Histopatologi dan stadium Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010

misalnya dengan menggunakan serologi IgA dan IgG terhadap protein Virus Epstein-Barr spesifik sebagai marker diagnostik awal Lu, 2010; Yoen, 2013.

2.1.6 Histopatologi dan stadium

Klasifikasi histologi KNF yang diajukan oleh World Health Organization WHO pada tahun 1978 mengklasifikasikan tumor menjadi 3 kelompok, yaitu: Tipe 1 : keratinizing squamous cell carcinoma Tipe 2 : non keratinizing squamous cell carcinoma Tipe 3 : undifferentiated carcinoma Tumor tipe 2 dan tipe 3 memiliki hubungan dengan Virus Epstein-Barr Wei, 2006; Lutzky, 2008. Klasifikasi alternatif lainnya membagi tumor atas dua tipe histopatologi, yaitu squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinoma Wei, 2006; Wei et al, 2010.

2.1.7 Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010

Tumor Primer T TX Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tidak terbukti adanya tumor primer Tis Karsinoma in situ T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dankavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. Universitas Sumatera Utara T2 Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring. T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak danatau sinus paranasal. T4 Tumor dengan perluasan intrakranial danatau terlibatnya syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporalruang mastikator. Kelenjar Getah Bening Regional N NX KGB regional tidak dapat dinilai. N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional. N1 Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, danatau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang. N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular. N3 Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm danatau pada fossa supraklavikular: N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm. N3b Meluas ke fossa supraklavikular. Metastasis Jauh M M0 Tanpa metastasis jauh M1 Metastasis jauh Universitas Sumatera Utara Kelompok stadium : Tis N0 M0 I T1 N0 M0 II T1 N1 M0 T2 N0 M0 T2 N1 M0 III T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N0 M0 T3 N1 M0 T3 N2 M0 IVA T4 N0 M0 T4 N1 M0 T4 N2 M0 IVB setiap T N3 M0 IVC setiap T setiap N M1 2.1.8 Penatalaksanaan a. Radioterapi. Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun. Sejak 1960-1980, pembedahan dan radioterapi dianggap terapi yang paling efektif sebagai pengobatan utama dengan kanker kepala dan leher Marur et al, 2008. Radioterapi merupakan pilihan utama dalam pengobatan KNF kasus baru dan non-metastasis Wei et al, 2010; Zhang et al, 2014. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan Universitas Sumatera Utara dengan struktur penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi karena berada dalam mukosa nasofaring yang melekat erat pada tulang dasar tengkorak, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya Wei, 2006; Guigay, 2006, Luthi dan Stupp, 2010. Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90 kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75 kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90 pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70 pada kasus N2 dan N3 Wei, 2006. Radioterapi dapat diberikan secara konvensional, yakni dengan pemberian dosis total 66,6-75,6 Gy, diberikan 1,8-2 Gy per fraksi, 5 fraksi per minggu Yeh, 2006; Li et al, 2012; Kong et al, 2012. Penelitian oleh Niibe 2004 menyatakan suatu metode pemberian radioterapi dengan metode hiperfraksinasi pada karsinoma orofaring, yaitu dengan memberikan radiasi 2 Gy per fraksi, 2 fraksi per hari dengan jarak 6 jam, 5 hari seminggu sehingga total dosis sama dengan radioterapi konvensional yaitu 66 Gy atau lebih, memberikan hasil yang lebih baik dalam hal kesintasan hidup keseluruhan overall survival rate dan angka kontrol lokoregional loco-regional control rate. Berdasarkan NCCN 2010, radioterapi defenitif diberikan pada karsinoma nasofaring dengan stadium T 1 N M 0. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1 Mekanisme COX-2 untuk meningkatkan efek radiasi. Sel tumor dan sel pada stroma tumor, terutama sel pada endotel neovaskuler mengekspresikan COX-2. Paparan terhadap radiasi meningkatkan ekspresi kemudian merangsang sintesis dari prostaglandin sehingga meningkatkan proliferasi sel tumor dan proliferasi sel endotel serta angiogenesis. Ekspresi COX-2 yang meningkat dan peningkatan proliferasi sel tumor merangsang pertumbuhan kembali tumor secara cepat. Penghambatan terhadap aktivitas COX-2 akan menghambat sintesis prostaglandin dan mencegah perangsangan pertumbuhan serta angiogenesis tumor dan meningkatkan sensitifitas sel tumor terhadap radiasi Choy dan Milas, 2003. Efek samping akut radioterapi adalah radiomukositis, stomatitis, ngilu pada gigi dan hilangnya indera pengecapan. Di samping itu, sebagai efek lanjut juga dapat terjadi xerostomia, trismus, otitis media, pendengaran menurun, hipotiroidisme, hiperpigmentasi kulit pada lintasan sinar, fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis mandibula. Pada terapi kombinasi Universitas Sumatera Utara dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal Munir, 2009; Abdennadher, 2010. b. Kemoterapi. Kemoterapi sebagai komponen terapi kuratif utama pada KNF pertama kali dipergunakan pada tahun 1970-an. Bahkan pada pasien yang gagal dengan radioterapi tunggal atau dengan metastasis sistemik menunjukkan angka respon response rate yang tinggi terhadap penggunaan kemoterapi. Kombinasi 5FU dan cisplatin cisdiamine-dichloroplatinum telah terbukti mempunyai efek sitostatika secara sinergis pada sel-sel kanker manusia. Dosis cisdiamine-dichloroplatinum CDDP adalah 100 mgm 2 dengan bolus infus diberikan pada hari pertama dan dosis 5 FU 1000 mgm 2 c. Kemoradioterapi hari diberikan dengan infus selama 24 jam pada hari 1-5. Siklus diulang setiap 4 minggu. Kemoterapi diberikan 2-4 siklus Mould dan Tai, 2002; Yeh, 2006, Xu et al, 2013; Chen, 2014. Penelitian inter grup 1997 pertama kali menunjukkan bahwa penggunaan kemoterapi bersamaan dengan radioterapi meningkatkan kesintasan hidup keseluruhan overall survival apabila dibandingkan dengan penggunaan radioterapi tunggal. Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitisizer dan membantu dalam mengurangi metastasis jauh Mould dan Tai, 2002; Wei, 2006; Wildeman, 2013. Studi inter grup 0099 dan beberapa penelitian secara acak pada daerah endemik lainnya mendapatkan bahwa kemoradioterapi dengan Universitas Sumatera Utara atau tanpa kemoterapi adjuvan dapat meningkatkan survival lokoregional KNF stadium lanjut Liu et al, 2013. Penelitian meta-analisis Agulnik dan Siu 2005 terhadap 8 penelitian membandingkan kemoradioterapi dengan radioterapi tunggal. Semua penelitian ini menggunakan radioterapi dan kemoterapi cisplatin, mendapatkan peningkatan survival rate apabila kemoterapi diberikan secara konkuren dengan radioterapi. Meta-analisis ini mengkonfirmasi peranan konkuren kemoradioterapi sebagai penatalaksanaan standard untuk KNF stadium lanjut lokoregional. Sampai sekarang, regimen dengan dasar platinum merupakan standar kemoterapi pada pasien KNF dengan metastasis, dan terapi lini pertama yang paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dengan 5 FU. Kombinasi platinum dengan bahan baru seperti gemcitabine atau paclitaxel telah menunjukkan angka respon yang baik Guigay, 2006. Berdasarkan NCCN 2010, untuk karsinoma nasofaring dengan stadium T1, N1-3; T2-4, setiap N maka diberikan terapi cisplatin 100mgm 2 pada hari 1, 22, 43 atau cisplatin 40mgm 2 d. Pembedahan. setiap minggu bersamaan dengan radioterapi 70 Gy pada tumor primer dan 50 Gy pada pembesaran kelenjar getah bening leher bilateral. Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastasis leher setelah radiasi dan pada pasien tertentu. Pembedahan penyelamatan salvage treatment dilakukan pada Universitas Sumatera Utara kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastasis jauh Chew, 1997; Ignace, 2003; Wei 2003, 2006; Lutzky, 2008.

2.1.9 Pengaruh kemoradioterapi konkuren pada hematopoiesis

Dokumen yang terkait

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

3 65 107

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 1 16

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

1 1 4

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 1 18

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 33

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring - Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 17

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 16

Efek Penghambat COX-2 Selektif Atau Non Selektif Pada Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Respon Klinis Dan Ekspresi Immunohistokimia Pada Karsinoma Nasofaring

0 0 46