Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi Rendah Studi Kasus Di Pulau Kalimantan

(1)

Di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor

ERDA SUCIYANI RUSED

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

NILAI EKONOMI KEGIATAN REHABILITASI DALAM MENGHASILKAN AIR DAN MENYERAP KARBON

Di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

ERDA SUCIYANI RUSED

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Erda Suciyani Rused Dibimbing oleh:

Hendrayanto dan Bramasto Nugroho.

PENDAHULUAN: Tingginya laju deforestasi yang terjadi di Indonesia akibat degradasi hutan dan lahan menyebabkan semakin meningkatnya luas lahan kritis. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sehingga diharapkan dapat mengembalikan fungsi lahan. Hasil kegiatan RHL di Blok S Cipendawa telah menghasilkan manfaat berupa manfaat nyata dan manfaat tidak nyata. Manfaat langsung dari kegiatan RHL ini yang tidak disadari oleh masyarakat adalah nilai jasa lingkungan, yaitu kemampuan pohon untuk menyerap karbondioksida dan meningkatkan hasil air. Untuk dapat mengetahui manfaat yang dihasilkan dari kegiatan RHL secara komprehensif, perlu dilakukan penilaian terhadap manfaat nyata maupun manfaat tidak nyata yang dihasilkan dari kegiatan tersebut khususnya terhadap kemampuan menghasilkan air dan menyerap karbon. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai ekonomi areal kegiatan rehabilitasi lahan dalam menghasilkan air dan menyerap karbon (di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor).

METODE PENELITIAN: Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni – Juli 2008 di lahan rehabilitasi Blok S Cipendawa, Megamendung, Kabupaten Bogor, dengan luas sekitar 4,2 ha. Obyek dalam penelitian ini adalah lahan rehabilitasi yang didalamnya terdapat mata air dan tegakan, yaitu pohon dengan diameter > 5 cm. Sedangkan subyek penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal disekitar lahan rehabilitasi, yaitu masyarakat Kampung Bengkok. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pita ukur, haga, tally sheet, alat tulis, tongkat ukur, stopwatch, ember, kuesioner, GPS, Software Microsoft Office 2007, Arc View 3.3 + extentions, data monografi desa, dan kamera. Data yang dikumpulkan meliputi jenis, jumlah, tinggi, dan diameter setinggi dada pohon, berat jenis kayu, debit mata air, harga kayu berbagai jenis, harga air/tarif PDAM kabupaten bogor, kebutuhan air, biaya pengadaan air, penilaian masyarakat terhadap air.

HASIL DAN KESIMPULAN: Nilai ekonomi total jasa lingkungan yang dihasilkan dari lahan rehabilitasi Blok S Cipendawa sebesar Rp 49.121.460 /tahun. Nilai tersebut terdiri dari nilai ekonomi penyerapan karbondioksida sebesar Rp 16.270.266 /tahun, nilai ekonomi air sebesar Rp 24.483.600 /tahun, dan nilai ekonomi pencegahan erosi sebesar Rp 9.092.670 /tahun. Jika pemilik lahan ingin mengambil manfaaat langsung berupa hasil kayu, maka nilai ekonomi total untuk lahan rehabilitasi Blok S Cipendawa menjadi Rp58.332.652 /tahun.


(4)

Economic Value of Rehabilitation Activities in Producing Water and Sequestering Carbon in Block S, Cipendawa, Megamendung,

Bogor.

by:

ERDA SUCIYANI RUSED, under academic supervision of

HENDRAYANTO and BRAMASTO NUGROHO.

INTRODUCTION. High rate of deforestation which occurs in Indonesia, accompanied by land degradation, causes the progressive increase of critical land area size. One effort to overcome this problem is by conducting forest and land rehabilitation (RHL), so that land function can be hopefully restored. Results of RHL activities in Block S, Cipendawa have produced benefits in the form of tangible and intangible benefits. Direct benefits from this RHL activity which were not realized by the people, were the values of environmental services, namely the ability of trees to absorb carbon dioxide and increase the water yield. For obtaining comprehensive information on the benefits of RHL activities, there is a need for evaluation of tangible and intangible benefits produced from such activities, particularly those related with the ability of trees to produce water and absorb carbon. The objective of this research was determining the economic value of area of land rehabilitation activities, in producing water and absorbing carbon (in block S, Cipendawa, Megamendung, Bogor).

MATERIALS DAN METHOD. This research was conducted in the period between June – July 2008 in rehabilitation land of Block S, Cipendawa, Megamendung, District of Bogor, with area size of approximately 4.2 ha. Object in this research was rehabilitation land which contained water spring and stand of trees with diameter of > 5 cm. On the other hand, subject in this research were people living around the rehabilitation area, namely the community of Kampung Bengkok (Hamlet of Bengkok). Equipments used in this research comprised measurement tape, haga, tally sheet, writing materials, measurement stick, stopwatch, pail, questionnaire, GPS, software Microsoft Office 2007, software Arcview 3.3 + extensions, Software Minitab 14, data of village monography, and camera. The collected data comprised species, numbers , height, diameter at breast height, and specific gravity of trees; yield of water, price of various kinds of wood, price of water (tariff imposed by water company of Bogor district), base tariff of electricity from State Electric Power Company, the quantitative need for water, cost for water procurement, and evaluation of water by the people.

RESULTS AND CONCLUSIONS. Total economic value of environmental services produced by rehabilitation land of Block S, Cipendawa was as much as Rp 49.121.460 /year. Such values consisted of economic value of carbon dioxide absorption as much as Rp 16.270.266 /year, economic value of water as much as Rp 24.483.600 /year, and economic value to avoid an erotion as much as Rp 9.092.670 /year. If the land owner wanted to obtain direct benefit in the form of wood products, the total economic value for rehabilitation land of block S, Cipendawa would be Rp 58.332.652 /year.


(5)

Kegiatan Rehabilitasi Dalam Menghasilkan Air dan Menyerap Karbon di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2009

Erda Suciyani Rused NRP E14204077


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Nilai Ekonomi Kegiatan Rehabilitasi Dalam Menghasilkan Air dan Menyerap Karbon di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor

Nama : Erda Suciyani Rused

NIM : E14204077

Menyetujui:

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Dr. Ir. Hendrayanto. M.Agr Dr.Ir. Bramasto Nugroho, MS

NIP 131 578 788 NIP 131 671 598

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788


(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 1 Juni 1986 dari pasangan Eddy dan Erlin Rusmini. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Setelah lulus dari SMU Negeri 2 Tangerang tahun 2004, Penulis melanjutkan studi di Program Studi Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun yang sama.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai Bendahara Divisi Primata UKM UKF IPB tahun 2004-2005, Anggota DKM ‘Ibaadurrahman Fahutan IPB tahun 2004-2004-2005, Bendahara Internal UKM UKF IPB tahun 2005-2006, Pengurus Himpro Tree Grower Community (TGC) Divisi Kebakaran Hutan tahun 2006-2007. Penulis juga pernah mengikuti magang di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) pada tahun 2005-2006. Selama mengikuti kuliah di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Baturaden, Cilacap, dan Getas, Jawa Tengah. Selain itu Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di PT. Aneka Tambang (PT ANTAM) Cikotok, Banten dengan aspek kajian evaluasi keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Nilai Ekonomi Kegiatan Rehabilitasi dalam Menghasilkan Air dan Menyerap Karbon di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor dibimbing oleh Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr dan Dr.Ir. Bramasto Nugroho, MS.


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmannirrohim,

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada sang pemimpin para nabi dan rasul, yakni Muhammad SAW, kepada seluruh keluarga serta para sahabat beliau, juga orang yang mengikuti kebaikan mereka hingga hari pembalasan.

Judul penelitian ini adalah “ Nilai Ekonomi Kegiatan Rehabilitasi dalam Menyerap Karbon dan Menghasilkan Air di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor”. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai ekonomi dari areal hasil kegiatan rehabilitasi lahan yang meliputi nilai serapan karbon dan nilai air. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada stakeholders tentang nilai hutan yang sesungguhnya dan dapat memberikan masukan dalam menentukan kebijakan sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan hutan secara lestari.

Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr selaku Dosen Pembimbing I dan Dr.Ir.Bramasto Nugroho, MS selaku Dosen Pembimbing II.

2. Kedua orang tua dan keluarga atas segala doa dan dukungannya.

3. Bapak Bambang Istiawan, Ibu Rosita, dr. Untung, Mas Ade dan rekan-rekan lainnya dari Kelompok Tani Megamendung selaku pelaksana kegiatan rehabilitasi lahan atas bantuan yang diberikan dan kebersamaannya.

4. Ibu Atikah dan rekan-rekan dari Laboratorium Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan IPB atas bantuan serta doanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor, April 2009 Penulis


(10)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

1.4 Hipotesis ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Rehabiltasi Hutan dan Lahan ... 4

2.2. Hidrologi ... 5

2.3. Hutan Sebagai Pengatur Tata Air ... 7

2.4. Neraca Air Kawasan Hutan ... 8

2.5. Erosi ... 9

2.6. Biomassa ... 10

2.7. Karbon ... 13

2.8. Protokol Kyoto ... 14

2.9. Konsep Nilai Ekonomi Total ... 17

2.10. Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya Hutan ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

3.2. Bahan dan Alat ... 22

3.3. Jenis Data Yang Dikumpulkan dan Sumber Data ... 22

3.4. Penentuan Responden ... 23

3.5. Penilaian Ekonomi Manfaat Rehabilitasi ... 23

3.5.1 Penilaian Ekonomi Penyerapan Karbondioksida ... 24


(11)

EVALUASI AKURASI KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH

STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN

ERIS RISWANTO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(12)

EVALUASI AKURASI KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH

STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

ERIS RISWANTO E14104025

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(13)

RINGKASAN

Eris Riswanto. E14104025. Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah (Studi Kasus di Pulau Kalimantan)

Dibimbing oleh: Dr. Ir. M Buce Saleh, M S dan Prof. Dr. Ir I Nengah Surati Jaya, M. Agr

Beragamnya data mengenai kondisi hutan Indonesia diakibatkan oleh beragamnya data-data, metode, dan dasar klasifikasi yang digunakan. Untuk areal yang sangat luas, inventarisasi terestrial membutuhkan biaya dan waktu yang sangat besar. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan penggunaan biaya dan waktu tersebut adalah pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sistem satelit. Di negara tropis seperti Indonesia, liputan awan, kabut dan asap merupakan kendala besar dalam menggunakan penginderaan jauh sistem optis. Faktor liputan awan, kabut dan asap akan sangat mengganggu dalam proses identifikasi dan pemantauan objek dipermukaan bumi, sehingga seringkali terjadi kesalahan interpretasi dan dapat mengakibatkan tingkat ketelitian yang rendah. Objek di bawah awan, kabut dan asap dapat diidentifikasi menggunakan Radar. Satelit inderaja ALOS yang telah diluncurkan tahun 2006 oleh Jepang salah satu sensornya adalah Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang lebih lebar daripada SAR konvensional.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi rendah dalam klasifikasi penutupan lahan skala regional di Pulau Kalimantan. Data yang digunakan adalah Citra ALOS PALSAR resolusi 200x200 m tahun 2007 dan data spasial dijital berupa Peta Penutupan Lahan Pulau Kalimantan Tahun 2003, Peta Wilayah Administrasi Pemerintahan, Peta Kawasan Hutan, dan Peta dasar Tematik Kehutanan. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak ArcView GIS 3.2 dan Erdas Imagine 9.1. Rangkaian metode penelitian terdiri dari pra-pengolahan citra, pengolahan citra, analisis separabilitas, evaluasi akurasi dan pengolahan data spasial.

Penelitian ini menunjukan bahwa citra ALOS PALSAR resolusi rendah mampu membedakani objek secara visual ke dalam 6 kelas penutupan lahan. Keenam kelas penutupan lahan tersebut adalah badan air, lahan terbuka, sawah, semak, perkebunan, dan hutan. Analisis separabilitas keenam kelas penutupan lahan tersebut masih menunjukan adanya dua pasangan kelas-kelas yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, kemudian dilakukan klasifikasi ulang kedalam empat kelas penutupan saja. Keempat kelas penutupan tersebut adalah badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang, dan vegetasi rapat. Hasil analisis separabilitas menunjukan bahwa keempat pasangan kelas penutupan lahan tersebut dapat dipisahkan secara baik (good). Dari hasil evaluasi akurasi diketahui bahwa besarnya Akurasi Umum (Overall Accuracy) dan Akurasi Kappa (Accuracy Kappa) pada penelitian ini adalah 88,21% dan 85,26%. Berdasarkan hasil klasifikasi dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi rendah (resolusi spasial 200 m x 200 m) diketahui luas penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah 11.459.400 ha atau 21,33%, vegetasi sedang sebesar 5.070.008 ha atau 9,44%, dan vegetasi rapat adalah sebesar 36.806.058 ha atau 68.52%. Sementara itu, luas penutupan lahan berdasarkan Peta Tutupan Lahan tahun 2003 adalah 802.233 ha atau 1,51% untuk vegetasi jarang, 20.841.843 ha atau 39,32% untuk vegetasi sedang, 27.583.553 ha atau 52,04% untuk vegetasi rapat dan 2.457.825 ha atau 4,64% untuk penutupan lahan berupa awan


(14)

SUMMARY

ERIS RISWANTO. E14104025. The Evaluation of Land Cover Classification Accuracy use ALOS PALSAR Low Resolution Image (Case Study in Borneo Island). Under Supervision of Dr. M Buce Saleh and Prof. Dr I Nengah Surati Jaya.

A wide variety of data and information on forest cover in Indonesia may be due to the variety of source of data, date of acquisition, and methods applied. For a wide area, terrestrial inventory methods are usually costly and time consuming. One alternative that may be used to minimize the cost and time is satellite based remote sensing technology. In the tropical country such Indonesia, cloud, fog, and smoke mainly limit the use of optical remote sensing during identification process and object monitoring on earth surface. Objects under the cloud, fog, and smoke could be identified using using Radar images. ALOS is remote sensing satellite which launched by Japan in 2006. One of its censor is PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar). PALSAR is an advanced development from SAR which carried by the former satellite JERS-1. This is the microactive wave censor which can observe day and night without weather influence. Through one observation mode that is Scan SAR, this censor can observe earth surface in wide area than the conventional SAR.

The objective of this study is to evaluate the ability of low resolution ALOS PALSAR image to classify regional scale land cover in Kalimantan Island. ALOS PALSAR image have 200 x 200 m resolution acquired in 2007. Other supporting data used are Land Cover Map year 2003, Administration Border Map, Forest Area Map, and the Base Thematic Forestry Map. The data were analyzed using GIS 3.2 and Erdas Imagine 9.1. The method are consisted of image pre-processing, image pre-processing, separability accuracy evaluation and spatial analysis

The study shows that low resolution ALOS PALSAR image could classify land cover into six classes. There are water body, rice field, shrub/bush, estate crop, and forest. Separability analysis for these classes show that there are 2 unseparable class pairs. These classes were then reclassified into four classes. The new classes are water body, sparse vegetation, medium density vegetation, and high density vegetation. The result of separability analysis shows that the these class separabilities are good (well separated). The accuracy of the classification are 88,21% for Overall Accuracy and 85,26% for Kappa Accuracy. Based on ALOS low resolution images (200 m x 200 m spatial resolution, the acreages of each land cover are 11.459.400 hectares (21,33%) for sparse vegetation, 5.070.008 hectares (9,44%) for medium density vegetation, and 36.806.058 hectares (68,52%) for high density vegetation. While the acreages of each land cover based on Land Cover Map year 2003 are 802.233 hectares (1,51%) for sparse vegetation, 20.841.843 hectares (39,32%) for medium density vegetation, 27.583.553 hectares (52,04%) for high density vegetation and 2.457.825 hectares (4,64%) for smoke.


(15)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah, Studi Kasus di Pulau Kalimantan adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2009

Eris Riswanto NRP. E14104025


(16)

Judul : Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan

Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah Studi Kasus di Pulau Kalimantan

Nama Mahasiswa : Eris Riswanto Nomor Pokok : E14104025

Departemen : Manajemen Hutan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. M Buce Saleh, M.S Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr NIP. 131 284 620 NIP. 131 578 785

Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto , M. Agr NIP. 131 578 788


(17)

KATA PENGANTAR

Dewasa ini tantangan terhadap degradasi hutan semakin meningkat. Sementara itu para pengambil kebijakan memerlukan data/informasi yang mutakhir. Oleh karena itu penulis terinspirasi untuk mengembangkan metode pengambilan data yang cepat, akurat, dan murah. Salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pengambilan data tersebut adalah penginderaan jauh baik menggunakan citra optik maupun radar

Karya Ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah, Studi Kasus di Pulau Kalimantan

Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan kajian ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2009


(18)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis 1 Mei 1985. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Engkos Kosasih dan Ibu Uti Sumiati. Penulis menyelesaikan Taman Kanak-kanak pada TK Puspawaringin Ciamis pada tahun 1991~1992. Sekolah Dasar Negeri Sukamaju pada tahun 1992~1998.

Pada tahun 1998~2001 penulis melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Buniseuri, kemudian Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Ciamis pada tahun 2001~2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di program Strata 1 Departemen Manajemen Hutan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB).

Selama masa studi penulis pernah mengikuti kegiatan Praktek pengenalan hutan pada tahun 2007 di Cilacap-Baturaden, Jawa Tengah dan Praktek Pengelolaan Hutan di Getas Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tahun 2008 penulis mengikuti praktek kerja lapang di PT. Bintuni Utama Murni Woods Industries (BUMWI), Papua Barat. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Sosiologi Umum pada tahun 2006~2007, mata kuliah Inventarisasi Sumber Daya Hutan pada tahun 2006~2007, dan mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumber Daya Hutan pada tahun 2007~2008. Selain itu juga penulis aktif di Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis (PMGC), International Forest Students Association (IFSA), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2005~2006 dan Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2006~2007.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi berjudul “Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah, Studi Kasus di Pulau Kalimantan ” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. M Buce Saleh, M.S dan Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr.


(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji hanyalah milik Allah SWT karena hanya dengan kasih sayangnya akhirnya skripsi dengan judul Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah, Studi Kasus di Pulau Kalimantan dapat diselesaikan.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Mamah, Bapa dan ade tercinta, yang telah memberikan semua hal yang terbaik, kasih sayang, cinta dan ketulusan, serta yang selalu berkorban dalam menyekolahkan sampai menyelesaikan program sarjana ini.

2. Bapak Dr. Ir. M Buce Saleh, M.S sebagai Pembimbing I penulisan skripsi yang telah memberikan nasihat, bimbingan dan arahan serta kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr sebagai Pembimbing II yang telah memberikan masukan dalam proses penyusunan skripsi.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc sebagai Dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan

5. Bapak Ir. Agus Priyono, M.S sebagai Dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata.

6. Pak Uus dan Mas Edwin atas semua ilmu, bantuan dan motivasi yang telah diberikan.

7. Rekan-rekan Manajemen Hutan 41: Pipit, Fitri, Ayu, Lastri, Clod, Nayu, Linda, Lita, Edo, Nur, Nyoti, Ilyas, Venti, Topan, Sudiah, Priyo, Amri, Iis, Pampam, Sandi, Dodo, Juli, Satrio, Budi, Babeh, Eko, Rejos, Puji, Yunus, Vivi, Wati, Clara Rosa Tina, Riski, Fatah, Gege, Ivan, Alif, Huda, Catur, Feri, Kholifah, Intan, dan Heri

8. Sahabat yang tidak akan terlupakan : Nanang, Rizqy, dan Soeganda

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut memberikan sumbangsihnya yang tidak ternilai.


(20)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 2

C. Manfaat ... 2

II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 3

B. Data, Software, dan Hardware... 3

C. Metode Pengolahan Data ... 12

1. Pra-pengolahan Citra ... 12

2. Pengolahan Citra ... 15

3. Evaluasi Ketelitian Klasifikasi ... 19

4. Pengolahan Data Spasial ... 21

III. KEADAAN UMUM PULAU KALIMANTAN A. Letak Geografis ... 24

B. Topografi ... 24

C. Iklim ... 25

D. Tipe Hutan ... 27

E. Wilayah Administrasi ... 28

F. Tutupan Lahan dan IUPHHK Hutan Alam ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Objek ... 31


(21)

C. Analisis Separabilitas ... 40

D. Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi ... 44

E. Luas Penutupan Lahan ... 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(22)

vi

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Karakteristik citra ALOS ... 4 2. Deskripsi kelas penutupan lahan ... 17 3. Kriteria keterpisahan berdasarkan Transformed Divergence (TD) ... 19 4. Jumlah piksel untuk analisis akurasi ... 20 5. Bentuk matriks kesalahan ... 21 6. Jumlah administrasi pemerintahan tiap provinsi di P. Kalimantan ... 28 7. Luas tutupan lahan di Pulau Kalimantan ... 29 8. Penyebaran IUPHHK Hutan Alam (HPH) yang aktif (SK. Definitif) setiap provinsi keadaan s/d tahun 2006 ... 30 9. Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra ALOS Palsar pada

kombinasi band 1-2-1 di P. Kalimantan ... 33 10. Nilai statistik tiap kelas penutupan lahan ... 38 11. Evaluasi separabilitas 7 kelas penutupan lahan pada citra ALOS

PALSAR dengan kombinasi band 1-2 ... 40 12. Evaluasi separabilitas citra ALOS PALSAR dengan metode

Transformed Divergence ... 43 13. Matriks kesalahan pada citra ALOS PALSAR ... 45 14. Perbandingan tutupan lahan antara hasil klasifikasi pada citra

ALOS PALSAR dengan peta Tutupan Lahan ... 47 15. Perbandingan luas masing-masing penutupan lahan ... 50 16. Luas tutupan lahan setiap provinsi di P. Kalimantan ... 52 17. Luas tutupan lahan pada setiap fungsi kawasan hutan ... 56


(23)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1. Satelit ALOS... 4 2. Prinsip geometri dari Palsar ... 6 3. Bentuk pantulan pada berbagai macam permukaan objek ... 7 4. Peta citra ALOS Palsar P. Kalimantan ... 8 5. Peta Tutupan Lahan P. Kalimantan ... 9 6. Peta Wilayah Administrasi P. Kalimantan ... 10 7. Peta Kawasan Hutan P. Kalimantan ... 11 8. Peta Dasar Tematik Kehutanan P. Kalimantan ... 12 9. GCP yang terpilih pada citra asli (kiri) dan data acuan (kanan) ... 13 10. Diagram alir penelitian ... 23 11. Objek penutupan lahan berupa badan air ... 35 12. Objek penutupan lahan berupa sawah ... 35 13. Objek penutupan lahan berupa semak ... 35 14. Objek penutupan lahan berupa perkebunan ... 36 15. Objek penutupan lahan berupa lahan terbuka ... 36 16. Objek penutupan lahan berupa hutan ... 36 17. Grafik karakteristik spektral kelas penutupan lahan pada citra

ALOS PALSAR ... 37 18. Grafik nilai rata-rata DN setiap kelas penutupan lahan pada citra

ALOS PALSAR ... 39 19. Peta tutupan lahan Pulau Kalimantan ... 49 20. Diagram pie persentase penutupan lahan pada Peta Tutupan Lahan

tahun 2003 dan Citra ALOS PALSAR tahun 2007 ... 50 21. Diagram pie perbandingan persentase penutupan lahan pada

masing-masing provinsi di Kalimantan antara Peta Tutupan Lahan tahun 2003 dengan citra ALOS PALSAR tahun 2007... 54 22. Diagram pie persentase penutupan lahan pada kawasan Hutan

Lindung (a), Hutan Konservasi (b), dan Hutan Produksi (c)


(24)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Nilai GCP hasil koreksi geometrik citra ALOS PALSAR ... 61 2. Sebaran luas tutupan lahan tiap kabupaten di P. Kalimantan ... 65


(25)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Badan Pangan Dunia (FAO) tahun 2006 dalam Djatmiko (2006) menyebutkan luas hutan Indonesia adalah 88.000.000 ha. Besarnya luas hutan tersebut menempatkan Indonesia sebagai Negara yang memiliki luas hutan kedelapan terbesar didunia. Dalam waktu tahun 2000 ~ 2005, laju pengurangan hutan mencapai angka 1,87 juta hektar per tahun atau sebesar 2% per tahun yang setara dengan 51 kilometer persegi setiap menitnya. Sedangkan Departemen Kehutanan dalam Statistika Kehutanan tahun 2006 menyebutkan luas hutan Indonesia adalah sebesar 93.924.330 ha dengan laju pengurangan hutan pada kurun waktu 2000 ~ 2005 mencapai 1,08 juta ha per tahun.

Beragamnya data mengenai kondisi hutan tersebut disebabkan belum adanya satu standar baku yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi hutan Indonesia. Banyak kalangan berusaha menggambarkan kondisi hutan Indonesia dengan memaparkan data, metodologi dan dasar klasifikasi yang berbeda-beda. Departemen Kehutanan dengan berbagai keterbatasannya hanya dapat mengeluarkan berbagai data dan informasi mengenai kehutanan secara berkala, yaitu dalam kurun waktu tiga tahun sekali.

Ketersediaan data yang akurat mengenai penutupan lahan selama kurun waktu tertentu sangat penting untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Untuk areal yang sangat luas, inventarisasi terestrial membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang sangat besar. Salah satu cara alternatif yang dapat digunakan untuk menekan penggunaan biaya, waktu, dan tenaga yang besar tersebut adalah pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sistem satelit.

Howard (1996) menjelaskan, bahwa terapan penginderaan jauh sistem satelit bidang kehutanan berkembang sangat cepat selaras dengan perkembangan pemrosesan citra digital satelit sumberdaya bumi. Teknologi penginderaan jauh satelit dapat digunakan untuk memonitor dan mengklasifikasikan penutupan dan penggunaan lahan yang luas tanpa terjun langsung ke lapangan (inventarisasi terestrial). Departemen Kehutanan sendiri telah memanfaatkan teknologi


(26)

2

penginderaan jauh ini untuk melakukan monitoring terhadap kondisi hutan Indonesia.

Sebagai negara tropis, liputan awan dan asap merupakan kendala besar dalam menggunakan penginderaan jauh sistem optis. Faktor liputan awan akan sangat mengganggu dalam proses identifikasi dan pemantauan objek dipermukaan bumi, sehingga seringkali terjadi kesalahan interpretasi dan dapat mengakibatkan tingkat ketelitian yang rendah. Satelit inderaja ALOS yang telah diluncurkan tahun 2006 oleh Jepang salah satunya sensornya adalah Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang lebih lebar daripada SAR konvensional (LAPAN, 2007). Citra satelit ALOS PALSAR merupakan sensor satelit aktif yang baru diluncurkan, sehingga sebelum dipergunakan secara luas harus ada penelitian pendahuluan tentang sejauh mana kemampuan citra satelit ALOS PALSAR tersebut dalam melakukan pengamatan permukaan bumi.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi rendah dalam klasifikasi penutupan lahan skala regional di Pulau Kalimantan.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan citra yang akan digunakan untuk meningkatkan akurasi pengambilan data pada daerah yang memiliki tingkat gangguan berupa awan yang tinggi.


(27)

II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni ~ Agustus 2008 dengan daerah penelitian Pulau Kalimantan yang secara geografis terletak pada 40 LU ~ 40 LS dan 1090 ~ 1190 BT. Kegiatan pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

B. Data, Software dan Hardware

Data yang digunakan selama penelitian terdiri dari :

1. Citra Satelit ALOS PALSAR Resolusi 200 m x 200 m tahun 2007

ALOS (Advance Land Observing Satellite) yaitu satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh : yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument Stereo Mapping (PRISM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dan Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR). Dalam melakukan operasinya, walaupun periode kunjungan ulang (re-visited period) dari satelit ALOS adalah 46 hari, namun ALOS mampu melakukan observasi pada tempat-tempat di dunia dalam 2 hari untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi-kondisi darurat. Pada Tabel 1 disajikan karakteristik mengenai citra ALOS.


(28)

2

Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS

Data Keterangan Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006

Alat Peluncuran Roket H-IIA

Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima

Berat Satelit 4000 Kg

Power 7000 W

Waktu Operasional 3 sampai 5 Tahun

Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurrent

Repeat Cycle: 46 days Sub Cycle: 2 days Tinggi Lintasan 691,65 Km diatas Equator Inklinasi 98,16 0

Akurasi Ketinggian 2.0 x 10-4 0 (dengan GCP) Akurasi posisi 1 m (off-line)

Kecepatan Perekaman

240Mbps (via Data Relay Technology Satellite)

120Mbps (Transmisi Langsung) Onboard Data

Recorder

Solid-state data recorder (90Gbytes)

Sumber : NASDA, 2006

Untuk dapat bekerja dengan ketiga instrumen diatas, ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju : pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dan ketinggian yang lebih tepat.

Gambar 1. Satelit ALOS


(29)

Spesifikasi Instrumen Satelit ALOS

Panchromatik Remote-sensing Instrument Stereo Mapping (PRISM)

Panchromatik Remote-sensing Instrument Stereo Mapping (PRISM) adalah instrumen penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 m. Dalam melakukan operasinya, sensor ini memiliki tiga sistem optis yang memungkinkan data dapat direkam pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah nadir, depan (forward) dan belakang (backward). Dengan kemampuan seperti ini, dimungkinkan untuk membangun data 3-D (three dimensional terrain data) dengan tingkay akurasi yang tinggi. Teleskop observasi pada arah nadir di sensor PRISM ini memberikan lebar sapuan 70 km, sementara teleskop observasi arah depan dan belakang (triplet mode) memberikan masing-masing lebar sapuan 35 km.

Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)

Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) merupakan instrumen pada satelit ALOS yang dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi spasial lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor AVNIR-2 dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga mode operasi dengan sudut operasi (pointing angle) hingga sebesar ± 440. kemampuan ini diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan.

Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas, yaitu 250 hingga 350 km.


(30)

6

SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu dari tipe SLAR (Side Looking Airbone Radar) yang menggunakan antena 1-2 meter, tetapi mampu mengubah ukuran jangkauannya menjadi lebih besar (sampai 600 meter) namun dengan pasokan energi yang lebih besar.

ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan/sapuan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Citra disintetis dengan melarik incidence angle dan secara berurutan membuat citra untuk posisi sorotan yang berbeda. Masing-masing sorotan membentuk daerah sub-sapuan (sub-swat). Prinsip ScanSAR adalah berpatungan dalam waktu radar antara dua atau lebih sub-sapuan yang terpisah, sehingga diperoleh liputan citra yang penuh. Proses identifikasi obyek dapat dilihat pada Gambar 2.


(31)

Kekasaran permukaan adalah fungsi variasi relief permukaan bumi yang secara kuat mempengaruhi hamburan balik radar (Lillesand dan Kiefer, 1990). Kekasaran permukaan menyebabkan perbedaan pantulan pulsa radar. Perbedaan pantulan radar dapat digolongkan berdasarkan tiga jenis permukaan obyek yaitu pantulan baur (pantulan ke segala arah) menyebabkan rona cerah, pada permukaan kasar seperti daerah berbatu, vegetasi atau hutan yang heterogen dan air. Pantulan cermin (arah pantulan berlawanan dengan arah datangnya sinar) menyebabkan rona gelap pada permukaan obyek yang halus, seperti permukaan air tenang dan permukaan tanah yang diratakan atau dikeraskan. Pantulan sudut (pantulan kembali kearah sensor) menyebabkan rona sangat cerah dan melebar pada obyek yang bersudut siku-siku seperti lereng terjal atau cliff (Purwadhi, 2001).

Gambar 3. Bentuk pantulan pada berbagai macam permukaan objek (Lillesand dan Kiefer, 1993)


(32)

8

Gambar 4. Peta citra ALOS PALSAR Pulau Kalimantan

2. Data Spasial Dijital

a. Peta Penutupan Lahan P. Kalimantan tahun 2003 Skala 1 : 250.000 b. Peta Wilayah Administrasi P. Kalimantan tahun 2003 Skala 1 : 1000.000 c. Peta Fungsi Hutan P. Kalimantan tahun 2003 Skala 1 : 250.000


(33)

Gambar 5. Peta Penutupan Lahan Pulau Kalimantan


(34)

Gambar 6. Peta Wilayah Administrasi Pemerintahan Pulau Kalimantan


(35)

Gambar 7. Peta Fungsi Hutan Pulau Kalimantan


(36)

12

Gambar 8. Peta Dasar Tematik Kehutanan Pulau Kalimantan

Software dan Hardware

Perangkat keras (hardware) yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer pribadi (personal computer) dengan perangkat lunaknya (software) yang terdiri dari Arcview 3.2 dan Erdas Imagine Ver 9.1.

C. Metode Pengolahan Data 1. Pra-Pengolahan Citra Koreksi Geometrik (Rektifikasi)

Koreksi geometrik dilakukan dengan pemilihan titik-titik kontrol lapangan (Ground Control Point) yang bertujuan untuk menyamakan proyeksi citra dengan peta. Koreksi geometrik merupakan suatu proses melakukan transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik.


(37)

Koreksi geometrik ada dua macam yaitu, koreksi geometrik citra ke citra (image to image rectification) dan koreksi geometrik citra ke peta (image to map rectification). Pada penelitian ini dilakukan koreksi geometrik citra ke peta. Peta yang digunakan sebagai referensi adalah Peta Dasar Tematik Kehutanan yang merupakan peta acuan yang digunakan di dunia kehutanan.

Tahap-tahap melakukan koreksi geometrik

1. Memilih titik kontrol lapangan (Ground control point) sebanyak 83 titik. GCP tersebut sedapat mungkin adalah titik-titik atau obyek yang tidak mudah berubah dalam jangka waktu lama. GCP tersebar merata pada citra yang akan dikoreksi.

Gambar 9. GCP yang terpilih pada citra asli (kiri) dan data acuan (kanan)

2. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk melakukan interpolasi spasial. Persamaan yang digunakan adalah persamaan dengan Orde I disebut juga Affine transformation (diperlukan minimal 3 GCP):

p a a X a Y

l b b X b Y

o o

' '

= + +

= + +

1 2


(38)

14

3. Menghitung kesalahan (RMSE, root mean squared error) dari GCP yang terpilih. Besarnya nilai RMSE yang diperoleh adalah 0,00027. Nilai RMSE tersebut dianggap telah memadai untuk koreksi geometrik. Kesalahan rata-rata dari rektifikasi ini dihitung sebagai berikut:

(

) (

2

)

2

RMS error = XrXi + YrYi Keterangan :

Xr , Yr = Koordinat GCP pada sumbu X dan Y pada data acuan

Xi , Yi = Koordinat GCP pada sumbu X dan Y pada data asli

Selanjutnya untuk masing-masing GCP dapat dihitung sebagai berikut:

2 2 i

R = XRi +YRi Keterangan :

Ri = RMSE untuk GCP ke-i

XRi, YRi = Kesalahan kearah X dan Y untuk GCP ke-i

Secara skematis kesalahan dari GCP yang dapat ditolerir adalah sebesar radius tertentu (RMSE). Kesalahan tersebut sesungguhnya terdiri atas kesalahan kearah sumbu x (Easting) dan kearah sumbu Y (Northing). Total RMSE dihitung dengan rumus berikut:

2 x 1 1 R n i i XR n = =

2 y 1 1 R n i i YR n = =

2 2

T = Rx +Ry atau

= 2 2

1 1 n i i i XR YR n = +

Keterangan :

Rx = Total RMSE ke arah X, Ry = Total RMSE ke arah Y,

XRi = Kesalahan ke arah X dari GCP ke-i dan YRi = Kesalahan ke arah Y dari GCP ke-i., T = Total RMSE dan


(39)

Kontribusi (Ei) masing-masing GCP ke-i pada total RMSE adalah:

i

E Ri T

=

Persamaan transformasi yang diperoleh dari titik-titik lapangan yang terpilih adalah sebagai berikut :

p’ = -3,50549 + 1,02978X – 0,00019Y l’ = 0,01207 – 0,000000019X + 1,02952Y

4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan) untuk membuat citra baru dengan sistem koordinat yang ditentukan. Dalam proses ini juga menentukan ukuran piksel output, sesuai dengan resolusi spasial yang dikehendaki, yang umumnya disesuaikan dengan ukuran resolusi spasial data aslinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nearest Neighbourhood Interpolation (NNI). NNI adalah metode yang paling efisien dan paling banyak digunakan karena tidak mengubah nilai DN (Dijital Number) yang asli (Jaya, 2007).

2. Pengolahan Citra a. Klasifikasi

Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks pengolahan dijital dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokan piksel kedalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Proses ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation). Kelas yang dibuat dapat berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang dikenali dilapangan atau berdasarkan kemiripan yang dikelompokan secara statistik oleh komputer. Klasifikasi diperlukan pada citra komposit agar lebih mudah dievaluasi karena dalam klasifikasi objek atau fenomena dipermukaan bumi dari jumlahnya yang sangat besar disederhanakan jumlahnya menjadi hanya beberapa kelas yang mudah dianalisis.

Berdasarkan teknik pendekatannya klasifikasi dibedakan atas klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi tidak terbimbing adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer.


(40)

16

Kelas-kelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung kepada data itu sendiri. Dalam prosesnya, klasifikasi ini mengelompokan piksel-piksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya. Sedangkan klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised). Kriteria pengelompokan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh analis melalui pembuatan area contoh (training area).

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode Maximum Likelihood (Kemungkinan Maksimum). Metode tersebut dipilih karena merupakan metode standar yang paling umum dilakukan. Dalam metode ini dipertimbangkan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan kedalam kelas atau kategori tertentu. Peluang yang sering disebut dengan prior probability ini dapat dihitung dengan menghitung prosentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas.

b. Pembuatan Area Contoh (Training Area)

Pembuatan daerah contoh atau Training Area dilakukan untuk menentukan penciri kelas (Class Signature). Pembuatan daerah contoh ini merupakan suatu kegiatan mengidentifikasi prototife (cluster) dari sejumlah piksel yang mewakili dari masing-masing kelas atau kategori yang diinginkan (Jaya, 2007). Kegiatan ini dilakukan dengan menentukan posisi contoh di lapangan dengan bantuan peta penutupan lahan sebagai referensi untuk setiap kelas penutupan lahan.

Jumlah masing kelas yang diambil disesuaikan dengan masing-masing luas penampakan. Secara teoritis, jumlah piksel yang perlu diambil untuk mewakili setiap kelas adalah sebanyak N+1, dimana N = jumlah band yang digunakan. Hal ini untuk menghindari matrik ragam-peragam yang singular, dimana piksel per kelasnya tidak bisa dihitung. Namun pada prakteknya, jumlah piksel per kelas untuk klasifikasi adalah 10N sampai 100N (Swain dan Davis, 1978, diacu dalam Jaya, 2002).


(41)

Tabel 2. Deskripsi kelas penutupan lahan

No Kelas Penutupan Lahan

Tampilan Citra ALOS PALSAR

kombinasi Band 1-2-1 Foto Lapangan Deskripsi

1 Badan air

(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)

Lahan yang tergenang air tanpa ada vegetasi atau hutan yang menaunginya

2 Vegetasi jarang

(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)

Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk < 40%


(42)

2

Tabel 2 (Lanjutan)

No Kelas Penutupan Lahan

Tampilan Citra ALOS PALSAR

kombinasi Band 1-2-1 Foto Lapangan Deskripsi

3 Vegetasi Sedang

(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)

Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk ± 40 - 70%

4 Vegetasi Rapat

(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)

Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk > 70%


(43)

3. Evaluasi Ketelitian Klasifikasi

Ketelitian hasil klasifikasi dapat dihitung dengan beberapa ukuran ketelitian antara lain :

a. Analisis Separabilitas

Separabilitas dari penciri kelas adalah ukuran stastistik antar dua kelas. Separabilitas ini dapat dihitung untuk setiap kombinasi band. Ukuran ini sekaligus digunakan untuk mengetahui kombinasi band mana saja yang memberikan separabilitas terbaik. Pengukuran separabilitas dilakukan untuk memperoleh kualitas ketelitian klasifikasi. Metode yang dipilih yaitu Transformed Divergence (TD) karena selain baik dalam mengevaluasi keterpisahan antar kelas, juga memberikan estimasi yang terbaik untuk pemisahan kelas. Kriteria keterpisahan dalam metode Transformed Divergence (TD) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria Keterpisahan BerdasarkanTransformed Divergence (TD) Nilai Transformasi Keterpisahan Keterangan

2000 Sempurna (Excellent)

1900 ~< 2000 Baik (Good) 1800 ~< 1900 Cukup (Fair) 1600 ~< 1800 Kurang (Poor)

< 1600 Tidak Terpisahkan (Insperable) Sumber : Jaya (2007)

Nilai TD antara kelas i dan j dihitung menggunakan persamaan :

(

)

(

)

(

)

(

(

)

(

)(

)

T

)

j i j i j i j i j i

ij tr C C C C tr C C

D = − −1− −1 + −1− −1 μ −μ μ −μ

2 1 2 1 ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − = 8 exp 1 2000 ij ij D TD Keterangan :

D : Divergence

tr : Teras matriks

C : Matriks ragam peragam µ : Vektor rata-rata

T : Transposisi dari matriks i, j : Kelas yang dibandingkan


(44)

20

b. Analisis Akurasi

Analisis akurasi dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan klasifikasi yang dibuat. Akurasi dianalisis menggunakan suatu matriks kontingensi yaitu suatu matriks bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi, yang disusun seperti pada Tabel 5. Matriks ini sering disebut “error matrix” atau “confusion matrix”. Dalam matrik kontingensi ini, analis dapat juga menghitung besanya akurasi pembuat (producers accuracy) dan akurasi pengguna (users accuracy) dari setiap kelas.

Akurasi pembuat adalah akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel daerah contoh per kelas. Pada akurasi ini akan terjadi kesalahan omisi, oleh karena itu akurasi pembuat ini sering dikenal dengan istilah “omission error”. Sebaliknya, jika jumlah piksel yang benar dibagi dengan total piksel dalam kolom akan menghasilkan akurasi pengguna (users accuracy), yang juga dikenal dengan istilah “ commission error”. Saat ini akurasi yang dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi Kappa. Akurasi Kappa juga digunakan untuk menguji kesignifikanan antara dua matrik kesalahan dari metode yang berbeda atau dari dua kombinasi band yang berbeda (Jaya, 1996).

Analisis akurasi ini dibuat dengan cara mengambil kembali area contoh pada citra ALOS PALSAR. Banyaknya jumlah piksel yang diambil untuk melakukan analisis akurasi ditampilkan dalam Tabel 4. Sedangkan bentuk matrik kesalahan untuk menghitung besarnya nilai akurasi disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 4. Jumlah piksel untuk analisis akurasi Kelas Penutupan Lahan Jumlah Piksel

Badan Air 728

Vegetasi jarang 696

Vegetasi sedang 732

Vegetasi rapat 745


(45)

Tabel 5. Bentuk Matriks Kesalahan

Kelas Referensi

Dikelaskan ke Kelas

(Data Klasifikasi di Peta) Jumlah Piksel

Akurasi Pembuat A B C

A X11 X12 X13 X1+ X11/X1+

B X21 X22 X23 X2+ X22/X2+

C X31 X32 X33 X3+ X33/X3+

Total Piksel X+1 X+2 X+3 N

Akurasi Pengguna X11/X+1 X22/X+2 X33/X+3

Sumber : Jaya (2007)

Beberapa persamaan akurasi yang digunakan adalah :

Kappa Accuracy / 100%

1 2 1 1 × ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

= + + = + + = r i i i r i i i r i

ii X X N X X X

N

User’s Accuracy=

(

Xii /X+i

)

×100% Produser’s Accuracy=

(

Xii/Xi+

)

×100%

Overall Accuracy / 100%

1 × ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

= N X r i ii Keterangan :

N : Banyaknya piksel dalam contoh Xi+ : Jumlah piksel dalam baris ke-i

X+i : Jumlah piksel dalam kolom ke-i

Xii : Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolomke-i

4. Pengolahan Data Spasial

Pengolahan data spasial dilakukan dengan dengan menggunakan software Arc.View 3.2. Software tersebut merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan pengolahan data spasial berbasis sistem informasi geografis. Sistem informasi geografis (SIG) adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: a) masukan, b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data),


(46)

22

c) analisis dan manipulasi data, dan d) keluaran data (Aronof 1989, diacu dalam Prahasta, 2005).

a. Sebaran Hutan Menurut Wilayah Administrasi Pemerintahan

Dilakukan dengan mengoverlay peta hasil klasifikasi dengan peta wilayah administrasi pemerintahan. Operasi spasial yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah identity. Dengan operasi spasial identity ini dapat diketahui luas penutupan lahan pada masing-masing wilayah administrasi pemerintahan.

b. Sebaran Hutan Menurut Fungsi Kawasan Hutan

Dilakukan dengan mengoverlay peta hasil klasifikasi dengan peta fungsi hutan . Operasi spasial yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah identity. Dengan operasi spasial identity ini dapat diketahui luas penutupan lahan pada masing-masing kawasan hutan.

Untuk lebih mempermudah pemahaman tentang metode pengolahan data penelitian ini, berikut disajikan gambar diagram alir penelitian.


(47)

Gambar 10. Diagram alir penelitian Mulai

●Peta Dasar Tematik Kehutanan

● Peta Kawasan Hutan

●Peta Administrasi Wilayah Citra ALOS PALSAR

Citra Terklasifikasi

Peta Kawasan Hutan

Peta Tutupan Lahan Citra Terkoreksi

Terima ?

Peta Administrasi Wilayah

Sebaran Luas Tutupan Hutan dan Lahan

Selesai Terima ?

Tidak

Ya

Pra Pengolahan Citra

Koreksi Geometrik

Identifikasi Objek

Pembuatan Training Area

Analisis Separabilitas

Uji Akurasi Klasifikasi Terbimbing

Analisis Spasial

Ya Tidak


(48)

IV. KONDISI UMUM PULAU KALIMANTAN

A. Letak Geografis

Kalimantan adalah nama bagian wilayah Indonesia di Pulau Borneo Besar; yaitu pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan seluruh Pulau Irian. Kalimantan meliputi 73 % massa daratan Borneo. Keempat propinsi di Kalimantan, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, luas seluruhnya adalah 549.032 km2. Luasan ini merupakan 28 % seluruh daratan Indonesia. Kalimantan Timur saja merupakan 10% dari wilayah Indonesia. Bagian utara P. Borneo meliputi negara bagian Malaysia yaitu Serawak dan Sabah, dan Kesultanan Brunei Darusallam.

Wilayah pulau Kalimantan (bagian selatan) dalam wilayah Republik Indonesia, terletak diantara 40 240` LU ~ 40 10` LS dan antara 1080 30` BT ~ 1190 00` BT. Berbatasan langsung dengan negara Malaysia (Sabah dan Serawak) di sebelah utara yang panjang perbatasannya mencapai 3000 km mulai dari propinsi Kalimantan Barat sampai dengan Kalimantan Timur.

Adapun batas wilayah pulau Kalimantan adalah:

● Sebelah Utara : Laut China Selatan dan Laut Sulu

● Sebelah Selatan : Selat Karimata dan Laut Jawa

● Sebelah Barat : Laut China Selatan

● Sebelah Timur : Laut Sulawesi dan Selat Makasar

B. Topografi

Pulau Kalimantan sebagaian besar merupakan daerah pegunungan / perbukitan (39,69 %), daratan (35,08 %), dan sisanya dataran pantai/ pasang surut (11,73 %) dataran aluvial (12,47 %), dan lain–lain (0,93 %). Pada umumnya topografi bagian tengah dan Utara (wilayah Republik Indonesia/RI) adalah daerah pegunungan tinggi dengan kelerengan yang terjal dan merupakan kawasan hutan dan hutan lindung. Pulau Kalimantan tidak memiliki pegunungan berapi namun jajaran pegunungan utamanya semula merupakan gunung berapi. Rangkaian pegunungan


(49)

utamanya melintasi bagian tengah pulau seperti trisula terbalik dari utara ke selatan dengan tiga mata tombak bercabang di bagian selatan. Puncak tertinggi terdapat di Malaysia yaitu Gunung Kinabalu dengan ketinggian 4.101 mdpl. Gunung tertinggi di Kalimantan adalah Gunung Raya yang tingginya 2.778 mdpl. Kebanyakan dataran rendah mengalami drainase yang buruk dan berawa yang sulit dilalui dengan transportasi darat. sehingga sungai menjadi sarana transportasi yang pokok didaerah pedalaman.

Di Kalimantan juga banyak terdapat sungai dari daerah pedalaman sampai kepantai, diantaranya adalah sungai Kapuas (1.143 km), sungai Barito (900 km) dan

sungai Mahakam (775 m) yang termasuk terbesar di Indonesia. Sungai Kapuas

mengalir dari kaki gunung Cemaru ke barat, mengaliri sebagian besar Kalimantan Barat. Sungai Barito yang besar mata airnya berasal dari pegunungan Muller dan mengalir ke selatan dan bertemu dengan Sungai Negara yang berasal dari Pegunungan Meratus bermuara dekat Banjarmasin. Disepanjang garis pantai ditumbuhi hutan rawa hingga hutan mangrove. Beberapa sungai besar mempunyai sistem pengeluaran (outlet) berupa danau (Djatmiko, 2006).

C. Iklim

Pulau Kalimantan terletak di garis Equator dan memiliki iklim tropis dengan suhu yang relatif konstan sepanjang tahun antara 250 ~ 350 C di dataran rendah. Dataran rendah di sepanjang equator mendapat curah hujan minimum 60 mm setiap bulannya. Pulau Kalimantan yang terletak di daerah basah sepanjang tahun memiliki sedikitnya bulan basah dengan curah hujan kurang dari 200 mm. Angin musim barat laut (November~April) pada umumnya lebih basah dari pada angin musim tenggara, tetapi beberapa daerah pesisir menunjukkan pola curah hujan bimodal.

Kalimantan dapat dibagi menjadi lima zona agroklimat. Sebagian besar daerah perbukitan yang tinggi menerima curah hujan 2.000 ~ 4.000 mm setiap tahun. Sebagian besar wilayah Kalimantan masuk ke dalam kawasan yang paling basah. Tidak seperti Sumatera, di Kalimantan tidak ada gunung-gunung di daerah pesisir yang mempengaruhi curah hujan, walaupun beberapa gunung yang pendek


(50)

26

mempengaruhi curah hujan lokal, terutama di Kalimantan bagian Timur. Kalimantan bagian tengah dan Barat adalah kawasan yang paling basah, sementara bagian-bagian di pesisir timur jauh lebih kering.

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah merupakan kawasan yang paling basah. Angin musim Barat laut di Kalimantan Barat pada bulan Agustus-September dan musim hujan berlangsung sampai bulan Mei. Curah hujan sangat tinggi terutama pada bulan Nopember dan yang kedua pada bulan April. Pada bulan Juni-Agustus iklim relatif lebih kering, akan tetapi tidak ada bulan yang curah hujannya kurang dari 100 mm. Curah hujan tahunan di Putussibau (Kapuas Hulu) mencapai lebih dari 4000 mm dan tidak ada bulan yang curah hujannya kurang dari 200 mm. Dengan wilayah panas sepanjang tahun dan daerah lembab.

Angin musim barat laut mencapai Kalimantan Barat pada bulan Agustus~September dan musim hujan berlangsung sampai bulan Mei. Curah hujan sangat tinggi terutama terjadi pada bulan Nopember dan yang kedua pada bulan April. Dari bulan Juni sampai Agustus, iklim relatif lebih kering tetapi tidak ada bulan yang curah hujannya kurang dari 100 mm. Curah hujan di Putusibau lebih dari 4.000 mm dan tidak ada bulan yang curah hujannya kurang dari 200 mm. Di Kalimantan Tengah dan Selatan, curah hujan umumnya bertambah tinggi ke arah utara dari daerah pesisir. Pengaruh angin musim tenggara jauh lebih besar daripada di Kalimantan Barat. Bulan kering terjadi dari bulan Juli sampai September terutama di daerah-daerah bayang-bayang hujan di bagian barat Pegunungan Meratus, misalnya di Martapura. Namun musim kemarau disini masih tidak sekering di Jawa dan Nusa Tenggara.

Daerah-daerah pesisir di Kalimantan Timur dan bagian timur Sanah jauh lebih kering daripada bagian-bagian lainnya di Kalimantan. Pengaruh angin musim barat laut jauh lebih lemah karena hampir semua hujan jatuh di pegunungan tengah. Bahkan selama musim penghujan, curah hujan relatif rendah dan sering kurang dari 200 mm/bulan, terutama di daerah Semenanjung Sankulirang. Tidak ada musim kemarau yang khusus karena angin musim tenggara melintasi laut terbuka sehingga juga membawa hujan ke daerah lain (Djatmiko, 2006).


(51)

D. Tipe Hutan

Pulau Kalimantan terkenal dengan kekayaan alamnya berupa hutan hujan tropis sehingga membuat pulau ini sering di sebut sebagai “Paru-Paru Dunia” dan cadangan mineral yang melimpah. Tumbuhan yang hidup di pulau Kalimantan lebih dari 5000 jenis yang diambil kayunya. Di dataran tinggi ditemukan sejumlah tumbuhan berbunga, diantaranya adalah Raflesia. Kalimantan memiliki lebih dari 3.000 jenis pohon, termasuk 267 jenis Dipterocarpaceae yang merupakan kelompok pohon kayu perdagangan terpenting di Asia Tenggara, sekitar 58% jenis Dipterocarpaceae ini merupakan jenis endemik. Juga memiliki lebih dari 2.000 jenis anggrek dan 1.000 jenis pakis, juga sebagai pusat distribusi karnivora Kantong semar (Nepenthus).

Tingkat endemisme flora juga cukup tinggi sekitar 34% dari seluruh tumbuhan, tetapi hanya mempunyai 59 marga unik dari 1.500 marga. Formasi vegetasi yang ada di wilayah ini meliputi hutan hujan tropis, mangrove, rawa, dan hutan kerangas. Untuk lebih jelasnya menurut Oldeman et al (1980) dalam Djatmiko (2006) terdapat 12 tipe habitat, yaitu:

1. Hutan pegunungan atau montane forest (> 1000 mdpl) 2. Hutan perbukitan atau hill forest ( 500 ~ 1000 mdpl)

3. Hutan dipterocarpa dataran rendah atau lowland dipterocarp forest (100~ 500 mdpl)

4. Hutan hujan dataran rendah atau lowland pplain rain forest (<100 mdpl) 5. Hutan kerangas (heath forest)

6. Hutan kayu ulin (ironwood forest) 7. Hutan batu kapur (forest in limestone) 8. Hutan tanah alluvial (forest in alluvial soil)

9. Rawa air tawar (freshwater swamp)

10.Rawa gambut (peat swamps)

11.Bakau (mangrove)


(52)

28

E. Wilayah Administrasi

Secara administratif pemerintahan, Pulau Kalimantan yang menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia terbagi kedalam empat provinsi yaitu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Tabel 6. Jumlah administrasi pemerintahan tiap Provinsi di Pulau Kalimantan

Provinsi Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Kalimantan Selatan

Kalimantan

Timur Jumlah

Kabupaten 12 14 13 13 52

Kecamatan 127 85 117 88 417

Desa 1500 1355 1972 1404 6231

Sumber : Biro Pusat Statistik (2008)

F. Tutupan Lahan dan IUPHHK Hutan Alam

Berdasarkan Badan Planologi Kehutanan (2005), wilayah pulau Kalimantan

memiliki areal hutan seluas 28.232.800 ha dan non hutan seluas 21.548.480 ha. Sedangkan banyaknya IUPHHK Hutan Alam (HPH) yang aktif sebanyak 174 dengan total luas areal pengelolaannya sebesar 12.829.243 ha.


(53)

Tabel 7. Luas tutupan lahan di Pulau Kalimantan

No Tutupan Lahan Luas (Ha)

A. Hutan

1 Hutan lahan kering primer 9.351.600

2 Hutan lahan kering sekunder 13.036.200

3 Hutan rawa primer 443.700

4 Hutan rawa sekunder 3.970.900

5 Hutan mangrove primer 111.800

6 Hutan mangrove sekunder 560.300

7 Hutan tanaman 758.300

Jumlah Hutan 28.232.800

B. Non Hutan

8 Semak/Belukar 7.021.300

9 Belukar rawa 2.589.480

10 Savana 71.200

11 Perkebunan 1.359.800

12 Pertanian lahan kering 425.400

13 Pertanian lahan kering + Semak 6.893.300

14 Transmigrasi 145.500

15 Sawah 797.800

16 Tambak 234.300

17 Tanah terbuka 786.200

18 Pertambangan 141.100

19 Permukiman 284.800

20 Rawa 797.200

21 Pelabuhan Udara/Laut 1.100

Jumlah Non Hutan 21.548.480

C. Tidak Ada Data

22 Awan 2.398.400

23 Tidak ada data

Jumlah Tidak Ada Data 2.398.400

Total 52.179.680


(54)

Tabel 8. Penyebaran IUPHHK Hutan Alam (HPH) yang aktif (SK. Definitif) setiap Provinsi keadaan s/d tahun 2006

No Provinsi

IUPHHK Hutan Alam (HPH) Aktif

Swasta Murni BUMN Murni Penyertaan Patungan Jumlah

Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha)

1 Kalimantan Barat 12 576.790 - - 10 578.100 - - 22 1.163.890

2 Kalimantan Tengah 25 1.854.270 - - 31 2.306.520 5 408.855 61 4.569.645

3 Kalimantan Selatan 1 17.600 2 120.950 3 222.931 - - 6 361.481

4 Kalimantan Timur 48 3.870.951 10 796.230 25 1.848.671 1 218.375 85 6.734.227

Jumlah 86 6.319.611 12 917.180 69 4.965.222 6 627.230 174 12.829.243

Sumber : Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan (2006)


(55)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Objek

Suatu objek dipermukaan bumi pada citra satelit dapat dikenali secara visual melalui warna kompositnya. Untuk dapat menampilkan warna komposit ini

dibutuhkan kombinasi tiga band pada gun Red, Green, dan Blue. Selain warna

komposit, untuk lebih membedakan masing-masing objek juga harus dikenali tekstur, bentuk dan asosiasinya dengan objek lain.

Berbeda dengan penginderaan jauh optik yang biasanya memiliki banyak band (misalnya SPOT 4 Vegetation yang mempunyai 4 band), citra satelit ALOS PALSAR hanya mempunyai dua band yaitu band HH (Horizontal-Horizontal) dan

HV (Horizontal-Vertical). Oleh karena itu, identifikasi objek pada citra ALOS

PALSAR dilakukan pada kombinasi band 1-2-1. Band HH pada citra tersebut diletakan pada gun Red sedangkan band HV diletakan pada gun Green. Oleh karena untuk dapat menampilkan warna komposit pada suatu citra dibutuhkan kombinasi tiga band maka pada gun Blue ditampilkan citra dengan band HH.

Gelombang elektromagnetik yang digunakan sensor radar berupa pulsa (gelombang mikro) bertegangan tinggi dan dipancarkan pada waktu sangat pendek (10-6detik). Pancaran pulsa ditujukan pada arah obyek dan dipantulkan kembali ke sensor radar. Sensor dapat mengukur dan mencatat waktu dari saat pemancaran gelombang elektromagnetik hingga kembali ke sensor. Berdasarkan waktu perjalanan pulsa radar dapat diperhitungkan jarak obyek dan berdasarkan intensitas hamburan baliknya dapat ditaksir jenis obyeknya (Purwadhi, 2001).

Terbatasnya jumlah band yang dimiliki oleh sensor radar PALSAR pada satelit ALOS menyebabkan terbatasnya kemampuan citra ALOS PALSAR dalam membedakan kenampakan suatu objek dipermukaan bumi. Dengan besarnya nilai Brightness Value (BV) yang mencapai 8 bits berarti citra ALOS PALSAR ini dapat membedakan tingkat kecerahan suatu piksel mulai dari 0 sampai dengan 255. Berdasarkan ciri (karakteristik) objek secara spektral dan spasial tersebut, citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk melakukan klasifikasi tutupan lahan menjadi 6


(56)

32

kelas. Kartikasari (2004) dalam penelitiannya dengan menggunakan citra optis yaitu SPOT 4 Vegetation pada areal kerja yang sama mampu membedakan objek secara visual ke dalam 8 kelas penutupan lahan yaitu : hutan dataran rendah, hutan rawa, hutan mangrove, areal penanaman, semak belukar, areal terbuka, badan air, dan awan.

Penelitian mengenai identifikasi penutupan lahan dengan menggunakan ALOS PALSAR ini telah dilakukan oleh Samsul Arifin (2007). Dalam penelitiannya dengan menggunakan citra komposit (HH+HV)/2-HV-HH resolusi spasial 5 m di daerah Yogyakarta, peneliti tersebut mampu mengidentifikasi objek kedalam 8 kelas penutupan lahan. Delapan kelas penutupan lahan tersebut adalah: air, palawija, sawah awal tanam, sawah vegetatif, sawah pasca panen, kebun, hutan dan pemukiman.

Nurharyanti (2008) dalam penelitiannya dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 12,5 m dengan menggunakan citra komposit HH-HV-HH di PT. Trisetia Intiga (Kalimantan Tengah) mampu mengidentifikasi secara visual objek kedalam 5 kelas penutupan lahan. Kelas-kelas penutupan lahan tersebut adalah: lahan terbuka, semak belukar, perkebunan, hutan lahan kering rapat, dan hutan lahan kering jarang. Sedangkan Hendrayani (2008) dengan menggunakan citra komposit yang sama yaitu HH-HV-HH tapi dengan resolusi spasial 200 m di Pulau Jawa mampu mengidentifikasi objek kedalam 4 kelas penutupan lahan. Kelas-kelas penutupan lahan tersebut adalah: tubuh air, lahan pertanian, hutan atau vegetasi biomassa rendah, dan hutan atau vegetasi biomassa tinggi.


(57)

Tabel 9. Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra ALOS PALSAR pada kombinasi band 1-2-1 di Pulau Kalimantan.

No Kelas Penutupan Lahan Ciri-ciri Visual

1 Badan air Berwarna ungu kehitaman dengan rona gelap

serta tekstur yang halus (Gambar 11)

2 Sawah Berwarna ungu dengan tekstur agak kasar dan

bentuk berpetak-petak (Gambar 12)

3 Semak Berwarna hijau bercampur ungu dengan tekstur

agak kasar serta pola yang menyebar (Gambar 13)

4 Perkebunan Berwarna hijau bercampur ungu dengan tekstur

agak kasar serta bentuk yang beraturan (Gambar 14)

5 Lahan terbuka Berwarna ungu tua dengan tekstur halus dan

mempunyai bentuk yang tidak beraturan (Gambar 15)

6 Hutan Berwarna hijau bercampur ungu dan putih

dengan tekstur kasar serta pola yang tidak teratur (Gambar 16)

Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa pada permukaan yang halus (smooth) seperti pada badan air dan lahan terbuka akan bertindak sebagai specular reflector (seperti cermin) yang menyebabkan arah backscatter akan dipantulkan menjauhi sensor sehingga objek yang direkam tampak gelap (Gambar 11 dan 15). Pada tutupan lahan berupa semak dan perkebunan yang memiliki permukaan agak kasar mengakibatkan objek yang direkam memiliki tekstur yang agak kasar (Gambar 13 dan 14). Pada tutupan lahan berupa hutan yang memiliki permukaan yang kasar akibat dari struktur kanopi tanaman secara keseluruhan mengakibatkan terjadinya pantulan baur (diffuse reflector). Pantulan baur ini menyebabkan objek yang direkam memiliki tekstur yang kasar. Tekstur yang kasar tersebut diakibatkan oleh rona yang dihasilkan dari obyek yang mempunyai permukaan yang kasar memiliki beberapa tingkat kecerahan tergantung besarnya tenaga pantulan yang kembali kearah sensor (Gambar 16). Obyek yang termasuk pemantul baur ini diantaranya adalah beberapa jenis vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1993).

Untuk penutupan lahan berupa hutan yang berada di daerah pegunungan, variasi geometri akan sangat mempengaruhi penampakan objek yang terekam. Oleh


(58)

34

karena Radar melakukan perekaman dengan arah menyamping maka medan yang diindera juga tidak selalu memiliki arah yang sama. Sehingga dalam mencitra berbagai relief/topografi permukaan bumi, akan memberikan hasil yang berbeda. Hal ini timbul melalui variasi geometri sensor terhadap medan. Variasi lokal medan mengakibatkan sudut datang sinyal radar berbeda-beda. Bila terjadi pada lereng, hasil balik tenaga radar bagi lereng yang menghadap ke arah sensor (lereng depan) akan memantulkan tenaga yang lebih besar dibandingkan lereng sebaliknya yang membelakangi sensor. Kekuatan hasil balik pulsa radar mempengaruhi rona pada citra radar. Citra radar pada bagian lereng depan akan lebih cerah dibandingkan dengan bagian lereng belakang (Purwadhi, 2001).

Selain jumlah band yang sedikit serta adanya foreshortening, layover, dan bayangan pada citra Radar. Kendala lain yang dihadapi dalam mengidentifikasi objek dipermukaan bumi pada penelitian ini adalah penggunaan data acuan yang merupakan data keluaran tahun 2003. Hal tersebut memungkinkan adanya kesalahan interpretasi yang disebabkan oleh perubahan tutupan lahan yang mungkin terjadi selama kurun waktu tahun 2003 ~ 2007 tersebut. Oleh karena itu, pembuatan area contoh dilakukan pada wilayah-wilayah yang diperkirakan antara tahun 2003 ~2007 tersebut tidak berubah.


(59)

Gambar 11. Objek penutupan lahan berupa badan air

Gambar 12. Objek penutupan lahan berupa sawah

Gambar 13. Ojek penutupan lahan berupa semak

(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)

(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)


(60)

36

Gambar 14. Objek penutupan lahan berupa perkebunan

Gambar 15. Objek penutupan lahan berupa lahan terbuka

Gambar 16. Objek penutupan lahan berupa hutan

(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)

(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)


(61)

B. Analisis Dijital

Analisis dijital digunakan untuk memperoleh informasi mengenai besarnya kisaran nilai dijital (Digital Number/DN) dari masing-masing kelas penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR. Citra ALOS PALSAR ini sendiri merupakan citra satelit dengan saluran L yaitu saluran yang mempunyai panjang gelombang mikro sebesar 19,3 ~ 79,9 cm. Dengan diketahuinya besaran kisaran nilai dijital tersebut akan diketahui bagaimana karakteristik spektral dari setiap kelas penutupan lahan terhadap saluran (band) yang dimiliki oleh suatu sensor satelit.

Gambar 17. Grafik karakteristik spektral kelas penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR

Berdasarkan grafik pada Gambar 17, nilai backscatter yang dimiliki objek pada saluran HH dan HV tidak menonjolkan atau tidak dapat membedakan kepekaan terhadap suatu objek tertentu. Polarisasi HH dan HV semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kerapatan vegetasi pada permukaan objek yang diindera. Polarisasi HV menghasilkan citra dengan kontras yang lebih jelas antara objek yang tidak bervegetasi (badan air dan lahan terbuka) dengan objek yang bervegetasi


(62)

38

(sawah, semak, perkebunan, dan hutan). Sementara itu, polarisasi HV menghasilkan citra dengan kontras yang lebih kecil dalam menunjukan perbedaan antara daerah yang tidak bervegetasi (badan air dan lahan terbuka) dengan daerah yang bervegetasi (sawah, semak, perkebunan, dan hutan). Akan tetapi, polarisasi HV dapat membedakan setiap kelas penutupan lahan secara lebih baik dibandingkan polarisasi HH. Nilai statistik tiap kelas penutupan lahan ditampilkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai statistik tiap kelas penutupan lahan

Pada saluran 1 (satu) atau band HH, terlihat perbedaan nilai rata-rata yang kontras antara objek yang bervegetasi dan tidak bervegetasi. Nilai rata-rata DN kelas penutupan badan air sebesar 26,27. Selanjutnya nilai rata-rata DN kelas penutupan lahan berupa sawah sebesar 170,78. Sementara itu nilai rata-rata DN kelas penutupan semak yaitu 115,88. Sedangkan nilai rata-rata DN kelas penutupan berupa lahan terbuka sebesar 51,04. Besarnya nilai rata-rata DN penutupan lahan berupa perkebunan adalah 120,85. Nilai DN kelas penutupan lahan berupa hutan ditunjukan dengan nilai rata-rata yang mencapai 128,288.

Pada saluran 2 (dua) atau band HV, nilai rata-rata DN setiap kelas penutupan lahan semakin meningkat berbanding lurus dengan kerapatan vegetasi yang menutupi objek yang di indera. Nilai rata-rata DN kelas penutupan badan air adalah 26,35.

Kelas Band Min Max Mean Std dev Covariance

Band HH Band HV

Badan air HH (1) 18 40 26,27 5,677 32,228 6,092

HV (2) 22 30 26,35 1,573 6,092 2,475

Sawah HH (1) 86 255 170,78 38,639 1492,939 -45,577

HV (2) 42 133 74,52 15,366 -45,577 236,103

Semak HH (1) 96 148 120,85 10,833 117,347 114,602

HV (2) 71 130 104,98 12,403 114,602 153,846

Lahan terbuka HH (1) 21 122 51,04 20,422 417,059 295,183

HV (2) 22 110 41,09 15,196 295,183 230,931

Perkebunan HH (1) 91 138 115,88 8,955 80,196 52,013

HV (2) 106 152 127,68 8,915 52,013 79,481

Hutan HH (1) 76 205 121,25 27 729,02 824,959


(63)

Nilai DN kelas penutupan lahan terbuka mempunyai nilai rata-rata sebesar 41,09. Selanjutnya nilai DN kelas penutupan lahan sawah ditunjukan dengan nilai rata-rata yang mencapai 74,52. Sedangkan nilai DN kelas penutupan lahan semak ditunjukan dengan nilai rata-rata sebesar 127,68. Nilai rata-rata DN kelas penutupan lahan berupa perkebunan adalah 104,98. Sementara itu nilai rata-rata DN kelas penutupan lahan berupa hutan adalah 153,705.

Pada saluran HH dan HV, permukaan yang halus pada badan air dan lahan terbuka menyebabkan terjadinya pantulan cermin dimana arah backscatter akan dipantulkan menjauhi sensor sehingga objek yang direkam tampak gelap. Sedangkan pada penutupan lahan berupa vegetasi (sawah, semak, perkebunan dan hutan) yang memiliki permukaan yang kasar berlaku pantulan baur. Rona yang dihasilkan dari obyek yang mempunyai permukaan yang kasar ini memiliki beberapa tingkat kecerahan tergantung besarnya tenaga pantulan yang kembali kearah sensor.

Gambar 18. Grafik nilai rata-rata DN setiap kelas penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR


(64)

40

Berdasarkan grafik pada Gambar 18, secara visual dapat diketahui bahwa kelas-kelas penutupan lahan tersebut memiliki nilai rata-rata DN yang tersebar. Sehingga setiap kelas penutupan lahan tersebut dapat dibedakan antara satu dengan lainnya. Walaupun demikian masih terdapat beberapa kelas penutupan lahan yang cenderung mengelompok seperti kelas penutupan lahan semak dengan perkebunan. Hal tersebut dikarenakan nilai rata-rata DN kelas penutupan lahan tersebut tidak memiliki perbedaan yang cukup besar sehingga menyebabkan rendahnya nilai keterpisahan antara kelas-kelas tersebut.

C. Analisis Separabilitas

Dari area contoh yang diambil dari masing-masing kelas penutupan lahan tersebut kemudian dilakukan analisis separabilitas. Analisis separabilitas ini merupakan analisis dalam klasifikasi untuk mengetahui tingkat atau daya keterpisahan bagi semua pasangan kelas yang disajikan dalam suatu matrik. Maksud dari analisis separabilitas ini adalah untuk membuat kelas-kelas penutupan lahan yang benar-benar terpisahkan satu sama lainnya. Semakin besar nilai keterpisahan antar kelas tersebut berarti semakin baik pula hasil klasifikasi tersebut. Ini berarti bahwa setiap pasangan kelas tersebut dapat dibedakan secara jelas. Evaluasi separabilitas 6 kelas penutupan lahan pada citra ALOS disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Evaluasi separabilitas 6 kelas penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR dengan kombinasi band 1-2

Kelas C1 C2 C3 C4 C5 C6

C1 2000 2000 2000 2000 2000

C2 1645 1938 1983 1996

C3 2000 1536 1983

C4 2000 2000

C5 1380 C6

Keterangan :

C1 = badan air, C2 = sawah, C3 = perkebunan, C4 = lahan terbuka, C5 = semak C6 = hutan


(1)

Lampiran 2. Sebaran luas tutupan lahan setiap kabupaten di Pulau Kalimantan Provinsi Kabupaten Tutupan

lahan Luas (Ha) Kalimantan Timur Balikpapan badan air 494

veg. rapat 18.910

veg.sedang 10.139 veg.jarang 15.051 Kalimantan Selatan Banjar badan air 8.881

veg. rapat 183.090

veg.sedang 85.751 veg.jarang 204.467 Kalimantan Tengah Barito Selatan badan air 2.572

veg. rapat 309.658

veg.sedang 40.384 veg.jarang 87.909 Kalimantan Tengah Barito Timur badan air 814

veg. rapat 258.531

veg.sedang 47.112 veg.jarang 80.158 Kalimantan Tengah Barito Utara badan air 1.160

veg. rapat 1.005.040

veg.sedang 34.582 veg.jarang 91.823 Kalimantan Barat Bengkayang badan air 4.780

veg. rapat 396.187

veg.sedang 79.556 veg.jarang 127.786


(2)

Lampiran 2 (Lanjutan)

Provinsi Kabupaten Tutupan

lahan Luas (Ha) Kalimanta Timur Berau badan air 16.981

veg. rapat 1.748.788

veg.sedang 65.647 veg.jarang 282.288 Kalimantan Timur Bontang badan air 1.458

veg. rapat 97.934

veg.sedang 19.372 veg.jarang 33.296 Kalimantan Timur Bulongan badan air 53.944

veg. rapat 1.133.825

veg.sedang 73.350 veg.jarang 319.927 Kalimantan Tengah Gunung Mas badan air 16

veg. rapat 755.688

veg.sedang 22.622 veg.jarang 81.321 Kalimantan Selatan Hulu Sungai

Selatan

badan air 4.255 veg. rapat 38.081

veg.sedang 51.338 veg.jarang 71.783 Kalimantan Selatan Hulu Sungai

Timur

badan air 4.272 veg. rapat 75.091

veg.sedang 85.934 veg.jarang 170.387 Kalimantan Selatan Hulu Sungai Utara badan air 4.878

veg. rapat 125.286

veg.sedang 60.747 veg.jarang 103.168


(3)

Lampiran 2 (Lanjutan)

Provinsi Kabupaten Tutupan

lahan Luas (Ha) Kalimantan Tengah Kapuas badan air 7.825

veg. rapat 899.093

veg.sedang 219.773 veg.jarang 360.629 Kalimantan Barat Kapuas Hulu badan air 19.592

veg. rapat 2.439.130

veg.sedang 87.205 veg.jarang 551.393 Kalimantan Tengah Katingan badan air 7.806

veg. rapat 1.610.548

veg.sedang 131.020 veg.jarang 329.908 Kalimantan Barat Ketapang badan air 24.276

veg. rapat 2.092.997

veg.sedang 475.638 veg.jarang 869.351 Kalimantan Selatan Kota Banjar Baru badan air 284

veg. rapat 2.010

veg.sedang 8.594 veg.jarang 24.535 Kalimantan Selatan Kota Banjarmasin badan air 313

veg. rapat 1.497

veg.sedang 2.554 veg.jarang 7.081 Kalimantan Selatan Kota Baru badan air 13.117

veg. rapat 714.431

veg.sedang 315.156 veg.jarang 384.317


(4)

Lampiran 2 (Lanjutan)

Provinsi Kabupaten Tutupan

lahan Luas (Ha) Kalimantan Tengah Kotawaringin

Barat

badan air 13.697 veg. rapat 554.140

veg.sedang 242.754 veg.jarang 322.695 Kalimantan Tengah Kotawaringin

Timur

badan air 6.040 veg. rapat 821.974

veg.sedang 317.085 veg.jarang 475.760 Kalimantan Timur Kutai badan air 53.632

veg. rapat 1.556.965

veg.sedang 310.977 veg.jarang 695.582 Kalimantan Timur Kutai Barat badan air 3.723

veg. rapat 2.131.729

veg.sedang 197.278 veg.jarang 502.838 Kalimantan Timur Kutai Timur badan air 9.440

veg. rapat 2.848.150

veg.sedang 85.164 veg.jarang 493.660 Kalimantan Tengah Lamandau veg. rapat 413.073

veg.sedang 14.295 veg.jarang 63.286 Kalimantan Barat Landak badan air 66

veg. rapat 586.728

veg.sedang 54.884 veg.jarang 144.711


(5)

Lampiran 2 (Lanjutan)

Provinsi Kabupaten Tutupan

lahan Luas (Ha) Kalimantan Timur Malinau badan air 485

veg. rapat 3.064.999

veg.sedang 9.899 veg.jarang 779.132 Kalimantan Tengah Murung Raya badan air 172

veg. rapat 2.175.681

veg.sedang 13.223 veg.jarang 231.168 Kalimantan Timur Nunukan badan air 23.080

veg. rapat 1.182.377

veg.sedang 70.182 veg.jarang 307.623 Kalimantan Tengah Palangkaraya badan air 16

veg. rapat 292.662

veg.sedang 31.248 veg.jarang 52.440 Kalimantan Timur Pasir badan air 10.053

veg. rapat 650.437

veg.sedang 147.182 veg.jarang 277.667 Kalimantan Timur Penajam Paser

Utara

badan air 2.966 veg. rapat 205.244

veg.sedang 44.479 veg.jarang 84.267 Kalimantan Barat Pontianak badan air 20.110

veg. rapat 717.065

veg.sedang 170.229 veg.jarang 255.559


(6)

Lampiran 2 (Lanjutan)

Provinsi Kabupaten Tutupan

lahan Luas (Ha) Kalimantan Tengah Pulang Pisau badan air 8.771

veg. rapat 557.326

veg.sedang 258.648 veg.jarang 343.763 Kalimantan Timur Samarinda badan air 571

veg. rapat 30.287

veg.sedang 10.633 veg.jarang 19.003 Kalimantan Barat Sambas badan air 6.617

veg. rapat 341.938

veg.sedang 87.518 veg.jarang 161.535 Kalimantan Barat Sanggau badan air 10.502

veg. rapat 1.251.722

veg.sedang 234.656 veg.jarang 374.864 Kalimantan Tengah Seruyan badan air 14.645

veg. rapat 622.781

veg.sedang 349.803 veg.jarang 455.517 Kalimantan Barat Sintang badan air 2.227

veg. rapat 2.477.724

veg.sedang 198.953 veg.jarang 587.126 Kalimantan Tengah Sukamara badan air 6.739

veg. rapat 96.843

veg.sedang 111.066 veg.jarang 164.362 Kalimantan Selatan Tabalong badan air 1.0310

veg. rapat 311.283

veg.sedang 198.262 veg.jarang 461.406 Kalimantan Timur Tarakan badan air 1.136

veg. rapat 9.116

veg.sedang 5.750 veg.jarang 8.858