Kebijakan impor beras Indonesia dari Thailand periode 2009-2011

(1)

i

LATAR BELAKANG KEBIJAKAN IMPOR

BERAS INDONESIA DARI THAILAND

PERIODE 2009-2011

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh :

Nur Hamidah Wahid

NIM : 108083000082

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v ABSTRAKSI

Skripsi ini menganalisis “Kebijakan Impor Beras Indonesia – Thailand Periode 2009-2011”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan mendasar dan kepentingan Indonesia dalam import beras ke Thailand pada saat terjadinya swasembada beras di Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan itu diimplementasikan tidak hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, melainkan juga karena ada unsur korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah dalam menentukan kebijakan impor beras. Penulis menemukan bahwa, kebijakan Indonesia dalam impor beras ke Thailand didasari dua faktor, internal berupa menurunnya produksi beras nasional, meningkatnya konsumsi beras nasional yang tidak sebanding dengan peningkatan ladang, dan perubahan sistem perekonomian dari agrikultur ke manufaktur. Sementara eksternal berupa pemanasan global dan membaiknya sistem agrikultur Thailand. Sikap pemerintah yang cenderung berikap permisif dengan membiarkan Bulog untuk berhubungan langsung dengan pihak Thailand karena adanya asumsi pemerintah bahwa dengan sistem otonom yang diberikan akan mempermudah kinerja, sementara keberlangsungan impor saat terjadi swasembada beras karena Indonesia sudah kadung menandatangani surat kesepakatan dengan Thailand yang tunduk pada ketentuan di pihak Thailand. Argumen ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat kondisi domestik Indonesia dari opini masyarakat, pemerintah yang berkuasa, serta dinamika hubungan bilateral dengan Thailand, hingga dinamika implementasi program impor sebagai bahan untuk dianalisis menggunakan kerangka pemikiran.

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah Miroslav Nicnic mengenai Kepentingan Nasional, Rosenau mengenai Kebijakan Luar Negeri, dan Kedaulatan Pangan.

Kata kunci : Impor Beras, Bulog, Kebijakan Luar Negeri, Kepentingan Nasional, Kedaulatan Pangan, Indonesia, Thailand


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Sujud syukur atas segala karunia dan rahmat Allah SWT yang telah memberikan penulis kesempatan, kekuatan, kesadaran serta kesabaran untuk bisa

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Kebijakan Impor Beras Indonesia

dari Thailand Periode 2009-2011” demi penyelesaian pendidikan tingkat perguruan tinggi ini.

Selama proses pengerjaan skripsi, penulis banyak menghadapi kendala dan juga rintangan. Namun, penulis mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Tanpa bantuan dan jasa dari pihak-pihak tersebut, penulis tidak akan mampu bertahan sejauh ini dalam proses pendidikan maupun dalam pengerjaan skripsi ini. Sehingga, dalam lembaran ini, penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada mereka, agar jasanya dapat penulis kenang seumur hidup. Dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda penulis, Drs. KH. A. Wahid Hasyim, MA dan Ibunda Penulis, Hj. Siti salamah. Atas jasa, perjuangan, kasih sayang serta pembelajaran hidup yang mereka berikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menjalani proses pendidikan sepanjang ini dan menjadi pribadi yang lebih tangguh serta mandiri dalam menjalani kehidupan di masa yang akan datang.

2. Kakak-kakak serta adik-adik penulis, Saefuddin Wahid, Siti Qomariyah Wahid, Miftahuddin Wahid (Alm.), Fathurrahman Wahid dan Wardatul Ula Wahid yang selalu mewarnai serta menemani hari-hari penulis selama di


(7)

vii

rumah. Semoga kita semua dapat menjadi anak-anak sholeh-sholehah yang membanggakan orang tua kita, bermanfaat serta membahagiakan sekitar kita. 3. Ibu Rahmi Fitriyanti, M. Si selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang

dengan sabar membimbing dan memberikan arahan berharga kepada penulis mengenai penyusunan skripsi yang baik serta wawasan lainnya. Terimakasih atas waktunya dalam membimbing dan memberikan arahan-arahan kepada saya bu, insya Allah saya akan terus menjalankan arahan, nasehat juga ilmu dan wawasan yang sudah ibu berikan. Saya juga senantiasa berdoa semoga ibu senantiasa sehat dan selalu dipermudah urusannya oleh Allah.

4. Bapak Armein Daulay, M. Si selaku dosen pembimbing akademik penulis yang selalu membimbing, memberikan nasehat berharga, serta memberikan informasi-informasi penting kepada penulis sejak pertama menduduki bangku kuliah. Terimakasih banyak pak, tolong doakan kami anak-anak didik bapak agar menjadi anak-anak sukses yang berguna bagi agama, nusa, bangsa terutama bagi sekitar. Kami juga senantiasa berdoa agar bapak selalu berada dalam lindungan dan ridho Allah SWT.

5. Dosen-dosen UIN Jakarta khususnya di jurusan HI yang telah banyak memberikan penulis pelajaran berharga. Terutama kepada Ibu Rahmi, Ibu Dina, Ibu Muthi’, Ibu Alay Najib, Pak Ayyub, Pak Nazar, Pak Kiki, Pak Adian, Pak Agus, Pak Badrus dan Pak Afri, yang telah menginspirasi penulis secara pribadi, dan merupakan dosen-dosen terbaik yang dapat membimbing mahasiswanya dengan ramah, sabar, dan tepat.


(8)

viii

6. Muhammad Kholilur Rahman, terimakasih atas dukungan dan motivasinya pada setiap langkah yang ada. Terimakasih juga atas upaya membuat hari-hari saya lebih ceria dan berwarna. Semua menjadi penuh dengan senyum, canda dan tawa, saat suka maupun duka. Semoga tercapai cita dan cinta yang kita harapkan.

7. Sahabat-sahabat tercinta, kak Windhi Lestari, mpuk Qom, Uswatun Hasanah, Nurul Husna, Imam Pasahhuri. Terimakasih telah mau berbagi suka dan duka. semoga persahabatan kita selalu indah.

8. Sahabat-sahabat seperjuangan, terutama di kelas HI B angkatan 2008, Nurul, Hafiz, Hanifah, Didah, Amel, Neti, Rina, Fitri, Filly, Ika, Naila, Aya dan teman-teman lainnya yang belum bisa disebutkan satu-satu. Terimakasih atas cerita-cerita serta diskusi-diskusi hangat yang sudah kalian bagi. Semoga selalu terjalin silaturahim yang erat diantara kita.

9. Ibu Tuti Laila Sari, yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan referensi-referensi yang berharga dan berguna bagi penyelesaian penulisan skripsi ini.

10.Sahabat-sahabat organisasi dari Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama

(IPPNU), Forum Komunikasi Da’i Muda Indonesia (FKDMI), Badan

Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Koperasi Bhakti Pemuda (KOBHADA), Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 (LAKI 45), We Are One Indonesia dan juga rekan-rekan seprofesi di Komitte Independent Jakarta (KIJ) Event Organizer. Terimakasih atas kebersamaannya. Semoga selalu jaya dan berguna bagi agama, nusa dan bangsa.


(9)

ix

11.Sahabat-sahabat di Pendidikan Dasar Ulama (PDU) Majelis Ulama Indonesia Jakarta Utara, terutama angkatan IV. Terimakasih telah mau berbagi ilmu dan petuah-petuah indah dalam hidup. Semoga persahabatan kita selalu indah dan berkah.

12.Seluruh staf akademik di jurusan HI UIN yang telah banyak membantu penulis dalam pengurusan administrasi serta dokumen-dokumen lainnya. Terutama untuk Pak Jajang yang selalu ramah menyapa dan sigap melayani kebutuhan akademik para mahasiswa FISIP secara umum, dan penulis secara khusus. Terimakasih banyak, Pak.

Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. Penulis meminta maaf karena tidak mampu menyebutkan satu per satu dalam lembaran ini. Namun penulis menghargai dukungan tersebut dan mengucapkan terimakasih banyak.

Jakarta, September 2013


(10)

x DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... iv

KATAPENGANTAR ... v

DAFTARISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A.Pernyataan Masalah ... 1

B.Pertanyaan Penelitian ... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D.Tinjauan Pustaka ... 7

E.Kerangka Pemikiran ... 10

1. Kebijakan Luar Negeri ... 11

2. Kepentingan Nasional ... 13

3. Food Security ... 15

F.Metode Penelitian ... 16

G.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II KONDISI KEDAULATAN PANGAN DAN KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA A. Kondisi Geografis Indonesia ... 20

1. Letak Geografis Indonesia ... 20

2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Indonesia ... 21

B. Kondisi Pangan di Indonesia dan Kebijakan Impor beras dari Thailand tahun 2009-2011 1. Produksi dan Konsumsi beras Indonesia tahun 2009-2011 .... 22

2. Jumlah Produksi dibandingkan dengan Kebutuhan Beras ... 25

3. Kebijakan Impor Beras Indonesia periode 2009-2011 ... 30

4. Kritik Terhadap Kebijakan Impor Beras ... 36

BAB III SISTEM AGRARIA THAILAND DAN KERJASAMA BILATERAL DENGAN INDONESIA PERIODE 2009-2011 A. Kondisi Geografis dan Pertanian Thailand 1. Kondisi Geografis Thailand ... 42

2. Sistem Agraria Thailand ... 43

B. Hubungan Bilateral Thailand-Indonesia 1. Sejarah Hubungan Bilateral Thailand-Indonesia ... 45

2. Sikap Thailand dalam Ekspor Beras ke Indonesia ... 47

3. Kebijakan Impor sebagai Instrument Pengamanan dan Ketentuan World Trade Organization 1. Penggolongan Jenis Kebijakan Tata Niaga Impor ... 51

2. Komitmen RI tentang Akses Pasar Barang di WTO ... 52

3. Perijinan Impor Otomatis ... 53


(11)

xi

BAB IV ANALISA KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA DARI THAILAND PADA 2009-2011

A. Faktor Internal

1. Menurunnya Produksi Beras ... 58 2. Meningkatnya Faktor Konsumsi Beras Masyarakat ... 58 3. Perubahan Konsentrasi Ekonomi dari Basis Agrikultural ke

Industri ... 59 B. Faktor Eksternal

1. PerubahanIklim ... 59 2. Baiknya Sistem Agrikultural di Thailand ... 61 Indikasi Korupsi dalam Impor Beras Indonesia ke Thailand Periode 20092011 ... 62 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... xii LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Table II.B.1 Data Jumlah Penduduk dan Produksi Beras di Indonesia...28 Table II.B.1 Data Harga Dasar Pembelian Pemerintah Gabah dan Beras………29 Table III.A.1 Presentase tanah subur di kawasan ASEAN………..46


(13)

xiii

DAFTAR SINGKATAN APEC Asia Pacific Economic Conference ASEAN Association of Southeast Asian Nastion BULOG Badan Urusan Logistik

CIA Central Intelligent America DTI Ketua Dewan Tani Indonesia

HKTI Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kemendag Kementerian Perdagangan

Kemenkeu Kementerian Keuangan

K3LM Kesehatan Keselamatan, Keamanan, Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa

NAIL Non-automatic Import Licensing NTB non-tariff import barriers

PPFS Policy Partnership on Food Security

QR Quantitive Restriction

REPELITA Rencana Pembangunan Lima Tahunan


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani. Padi merupakan produk pertanian berupa tanaman asli negara-negara Asia termasuk juga Indonesia. Selain itu sebagian besar masyarakat Indonesia percaya, bahwa padi adalah anugerah dari Yang Maha Pencipta sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan umat manusia.1

Masyarakat Indonesia merupakan pengkonsumsi beras terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Kebutuhan yang dikonsumsi per tahun mencapai 33,5 juta ton dan terus meningkat. Dari sisi konsumsi beras perkapitanya, Vietnam mengkonsumsi beras per kapitanya 200-an kg tahun, Indonesia 130 kg per-tahun, Malaysia 80 kg, dan Thailand 70 kg.2

Produksi pertanian padi di Indonesia selalu mengalami pasang surut. Pada pemerintah Orde Baru (Orba), stabilitas ekonomi makro, khususnya inflasi menjadi inti pembangunan ekonomi. Harga beras berperan besar dalam penentuan tingkat inflasi, sehingga harga beras dikendalikan untuk tujuan menstabilkan harga umum. Pemerintah memberikan hak monopoli impor beras kepada Badan Urusan Logistik (BULOG), guna menstabilkan harga beras dalam negeri.

1

BALITPA (Balai Penelitian Padi), Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani, Sukamandi :Badan Litbang Pertanian, 157.

2


(15)

2

Pada masa awal hingga pertengahan orba, yakni antara periode 1970 – 1980an, produksi beras di Indonesia cukup bagus, bahkan tahun 1984 mengalami swasembada beras. Kondisi ini terjadi karena kinerja pemerintah yang sinergis dengan berbagai pihak seperti produsen padi, distribusi padi dan konsumen beras, sehingga distribusi beras dari hulu ke hilir menjadi sistematis.3

Kondisi itu juga ditopang dengan kebijakan makro Soeharto yang menjadikan pembangunan dalam bidang pertanian sebagai prioritas utama dalam program Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Ia berpandangan bahwa dengan semakin membaiknya pembangunan di bidang pertanian, diharapkan dapat diikuti dengan semakin baiknya ketahanan pangan di Indonesia. Ketersediaan pangan yang cukup juga akan mendukung terciptanya ketahanan pangan yang baik. Sementara ketahanan pangan yang baik merupakan modal utama untuk mewujudkan sebuah stabilitas dan ketahanan negara-negara yang baik pula.4

Dalam sebuah pidato Kenegaraan Presiden RI, 16 Agustus 1988, Soeharto mengatakan dalam “Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1983, bahwa prioritas permbangunan diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri serta meningkatkan ekspor, pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja, serta mendorong pemerataan kesempatan usaha”.

3Beddu Amang, dkk. 1999, “Kebijakan Beras dan Pangan Na

sional. Jakarta: IPB Press, 159.

4Beddu Amang, dkk. 1999, “Kebijakan Beras dan Pangan Na


(16)

3

Kerjasama yang sinergis, baik di tataran grass root, pemangku kebijakan, bahkan hingga dukungan presiden yang cukup besar menjadi salah satu dari tiga alasan suksesnya Indonesia meraih kondisi swasembada beras dalam rentan waktu yang cukup lama.

Sejak tahun 1990, kondisi berubah dan memaksa pemerintah untuk menerima kenyataan bahwa Indonesia harus melakukan impor beras. Alasan dilakukannya impor adalah bahwa produksi beras dalam negeri tidak mampu mengejar laju pertumbuhan permintaan beras dalam negeri, seiring dengan pertambahan penduduk, dan juga banyak faktor lain termasuk harga beras dari luar yang lebih murah dan berkualitas.

Salah satu kejadian yang cukup remarkable sekaligus menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia tidak lagi swasembada dan bahkan harus melakukan import adalah adanya peristiwa ketika IPTN menukar dua pesawat CN-235 senilai 34 juta dolar AS ditukar dengan beras ketan dari Thailand.5

Hal tersebut sesuai dengan fakta yang dipaparkan oleh Food Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan bahwa kenaikan produksi bahan makanan di negara-negara berkembang hanya bertambah 1% pertahun, ini berbanding jauh dengan perkembangan penduduk yang menyentuh hingga 4% pertahun. Kondisi ini tentu berpengaruh besar terhadap supply-demand jenis komoditi ini.6

Tahun 1996 kemudian menjadi salah satu titik tersuram dalam persoalan

agricultural di Indonesia khususnya dalam masalah beras. Hal ini sejalan dengan semakin lesunya sistem perekonomian negara baik yang makro maupun yang

5

Tersedia di situs resmi www.library.ohiou.edu, diakses pada tanggal 14 November 2014.

6


(17)

4

mikro. Banyak sektor keuangan dan sektor riil yang tutup, terutama sektor perbankan dan konstruksi. Tingkat pengangguran tiba-tiba bertambah, serta harga barang sulit dikontrol, termasuk harga pangan dan harga beras khususnya.

Memasuki tahun berikutnya, kondisi itu semakin memburuk dengan terjadinya krisis moneter yang membawa nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika melemah hingga menyentuh Rp.14.000 perdolar dari yang sebelumnya yaitu Rp.2.800.7 Krisis yang bermula dari Thailand ini juga yang menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis yang lain seperti sosial dan politik hingga mengantarkan Indonesia ke masa Reformasi seperti saat ini.

Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan yang terjadi di negara tetangga, Thailand. Pada pertengahan tahun 2000-an, Thailand bahkan telah mampu mengatasi krisis, dan mengalami berbagai perkembangan pesat dalam proses pemulihan ekonominya. Pemerintah Thailand tidak pernah lagi menarik dana kepada IMF sejak Juni 1999.8

Keberhasilan Thailand memulihkan perekonomiannya didukung oleh berbagai faktor, termasuk penguatan pangan, produktivitas pertanian (terutama beras) serta peningkatan volume ekspor beras ke negara-negara lain9.

Thailand merupakan salah satu negara pengekspor beras terbesar di dunia, sementara Indonesia merupakan negara pengimpor beras. Berdasarkan data, harga produksi rata-rata gabah atau beras antara Indonesia dan Thailand tidak terlalu

7

http://www.oanda.com/convert/fxhistory , diakses pada 10 June 2015

8

Tri Andrianto, Pengaruh Letter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan Pangan Indonesia, 1995-2009, 63.

9

Tri Andrianto, Pengaruh Letter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan Pangan Indonesia, 1995-2009, 63.


(18)

5

berbeda jauh sekitar 100 US Dollar per ton. Namun harga beras di pasaran antara Thailand dan Indonesia cukup berbeda jauh.

Harga beras di Indonesia sampai awal tahun 2004 berkisar antara Rp. 2.750, 00 – Rp. 3.000, 00. Harga beras di Thailand pada tahun 2004 lebih murah dibandingkan itu. Hal ini dapat menunjukkan bahwa permasalahan yang terjadi tidak hanya pada skala produksi, namun juga terdapat pada rantai distribusi beras tersebut dapat sampai pada konsumen.10

Periode 2009-2011 merupakan periode yang sangat menegangkan dalam perpolitikan Thailand, namun tidak dengan ekonominya. Pada 2008, Thailand menjadi eksportir beras terbesar di dunia akibat beberapa negara pengekspor beras seperti India, Vietnam dan China menghentikan kegiatan ekspor beras mereka karena kasus bencana alam dan kekurangan pangan yang terjadi di negara-negara tersebut.11

Sebagai anggota dalam organisasi regional Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Indonesia dan Thailand juga melakukan kerjasama untuk saling bantu dan mendukung kebutuhan negara masing-masing. Sayangnya, kebijakan pemerintah Thailand pada 2008 justru telah menghancurkan pasaran beras dunia, karena menjual beras Thailand dengan harga yang sangat murah.

Pada tahun 2009-2011, Thailand justru telah menaikkan harga berasnya, hingga lebih mahal dari harga beras lokal Indonesia. Meski demikian, Indonesia tetap mengimpor beras dari Thailand yang terbilang lebih mahal dari harga beras di Indonesia. Hal ini sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun

10

Tersedia di www.analisadaily.com, diakses pada tanggal 23 September 2014.

11


(19)

6

2008, yang menyatakan bahwa produksi beras nasional selalu surplus. Namun, setelah 2008 hingga 2011, Impor beras terus dilakukan.12

Dengan adanya fakta di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Kebijakan Impor Beras Indonesia dari Thailand

Periode 2009-2011”.

Hal yang menarik minat penulis dalam mengangkat permasalahan ini, selain Thailand yang memiliki letak geografis yang dekat dengan Indonesia, juga karena Impor beras pada tahun 2009-2011 menjadi polemik. Karena dalam data BPS, Indonesia sedang mengalami peningkatan produksi padi, tetapi tetap melakukan impor beras dalam jumlah yang cukup banyak, dan diantara yang terbanyak berasal dari Thailand.

B. Pertanyaan Penelitian

Dari pernyataan masalah di atas, maka penulis mengajukan satu rumusan masalah, yaitu: “Mengapa Indonesia Melaksanakan Kebijakan Impor Beras dari Thailand Saat Terjadi Peningkatan Produksi Padi dalam negeri Periode 2009-2011?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui kebijakan impor beras Thailand oleh Indonesia pada tahun 2009-2011.

12

Dokumen Indikator Perekonomian, BPS & Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, 2012, 19


(20)

7

2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi kerjasama Indonesia-Thailand dalam masalah impor beras pada tahun 2009-2011.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Menjadikan penelitian ini bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi penulis dalam menambah pengetahuan serta wawasan berfikir mengenai kebijakan liberalisasi pangan di Indonesia.

2) Hasil Penelitian ini diharapkan menjadi satu masukan yang berguna bagi pemerintah dalam mengevaluasi Kebijakan Liberalisasi Pangan Indonesia, khususnya dalam masalah impor beras yang berdampak pada petani.

3) Bagi Civitas Akademika, hasil penelitian diharapkan menjadi sumbangsih pemikiran agar dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan dan perbandingan dengan berbagai tulisan lain dalam Ilmu Hubungan Internasional mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi kerjasama Indonesia-Thailand dalam masalah impor beras pada tahun 2009-2011.

D. Tinjauan Pustaka

Kebijakan impor beras dari Thailand bukanlah merupakan suatu hal yang baru, bahkan kebijakan impor beras sudah menjadi satu topik yang sering menimbulkan kontroversi (pro-kontra) dari banyak pihak, namun hal ini jarang sekali menjadi sorotan para peneliti dalam menganalisa kasus tersebut.


(21)

8

Penulis menemukan beberapa penelitian yang berkaitan, diantaranya penelitian Tia Vinita, tesis berjudul“ Implikasi Letter of Intent IMF dalam Kebijakan Impor Beras Indonesia (2004-2010)”, Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Indonesia, 2012. Penelitian Kualitatif dengan deskriptif analitis. Teori yang digunakan adalah Neoliberalisme dan Otonomi Negara. Hasil penelitian memaparkan terdapat tiga implikasi Loi IMF yang masih dirasakan sampai saat ini yaitu terbukanya pasar beras dalam negeri, privatisasi BULOG, dan hilangnya subsidi KLBI.13

Penelitian Tri Andrianto, dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Letter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Kedaulatan Pangan Indonesia”,

1995-2009”, Jurusan Hubungan Internasional, FISIP UI, 2012.

Dalam skripsinya, Tri Andrianto mengambil judul yang hampir sama dengan tesis Tia Vinita yang berjudul“ Implikasi Letter of Intent IMF dalam Kebijakan Impor Beras Indonesia (2004-2010)” di atas. Perbedaanya adalah

skripsi Andrianto meneliti Pelemahan Kedaulatan pangan komoditas Indonesia akibat implementasi dari Letter of Intent IMF periode 1995-2009.

Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Indonesia mengalami pelemahan kedaulatan pangan beras, serta akses terhadap beras dari segi ketersediaan diukur dari perbandingan jumlah konsumsi per tahun dengan stok yang tersedia.

Stabilitas pasokan diukur dari perbandingan volume beras domestik dan beras impor, sedangkan akses diukur dari harga eceran beras setiap tahun,

13

Tia Vinita, Implikasi Liter of Intent IMF dalam Kebijakan Impor Beras Indonesia


(22)

9

stabilitas menunjukkan angka impor beras yang fluktuatif dan cenderung naik dan akses menunjukkan harga eceran beras yang terus naik setiap tahunnya.14

Kemudian penelitian Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, dalam disertasinya yang berjudul “Analisis Dampak Perdagangan Bebas Asean Terhadap Pengembangan Komoditas Pangan Utama Indonesia”, di Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012, Saktyanu Kristyantoadi menggunakan metode deskriptif kualitatif dan Model Analisis Perdagangan Global (Global Trade Analysis Project/GTAP Modeling).15

Menurut Saktyanu, hasil analisis dampak perdagangan bebas ASEAN terhadap pengembangan produk pangan Indonesia menunjukkan hanya produksi (output) padi saja yang mengalami penurunan (negatif) sehingga memerlukan dukungan kebijakan pengembangan pertanian padi.16

Tidak jauh berbeda dari penelitian sebelumnya, penelitian Dian Eko Prasetyo, dalam skripsinya berjudul “Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras di Indonesia”, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Surabaya tahun 2011.

Dengan menggunakan Teori Perdagangan Internasional Teorema Hecksher – Ohlim(H – O). Prasetyo dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras Indonesia diantaranya: produksi beras, harga beras, kurs rupiah terhadap dollar, dan jumlah penduduk.Hal-hal

14

Tri Andrianto Pengaruh Litter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan Pangan Indonesia, 1995-2009, Skripsi, FISIP UI, 2012, 4.

15

Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, Analisis Dampak Perdagangan Bebas Asean Terhadap Pengembangan Komoditas Pangan Utama Indonesia, Disertasi, UGM, 2012, 17.

16

Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, Analisis Dampak Perdagangan Bebas Asean Terhadap Pengembangan Komoditas Pangan Utama Indonesia, Disertasi, 84.


(23)

10

tersebut sangat berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan impor beras dan yang paling berpengaruh adalah fluktuasi harga beras.17

Penelitian yang dilakukan oleh penulis tentu berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penulis mencoba menemukan faktor-faktor apa yang melatarbelakangi kebijakan impor beras Thailand oleh Indonesia pada tahun 2009-2011, dimana pada periode tersebut harga beras Thailand lebih mahal dari harga beras petani lokal (Indonesia), Namun Indonesia tetap saja melakukan impor dengan volume yang cukup besar.

Perbedaan lainnya adalah penulis menggunakan dengan metode deskriptif kualitatif. Dalam hal ini, penulis mencoba melakukan analisa dengan menggunakan beberapa teori dan konsep, diantaranya, national interest, food securty dan kebijakan luar negeri yang diharapkan dapat menjelaskan adanya faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijakan impor beras Thailand oleh Indonesia pada tahun 2009-2011.

E. Kerangka Pemikiran

Guna menganalisa pertanyaan penelitian di atas, penulis menggunakan teori Kepentingan Nasional, Kebijakan Luar Negeri, dan Kedaulatan Pangan. Kepentingan nasional digunakan untuk menjelaskan dan memetak secara sistematis dinamika domestik Indonesia dari berbagai sisi seperti sosial, ekonomi dan budaya, yang kemudian berakomulasi menjadi kepentingan nasional.

Kebijakan Luar Negeri digunakan untuk menjelaskan dinamika kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia, berikut strategi yang digunakan, hingga

17

Dian Eko Prasetyo, Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras di


(24)

11

kemudian mengerucut pada alasan kebijakan tersebut diimplementasikan. Sementara Food Security, akan berfokus pada penjelasan mengenai pangan di Indonesia berikut pasang surut yang terjadi dalam rentan waktu antara 2009-2011.

1. Teori Kebijakan Luar Negeri

Setiap negara memiliki kepentingan nasional yang ingin dicapai. Kepentingan tersebut dilaksanakan dengan melakukan interaksi dengan negara ataupun aktor lain dalam politik internasional. Rumusan kepentingan nasional serta tujuan bersama suatu negara diformulasikan ke dalam kebijakan luar negeri.

Setiap negara dan setiap periode pemerintahan negara memiliki rumusan kebijakan luar negeri yang berbeda, tergantung pada situasi ataupun kondisi domestik maupun internasional yang sedang terjadi. Berikut definisi kebijakan luar negeri menurut beberapa ilmuan.

Kebijakan luar negeri menurut Rossenau (1974) merupakan tindakan otoritatif yang diambil oleh pemerintah baik untuk menjaga aspek yang diinginkannya dari lingkungan internasional, maupun mengubah aspek yang tidak diinginkan.

Kebijakan luar negeri dibuat bedasarkan kalkulasi dan orientasi atas tujuan yang akan dicapai. Bentuk kebijakan luar negeri dapat berupa hubungan diplomatik, mengeluarkan doktrin, membuat aliansi, mencanangkan tujuan jangka panjang maupun jangka pendek.18

Kebijakan luar negeri dapat dikatakan sebagai strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi

18


(25)

12

negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.

Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya itu, Negara-negara maupun aktor dari Negara tersebut melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional, dan multilateral.19

Pada titik ini dapat disimpulkan, bahwasannya kebijakan luar negeri suatu negara ditujukan untuk memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara. Adapun aksi yang dilakukan adalah dengan melaksanakan kerjasama-kerjasama internasional guna mencapai kepentingan nasional.

Pada dasarnya suatu negara akan tergantung pada negara lainnya dalam pemenuhan kepentingan nasional, karena negara juga merupakan cerminan dari masyarakat sosial yang ada di dalamnya. Mereka tentu membutuhkan masyarakat lain untuk bisa saling melengkapi kebutuhan-kebutuhan sosialnya.

Howard Lentner mendefinisikan kebijakan luar negeri setidaknya harus mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan yaitu, Penentuan tujuan yang hendak dicapai (Selection of objectives) pengerahan sumberdaya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut (mobilizations of means) dan pelaksanaan (Implementation) dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara actual menggunakan sumber daya yang ditetapkan.20

19

Banyu Perwita, Anak Agung & Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional., 2205, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 49.

20

Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori & Praktik, 2008, Yogyakarta: Graha Ilmu, 9.


(26)

13

Dalam kebijakan impor beras Indonesia dari Thailand, terdapat pula tujuan yang hendak dicapai kedua negara yang tentunya sebagai upaya pemenuhan kepentingan nasional Indonesia sebagai importir maupun Thailand sebagai eksportir. Hal ini dilakukan dengan menggunakan instrumen kerjasama berupa kebijakan impor beras Indonesia dari Thailand pada tahun 2009-2011.

2. National Interest (Kepentingan Nasional)

Kepentingan nasional (national interest) dipahami sebagai konsep kunci dalam politik luar negeri. Konsep tersebut dapat diorientasikan pada ideologi suatu negara maupun pada sistem nilai pedoman perilaku negara ataupun sistem nilai sebagai pedoman perilaku negara. Artinya bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri bisa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ideologis ataupun dapat terjadi atas dasar pertimbangan kepentingan.

Namun bisa juga terjadi interplay antara ideologi dengan kepentingan sehingga terjalin hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara pertimbangan-pertimbangan ideologis dengan pertimbangan-pertimbangan kepentingan yang tidak menutup kemungkinan terciptanya formulasi kebijaksanaan politik luar negeri yang lain atau baru21.

Menurut Jack C. Plano dan Roy Olton22, kepentingan nasional adalah tujuan mendasar serta faktor yang paling menentukan yang memandu para pembuat keputusan dalam merumuskan politik luar negeri. Miroslav Nicnic mempersyaratkan setidaknya ada tiga kriteria yang disebutnya sebagai asumsi

21

Sumpena Prawira Saputra, Politik Luar Negeri Indonesia , Remaja Karya Offset, Jakarta: 1985, 24.

22

Jack C. Plano, Roy Olton, The International Dictionary, terj. Wawan Juanda, Third Edition, England : lio Press Ltd, England, 1982, 7.


(27)

14

dasar, yang harus dipenuhi dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Pertama, kepentingan itu harus bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas utama pemerintah dan masyarakat. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan dengan lingkungan internasional. Dan terakhir, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok, atau lembaga pemerintah sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara keseluruhan23.

Kepentingan nasional merupakan konsepsi umum, tapi merupakan unsur yang menjadi kebutuhan sangat vital bagi negara. Unsur tersebut mencakup kelangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer, dan kesejahteraan ekonomi. Menurut Morgenthau, kepentingan nasional suatu negara yaitu mengejar kekuasaan yaitu apa saja yang dapat membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain24.

Untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya demi menjaga Kedaulatan pangan nya dengan impor beras dari Thailand. Hal ini pun berimbas kepada petani dalam negeri, karena adanya beras impor, maka petani kurang dapat bersaing, selain kualitas beras dalam negeri kualitasnya kurang bagus, harga beras impor lebih murah, maka dampak negatif yang dirasakan petani sangat besar.

23

Miroslav Nicnic. 1992. Democracy and Foreign Policy, The Falacy of Political Realism, New York : Columbia University Press, 157.

24 Mochtar Mas‟oed,

Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta, LP3ES, 1990), 140.


(28)

15

Hal ini tentu akan menjadi kajian yang menarik mengenai apakah kepentingan nasional Indonesia dalam permasalahan ini telah tercapai atau belum tercapai.

3. Food Security (Kedaulatan Pangan)

Dari perspektif sejarah istilah Kedaulatan pangan (food security) muncul dan dibangkitkan karena kejadian krisis pangan dan kelaparan.25 Istilah Kedaulatan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara–negara berkembang dari krisis produksi dan suplay makanan pokok.

Definisi Kedaulatan pangan oleh PBB sebagai berikut: food security is availability to avoid acute food shortages in the event of wide spread coop vailure or other disaster.26 Selanjutnya definisi tersebut disempurnakan pada Internasional Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara anggota PBB sebagai berikut: tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

Berdasarkan definisi Kedaulatan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996 tentang pangan, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi Kedaulatan pangan yaitu: (1)Kecukupan ketersediaan pangan; (2)Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; (3)

25

Tom Edward Marasi Napitupulu, Pembangunan Pertanian dan pengembangan Agroindustri. Wibowo, R. (Ed) Pertanian dan pangan, 2000, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 22.

26

Wibowo, R., Penyediaan Pangan dan Permasalahannya, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 40.


(29)

16

Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan; dan (4)Kualitas/keamanan pangan.27

Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur Kedaulatan pangan di tingkat rumah tangga setiap penduduk. Keempat indikator ini, merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks Kedaulatan pangan. Ukuran Kedaulatan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggabungkan keempat komponen indikator Kedaulatan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks Kedaulatan pangan.

Dalam permasalahan impor beras, sebaiknya Indonesia melihat segi kepentingan Kedaulatan ekonomi petani lokal. Dalam hal ini mengutamakan nasib para petani yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan kebijakan impor beras sangat merugikan para petani Indonesia, karena harga beras lokal jatuh dibawah harga beras negara lain yaitu beras Thailand dan juga Vietnam.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu proses untuk menjelaskan sebuah kejadian agar dapat bersifat ilmiah.28 Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang lebih mementingkan ketepatan dan kecukupan data dengan penekanan kepada kesesuaian antara data dan fakta.29

Menurut Creswell, penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian seperti asumsi/dugaan, nilai, dan pendapat dari peneliti sehingga menjadi jelas dalam

27

Wibowo, R., Penyediaan Pangan dan Permasalahannya, 41.

28

W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Edisi Keempat, Massachusets : Allyn and Bacon, 2000, 63.

29

Bagong Suyanto, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta : Kencana, 2007, 175.


(30)

17

hasil akhir suatu penelitian.30 Dengan demikian, penulis dapat melakukan analisa atas data-data kualitatif dengan menggunakan teori serta kerangka pemikiran agar dapat mengelaborasi permasalahan tersebut secara lebih jelas.

Dalam proses pengumpulan data penelitian, terdapat tiga langkah dalam mengumpulkan data penelitian. Pertama, adanya pengaturan tentang pembatasan dalam pembahasan suatu masalah penelitian. Kedua, mengumpulkan informasi dengan melakukan pengamatan, wawancara, pengumpulan dokumen-dokumen dan bahan visual. Ketiga, membuat suatu protokol untuk mencatat atau merekam setiap informasi.31

Oleh karena itu, penulis memberikan batasan masalah pada faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijakan impor beras Indonesia dari Thailand pada tahun 2009-2011. Masalah utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai konsep Kedaulatan pangan Indonesia dengan fokusnya mengenai kebijakan impor beras Indonesia dari Thailand pada tahun 2009-2011.

Penelitian ini juga berupaya menganalisa bagaimana diplomasi ekonomi yang ditawarkan oleh Thailand, sehingga Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk melakukan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit, kendati pada faktanya suplay beras dalam negeri memiliki ketersediaan yang cukup.

Terkait teknik pengumpulan data, penulis menggunakan kajian literatur serta studi pustaka terhadap data-data dengan menggunakan sumber baik berupa jurnal, buku, artikel, hasil penelitian, serta dokumen-dokumen lainnya.Selain itu

30

J.W. Creswell, Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, London: SAGE Publications, 1994, 134.

31


(31)

18

juga, penulis menghimpun data kuantitatif yang sesuai dengan pembahasan dan dapat mendukung argumen/penulisan skripsi ini.

Selain itu, dalam pengumpulan data, penulis juga melakukan internet research atau penggunaan data-data yang diperoleh dari situs (website) internet.Namun penulis hanya menggunakan data dari situs yang dianggap relevan dan otoritatif sesuai dengan data yang dibutuhkan. Data yang diperoleh melalui

internet research ini bersifat sebagai data tambahan/pendukung.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka

E. Kerangka Pemikiran F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

BAB II: INDONESIA DAN KEBIJAKAN IMPOR BERAS TAHUN 2009-2011

A. Kondisi Geografis di Indonesia 1. Letak Geografis Indonesia.

2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Indonesia.

B. Kondisi Pangan di Indonesia dan Kebijakan Impor Beras dari Thailand tahun 2009-2011.

1. Produksi Beras Indonesia Tahun 2009-2011.

2. Konsumsi Beras Masyarakat Indonesia dan Fluktuasi Harga Beras Tahun 2009-2011.

3. Kebijakan Impor Beras Indonesia.

BAB III: SISTEM AGRARIA THAILAND DAN KERJASAMA BILATERAL DENGAN INDONESIA

A. Kondisi Geografi dan Pertanian Thailand. 1. Letak Geografis Thailand


(32)

19 2. Sistem Agraria Thailand

B. Hubungan Bilateral Thailand-Indonesia .

1. Sejarah Kerjasama Import Beras Ke Thailand

2. Response Pemerintah Indonesia dalam Import Beras ke Thailand 3. Response Thailand dalam Import Beras Indonesia

C. Kebijakan Impor sebagai Instrument Pengamanan dan Ketentuan

World Trade Organization

1. Penggolongan Jenis Kebijakan Tata Niaga Impor. 2. Komitmen RI tentang Akses Pasar Barang di WTO 3. Perijinan Impor Otomatis.

4. Pemberian ijin impor Non-automatic Import Licensing.

BAB IV : KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA-THAILAND TAHUN 2009-2011

A. Faktor Internal B. Faktor Eksternal BABV : PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran


(33)

20 BAB II

KONDISI KEDAULATAN PANGAN DAN KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA

Sebagaimana dijelaskan pada Bab I, untuk menjelaskan penelitian ini, penulis akan menggunakan teori kebijakan luar negeri, konsep kepentingan nasional dan Food Security. Oleh karena itu, Bab II ini akan menjelaskan sekilas tentang kondisi Indonesia, dari geografis, kondisi social-ekonomi masyarakat, lalu kemudian dilanjutkan dengan kondisi pangan Indonesia periode 2009-2011, dinamika yang mempengaruhinya, hingga kritik dari berbagai pihak.

A. Kondisi Geografis di Indonesia

1. Letak Geografis Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang membentang dari ujung timur di Sabang hingga ujung barat Merauke. Di bagian timur berbatasan dengan Papua New Guinea, di utara berbatasan dengan Philippines, dan Malaysia, selatan dengan Australia, dan barat dengan Malaysia dan Singapura.

Posisinya yang berada tepat di lintas katulistiwa, menjadikan Indonesia memiliki dua musim: hujan dan kemarau, sekaligus menjadi wilayah yang hutannya sangat penting untuk iklim di dunia.

Menurut Arias, posisi Indonesia berada di antara dua samudera dan dua benua serta merupakan negara kepulauan dengan topografi yang sangat beragam.


(34)

21

Kondisi ini menjadikan Iklim Indonesia sangat dinamis dan kompleks. Beberapa faktor yang berperan terhadap iklim Indonesia antara lain : fluktuasi suhu permukaan laut, Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ), Dipole Mode Index (DMI), suhu permukaan laut Pasifik ekuator, Monsun Asia Tenggara-Australia, sirkulasi Hadley dan Walker serta arus lintas Indonesia32.

Selain hal itu, iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh tiga sistem peredaran angina, yaitu : angina pesat, meridional, dan loka. Keseluruhan komponen tersebut membentuk suatu sistem baik lokal, regional, maupun global, yang turut menentukan variabilitas dan keragaman iklim Indonesia. dan perubahan pola cuaca curah hujan33.

2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Indonesia

Sebagai negara kepulauan serta terletak di lintas katulistiwa, jauh tahun sebelum kemerdekaan, masyarakat Indonesia berprofesi sebagai petani, nelayan, serta sebagian lainnya sebagai pedagang. Demikian, sejalan dengan modernisasi dan globalisasi, pemerintah mulai merubah haluan dari yang dulunya berkonsentrasi di ketiga sektro itu, menambahnya dengan sektor industri.

Menurut Hidayat, pembangunan ekonomi selama setengah abad terakhir telah berhasil mengubah struktur perekonomian Indonesia dari yang berbasi

32

Arias Pramudia, et all. Dalam Fenomena dan Problematika Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam. [Database Online] Dapat diakses di http://pintar.pdkjateng.go.id/uploads/users/tarjani/materi/SD_Letak_Geografis_dan_Astronomis_I

ndonesia_serta_Pengaruhnya_2014-10-15/Letak_Geografis_dan_Astronomis_Indonesia_serta_Pengaruhnya.pdf Hal 53 diakses pada 10 June 2015

33

Arias Pramudia, et all. Dalam Fenomena dan Problematika Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam. [Database Online] Dapat diakses di http://pintar.pdkjateng.go.id/uploads/users/tarjani/materi/SD_Letak_Geografis_dan_Astronomis_I

ndonesia_serta_Pengaruhnya_2014-10-15/Letak_Geografis_dan_Astronomis_Indonesia_serta_Pengaruhnya.pdf Hal 54 diakses pada 10 JJune 2015


(35)

22

kepada sektor pertanian menjadi prekonomian yang berbasis pada sektor Industri. Bahkan lebih jauh, Hidayat juga memaparkan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian menurun tajam, dari sebesar 56,3% pada 1962 menjadi hanya 14,7% pada 2011. Bahkan sempat turun pada level 13% pada 2005-2006. 34

B. Kondisi Pangan di Indonesia dan Kebijakan Impor Beras dari Thailand

tahun 2009-2011

1. Produksi dn Konsumsi Beras Indonesia Tahun 2009-2011

Indonesia merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya memiliki matapencaharian di bidang pertanian. Akan tetapi, petani Indonesia bukanlah masyarakat yang tingkat kesejahteraannya tinggi, dan mayoritas petani adalah bukan pemilik lahan sawah pertanian atau hanya sebagian besar adalah petani buruh (petani yang tidak memiliki lahan pertanian, atau hanya merupakan pekerja buruh harian di ladang pertanian).

Mereka merupakan orang-orang yang masih miskin dan terpinggirkan. Mereka sering dirugikan oleh masalah kebijakan perberasan yang dilakukan oleh pemerintah. Belum lagi masalah sosial ekonomi lain yang mereka hadapi sebagai petani. Permasalahan beras dan petani menjadi sebuah ironi bagi negeri ini. Sebuah ironi karena negara ini merupakan negara peghasil beras, akan tetapi melakukan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit.

Pada umumnya sebagian masyarakat menganggap bahwa impor beras dipicu oleh produksi atau suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi seperti yang dijadikan alasan pemerintah. Akan tetapi, pada kenyataannya impor beras

34

Hidayat Amir. Dalam Sektor Pertanian : Perlu Upaya Akselerasi Pertumbuhan. [Database Online] dapat diakses di www.perpustakaan.depkeu.go.id Diakses pada 10 June 2015.


(36)

23

dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus beras.

Pemerintah terus menegaskan bahwa alasan impor beras adalah karena adanya keterbatasan volume produksi hasil pertanian padi sehingga ketersediaan beras menjadi masalah bagi negara. Namun sebenarnya itu hanya alasan yang tidak dapat dibenarkan oleh publik dengan adanya impor beras pada 2009, karena pada 2009 terdapat data yang berupa angka statistik bahwasannya produksi padi/beras mengalami surplus atau kenaikan sebesar 6,75 %.35

Pada 2009, wilayah seperti Jawa sebagai penghasil padi terbesar di Indonesia bahkan harus menerima beras impor. Bibit Waluyo (Gubernur Jawa Tengah) mengungkapkan bahwa dirinya menyatakan berada dalam posisi dilematis saat muncul penilaian dari beberapa fraksi di DPRD Jateng yang menyebutkan bahwa dirinya inkonsistensi terkait dengan pernyataannya siap menerima 180.000 ton beras impor dari Thailand pada tiga bulan ke depan.

“... Jawa tengah mengalami surplus beras sebagai fakta, namun Bulog belum mampu memenuhi kebutuhan untuk raskin” Secara logika ekonomi, kondisi surplus dengan permintaan relatif tetap, akan menurunkan harga. Tetapi faktanya harga beras terus naik di berbagai pasar di Semarang antara Rp7.800 dan Rp 8.100 per kg (SM, 27/09/11). Padahal Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp 5.060 per kg sehingga petani tidak mau menjual ke Bulog karena selisih harga yang relatif jauh lebih mahal.36

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), sebenarnya sejak 2008 produksi beras nasional selalu surplus. Tetapi anehnya, sejak 2008 hingga 2011, Impor

35

Tabel Produksi, Konsumsi, Surplus dan Penyediaan BULOG 2003 - 2013

36

Purbayu Budi Santosa “Beras dan Posisi Dilematis Bibit”; Suara Merdeka,30 September 2011.


(37)

24

beras terus dilakukan.37 Bulog selalu berdalih kalau data produksi yang ada tidak bisa dijadikan pijakan. Menurut Bulog, meskipun data yang ada menunjukkan surplus, hal itu belum bisa menjamin amannya ketersedian pasokan beras setiap bulannya.38

Pada 2010, sebenarnya Indonesia juga dalam kondisi surplus, namun surplus sebesar 1,17 %, merupakan kondisi yang jauh menurun dibanding tahun 2009, yang surplus 6,7 %, dengan peningkatan produksi padi tahun 2010 hanya 3,22 %.39 Karena itu, pada 2010 impor dilakukan dengan alasan untuk menjamin ketersediaan (stok) beras, dimana tingkat kebutuhan masyarakat Indonesia akan beras selau meningkat termasuk di tahun ini. Data Bulog bahwa produksi yang ada belum bisa dijadikan pijakan.

Selama ini, penghitungan produksi beras dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan Kementrian Pertanian. Untuk menghitung produksi beras, BPS menggunakan hasil perkalian antara produktivitas tanaman padi per hektar dan luas panen. Pengukuran produktivitas yang dilakukan oleh BPS melalui survei ubinan sebenarnya sudah cukup akurat, masalahnya adalah pada penghitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang masih mengandalkan metode pandangan mata.40

Dalam prakteknya, mantri tani hanya melihat hamparan padi, lalu memperkirakan luasnya. Akurasi cara seperti ini tentu sangat lemah, belum lagi kalau data luas panen dikerjakan di atas meja, yang akhirnya terjadi laporan dari

37

Sumber Laporan BPS

38

Sumber hasil wawancara dengan pegawai Bulog, 2014.

39

Sumber bulog; Tabel Produksi, Konsumsi, Surplus, dan Penyediaan Bulog 2003-2013.

40


(38)

25

menyusutnya pertumbuhan produksi padi, yang merupakan bahan baku membuat beras, sebagai bahan makanan pokok bangsa Indonesia, sehingga pemerintah tetap beralasan untuk melakukan impor beras dari Thailand dan juga negara lainnya.

Dalam rentan waktu 2009-2011, pemerintah mulai gencar melakukan kampanya untuk mengurangi konsumsi nasi, dengan menggantinya dengan umbi-umbian seperti ubi, kentang, dan singkong, serta biji-bijian seperti jagung dan gandum yang hanya dikonsumsi sebagian kecil masyarakat di daerah. Di samping itu juga, pemerintah melakukan kampanya tersebut untuk mengurangi konsumsi beras yang disebut-sebut menjadi salah satu penyebab tingginya diabetes di Indonesia.

Dengan konsumsi beras mencapai 139 kg/kapita/tahun saat, Indonesia adalah konsumen beras terbesar di dunia. Maklum, orang Indonesia makan nasi seperti minum obat, tiga kali sehari. Bukan makan namanya kalau tanpa nasi. Jika kebiasaan makan nasi orang Indonesia dapat dirubah, maka akan berdampak besar pada penurunan konsumsi beras. Kebutuhan beras dalam negeri dapat ditekan dengan program diversifikasi pangan yang harus digalakkan agar masyaratkat tidak terlalu bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama saat ini. Seperti diketahui bersama bahwa sekitar 80 % kebutuhan karbohidrat orang Indonesia dipenuhi dari beras.

2. Jumlah Produksi Dibandingkan dengan Kebutuhan Beras

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa jumlah penduduk Indonesia cenderung naik setiap tahunnya, tetapi tidak pada produksi beras di Indonesia yang berfluktuasi. Dan pada tahun 1990, 1993, 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2005


(39)

26

terjadi penurunan jumlah produksi beras dari tahun sebelumnya. Sedangkan peningkatan permintaan terhadap beras harus diikuti dengan peningkatan penawaran (ketersediaan) beras domestik, karena apabila produksi beras domestik tidak mencukupi kebutuhan atau permintaan penduduk, maka akan dilakukan impor beras.

Table II.B.1. Data Jumlah Penduduk dan Produksi Beras di Indonesia Tahun 1990 sampai 2005

Tahun Jumlah Penduduk Indonesia (000 000 jiwa)

Produksi Beras Indonesia (000 ton)

1990 179.30 28 453

1991 181.38 28 178

1992 184.49 30 358

1993 187.60 30 320

1994 190.68 29 417

1995 193.75 31 349

1996 196.80 32 215

1997 199.84 31 093

1998 202.91 31 040

1999 202.83 32 031

2000 205.13 32 693

2001 207.93 31 806

2002 210.74 32 444

2003 213.55 32 861

2004 216.38 34 102

2005 219.21 34 028

2006 222,74 54 454

2007 225,64 57 157

2008 228,52 60 325

2009 231,37 64 398

2010 237,64 66 469

2011 237,64 68 061


(40)

27

Pembangunan sektor pertanian merupakan fokus dari kegiatan pembangunan nasional yang dilaksanakan sejak Pelita I. Beberapa alasan kuat mengapa peningkatan produksi beras merupakan titik berat pembangunan di sektor pertanian antara lain: (1) beras merupakan makanan pokok dan sumber utama penyedia kalori, (2) sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian tanaman pangan, dan (3) memiliki saham terbesar dalam indeks harga konsumen yang menjadi indikator pengukur stabilitas ekonomi.41

Kebijakan harga gabah dan beras merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan ketahanan pangan nasional. Kebijakan harga gabah tidak efektif apabila tidak diikuti dengan kebijakan lainnya. Kebijakan harga murah tidak dianjurkan, karena bukti-bukti empiris menunjukan bahwa kebijakan ini telah menyengsarakan petani padi dan tidak mampu mendorong sektor industri untuk bersaing di pasar dunia.

Kebijakan stabilitas harga beras di pasar domestik yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani, merupakan paket kebijakan yang sangat diperlukan oleh petani padi.42

Table II.B.1. Data Harga Dasar Pembelian Pemerintah, Harga Gabah Tingkat Petani dan Harga Beras Eceran di Indonesia Tahun 1980 sampai

2005

TAHUN HPP

(Rp/Kg)

HGTP (Rp/Kg)

HBE (Rp/Kg) 1980 105 189.32 198.39 1981 120 212.16 226.19

41

Majalah Pangan, Departemen Pertanian. 1989. 12.

42

Malian,et.al..”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan harga

Beras serta Inflasi Bahan Makanan”. 2004, Publikasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial


(41)

28

1982 135 229.61 254.92

1983 145 274.69 304.24

1984 165 284.81 330.97 1985 175 288.59 322.07 1986 175 167.27 345.24

1987 190 184.73 386.86

1988 210 381.62 469.20

1989 250 475.48 469.56

1990 270 466.68 525.17

1991 295 517.47 557.84

1992 330 303.70 603.68

1993 340 284.05 592.25

1994 360 325.83 660.37

1995 400 419.81 776.38

1996 450 432.75 880.00

1997 525 498.27 1 064.03

1998 800 933.01 2 099.71

1999 1 400 1 159.43 2 665.58

2000 1 400 964.72 2 424.22

2001 1 500 1 141.22 2 537.09 2002 1 519 1 255.46 2 826.06 2003 1 725 1 249.33 2 785.85 2004 1 740 1 258.31 2 850.96 2005 2 250 1 567.67 3 478.87

Sumber: BPS, 1980-2005

Secara umum, salah satu permasalahan permintaan beras di Indonesia adalah harga beras yang relatif tinggi dan cenderung naik seiring dengan berkembangnya jaman (dapat dilihat pada Tabel 2.5 di atas). Masalah kenaikan harga beras, secara ekonomi adalah masalah penawaran dan permintaan, seperti yang dikemukakan oleh Hutauruk bahwa luas areal panen responsive terhadap harga dasar padi dan harga padi pada jangka panjang.43

Untuk menekan harga beras, pemerintah harus menjaga harga yang berkolerasi langsung dengan ongkos produksi dan menjamin keuntungan

43

Hutauruk, J. Analisis, ”Dampak kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk

terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia”, 1996, Tesis. Institut Pertanian Bogor, 22.


(42)

29

petani. Hal ini dapat diwujudkan apabila BULOG membeli gabah langsung dari petani.44 Pada Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa besarnya harga gabah tingkat petani masih lebih kecil nilainya dibandingkan dengan harga dasar pembelian pemerintah sedangkan harga beras eceran cenderung naik.

Kebijakan insentif berupa penetapan harga dasar yang dilanjutkan dengan harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) tidak akan terlaksana secara efektif, apabila pemerintah tidak menetapkan kebijakan pendukung yang

compatible dengan HDPP. Pengurangan subsidi pupuk tahun 1998 tidak efektif, karena apabila dilakukan penghapusan subsidi pupuk maka kebijakan harga dasar menjadi tidak efektif.45 Hal itu akan menurunkan pendapatan petani produsen dan mutu intensifikasi yang diterapkan oleh petani padi.46

Kebijakan proteksi tidak mungkin dilakukan secara terus menerus dalam jangka panjang karena tuntutan globalisasi yang semakin kuat.

Oleh karena itu, upaya-upaya perbaikan efisiensi kebijakan beras nasional, baik aspek budi daya (perbaikan teknologi, irigasi dan lain-lain), pascapanen (prontokan, pengeringan, penyimpanan), pengolahan (penggilingan) maupun pemasaran hasil (perbaikan infrastruktur, informasi pasar, dan lain-lain), perlu terus dijalankan untuk mempersiapkan agribisnis beras nasional dalam menghadapi serbuan produk impor sejenis dari negara lain.

44

Saragih B. . Suara Dari Bogor: Membangun Sistem Agribisnis. 2006, Jakarta : Pustaka Wirausaha Muda, 22.

45

Malian,et.al.2004.”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan”. 21.

46

Malian,et.al.2004.”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan harga


(43)

30

3. Kebijakan Impor Beras Indonesia Periode 2009-2011

Kenyataan yang diakui oleh pemerintah Indonesia tentang impor beras adalah Indonesia membutuhkan banyak beras, dan impor menjadi pilihan yang tepat. Pada hakekatnya kepentingan nasional Indonesia adalah menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, maka kepentingan nasional Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum dan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kepentingan Indonesia terhadap Thailand jelas seperti tertuang dalam UUD 1945, dan termasuk didalamnya adalah upaya menjalin kerjasama guna memelihara legitimasi atas wilayah NKRI dan segenap kepentingan NKRI termasuk kepentingan sosial-ekonomi, sosial-budaya, kepentingan politik dan militernya.

Hal yang sama bagi Thailand, Indonesia adalah mitra yang baik, potensial dan sangat aktif, kooperatif dalam membantu Thailand. Selain kerjasama ekonomi termasuk impor beras, Thailand juga selalu mendapatkan bantuan atas penanganan kondisi krisis dan konflik di Thailand. Dalam masalah impor beras, Thailand sangat berkepentingan untuk dapat menguasi pasar beras di Indonesia.


(44)

31

Hal ini tercermin antara lain dari angka pertumbuhan nilai investasi dan perdagangan antara kedua negara. Diantaranya adalah semakin meningkatnya kunjungan oleh pejabat dan pengusaha di kedua negara dan semakin menguatnya konektivitas masyarakat antara kedua negara. Selain itu, meningkatnya investasi Thailand di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Thailand dalam menetapkan Indonesia sebagai negara tujuan utama investasi Thailand di samping Myanmar dan Vietnam. 47

Meskipun banyak kritikan dari masyarakat dalam dan luar negeri, pemerintah terbukti akan terus memperpanjang impor beras dari Thailand selama dua tahun ke depan. Dalam perjanjian perdagangan dengan Thailand, kerjasama impor beras sedianya berakhir tahun 2011. Namun Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu mengungkapkan demikian : "kerjasama impor beras dengan Thailand berakhir tahun ini, tapi pihak Indonesia akan memperpanjang dua tahun berikutnya," (jumat, 9 September 2011).

Volume impor beras yang diajukan Pemerintah Indonesia kepada Thailand sebanyak 1 juta ton. Disamping terus melanjutkan kerjasama dalam pengadaan beras dengan Thailand, Indonesia juga akan memperpanjang impor beras dari Vietnam. Meski, perjanjian pengadaan beras dengan Vietnam berakhir tahun 2012 nanti, pemerintah sudah menyatakan akan mengimpor beras dari Vietnam sampai tahun 2014. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu yaitu: "Untuk Vietnam tahun 2012 akan Indonesia perpanjang sampai tahun 2014,".

47


(45)

32

Volume beras yang akan dibeli pun sama dengan Thailand yakni sebanyak 1 juta ton. Salah satu alasan pemerintah mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam lantaran cadangan beras kedua negara tersebut sangat besar. Seperti diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu yaitu: "Kalau Thailand ada 8 juta ton, sedangkan Vietnam ada 3 atau 4 juta ton,".

Lebih lanjut Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu mengungkapkan bahwa kebijakan impor beras ini tujuannya untuk menjaga agar stok bahan pangan tetap aman, seperti penegasannya: "Kalau tidak perlu Indonesia tidak impor. Semua tergantung situasi dalam negeri,"

Namun jauh sebelum diketahui bagaimana produksi padi di tahun selanjutnya, ternyata, menurut Mari, Badan Urusan Logistik (Bulog) telah menandatangani kontrak pembelian beras sebanyak 800.000 ton. Rinciannya, sebanyak 500.000 ton dari Thaliand dan 300.000 ton beras dari Vietnam. Sebagai informasi, Bulog akan menghabiskan anggaran Rp9,69 triliun sampai Rp9,95 triliun untuk pengadaan beras impor periode 2010-2011 sebanyak 1,84 juta ton48.

Mencermati pergerakan harga beras Thailand sepanjang tahun 2009-2011, tren kenaikan harga sudah terindikasi di awal semester kedua tahun ini, sementara harga beras domestik sebenarnya sudah naik konsisten sejak awal tahun 2011. Di sisi lain, keputusan impor yang dilakukan pemerintah untuk 2011 baru saja terealisasi pada Agustus lalu sejak kontrak dilakukan sebelumnya di bulan Juli.

Data menunjukkan perkembangan harga beras di Indonesia cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, jika dibandingkan dengan

48


(46)

33

negara pengimpor beras, seperti Filipina, Bangladesh, Tiongkok, dan Vietnam, harga beras Indonesia adalah harga yang termahal di dunia.

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), per Juni 2011 harga beras rata-rata di tingkat eceran di Indonesia US$ 1,04/kg. Pada saat yang sama, harga di Manila US$ 0,69/kg; Banglades US$ 0,38/kg; Tiongkok berdasarkan harga rata-rata di 50 kota untuk beras kualitas kedua di tingkat eceran sedikit di bawah Indonesia, US$ 0,83/kg; dan Vietnam hanya US$ 0,41/kg. Sementara itu, harga beras di Thailand sebagai negara asal impor Indonesia ialah US$ 0,44/kg49.

Di lain sisi, pada 2010 dan 2011, saat pemerintah mengimpor beras, justru harga beras dalam negeri akan semakin melambung. Harga beras di dalam negeri pada 2010 mencapai US$ 1,01/kg dan pada 2011 (Juni) naik menjadi US$ 1,09/kg . Padahal, harga beras di Thailand pada 2010 sangat murah, US$ 0,45/kg dan pada 2011 (Juni) turun menjadi US$ 0,43/kg50. Harga naik dipicu berkurangnya pasokan dan pengaruh cuaca yang menghambat proses penjemuran gabah. Tingginya harga gabah dan beras itu dipengaruhi oleh minimnya jumlah panen di daerah.

Hingga Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor beras Indonesia pada tahun ini telah mencapai USD 829 juta atau sekitar Rp 7,04 triliun rupiah. Uang sebanyak ini digelontorkan pemerintah untuk mendatangkan sebanyak 1,57 juta ton beras dari Vietnam (892,9 ribu ton), Thailand (665,8 ribu

49

Ibid, Data hasil penelitian dari Bulog berupa print out dan soft copy via email.

50Ibid,


(47)

34

ton), Cina (1.869 ton), India (1.146 ton), Pakistan (3,2 ribu ton), dan beberapa negara lain (3,2 ribu ton)51.

Banyak masyarakat mengira bahwa impor di atas dipicu oleh produksi atau suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi. Namun tentu saja itu keliru, karena kenyataannya impor beras dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia surplus beras.

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi padi pada tahun 2011 mencapai 68,06 juta ton Gabah Kering Giling (GKG)─Angka Ramalan II (ARAM II). Jika dikonversi ke beras, ini artinya, pada tahun ini, produksi beras nasional sebesar 38,2 juta ton. Dan jika memperhitungkan adanya loses

(kehilangan) sebesar 15 %, maka produksi beras mencapai 37 juta ton.

Dengan asumsi bahwa konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun dan jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237 juta orang, konsumsi beras nasional tahun ini berarti mencapai 34 juta ton, ini diperoleh dengan mengalikan konsumsi beras per kapita dan jumlah penduduk Indonesia saat ini. Dengan demikian, merujuk pada hasil perhitungan tersebut, tahun ini Indonesia sebenarnya surplus beras sebesar 3-4 juta ton.52

Namun bukti yang ada, di saat Indonesia surplus 3-4 juta ton, pemerintah tetap melakukan impor, dengan alasan bahwa karena prosedur dan kecemasan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan raskin, maka impor dianggap layak dilakukan.

51


(48)

35

Lagi-lagi pemerintah memiliki alasan yang cukup menguatkan kebijakannya, terlepas bahwa mereka dianggap sudah melakukan kebijakan yang keliru, maka hasil wawancara penulis dengan Bulog sendiri, terkait alasan kenapa pemerintah/ Bulog melakukan impor beras Thailand pada 2009-2011, pada saat beras Indonesia surplus, maka hasil wawancara dengan pegawai bulog adalah sebagai berikut:

“ Petani di Indonesia sebagian besar adalah buruh tani, jadi hanya sebagian kecil dari petani yang memang memiliki sawah, makanya hanya petani pemilik sawah yang memperoleh hasil keuntungan dari produksinya, namun mayoritas buruh tani yang sangat konsumtif dengan beras, mereka orang miskin yang tidak punya padi/beras, dan mereka buruh tani menerima bantuan Raskin (beras miskin)”.53

Selanjutnya Bulog juga memaparkan adanya fakta, bahwa mereka tidak dapat menjangkau petani secara langsung, dan bahwa kebijakan HPP membatasi mereka.

“Bulog tidak membeli gabah/padi kepada petani itu tidak dapat menjangkau langsung. Daya beli dilakukan atas HPP yang lebih rendah dari harga padi yang terus meningkat pada tahun 2009-2011”.

Lebih lanjut alasan Bulog tentang kesulitan yang mereka alami tentang data riil tentang perkembangan produksi padi yang sesungguhnya.

“ Bulog juga sulit untuk mendapatkan data riil dari produksi padi nasional, kami tidak dapat mengira-ngira sementara panen raya yang terjadi, produksi padi kurang memuaskan dan buktinya harga padi meningkat, untuk itu tentu saja kami tidak bisa menunggu bahwa produksi yang ada bener-benar meningkat atau jangan-jangan memang menurun, sementara permintaan beras atau konsumsi beras kan terus dipastikan meningkat, sehingga impor tentunya menjadi pilihan yang baik,

53


(49)

36

dan itu juga sebagai satu keseriusan Indonesia memiliki peranan dalam perdagangan bebas ASEAN, artinya jika ada yang memudahkan kenapa harus mencari kesulitan”.

Inti yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan pegawai/ pejabat/Informan Bulog adalah bahwa kebijakan impor beras yang dilakukan oleh Bulog/pemerintah dalam hal ini tentu saja sudah menjadi satu intruksi dari pemerintah pusat, sebagai satu bentuk kebijakan dan peran serta dalam kerjasama perdagangan agrobisnis.

Disamping itu bahwa sistem pertanian di Indonesia memang cukup buruk, dimana data tentang panen raya juga tidak dapat dipastikan oleh Bulog, struktur organisasi pangan di Indonesia juga belum terbentuk, sehingga jelas Bulog kesulitan untuk menjangkau ke petani langsung dan atau sebaliknya.

Sementara itu pendapat Bulog tidak dibenarkan oleh beberapa pihak yang tidak setuju dengan kebijakan impor seperti juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebijakan impor beras yang diusung pemerintah mencerminkan kinerja minimalis dalam usaha meningkatkan produksi. Tidak hanya itu, kebijakan impor beras ini dikhawatirkan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan stok dalam negeri, melainkan juga diduga kuat untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha (importir) yang mencari keuntungan melalui "tangan pemerintah"54.

4. Kritik Terhadap Kebijakan Impor Beras

Pada era globalisasi, dunia terus mengarah pada liberalisasi ekonomi. liberalisasi ekonomi menjadi sangat penting dalam sebuah pembangunan nasional negara bangsa. Negara maju memandang liberalisasi dapat membantu mengatasi

54

Hendrawan Supratikno dalam menyampaikan kepada Suara Karya di Jakarta, Minggu Mei 2012.


(50)

37

kesulitan dan tantangan dari pembangunan ekonomi internal, sehingga dapat menghadapi persaingan global, mengentaskan kemiskinan serta menciptakan kesejahteraan bagi negaranya.

Hal ini menarik perhatian pemerintah negara Indonesia. Indonesia menjadi sangat antusias dalam menerapkan liberalisasi perdagangan dan sistem mekanisme pasar, termasuk di sektor pangan. Namun, sayangnya Indonesia belum dapat mengoptimalkan pengembangan sektor pertanian pangan termasuk tanaman padi yang menghasilkan beras untuk dapat memberikan kesejahteraan rakyat.55

Dalam kondisi seperti ini, semangat liberalisasi pangan bagi Indonesia seharusnya adalah untuk menjadi salah satu negara yang maju, sebagai wujud negara agraris penghasil pertanian serta diharapkan Indonesia kelak dapat menjadi pemasok pangan dunia. Harapan tersebut sebenarnya sangat wajar karena Indonesia merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian.56

Harapan di atas ternyata belum dapat dicapai. Bagi bangsa Indonesia yang terjadi justru sebaliknya, proses liberalisasi pangan dan pertanian di Indonesia, mengakibatkan anjloknya harga pangan nasional. Swasembada pangan dalam perspektif „Kedaulatan pangan nasional‟, pada praktiknya hanya meningkatkan kecenderungan harga pangan dari pasar impor.57

55

Rafika Muftih, Kebijakan Pangan Pemerintah Orde Baru dan Nasib Kaum Produksen Beras, Skripsi FIB UI, 2009, 67.

56

Dokumen Indikator Perekonomian, Badan Pusat Statistik & Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, 2012, 67.

57

Dokumen Indikator Perekonomian, Badan Pusat Statistik & Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, 68.


(51)

38

Liberalisasi pangan Indonesia yang diangap gagal juga dapat dibuktikan dengan adanya permasalahan beras dan petani yang semakin kompleks. Permasalahan beras dan petani menjadi sebuah ironi bagi Indonesia, karena Indonesia merupakan negara penghasil beras, akan tetapi melakukan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit.58 Pada era liberalisasi perdagangan, impor beras Indonesia mengalir pesat, tanpa hambatan.

Kebijakan dalam usaha pertanian khususnya komoditas beras yang telah ditempuh pemerintah oleh banyak pengamat dianggap kurang berpihak kepada kepentingan petani. Pertama, terdapat kebijakan tarif impor yang sangat rendah sehingga mendorong semakin mudahnya beras impor masuk dan melebihi kebutuhan dalam negeri. Kedua, penghapusan subsidi pupuk menjadi masalah yang mengakibatkan penurunan terhadap pertanian, khususnya padi.

Selanjutnya, teknologi yang dimiliki petani Indonesia juga sudah jauh tertinggal sehingga kualitas beras yang dihasilkan Indonesia pada umumnya kalah dengan kualitas beras impor. 59

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kepentingan petani seperti dijelaskan di atas, tentu berdampak terhadap produksi beras dalam negeri. Petani tidak dapat meningkatan produksi beras yang cukup bagi negaranya sehingga konsep Kedaulatan pangan (swasembada) sulit untuk diwujudkan kembali.

Seorang pakar ekonom Hendrawan Supratikno mengatakan, bahwa jika hanya untuk memenuhi stok beras pemerintah seharusnya melalui Bulog bisa

58

Tri Andrianto, Pengaruh Litter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan Pangan Indonesia, 1995-2009, Skripsi, FISIP UI, 2012, 118.

59

Tri Andrianto, Pengaruh Litter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan Pangan Indonesia, 1995-2009, 119.


(52)

39

membeli gabah dari petani. Apalagi kegiatan impor tidak berdampak pada kehidupan petani dan hanya menghabiskan devisa negara.

"Lebih baik membeli dari petani, walaupun harganya lebih mahal dibanding beras impor. Dampaknya positif dan petani bisa meningkatkan kehidupan perekonomiannya,"60.

Hendrawan lebih lanjut menjelaskan, kebijakan impor beras yang dikatakan pemerintah untuk mendukung kegiatan operasi pasar dan menurunkan harga beras tidak menyelesaikan masalah pangan yang selama 6 tahun terakhir tidak kunjung terselesaikan.

Pemerintah terlihat sangat tidak serius meningkatkan produksi beras dan kesejahteraan petani. Kebijakan impor menjadi pilihan utama. Padahal, masalah peningkatan produksi beras seharusnya menjadi perhatian utama. Atau, minimal memberikan kewenangan dan keleluasaan kepada Bulog untuk membeli gabah/beras petani.

"Pemerintah telah membohongi masyarakat melalui keterangan-keterangannya yang menyatakan Indonesia sudah swasembada beras. Mana mungkin kalau negara yang swasembada mengambil barang (beras) yang sama dari negara lain alias impor. Seharusnya kalau swasembada tercapai, pemerintah malah mengekspor dan bukan sebaliknya,"61

Sementara itu, hal senada disampaikan oleh anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar mengatakan, impor beras sekitar 600.000 ton (dengan asumsi harga 540 dolar AS per ton) akan menghabiskan uang negara sebesar Rp 2,9 triliun. Tidak hanya menghabiskan keuangan negara, kebijakan impor beras ini juga dinilai akan memengaruhi upaya peningkatan produksi beras di kalangan petani.

60

Hendrawan Supratikno dalam menyampaikan kepada Suara Karya di Jakarta, 20 Mei 2012

61

Hendrawan Supratikno dalam menyampaikan kepada Suara Karya di Jakarta, 20 Mei 2012


(53)

40

"Jadi ini bukan hanya sekadar masalah berapa dana yang dikeluarkan. Yang paling mendasar adalah pertanyaan seberapa efektif kebijakan ini dan risiko yang dimunculkan terhadap produksi beras nasional," 62

Rofi Munawar sendiri tidak menyetujui kebijakan impor beras karena tidak akan menyelesaikan masalah yang ada, baik terkait pasokan maupun gejolak harga beras. Selain itu juga meminta pemerintah untuk mengabulkan permintaan penghapusan bea masuk impor beras. Kebijakan ini dinilai bisa disalahgunakan dan nanti berdampak negatif terhadap petani di dalam negeri.

"Pembebasan bea masuk impor beras membuktikan bahwa kebijakan pengendalian harga, khususnya beras, telah gagal. Terutama dengan memanfaatkan potensi nasional sebagai negara agraris,"63

Kebijakan impor beras, sebaiknya yang harus dilakukan pemerintah mencakup; Pertama. memaksimalkan produktivitas lahan sehingga volume produksi dapat memenuhi target melalui teknologi. Juga termasuk memperbaiki irigasi, jalan tani, dan infrastruktur pertanian yang semakin rusak di sebagian besar wilayah.

Kedua. melakukan audit lahan pertanian karena laju konversi lahan pertanian untuk pemukiman dan industri lebih tinggi dibanding upaya memerintah mencetak sawah-sawah baru. Bagaimana dapat menambah volume produksi bila asumsi luas lahan produktif saja tidak jelas besarannya.

Ketiga, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang masih rendah, Rp 5060,- membuat petani tidak akan mau menjual berasnya ke Bulog sebab petani akan rugi. Meski ada Inpres No. 10 Tahun 2011 yang memberikan kewenangan Bulog

62

www.perpustakaan.bappenas.go.id diakses, 5 April 2015

63


(54)

41

melakukan subsidi harga, namun tetap saja serapan Bulog masih rendah, di samping Bulog tidak mempunyai organ penyerapan sampai ke tingkat bawah. Ini menjadi dilema tersendiri.64

Keempat, pemerintah harus mampu mengendalikan harga beras. Jangan kalah dengan pengusaha atau mafia beras yang mempunyai stok beras yang ditimbun. Caranya dengan menyerap beras petani sebanyak-banyaknya sehingga harga beras tidak dikendalikan mafia beras atau pengusaha beras. Kalau sekarang beras yang beredar di pasar dan ditimbun mafia beras atau pengusaha beras persetasinya lebih besar dibanding yang disimpan Bulog.65

64

www.perpustakaan.bappenas.go.id, dikases, 5 April 2015

65


(55)

42 BAB III

SISTEM AGRARIA THAILAND DAN KERJASAMA BILATERAL DENGAN INDONESIA PERIODE 2009-2011

A. Kondisi Geografis dan Pertanian Thailand

1. Kondisi Geografis Thailand

Thailand merupakan salah satu negara di Indochina yang berbatasan dengan Myanmar di bagian utara, Laos dan Cambodia di bagian timur, dan di bagian selatan berbatasan dengan Malaysia. Dalam hal pemerintahan, negara yang masuk salah satu anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) ini menggunakan system Monarki dengan dikepalai oleh seorang raja bernama Bhumibol Adulyajed, sementara dalam hal pemerintahan diketuai oleh Junta Militer yang berkuasa sejak 2014.66

Thailand mengalami peningkatan ekonomi yang cukup cepat dalam rentan waktu dari 1985 hingga 1996 sekaligus menjadi salah satu negara industri terbaru dengan fokus utamanya adalah bidang eksport67. Disamping itu, manufaktur, pertanian, serta turisme menjadi salah tiga pendukung penting dalam perekonomian negara itu. Besarnya populasi serta ditopang dengan meningkatnya

66

http://www.bangkoknews.net/index.php/sid/224959611 Diakses pada 10 Juni 2015

67


(56)

43

perekonomian bangsa, menjadikannya sebagai salah satu kekuatan di kawasan dan bahkan dunia.68

Seperti berkaca kepada negara maju lainnya, pemerintah Thailand kemudian melakukan restrukturisasi sistem perekonomiannya, dari yang mengacu kepada pertanian, kemudian mulai merambah pada industrialisasi. Hal ini wajar mengingat sektor industry dalam sejarahnya, memiliki peranan besar dalam mengangkat status sebuah negara dari Berkembang menjadi Maju, seperti revolusi industry yang terjadi di eropa beberapa dekade silam.

3. Sistem Agraria Thailand

Dalam hal agriculture, tidak kurang dari 49% dari total pekerja di Thailand berada di lingkungan Agrikultur, turun dari 70% pada 198069. Dterbilang cukup besar dibandingkan Indonesia yang hanya 41% di tahun 2012.70

Dari sekian banyaknya jenis pertanian di Thailand, Beras menjadi salah satu hasil yang paling penting. Tidak heran jika sejarah mencatat, Thailand menjadi pemain utama dalam ekspor beras di dunia71, sejajar dengan India dan Vietnam. Negara dengan ibu kota Bangkok ini memiliki persentase tertinggi dalam hal lading pertanian dibandingkan dengan negara di kawasan Mekong,

68

Jonathan H. Ping, dalam Middle Power Statecraft : Indonesia, Malaysia, and the Pacific. Ashgate, 2005. Hal 104

69 Henri Leturque dan Steven Wiggins dalam Thailand‟s Progress in Agriculture :

Transition and Sustained Productivity Growth. June 2011. Dapat diakses di http://www.odi.org/publications/5108-thailand-agriculture-growth-development-progress

70

http://www.odi.org/publications/5108-thailand-agriculture-growth-development-progress Diakses pada 10 June 2015

71International Grains Council, “Grain Market (GRM444)”, London, 14 Mei 2014. Dapat


(57)

44

yakni 27.25%, dan 55% dari persentase tersebut diperuntukkan untuk produksi beras.72

Central Intelligence Agency (CIA) merilis pada 2012, diantara negera-negara di kawasan ASEAN, Thailand memiliki tanah subur sebanyak 32.41%, kondisi ini jauh lebih banyak dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam sebesar 20.64%, Indonesia 12.97%, Philippines 18.6%, dan Malaysia yang hanya 2.94%73.

Table III.B.1.

Indonesia arable land: 12.97% permanent crops: 12.14% other: 74.88% (2012 est.) Malaysia arable land: 2.94% permanent crops: 19.78% other: 77.28% (2012 est.) Philippines arable land: 18.6% permanent crops: 17.94% other: 63.46% (2012 est.) Thailand arable land: 32.41% permanent crops: 8.81% other: 58.78% (2012 est.) Vietnam arable land: 20.64% permanent crops: 12.26% other: 67.1% (2012 est.)

Tabel tersebut menunjukkan persentase total lahan melalui tiga kategori:

arable land atau tanah subur yang dipergunakan untuk bercocok tanam Gandum, Jagung, dan Padi; permanent crops merupakan lahan pertanian yang dipergunakan untuk Jeruk, kopi dan Karet; sementara other merupakan lahan yang tidak

72

http://web.archive.org/web/20080327095326/http://www.irri.org/science/cnyinfo/thailand.asp Diakses pada 10 June 2015

73

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/fields/2097.html Diakses pada 10 June 2015


(58)

45

digunakan untuk pertanian seperti padang rumput, hutan, jalan dan lain sebagainya.

2. Hubungan Bilateral Thailand-Indonesia

1. Sejarah Hubungan Bilateral Thailand Indonesia

Kerjasama Indonesia-Thailand telah berlangsung sejak tahun 1992 sebagai mekanisme bilateral untuk meningkatkan kemitraan antara kedua negara yang secara diplomatik terjalin sejak 1950. Hubungan Indonesia dengan Thailand telah berlangsung dengan erat di berbagai bidang, antara lain direfleksikan oleh frekuensi dan intensitas saling kunjung pejabat tinggi kedua negara, serta peningkatan hubungan di bidang ekonomi, perdagangan, investasi dan pariwisata74.

Kepentingan Thailand terhadap Indonesia dalam kerangka kerjasama, dan payung dari kerjasama bilateral antara kedua negara adalah forum komisi bersama yang dibentuk setelah ditandatanganinya Persetujuan Kerjasama Ekonomi dan Teknik Republik Indonesia-Thailand di tahun 1992.75

Dalam pertemuan ke-6 Komisi Bersama RI-Thailand yang berlangsung pada 16-18 Januari 2008 di Petchaburi Thailand telah dibahas beberapa permasalahan bilateral yang akan terus dikembangkan oleh kedua negara antara lain meliputi masalah: ekonomi, perdagangan, transportasi, pendidikan dan kebudayaan, investasi, perikanan, pariwisata, energi, kerjasama teknik, dan kerjasama IMT-GT.76

74


(59)

46

Pada pertemuan Komisi Bersama RI-Thailand sebelumnya (ke-5) di Yogyakarta pada 2003, disepakati mengubah nama The Joint Commission on Economic and Technical Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand menjadi The Joint Commission between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand.77

Lepas dari masalah politik yang terus terjadi di negaranya, masalah beras menjadi isu yang paling fenomenal. Subsidi, yang menawarkan petani hingga 50 persen di atas harga pasar untuk beras telah membantu mantan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra memenangkan suara dari orang-orang di pedesaan yang dibutuhkan untuk memenangi pemilu pada 2011.

Tetapi subsidi itu juga mengirim tremor melalui pasar dunia sebelum terungkap, yang membuat harga jual 18 juta ton beras Thailand lebih tinggi dari seharusnya dan Yingluck terkena kasus korupsi.

Namun demikian Thailand tetap bertahan sebagai negara pengekspor beras terbesar di dunia, dengan volume ekspor yang terus meningkat 8 hingga 9,5 juta ton setelah tahun 2011.78 Wakil Menteri Perdagangan Yanyong Phuangrach menyatakan, pemerintah Thailand akan mengutamakan ekspor beras yang berkualitas dan bernilai tinggi, dengan menomorsatukan kualitas daripada kuantitas.

"Saya yakin kami bisa kembali merebut gelar juara dunia tahun ini," berikut merupakan pernyataan Presiden Kehormatan Asosiasi Eksportir Beras Thailand Chookiat Ophaswongse di Bangkok” (Sabtu, 4 Oktober 2011). 79

77

www.kemlu.go.id. Diakses 5, April 2015

78

www.e-journal.uajy.ac.id dikases 5, April 2015

79


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)