambat COX-2 selektif mungkin juga efisien sebagai obat anti angiogenik. Penelitian klinis dan eksperimental terkini telah menunjukkan bahwa COX-2 berperan penting dalam proses angiogenesis. Hal diatas sesuai dengan yang ditemukan pada penelitian ini, dimana dijumpai adanya perbedaan yang bermakna pada stadium klinis sebelum Universitas Sumatera Utara dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan penambahan plasebo, etoricoxib dan piroxicam. Pada penelitian ini peneliti ingin melihat efek penghambat COX-2 terhadap penderita KNF yang mendapat kemoradioterapi konkuren. Penilaiannya adalah melalui respon klinis, seperti perubahan gejala klinis, ukuran tumor primer, pembesaran kelenjar getah bening leher dan stadium klinis. Oleh karena COX-2 bekerja pada tingkat seluler, maka peneliti juga ingin melihat efek COX-2 pada tingkat seluler. Untuk itu dilakukan pemeriksaan imunohistokimia. COX-2 berpengaruh terhadap karsinogenesis melalui berbagai proses dan tahap, oleh sebab itu peneliti menggunakan beberapa paramater yang dipengaruhi oleh COX-2 antara lain p38MAPK, MMP-9, EGFR, TNF- α, PPARγ dan NFκB. Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan ekspresi imunohistokimia sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan plasebo dan piroxicam. Pada kelompok perlakuan etoricoxib dijumpai adanya perbedaan yang bermakna pada ekspresi imunohistokimia p38MAPK p=0,046 dan MMP-9 p=0,046. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ekspresi imunohistokimia p38MAPK, MMP-9, TNF- α, COX-2, NFκB, PPARγ dan EGFR memiliki peranan penting dalam perkembangan kanker. Penelitian Minghua 2009 menduga peran jalur MAPK dalam metastasis KNF ke kelenjar getah bening regional melalui aktivasi protein ezrin. Wan et al. 2008 menduga keterlibatan MAPK pada proses tumorigenesis pada KNF sehingga terjadi peningkatan ekspresi dari protein Aur-A, yang merupakan protein yang Universitas Sumatera Utara menyebabkan invasi intrakranial dan peningkatan stadium dari karsinoma nasofaring sebagai obat target ideal dalam penatalaksanaan kanker. Studi kasus kontrol Liu 2010 dengan mendeteksi ekspresi mRNA MMP-9 pada 32 jaringan normal nasofaring dibandingkan dengan 164 jaringan KNF menunjukkan tingkat ekspresi MMP-9 lebih tinggi 3,4 kali dibandingkan jaringan normal nasofaring p=0.008. Pada pemeriksaan darah tepi sel mononuklear peripheral blood mononuclear cells dari 146 kasus KNF dibandingkan dengan 110 kontrol diperoleh kadar mRNA MMP-9 pada kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol p0.001. Peningkatan ekspresi MMP-9 berhubungan dengan karakter klinis yaitu stadium lanjut p0.001, ukuran tumor p=0.016, nodul p=0.002, tipe histologi p=0.037 dan poor overall survival p=0.049 He et. al., 2011. Penelitian Tang 2004 dan Zhang 2003 mendapatkan adanya hubungan ekspresi MMP-9 dengan metastasis kelenjar limfe KNF. Soylu 1994 pada penelitiannya terhadap karsinoma sel skuamosa kepala dan leher menemukan nilai level serum TNF- α hampir 100 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol p=0,001. Tan dan Putti 2005 melakukan penelitian untuk menilai ekspresi COX-2 pada KNF. Penelitiannya menunjukkan terdapat proporsi yang tinggi yaitu 60 dari 85 kasus KNF 71 yang mengekspresikan COX-2 Soo 2005 menemukan peningkatan ekspresi COX-2 pada 33 dari 42 kasus KNF 79 dengan menggunakan metode immunohistokimia. Galusca 2004 pada karsinoma tiroid papilari menemukan peningkatan level PPARγ sejalan dengan peningkatan ukuran tumor Universitas Sumatera Utara primer tetapi tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara level PPARγ dengan kelompok ukuran tumor primer. Grandis 1993 seperti yang dikutip oleh menyatakan bahwa pada sel normal, ekspresi EGFR berkisar antara 40.000 – 100.000 reseptor per sel. Pada karsinoma sel skuamosa kepala dan leher, EGFR ditemukan overekspresi pada 80-90 kasus. Peningkatannya adalah 1,7 kali lipat p=0,005 dibandingkan kontrol. Sobolewski 2010 menyatakan bahwa COX-2 berperan terhadap pembentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan kanker seperti p38MAPK, MMP-9, EGFR, TNF- α, PPARγ dan NFκB. Sehingga pada penelitian ini peneliti mencoba menggunakan ekspresi imunohistokimia sebagai parameter. Beberapa penelitian menyatakan adanya perubahan ekspresi imunohistokimia setelah terapi antara lain Soylu 1994 mengukur kadar level serum TNF- α penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher dan mendapatkan penurunan rata-rata kadar level serum TNF- α secara signifikan sesudah terapi dibandingkan dengan sebelum terapi p=0,001. Gandamihardja 2010 yang melakukan penelitian pemberian penghambat COX-2 selektif celecoxib pada penderita kanker leher rahim yang menjalani kemoradioterapi menemukan penurunan sangat bermakna tingkat ekspresi COX-2, yaitu 10 pada kelompok kontrol dan 42 pada kelompok perlakuan p=0,001. Pada sel tumor, akibat gangguan molekuler yang bervariasi dapat menyebabkan gangguan regulasi aktifasi dari NF- κB. Gangguan ini Universitas Sumatera Utara memiliki peran dalam pertumbuhan dan perkembangan kanker Olivier, 2006. Qadri 2002 beranggapan bahwa NF- κB sebagai mediator intraselluler utama dari proses inflamasi meregulasi proses transkripsi mediator kunci dari limfangiogenesis, yaitu VEGFR-3. Pada penelitian ini pemberian kemoradioterapi konkuren dengan penambahan plasebo dan piroxicam tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada semua ekspresi imunohistokimia. Penelitian Mukunyadzi 2003 mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara PPARγ dengan stadium TNM. Galusca 2004 pada karsinoma tiroid papilari menemukan peningkatan level PPARγ tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara level PPARγ dengan kelompok ukuran tumor primer. Horikawa 2000 melakukan pemeriksaan immunohistokimia pada 38 spesimen tumor dari penderita KNF menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara ekspresi MMP-9 berdasarkan histologi, umur, jenis kelamin, ukuran tumor atau stadium klinis. Meskipun secara teori seharusnya mempengaruhi ekspresi, namun mekanisme kemoradioterapi mempengaruhinya tidak diketahui. Penambahan COX-2 diharapkan dapat meningkatkan efek dari kemoradioterapi, sebagaimana penelitian Kim 2010 menemukan kemungkinan keterlibatan jalur p38MAPK untuk meningkatkan reaksi apoptosis sel pada kanker rongga mulut setelah pemberian asam tolfenamic. Universitas Sumatera Utara Penelitian molekuler menunjukkan bahwa penatalaksanaan yang digunakan secara luas sejak dulu seperti obat-obatan yang bersifat kemopreventif atau terapeutik terhadap tumor, misalnya penghambat NF- κB biasanya sejalan dengan efek biologis lainnya. Oleh karena itu dianggap kerja anti kanker pada NSAID anti inflamasi non-steroid atau glukokortikoid kemungkinan berhubungan dengan penghambatan dari NF- κB Olivier, 2006. Penelitian Jayaprakash 2006 mendapatkan bahwa pengguna aspirin menunjukkan penurunan resiko secara bermakna sebanyak 25 dari kanker kepala dan leher dibandingkan dengan yang bukan pengguna. Pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan ekspresi imunohistokimia sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan plasebo dan piroxicam. Dengan penambahan COX-2 selektif dijumpai adanya perbedaan yang signifikan setelah kemoradioterapi pada ekspresi p38MAPK dan MMP-9. Khusus tentang p38MAPK dan MMP-9, mungkin jalur COX-2 pada karsinoma nasofaring hanya berperan melalui jalur p38MAPK dan MMP-9 saja. Ini memerlukan penelitian yang lebih lanjut. Pada penelitian ini peneliti terutama ingin melihat efek penambahan penghambat COX-2 pada kemoraditerapi konkuren terhadap respon klinis dan pemeriksaan imunohistokimia hanya sebagai parameter pemeriksaan saja. Universitas Sumatera Utara 93

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

3 65 107

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 1 16

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

1 1 4

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 1 18

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 33

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring - Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 17

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 16

Efek Penghambat COX-2 Selektif Atau Non Selektif Pada Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Respon Klinis Dan Ekspresi Immunohistokimia Pada Karsinoma Nasofaring

0 0 46