Aplikasi dan evaluasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m untuk identifikasi tutupan lahan: studi kasus di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis

(1)

(Studi Kasus di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis)

DIAN NURHADIATIN

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

50 m dan 12,5 m Untuk Identifikasi Tutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis). Dibimbing oleh M. BUCE SALEH.

ALOS PALSAR merupakan satelit penginderaan jauh permukaan bumi milik Jepang yang diluncurkan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) pada bulan Januari 2006. Citra ALOS PALSAR mengacu pada sensor gelombang mikro berkualitas tinggi menggunakan teknologi radar. Sensor ALOS PALSAR memiliki resolusi spasial 12,5 m dan 50 m. Penelitian aplikasi ALOS PALSAR dalam tujuannya untuk memperoleh data penutupan dan penggunaan lahan masih sangat terbatas, oleh karena itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m maupun resolusi 50 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis. Analisis kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dan 50 m dilakukan secara visual dan digital. Analisis visual dilakukan berdasarkan kenampakan citra berdasarkan elemen interpretasinya, sedangkan analisis digital dilakukan dengan metode diskriminan. Evaluasi keberhasilan dilakukan dengan uji akurasi (akurasi Kappa dan akurasi umum) serta separabilitas.

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara visual citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun 12,5 m dapat diklasifikasikan dalam 9 kelas tutupan lahan, yaitu badan air, hutan tanaman muda, hutan tanaman sedang-tua, kebun campuran, perkebunan karet muda, perkebunan karet sedang-tua, pemukiman, sawah diolah/digenangi air dan sawah bervegetasi dengan nilai akurasi Kappa 63,52% dan akurasi umum 67,57%, sedangkan secara digital diperoleh 5 kelas tutupan lahan, yaitu badan air, vegetasi pohon, kebun campuran, pemukiman dan sawah dengan proportion correct citra resolusi 50 m sebesar 64,2% dan citra resolusi 12,5 m sebesar 65%.


(3)

Cilacap, Banyumas and Ciamis). Supervised by M. BUCE SALEH.

ALOS PALSAR is a remote sensing satellite to record the surface of the earth owned by Japan and it was launched by Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) in January 2006. The image of ALOS PALSAR refers to high-quality of microwave sensor that used a radar technology. The sensor of ALOS PALSAR has 12,5 m and 50 m spatial resolution. The research for applications of ALOS PALSAR using land cover data are still very limited. Therefore, it needed a continued research about the capability of ALOS PALSAR 12,5 m and 50 m resolution imagery to identify the land cover.

This research was located in Brebes, Cilacap, Banyumas and Ciamis. Analysis of ALOS PALSAR 12,5 m and 50 m resolution imagery was done using visual analysis and digital analysis. Visual analysis was done based on appearance of images and referring to interpretation element, while digital analysis is conducted using discriminant method. Evaluation of the accuracy was conducted by Kappa accuracy, overall accuracy and separability value.

Visual analysis of ALOS PALSAR 50 m and 12,5 m resolution image produced 9 land cover classes, such as water body, a young plantation forest, middle aged-old age plants, mixed gardens, young rubber plantations, middle aged-old rubber plantations, settlements, cultivated fields/flooded and vegetated fields. Kappa accuracy of the visual classification is 63,52% and overall accuracy of the visual classification is 67,57%, while the digital analysis produce 5 land cover classes, such as water body, trees, mixed gardens, settlements and fields with 64,2% proportion correct for 50 m resolution image and 65% proportion correct for image 12,5 m resolution image.


(4)

(Studi Kasus di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DIAN NURHADIATIN

E. 14062074

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis) Nama Mahasiswa : DIAN NURHADIATIN

Nomor Pokok : E. 14062074

Menyetujui :

Dosen Pembimbing,

(Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, MS) NIP. 19571005 198303 1 002

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan

(Dr. Ir. Didik Suharjito, MS) NIP. 19630401 199403 1 001


(6)

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi dengan judul “Aplikasi dan Evaluasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m untuk Identifikasi Tutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis)” di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berisi tentang penggunaan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m untuk mengidentifikasi tutupan lahan khususnya di wilayah Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis serta evaluasinya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan dan menganalisis peningkatan kemampuan citra ALOS PALSAR 12,5 m terhadap citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak khususnya pada pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, April 2011


(7)

31 Mei 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Dedy Nurhadi, S. Hut dan Entin Suhaetin, BSc. F.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 1 Mayang, Jember lulus tahun 2000, pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Ngawi lulus tahun 2003, pendidikan menengah atas di SMAN 2 Ngawi lulus tahun 2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di IPB melalui USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan (ISDH) pada tahun ajaran 2008-2009, mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran 2010-2011 dan mata kuliah Geomatika dan Inderaja Kehutanan pada tahun ajaran 2010-2011. Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.

Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan Baturraden, Jawa Tengah pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi dan KPH Cianjur, Jawa Barat pada tahun 2009 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Parengan, Jawa Timur pada tahun 2010.

Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Aplikasi dan Evaluasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m untuk Identifikasi Tutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis)” di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.


(8)

Saya persembahkan skripsi ini untuk:

Bapa (Alm.) Atna

Terima kasih atas cinta dan kasih sayang Bapa yang luar biasa selama ini, dukungan baik moril dan materiil, doa yang selalu dipanjatkan, kepercayaan

penuh dan harapan-harapan yang membuat saya bertahan hingga saat ini. Semoga Allah SWT menempatkan Bapa di sisi-Nya. Amin.


(9)

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Orang tua penulis Entin Suhaetin dan Dedy Nurhadi, adik-adik penulis Dea Dinda Handayani dan Della Juwita Sari, ema, bibi, serta keluarga besar penulis,

2. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan, ilmu, kesabaran, motivasi dan waktu yang diberikan kepada penulis,

3. Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr dan Dr. Nining Puspaningsih, M.Si atas pengarahan, ilmu dan motivasi yang diberikan kepada penulis,

4. Dr. Ir. Achmad, MS selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur,

5. Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, MscF selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan,

6. Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MS selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,

7. Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dan Japan International Cooperation Agency (JICA) atas kerjasama dan kesempatan yang diberikan kepada penulis,

8. Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, Msc selaku dosen pemeriksa,

9. Kak Fitri Amelia, Kak M. Farikin Yanuarefa dan Ahsana Riska atas bantuan, kerjasama, dan dukungannya khususnya pada saat penelitian,

10. Bapak Uus Saepul M. dan Aa’ Edwine Setia P. atas segala kesabaran, ilmu, dan pengarahan yang telah diberikan,

11. Seluruh dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan atas ilmu dan bantuannya,

12. Keluarga besar lab. Remote Sensing dan GIS, Pak Kun-kun, Pak Jaya, Kak Putri R., Kak Afiefah B., Kak Galih R., Kak M. Fatah, Kak Ratih P., Kak Dyah R., Kak Dian A., Kak Anjeliya E.P., Nur Illiyina S., Rizka W., Putu Ananta W., Made H., Ratih S., Nurindah R., Kak Faris S., Kak Risa S., Anom K., dan Putu Indra D., Kak Choki, Tulang, Pak Mukalil, Pak Ayub atas bantuan, kerjasama dan semangatnya,


(10)

13. Seluruh teman, kakak dan adik Manajemen Hutan, khususnya Manajemen Hutan angkatan 43 atas kebersamaannya selama ini,

14. Rangga Wisanggara atas nasehat, bantuan, dukungan, kesabaran, kasih sayang dan semangat yang diberikan pada penulis,

15. Aiyoundya Fieke sabahat terbaik yang selalu ada, membantu serta memotivasi penulis,

16. Pak Kuswoyo dan Pak Hidayat atas bantuannya selama di lapangan,

17. Pak Ipul dan Pak Edi atas bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Hutan,

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas semua bantuan dan dukungannya.


(11)

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan... 2

1.3 Manfaat... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Citra Radar... 3

2.2 ALOS PALSAR... 8

2.3 Resolusi Spasial... 10

2.4 Klasifikasi Penutupan dan Penggunaan Lahan dalam Penginderaan Jauh ... 11

2.5 Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk Identifikasi Tutupan Lahan... 13

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat... 15

3.2 Alat dan Bahan ... 15

3.3 Metode Penelitian... 16

3.3.1 Pengumpulan Data... 16

3.3.2 Pra-Pengolahan Citra... 16

3.3.2.1 Menambah Band Sintetis Pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m... 16

3.3.2.2 Pemilihan Kombinasi Citra Komposit... 17

3.3.2.3 Koreksi Geometrik ... 17

3.3.3 Identifikasi Awal Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 dan 12,5 m ... 18

3.3.4 Pengamatan Lapangan ... 20

3.3.5 Analisis Hasil Pengamatan Lapangan ... 20

3.3.6 Analisis Peningkatan Kemampuan Penafsiran... 21

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Brebes... 23


(12)

4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Brebes... 23

4.1.2 Sumber Daya Lahan dan Agroklimat... 23

4.1.3 Kependudukan... 24

4.2 Kabupaten Cilacap... 24

4.2.1 Letak dan Luas Kabupaten Cilacap... 24

4.2.2 Topografi... 24

4.2.3 Kependudukan... 25

4.3 Kabupaten Banyumas ... 25

4.3.1 Letak dan Luas Kabupaten Banyumas ... 25

4.3.2 Topografi dan Jenis Tanah ... 25

4.3.3 Iklim ... 26

4.3.4 Kondisi Sosial Ekonomi... 26

4.4 Kabupaten Ciamis... 26

4.4.1 Letak dan Luas Kabupaten Ciamis... 26

4.4.2 Topografi dan Iklim... 26

4.4.3 Penggunaan Lahan ... 27

4.4.4 Kependudukan ... 27

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Obyek di Lapangan ... 29

5.2 Nilai Kecerahan (Brightness Value) atau Nilai Digital (Digital Number) dan Analisis Diskriminan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m ... 33

5.3 Analisis Visual Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 44

5.4 Analisis Akurasi Klasifikasi dan Separabilitas ... 50

5.5 Analisis Peningkatan Kemampuan Penafsiran Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m... 54

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 61

6.2 Saran ... 62


(13)

No. Halaman

1. Karakteristik satelit ALOS ... 8

2. Karakteristik utama PALSAR ... 10

3. Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan untuk digunakan dengan data penginderaan jauh ... 12

4. Obyek-obyek tutupan lahan hasil pengamatan lapang ... 30

5. Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan elemen interpretasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (HH-HV-HH/HV) ... 49

6. Jumlah titik pengamatan hasil klasifikasi 9 kelas tutupan lahan ... 50

7. Nilai akurasi pengklasifikasian tutupan lahan ... 51

8. Hasil separabilitas pengklasifikasian tutupan lahan ... 53

9. Identifikasi hutan tanaman berdasarkan jenis dan umur pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ... 55


(14)

No. Halaman 1. Bentuk-bentuk refleksi atau backscatter (a) baur, (b) sempurna dan (c)

sudut ... 4

2. Prinsip geometri PALSAR ... 10

3. Peta lokasi penelitian ... 15

4. Citra ALOS PALSAR (a) band HH, (b) band HV dan (c) band sintetis HH/HV... 16

5. Tampilan visual citra ALOS PALSAR kombinasi RGB HH-HV-HH/HV (a) resolusi 50 m, (b) resolusi 12,5 m ... 17

6. Bagan alir pengolahan dan analisis data ... 22

7. Sebaran titik pengamatan lapangan ... 29

8. Diagram batang nilai digital 17 kelas tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 35

9. Diagram batang nilai digital 17 kelas tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ... 36

10. Proses pengklasifikasian tutupan lahan dengan metode analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 40

11. Proses pengklasifikasian tutupan lahan dengan metode analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ... 42

12. Badan air, (a) waduk, (b) sungai ... 44

13. Hutan tanaman, (a) jati, (b) mahoni, (c) pinus dan (d) pinus KU I ... 45

14. (a) Kebun campuran, (b) kebun jati... 45

15. Perkebunan karet (a) KU sedang-tua, (b) KU muda, (c) bertopografi .... 46

16. Pemukiman (a) kota dan (b) desa ... 46

17. Fase kenampakan sawah (a) diolah/digenangi air, (b) baru tanam, (c) vegetatif dan (d) siap panen ... 47

18. Badan air (a) waduk dan (b) sungai ... 54

19. Hutan tanaman (a) jati, (b) mahoni, (c) pinus dan (d) pinus KU I ... 56

20. (a) Kebun campuran dan (b) kebun jati ... 56

21. Perkebunan karet (a) KU sedang-tua ,(b) KU muda ... 57

22. Pemukiman (a) kota dan (b) desa ... 57

23. Fase kenampakan sawah (a) diolah/digenangi air, (b) baru tanam, (c) vegetatif dan (d) siap panen ... 58


(15)

No. Halaman 1. Tabel nilai digital citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... ix 2. Tabel nilai digital citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ... xiii


(16)

1.1 Latar Belakang

Data penutupan dan penggunaan lahan merupakan informasi yang sangat dibutuhkan untuk mengetahui jenis pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah 1.890.754 km2 (Statistik Indonesia 2011). Mengingat wilayah yang sangat luas dan sebagian daerah masih sangat sulit pencapaiannya, terutama di daerah luar Pulau Jawa, maka sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan data penutupan dan penggunaan lahan dalam waktu yang cepat. Penggunaan teknologi penginderaan jauh dapat membantu menyediakan data penutupan dan penggunaan lahan dengan lebih cepat dan biaya yang relatif murah dibandingkan dengan cara terestris di lapangan. Keuntungan lain pembuatan informasi spasial tematik digital menggunakan data satelit penginderaan jauh adalah sifatnya yang dinamis, karena dapat diperbaiki (update) secara periodik.

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis suatu data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan alat pengindera (sensor) yang dipasang pada pesawat terbang atau satelit (Lillesand dan Kiefer 1990).

Pada saat ini, Indonesia telah memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dalam penyediaan data penutupan dan penggunaan lahan, yaitu dengan bantuan citra optik Landsat TM resolusi 30 m. Keunggulan dari citra Landsat TM ini adalah warna yang tampak pada citra Landsat TM sama dengan pencitraan mata manusia pada umumnya akan tetapi pada citra Landsat TM terdapat kelemahan berupa awan sehingga data dan informasi yang terletak di bawah awan menjadi sulit untuk diidentifikasi. Lain halnya dengan citra radar yang menggunakan penginderaan jauh aktif, sensor menyajikan sumber tenaga atau penyinaran sendiri, citra ini mampu melakukan perekaman data pada berbagai kondisi cuaca,


(17)

ALOS PALSAR merupakan satelit penginderaan jauh permukaan bumi milik Jepang yang diluncurkan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) pada bulan Januari tahun 2006. ALOS PALSAR mengacu pada sensor gelombang mikro berkualitas tinggi menggunakan teknologi radar. Sensor ALOS PALSAR memiliki resolusi spasial 12,5 m dan 50 m.

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh di Indonesia khususnya pada pemanfaatan citra ALOS PALSAR perlu lebih dikembangkan untuk mendukung efesiensi pelaksanaan inventarisasi sumberdaya lahan. Penelitian aplikasi ALOS PALSAR dalam tujuannya untuk memperoleh data penutupan dan penggunaan lahan masih sangat terbatas, oleh karena itu perlu diadakan penelitian lebih jauh mengenai kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun resolusi 12,5 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan khususnya pada wilayah dengan topografi berat.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Evaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan, khususnya di Kabupaten Brebes, Cilacap, Ciamis dan Banyumas,

2. Analisis peningkatan kemampuan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m terhadap citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan, khususnya di Kabupaten Brebes, Cilacap, Ciamis dan Banyumas.

1.3 Manfaat

Hasil kajian mengenai data perekaman satelit ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m diharapkan dapat memberikan acuan bagi pengguna citra penginderaan jauh untuk penyediaan data dan informasi penutupan dan penggunaan lahan dalam bentuk spasial.


(18)

2.1 Citra Radar

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa radar (Radio Detection And Ranging) merupakan sistem penginderaan jauh dengan menggunakan gelombang mikro aktif. Radar dikembangkan sebagai suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya obyek dan menentukan jarak (posisi)-nya.

Resolusi spasial sistem radar ditentukan antara lain oleh ukuran antena. Untuk suatu panjang gelombang tertentu, maka semakin panjang antena, akan semakin baik resolusi spasialnya. Pemasangan antena pada sebagian besar radar penginderaan jauh yang berwahana di udara yaitu dengan dipasang pada bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping. Sistem semacam ini dinamakan radar (side looking radar/SLR) atau radar wahana udara pandang samping (side looking airbone radar/SLAR). Sistem SLAR menghasilkan jalur citra yang bersinambungan yang menggambarkan daerah medan luas serta berdekatan dengan jalur terbang. SLAR merupakan sistem pencitraan yang aktif, karena dapat melakukan pengamatan siang-malam dan hampir dalam segala cuaca (Lillesand dan Kiefer 1990).

Dua faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal dari suatu sistem radar ialah panjang gelombang dan polarisasi pulsa tenaga yang digunakan. Satu sinyal SLAR dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) maupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar dan tegak. Dengan demikian terdapat kemungkinan empat kombinasi sinyal trasmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H, diterima H; dikirim H, diterima V; dikirim V, diterima H; dan dikirim V, diterima V. Citra dengan polarisasi searah dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra polarisasi silang dihasilkan dari paduan HV atau VH. Karena berbagai obyek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990).


(19)

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa efek geometrik sensor/obyek relatif atas intensitas sinyal hasil balik radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Kekasaran permukaan obyek merupakan fungsi variasi relief sehubungan dengan panjang gelombang pantulan tenaga. Permukaan dengan kekasaran pada dasarnya sama atau lebih besar daripada panjang gelombang yang ditransmisikan tampak “kasar”. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah, hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena (Gambar 1a).

Sasaran dengan kekasaran permukaan sangat kurang dari pada panjang gelombang tenaga radar termasuk “halus” dan merupakan pemantul sempurna terhadap tenaga. Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian besar tenaga menjauhi sensor, dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah (Gambar 1b). Meskipun demikian, orientasi obyek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat. Suatu tanggapan yang sangat cerah dihasilkan dari pemantul sudut (Gambar 1c). Pada pemantul sudut, permukaan halus yang berdekatan mengakibatkan pantulan ganda yang membuahkan hasil balik sangat tinggi. Karena pada umumnya pemantul sudut hanya meliput daerah sempit pada gambar maka sering tampak sebagai “kilauan” cerah pada citra.

Sumber: Lillesand dan Kiefer (1990)

Gambar 1 Bentuk-bentuk refleksi atau backscatter (a) baur, (b) sempurna dan

(c) sudut.


(20)

Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu sistem sensor dan target-obyeknya. Dalam sistem sensor terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR, yaitu:

1. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X, C, S, L dan P), 2. Polarisasi (HH, HV, VV, VH),

3. Sudut pandang dan orientasi, 4. Resolusinya,

sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR yang berasal dari sistem target, yaitu:

1. Kekasaran, ukuran dan orientasi obyek termasuk di dalamnya biomassa, 2. Konstanta dielektrik (antara lain dapat berupa kelembaban atau kandungan air), 3. Sudut kemiringan atau slope dan orientasinya (sudut pandang lokal/local

incident angle).

Permukaan bumi yang dikenai pancaran radar akan memberikan pancaran balik (backscatter) yang antara lain tergantung dengan sudut dari obyek tersebut dengan arah pancarnya yang sering disebut sebagai sudut pandang lokal (local incident angle). Biasanya sudut ini tergantung dari slope bentang alam yang ada dalam wilayah yang sedang diindera, sehingga besaran sudut ini antara lain akan menentukan besaran kecerahan (tone) dari pikselnya (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Radar mengindera ke samping sehingga citra radar mempunyai distorsi geometrik dan radiometrik yang besar, seperti adanya variasi skala (karena sudut dekat (near range) dan sudut jauh (far range)), pemendekan (foreshortening), ketertampalan (layover), bayangan dan noise speckle (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Radar mengukur jarak obyek pada jarak slant range (sudut yang terbentuk antara arah pancaran radar dengan garis normal permukaan bumi) dan bukan jarak horizontal pada permukaan bumi oleh karena itu, citra akan memiliki skala yang berlainan dari arah sudut dekat (near range) sampai sudut jauh (far range). Hal ini berarti obyek pada daerah near range akan mengerut, sedangkan pada far range


(21)

ditranformasikan pada ground range geometry di permukaan bumi (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Radar melihat permukaan bumi secara oblik (side looking) sehingga sangat dipengaruhi oleh relief displacement seperti pada foto udara. Distorsi dalam radar biasanya tegak lurus arah jalur terbang yang menghasilkan obyek yang tinggi akan diletakkan mendekati sensor. Pengaruh lain adalah terbentuknya bayangan, biasanya dalam citra radar terlihat gelap sekali yang menunjukkan bahwa tidak ada sinyal balik yang tertangkap oleh antena radar, biasanya terjadi untuk obyek yang berada di belakang obyek yang tinggi. Karena sudut pandang meningkat dari sudut dekat ke jauh, maka penyiaman topografi menjadi bertambah oblik, sehingga di daerah sudut jauh akan terjadi kemungkinan bayangan yang lebih banyak. Di sisi lain dengan bayangan dapat diperoleh tinggi obyek dan juga penting untuk menafsir relief wilayah (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Pemendekan (foreshortening) dalam citra radar juga kerap dijumpai yang diartikan sebagai penampakan yang lebih pendek dari obyek permukaan, biasanya ke arah sensor radar biasanya pemendekan cenderung lebih cerah. Pemendekan maksimum ketika slope terjal tegak lurus terhadap arah pancaran radar, apabila sudut pandang lokal sama dengan nol, maka dasar, lereng dan puncak bukit akan disiami serentak, sehingga ketiganya akan mempunyai posisi yang sama. Untuk kelerengan yang sama, efek pemendekan akan berkurang sesuai dengan makin meningkatnya sudut pandang sensor. Seandainya digunakan sudut pandang 90º, maka pemendekan dapat dihilangkan akan tetapi bayangan akan banyak terjadi, sehingga dalam pemilihan besaran sudut pandang selalu terjadi trade off antara pemendekan dengan bayangan (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Ketertampalan (layover) terjadi ketika energi yang direfleksikan oleh bagian atas obyek diterima sebelum energi yang direfleksikan oleh bagian bawah obyek, dalam hal ini obyek bagian atas bertampalan dengan obyek bagian bawah ketika proses menjadi citra. Secara umum ketertampalan lebih sering terjadi pada sudut pandang yang lebih kecil seperti biasanya dari satelit. Jenis dan besaran akibat relief displacement dalam citra radar merupakan fungsi dari besaran sudut arah pancaran energi dengan obyek atau dengan perkataan lain tergantung sudut kemiringan permukaan bumi (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).


(22)

Adanya distorsi geometric akan mempengaruhi energi yang diterima. Energi pada daerah yang miring (slope) akan dipadatkan hanya beberapa piksel sehingga nilai digital yang terekam akan tinggi karena sebenarnya berasal dari sekian banyak obyek. Efek ini sangat sulit dikoreksi, bahkan beberapa menyatakan tidak dapat dikoreksi. Namun dengan penampakan terrain atau topografi pada citra radar sangat jelas dan sangat membantu dalam melakukan penafsiran (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Pelemahan (fading) dan speckle merupakan proses dan sifat seperti noise (gangguan) yang mempengaruhi kualitas citra dari sebuah sistem pencitraan yang koheren. Fading disebabkan oleh adanya kelambatan fase yang beragam akibat beragamnya target yang besarannya kurang dari panjang gelombang (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Proses gangguan (noise) dapat terjadi secara konstruktif maupun destruktif yang terlihat dalam citra sebagai cerah dan gelap sekaligus. Proses dan sifat ini dapat dikurangi dengan beberapa cara, yaitu:

1. Filtering dari multiple look, yaitu dengan membagi sintetik aperture menjadi sub-aperture berdasarkan posisi angular target sehingga suatu target seakan dilihat beberapa kali sesuai dengan efek Doppler,

2. Rata-rata dari piksel sekitarnya. Hal ini dapat meningkatkan resolusi radiometrik, namun dapat menyebabkan resolusi spasial berkurang (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Speckle adalah ketidakpastian atau fluktuasi secara statistik dari kecerahan yang terjadi pada setiap piksel dalam citra radar akibat penyiaman yang koheren/kuat dan proses pengolahan. Citra dengan resolusi tinggi mengandung banyak speckle, sedangkan citra yang mempunyai resolusi rendah speckle-nya lebih sedikit. Spekle dapat dikurangi dengan menggunakan dua cara yaitu dengan mengolah citra multi-look dan analisis filtering. Teknik filtering terdiri dari dua kelompok besar yaitu:

1. Non adaptive filtering: biasanya bersifat global dan mempertimbangkan seluruh keragaman dalam citra dan tidak memperhatikan keadaan lokal target yang direkam, tidak cocok untuk obyek yang heterogen, contohnya adalah


(23)

2. Adaptive filtering: biasanya bersifat lokal dan mempertimbangkan keadaan lokal dari setiap pikselnya, biasanya menggunakan kernel berukuran tertentu (misal 3x3 atau 11x11), contohnya adalah Frost, Lee, Map Gamma, Mean, Median dan Modus. Frost, Lee dan Gamma sesuai untuk citra SAR karena nilai tengah tidak berubah, hanya saja sesuai dengan ukuran filternya, makin besar ukuran filter maka nilai standar deviasinya akan makin berkurang (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Ketika citra SAR dihilangkan spekle-nya, biasanya batas antar obyek menjadi agak kabur oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan tepi (edge enhancemen) dengan teknik filtering. Dalam citra SAR, teknik ini juga digunakan untuk segmentasi dan klasifikasi.

2.2 ALOS PALSAR

JAXA (2006) menjelaskan bahwa satelit ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. Satelit ALOS merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 (the Japanese Earth Resource Satellite-1) dan ADEOS (the Advance Earth Observing Satellite) yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Karakteristik satelit ALOS disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik satelit ALOS

Data Keterangan Waktu Peluncuran 24 Januari 2006 pukul10:33 JTS (Japan Standart Time)

Alat Peluncur Roket H-IIA

Lokasi Pusat Ruang Angkasa Tanegashima Badan Utama : 6,2 m x 3,5 m x 4,0 m Bentuk Solar Array Paddle : 3,1 m x 22,2 m

Antena PALSAR : 8,9 m x 3,1 m

Berat 4.000 kg

Orbit Sun-Synchronous Subrecurrent/Recurrent, periode pengulangan : 46 hari

Altitude Sekitar 700 km

Inklinasi Sekitar 98 degrees

Periode Sekitar 99 menit

Pengaturan Letak Three-axis stabilization (High accuracy attitude control orbit determination function)


(24)

ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh yaitu: a. PRISM (Pancrhomatik Remote-sensing Instrument Stereo Mapping)

Sensor ini memancarkan gelombang pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 meter. PRISM memiliki sistem optis yang memungkinkan data dapat direkam pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah nadir, depan, dan belakang. Dengan kemampuan seperti ini dimungkinkan untuk membangun data tiga dimensi (3D).

b. AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2)

Sensor optik ini dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga beroperasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga ±44º. Kemampuan ini diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan. Sensor ini dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama menggunakan cahaya tampak (visible) dan infra merah dekat (near infrared). c. PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar)

PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif menggunakan frekuensi L-band. Sensor ini memberikan kinerja yang lebih tinggi daripada sensor SAR (Synthetic Aperature Radar) pada satelit JERS-1. Hal ini memungkinkan instrumen PALSAR untuk melakukan pengamatan yang bebas dari tutupan awan pada siang atau malam hari.

Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. Prinsip geometri dari PALSAR disajikan pada Gambar 2 sedangkan karakteristik PALSAR disajikan pada Tabel 2.


(25)

Sumber: JAXA (2006)

Gambar 2 Prinsip geometri PALSAR. Tabel 2 Karakteristik utama PALSAR

Mode Fine ScanSAR Polarimetric

Center Frequency 1270MHz(L-band)

Bandwidth 28MHz 14MHz 14,28MHz 14MHz Polarization HH or VV HH+HV or

VV+VH

HH or VV HH+HV+VH+VV

Incidence angle 8 -60deg. 8 -60deg. 18 -43deg. 8 -30deg. Range Resolution 7 -44m 14 -88m 100m 24 -89m Swath 40 -70km 40 -70km 250 -350km 20 -65km Quantization 5bits 5bits 5bits 3 or 5bits Date Rate 240 Mbps 240Mbps 120Mbps,

240Mbps

240 Mbps

Sumber: ERSDAC (2006) 2.3 Resolusi Spasial

Resolusi merupakan ukuran ketelitian data citra satelit. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya atau ukuran yang bisa diukur (Jaya 2010). Satuan terkecil ini pada umumnya berbentuk segi empat (biasanya bujur sangkar) dan dikenal sebagai sel-sel grid, elemen matriks, elemen terkecil dari suatu gambar (image) atau piksel (Prahasta 2005).


(26)

Resolusi suatu data raster akan merujuk pada ukuran (atau luas) permukaan bumi yang dapat dipresentasikan oleh setiap pikselnya. Makin kecil ukuran atau luas permukaan bumi yang dapat direpresentasikan oleh setiap pikselnya, makin tinggi resolusi spasialnya. Demikian pula sebaliknya, makin luas permukaan bumi yang dapat direpresentasikan oleh setiap pikselnya, makin rendah resolusi spasialnya (Prahasta 2005). Resolusi yang rendah akan menampakkan bentuk-bentuk piksel yang jelas jika citra tersebut diperbesar.

2.4 Klasifikasi Penutupan dan Penggunaan Lahan dalam Penginderaan Jauh Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan istilah penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu.

Informasi penutupan atau penggunaan lahan antara lain dapat digunakan sebagai dasar pembuatan rencana tata ruang. Secara ideal, informasi penutupan lahan dan penggunaan lahan disajikan secara terpisah akan tetapi, jika data penginderaan jauh digunakan sebagai sumber informasi utama, maka akan lebih efisien untuk menggabungkan kedua informasi tersebut. Pada citra penginderaan jauh, informasi penutupan lahan umumnya mudah dikenali, sedangkan informasi penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsir secara tepat pada citra akan tetapi dapat dideduksi dari kenampakan penutupan lahan. Menyadari bahwa ada beberapa informasi yang tidak dapat diperoleh dari data penginderaan jauh, maka sistem USGS mendasarkan kategori yang dapat diinterpretasi dari citra (Lillesand dan Kiefer 1990).

USGS menyusun sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan berdasarkan kriteria berikut: (1) tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 persen, (2) ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dari satu saat penginderaan kesaat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5) kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan


(27)

harus dapat dirinci ke dalam sub-kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus dimungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutup lahan pada masa akan datang dan (10) lahan multi guna harus dapat dikenali bila mungkin. Hasil sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan USGS untuk digunakan dengan data penginderaan jauh ditunjukan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan untuk digunakan dengan data penginderaan jauh

Tingkat I Tingkat II

1. Perkotaan atau lahan bangunan

11. Pemukiman

12. Perdagangan dan jasa 13. Industri

14. Transportasi, komunikasi dan umum 15. Kompleks industri dan perdagangan 16. Kekotaan campuran atau lahan bangunan 17. Kekotaan atau lahan bangunan lainnya 2. Lahan pertanian 21. Tanaman semusim dan padang rumput

22. Daerah Buah-buahan, jeruk, anggur, dan labu bibit dan tanaman hias 23. Tempat penggembalaan terkurung

24. Lahan pertanian lainnya 3. Lahan peternakan 31. Lahan tanaman obat

32. Lahan peternakan semak dan belukar 33. Lahan peternakan campuran 4. Lahan hutan 41. Lahan hutan gugur daun musiman

42. Lahan hutan yang selalu hijau 43. Lahan hutan campuran 5. Air 51. Sungai dan kanal

52. Danau 53. Waduk

54. Teluk dan muara 6. Lahan basah 61. Lahan hutan basah

62. Lahan basah bukan hutan 7. Lahan gundul 71. Dataran garam kering

72. Gisik

73. Daerah berpasir selain gisik 74. Batuan singkapan gundul

75. Tambang terbuka, pertambangan dan tambang kerikil 76. Daerah peralihan

8. Padang lumut 81. Padang lumut semak dan belukar 82. Padang lumut tanaman obat 83. Padang lumut lahan gundul 84. Padang lumut basah 85. Padang lumut campuran 9. Es atau salju abadi 91. Lapangan salju abadi

92. Glasier Sumber: Lillesand dan Kiefer (1990)

Sedangkan klasifikasi penutupan lahan yang digunakan oleh Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan sebanyak 23 kelas yang merupakan


(28)

standar kelas penutupan lahan untuk kepentingan di Departemen Kehutanan (Baplan 2008), yaitu (1) hutan primer, (2) hutan sekunder, (3) hutan rawa primer, (4) hutan rawa sekunder, (5) hutan mangrove primer, (6) hutan mangrove sekunder, (7) semak/belukar, (8) belukar rawa, (9) rumput, (10) hutan tanaman, (11) perkebunan, (12) pertanian lahan kering, (13) pertanian lahan kering campur, (14) sawah, (15) tambak, (16) tanah terbuka/kosong, (17) pertambangan, (18) pemukiman, (19) transmigrasi, (20) bandara, (21) rawa, (22) air dan (23) awan.

2.5 Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk Identifikasi Tutupan Lahan Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan menggunakan citra ALOS PALSAR telah dilakukan sebelumnya. Hendrayanti (2008) dalam penelitiannya menggunakan citra komposit HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau Jawa mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas penutupan lahan yaitu: tubuh air, lahan pertanian, hutan atau vegetasi biomassa rendah dan hutan atau vegetasi biomassa tinggi. Riswanto (2009) menggunakan citra komposit yang sama, yaitu HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau Kalimantan mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang dan vegetasi rapat.

Pada penelitian Bainnaura (2010) dengan menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Kabupaten Bogor dan Sukabumi mampu mengidentifikasi adanya 12 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, bandara, hutan lahan kering, kebun campuran, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering, perumahan, sawah, semak belukar dan tanah terbuka sedangkan Puminda (2010) pada Propinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan menggunakan citra komposit yang sama (HH-HV-HH/HV) mampu mengklasifikasikan obyek dalam 8 kelas, yaitu badan air, hutan tanaman pinus, kebun campuran, pertanian lahan kering, hutan tanaman jati, lahan terbangun, sawah dan kebun kelapa. Hasil penelitian Radityo (2010) menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Pulau Kalimantan terdapat 8 obyek penutupan lahan yang mampu dibedakan, yaitu: badan air, lahan terbuka, lahan terbangun, belukar rawa, hutan mangrove, pertanian/kebun campuran/semak, perkebunan sawit dan hutan.


(29)

Hasil penelitian Rahman dan Sumantyo (2008) dengan menggunakan citra komposit VV-VH-HV resolusi 12,5 m di Chittagong Selatan, Bangladesh mampu mengidentifikasi adanya 8 kelas tutupan lahan yaitu hutan (evergreen dan semi evergreen forest), pohon dengan berbagai spesies (Dipterocarpus turbinatus, Syszygium grande, Artocarpus chaplasha), kebun campuran, tumbuhan kecil (rumput, bibit pohon, pohon muda dan bambu), pemukiman, lahan terbuka, tambak dan badan air.

Hasil penelitian Sim et al (2009) dengan menggunakan citra komposit HH-HV-HH+HV resolusi 12,5 m di Pulau Penang, Malaysia mampu mengidentifikasi 3 kelas tutupan lahan, yaitu hutan, badan air dan perkotaan.

Pada penelitian Sheoran et al (2009) dengan menggunakan citra komposit VV-VH-HV (RGB) resolusi 12,5 m di pusat lembah California mampu mengidentifikasikan 4 kelas penggunaan lahan, yaitu badam/almond (Prunus dulcis (Mill.) D. A. Webb), kapas (Gossypium spp.), lahan waktu bera/kosong dan alfalfa (Medicago sativa).


(30)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November 2010, dengan lokasi penelitian di sebagian Kabupaten Brebes, Banyumas, Ciamis dan Cilacap sedangkan pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan IPB.

Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu: GPS 60 CSX, kompas, alat tulis, kamera digital, serta satu unit peralatan komputer dengan software Erdas Imagine 9.1, ArcView 3.2, Minitab 15, Microsoft Excel 2007, dan Microsoft Word 2007, sedangkan bahan yang digunakan adalah data citra ALOS PALSAR L-HH dan L-HV resolusi spasial 50 m berbentuk ortho-mosaik yang dikeluarkan oleh JAXA dan data citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m yang dijual oleh RESTEC dan telah dilakukan proses ortho-rectifikasi dan slope-correction oleh


(31)

JAXA daerah Jawa Tengah tahun perekaman 2009 dan Peta Rupa Bumi Indonesia daerah Jawa Tengah skala 1:25.000 tahun 2006.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengumpulan Data

Data-data yang dikumpulkan meliputi: citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m tahun perekaman 2009 dan Peta Rupa Bumi Indonesia daerah Jawa Tengah skala 1:25.000 tahun 2006.

3.3.2 Pra-Pengolahan Citra

3.3.2.1 Menambah Band Sintetis pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m

Data yang digunakan untuk menginterpretasi citra ALOS PALSAR dalam penelitian ini hanya terdiri atas 2 band, yaitu HH dan HV. Menurut hasil penelitian Bainnaura (2010), penambahan band sintetis yang memberikan variasi informasi lebih banyak adalah rasio HH-HV (HH/HV) seperti tampak pada Gambar 4.

Gambar 4 Citra ALOS PALSAR (a) band HH, (b) band HV dan (c) band sintesis

HH/HV.

(a) (b)


(32)

3.3.2.2 Pemilihan Kombinasi Citra Komposit

Jaya (2010) menerangkan bahwa identifikasi obyek pada citra yang hanya menampilkan satu band (saluran), umumnya ditampilkan dengan hitam putih atau grayscale, lebih sulit diidentifikasi jika dibandingkan dengan interpretasi pada citra berwarna. Oleh karena itu, pada saat melakukan interpretasi diperlukan adanya citra berwarna. Metode yang paling umum untuk menyajikan warna citra adalah dengan membuat citra komposit berwarna. Citra berwarna yang dihasilkan menggunakan kombinasi multi-band.

Berdasarkan hasil penelitian Bainnaura (2010) dan mempertimbangkan warna-warna umum dari obyek-obyek bervegetasi (hutan), air dan tanah kosong, maka citra komposit yang digunakan adalah kombinasi band HH yang diletakkan pada bidang warna Red, band HV diletakkan pada bidang warna Green, dan band sintesis HH/HV diletakkan pada bidang warna Blue dari displai citra. Tampilan visual kombinasi band terpilih dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Tampilan visual citra ALOS PALSAR kombinasi RGB HH-HV- HH/HV (a) resolusi 50 m, (b) resolusi 12,5 m.

3.3.2.3 Koreksi Geometrik

Jaya (2010) menjelaskan bahwa areal yang direkam oleh sensor pada satelit maupun pesawat terbang sesungguhnya mengandung kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan bumi dan atau oleh sensor itu sendiri sehingga perlu adanya koreksi geometrik. Koreksi geometrik adalah suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu


(33)

dengan posisi citra input (aslinya) maka piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus di-resampling kembali. Resampling adalah suatu proses melakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya.

Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m merupakan ortho image dimana gambaran obyek pada image itu posisinya benar sesuai dengan proyeksi ortogonal. Oleh karena itu, koreksi geometrik pada ciitra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m mengacu pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (Bainnaura 2010).

3.3.3 Identifikasi Awal Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m

Identifikasi awal citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m dilakukan dengan bantuan Google Earth dan buku manual interpretasi citra. Menurut Jaya (2010) dalam identifikasi awal citra secara visual digunakan elemen-elemen dasar diagnostik penafsiran yaitu:

1. Tone dan warna

Tone (derajat keabu-abuan/gray scale) dan warna adalah elemen dasar dari interpretasi sebuah obyek. Variasi tone/warna sangat bergantung pada karakteristik dari setiap obyek, karena warna merupakan hasil reflektansi, transmisi dan atau radiasi panjang gelombang yang dihasilkan dari obyek yang bersangkutan. Tone atau warna ini sangat bergantung juga pada panjang gelombang atau band yang dipergunakan pada saat melakukan perekaman. Adanya variasi tone, maka obyek dapat dideteksi, serta unsur lain seperti bentuk, tekstur, dan pola dapat dibedakan. Tone pada citra radar dapat didefinisikan sebagai intensitas rata-rata dari sinyal backscatter. Backscatter yang tinggi menghasilkan kecerahan yang tinggi (tone terang), sebaliknya backscatter rendah menghasilkan kecerahan rendah (tone gelap).

2. Bentuk

Bentuk dapat menjadi petunjuk yang khas untuk interpretasi. Pada citra radar, bentuk obyek merupakan hasil rekaman dari posisi miring (oblique/side looking), jarak slant dari radar. bentuk-bentuk obyek yang teratur seperti bentuk garis lurus biasanya banyak mewakili bentuk-bentuk di wilayah perkotaan atau


(34)

pertanian skala luas (perkebunan, hutan tanaman), sementara fitur-fitur obyek alami umumnya berbentuk poligon dan atau garis yang tidak beraturan, seperti punggung bukit, sungai dan tepian hutan. Bentuk-bentuk obyek buatan manusia umumnya lebih teratur dibandingkan dengan bentuk-bentuk alam.

3. Ukuran

Ukuran suatu obyek atau yang tampak dalam citra sangat bergantung pada skala, resolusi dan ukuran obyek yang sebenarnya di alam. Skala citra sangat membantu menentukan ukuran sebenarnya dari suatu obyek.

4. Pola

Pola merupakan susunan spasial suatu obyek dalam suatu bentuk yang khas dan berulang. Pola sebaran obyek dengan jarak yang teratur, tone yang sama akan menghasilkan tampilan pola yang berbeda dengan obyek yang tersebar secara acak (random) dan tone yang relatif berbeda.

5. Tekstur

Tekstur adalah salah satu elemen terpenting untuk membedakan fitur dalam citra radar. Tekstur dalam interpretasi terbentuk dari variasi dan susunan tone dan atau warna yang ditampilkan oleh suatu obyek atau sekumpulan obyek pada citra. Tekstur kasar umumnya dibentuk oleh tone dengan variasi tinggi dimana terjadi perubahan tone yang besar, sedangkan tekstur halus terbentuk dari variasi yang relatif kecil. Tekstur halus umumnya dihasilkan oleh permukaan yang relatif halus seperti ladang, aspal, atau padang rumput. Tekstur kasar umumnya dihasilkan oleh target dengan permukaan kasar dan struktur tidak teratur.

6. Bayangan

Pada citra radar, bayangan topografi adalah bagian yang tidak ada informasi backscatter. Bayangan berguna untuk meningkatkan atau mengidentifikasi topografi dan bentang alam. Bayangan pada radar sangat terkait dengan sudut miring dari radiasi gelombang mikro yang dipancarkan sistem sensor dan bukan oleh geometri dari iluminasi matahari.


(35)

7. Asosiasi

Elemen asosiasi mempertimbangkan hubungan keberadaan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Karena adanya keterkaitan inilah, maka suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain.

3.3.4 Pengamatan Lapangan

Pengamatan lapangan yang dilakukan adalah dengan pengambilan titik pada obyek-obyek yang telah ditentukan pada identifikasi awal. Tujuannya untuk mencocokkan tutupan lahan yang telah diidentifikasi di citra secara visual dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Pengambilan titik untuk pengamatan lapangan diutamakan pada daerah yang memiliki aksesibilitas yang baik, memiliki kenampakan yang berbeda dari kenampakan umumnya dan mewakili contoh ketersebaran penutupan lahan pada daerah tersebut.

3.3.5 Analisis Hasil Pengamatan Lapangan

Analisis hasil pengamatan lapangan dilakukan dengan empat metode, pertama yaitu identifikasi obyek di lapangan yang membahas secara umum obyek-obyek yang ditemui di lapangan. Kedua yaitu analisis diskriminan yang berguna ketika ingin membentuk sebuah model prediktif dari beberapa kelompok (group). Analisis diskriminan dilakukan dengan mengelompokkan obyek-obyek tutupan lahan yang memiliki persamaan karakteristik ciri fisik di lapangan, serta nilai backscatter HH dan HV. Proses analisis diskriminan dilakukan hingga obyek-obyek yang ada tidak bisa dikelompokkan kembali. Analisis diskriminan ini dilakukan baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun 12,5 m.

Ketiga adalah analisis visual yang dilakukan berdasarkan kenampakan citra dilihat dari elemen-elemen interpretasi yaitu warna, bentuk, ukuran, pola, tekstur dan asosiasi serta hasil informasi penutupan lahan di lapangan.

Metode yang keempat yaitu analisis akurasi hasil pengklasifikasian tutupan lahan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dengan mengukur nilai separabilitasnya. Separabilitas dari penciri kelas adalah ukuran statistik antar dua kelas. Selain itu digunakan pula rumus Kappa accuracy yaitu:


(36)

dimana:

= nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

= jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh

3.3.6 Analisis Peningkatan Kemampuan Penafsiran

Analisis peningkatan kemampuan penafsiran dilakukan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m terhadap citra resolusi 50 m. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana citra resolusi 12,5 m dapat menambah kedetailan obyek-obyek pada citra resolusi 50 m.


(37)

Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m dengan Polarisasi HH dan HV

Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dengan Polarisasi HH dan HV

Menambah Band Sintesis HH/HV

Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m dengan 3 layer (HH-HV-HH/HV)

Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dengan 3 layer (HH-HV-HH/HV)

Koreksi Geometrik Citra

Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m Terkoreksi

Identifikasi Awal Tutupan Lahan

Pengamatan Lapangan Peta Rupa Bumi Skala 1:25.000

Analisis Hasil Pengamatan Lapangan: 1. Identifikasi Obyek di Lapangan 2. Analisis Diskriminan

3. Analisis Visual Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m

4. Akurasi Kappa dan Separabilitas Analisis Peningkatan Kemampuan

Penafsiran Citra ALOS PALSAR 12,5 m terhadap Citra ALOS

PALSAR Resolusi 50 m 

Kelas Tutupan Lahan


(38)

4.1 Kabupaten Brebes

4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Brebes

Kabupaten Brebes terletak di bagian utara paling barat Propinsi Jawa Tengah, di antara koordinat 108º41’37,7”- 109º11’28,92” BT dan 6º44’56,6”-7º20’51,48” LS dan berbatasan langsung dengan wilayah Propinsi Jawa Barat. Brebes merupakan daerah yang cukup luas di Propinsi Jawa Tengah yaitu sebesar 1.657,73 km2 yang terbagi menjadi 17 kecamatan dan 297 desa.

Batas administrasi Kabupaten Brebes, yaitu: Sebelah utara : Laut Jawa

Sebelas selatan : Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas

Sebelah barat : Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan (Jawa Barat) Sebelah timur : Kabupaten Tegal

4.1.2 Sumber Daya Lahan dan Agroklimat

Kabupaten Brebes memiliki 63.343 ha lahan sawah, 17.498 ha lahan kering, 7.648 ha tambak/kolam dan rawa yang diantaranya berupa waduk dan 52.503 ha hutan baik hutan negara maupun hutan rakyat. Sebagian besar jenis tanah di Kabupaten Brebes adalah alluvial kelabu. Hampir seluruh kecamatan memiliki tanah alluvial kelabu (luasnya sekitar 42.416 ha atau sekitar 25,53% dari luas tanah di Kabupaten Brebes secara keseluruhan) kecuali di Kecamatan Salem, Bantarkawung, Bimiayu, Paguyangan dan Sirampog.

Data dari 36 stasiun pengamat curah hujan diperoleh bahwa rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Brebes sekitar 2.149 mm, tergolong tipe iklim C3 Oldeman dan musim hujan berkisar antara bulan Novemebr hingga April. Curah hujan terendah sekitar 1.077 mm/tahun terjadi di wilayah Desa Slatri, sedangkan curah hujan tertinggi terjadi di wilayah Paguyangan, Waduk Penjalin dan Bantarkawung.

Penggolongan kecamatan di Kabupaten Brebes dilihat dari topografinya adalah sebagai berikut:


(39)

b. Ketinggian 500-700 m dari permukaan laut ada 1 kecamatan, c. Ketinggian lebih dari 700 m ada 7 kecamatan.

4.1.3 Kependudukan

Penduduk Kabupaten Brebes pada akhir tahun 2003 berjumlah 1.717.103 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 1.034 jiwa/km2. Wilayah kecamatan di Kabupaten Brebes yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan Bulakamba, Brebes, Larangan, Wanasari, Ketanggungan dan Losari. Namun kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Kersana dan Jatibarang.

Perkembangan penduduk Kabupaten Brebes selama 5 tahun terakhir sekitar 8% (1,6%/tahun). Dari jumlah penduduk pada tahun 2003 sebesar 1.717.103 jiwa (62,20%) merupakan usia kerja. Mata pencaharian 43,13% penduduk adalah petani (baik petani milik maupun buruh tani), bidang perdagangan sekitar 4,81%, sektor jasa 3,18% dan sektor industri 1,99%.

4.2 Kabupaten Cilacap

4.2.1 Letak dan Luas Kabupaten Cilacap

Kabupaten Cilacap terletak di antara koordinat 108º4’30”-109º22’30” BT dan 7º30’20”-7º45’ LS dengan luas wilayah 225.361 km2 dengan batas wilayah meliputi:

Sebelah utara : Kabupaten Banyumas Sebelah selatan : Samudera Hindia Sebelah timur : Kabupaten Kebumen Sebelah barat : Kabupaten Ciamis

4.2.2 Topografi

Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landai dan perbukitan dengan ketinggian antara 6-198 m dari permukaan laut. Wilayah topografi terendah pada umumnya di bagian selatan yang merupakan daerah pesisir dengan ketinggian antara 6-12 m dpl, yang meliputi dari wilayah Cilacap Timur, yaitu Kecamatan Nusawungu, Binangun, Adipala, sebagian Kesugihan, Cilacap Utara, Cilacap Tengah, Cilacap Selatan, Kampung Laut dan sebagian Kawunganten. Sedangkan topografi yang termasuk dataran rendah dan sedikit


(40)

berbukit antara lain Kecamatan Jeruklegi, Maos, Sampang, Kroya, Kedungreja dan Patimuan dengan ketinggian antara 8-75 m dpl. Sedangkan topografi yang termasuk dataran tinggi atau perbukitan meliputi wilayah Cilacap bagian barat yaitu Kecamatan Daeyeuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karangpucung dengan ketinggian antara 75-198 m dpl, dan Kecamatan Cipari, Sidareja, sebagian Gandrungmangu dan sebagian Kawunganten dengan ketinggian antara 23-75 m dpl.

4.2.3 Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Cilacap tahun 2009 sebanyak 1.738.603 orang dengan komposisi 865.619 laki-laki dan 864.850 perempuan. Pertumbuhan penduduk sekitar 8,48% dan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 34,08%.

4.3 Kabupaten Banyumas

4.3.1 Letak dan Luas Kabupaten Banyumas

Kabupaten Banyumas mempunyai luas wilayah 132.759 Ha atau 4,08% dari luas Propinsi Jawa Tengah yang terdiri dari 32.986 Ha atau 24,85% lahan sawah dan 99.773 Ha atau 75,15% berupa lahan kering. Secara geografis Kabupaten Banyumas terletak diantara 108º39’27”-109º27’15” BT dan 7º15’05”-7º37’10” LS.

Batas wilayah Kabupaten Banyumas adalah: Sebelah utara : Kabupaten Tegal dan Pemalang Sebelah selatan : Kabupaten Cilacap

Sebelah Barat : Kabupaten Cilacap dan Brebes

Sebelah timur : Kabupaten Purbalingga, Kebumen dan Cilacap

4.3.2 Topografi dan Jenis Tanah

Keadaan topografi Kabupaten Banyumas beragam, mulai dari daerah datar, berombak, bergelombang, hingga perbukitan dan pegunungan yang menyebar di lima wilayah tangkapan air (sub DAS). Berdasarkan klasifikasi kelas kelerengan daerah Banyumas masih dominan datar. Daerah utara merupakan daerah perbukitan kaki Gunung Slamet.


(41)

coklat, sedangkan untuk bagian selatan jenis asosical gethumus rendah dan alluvial kelabu.

4.3.3 Iklim

Kabupaten Banyumas mempunyai iklim tropis basah. Rata-rata suhu bulanan 26,3º C dengan suhu minimal 24,4º C dan suhu maksimal 30,9º C. Tipe iklim di Kabupaten Banyumas menurut Smith Ferguson adalah:

Tipe A : meliputi wilayah sekitar Gunung Slamet dan Kranggan

Tipe B : meliputi sebagian wilayah kaki Gunung Slamet dan sebagian besar lembah Serayu

Tipe C : meliputi sebagian lembah Serayu dan pegunungan Serayu selatan

4.3.4 Kondisi Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk Kabupaten Banyumas menurut sensus tahun 1998 sebanyak 1.458.797 jiwa, terdiri dari 726.058 laki-laki dan 732.739 perempuan dengan rata-rata pertumbuhan 0,76%. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah sektor pertanian.

4.4 Kabupaten Ciamis

4.4.1 Letak dan Luas Kabupaten Ciamis

Kabupaten Ciamis terletak pada Propinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah 244.479 ha, secara geografis letaknya berada pada koordinat 108º20’-180º40’ BT dan 7º40’20”-7º41’20” LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah utara : Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan Sebelah barat : Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya Sebelah timur : Propinsi Jawa Tengah dan Kota Banjar

Sebelah selatan : Samudera Indonesia.

4.4.2 Topografi dan Iklim

Kabupaten Ciamis terletak pada lahan dengan keadaan morfologi datar-bergelombang sampai pegunungan. Kemiringan lereng berkisar antara 0 sampai lebih dari 40% dengan sebaran 0-2% terdapat di bagian tengah-timur laut ke selatan dan 2% sampai lebih dari 40% tersebar hampir di seluruh wilayah


(42)

kecamatan. Jenis tanahnya didominasi oleh jenis latosol, podsolik, alluvial dan grumusol.

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson, Kabupaten Ciamis pada umumnya mempunyai tipe iklim C, dengan rata-rata curah hujan sekitar 2.987 mm/tahun dan suhu rata-rata antara 20º-30º C.

4.4.3 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kabupaten Ciamis pada tahun 2007 adalah sebagai berikut: (a) sawah 51.688 ha (21,14%), (b) pekarangan 29.926 ha (12,24%), (c) tegal/kebun/ladang/huma 76.676 ha (31,36%), (d) penggembalaan padang rumput 1.777 ha (0,37%), (e) hutan 56.141 ha (22,97%), (f) perkebunan negara/swasta 16.188 ha (6,62%), (g) tambak 43 ha (0,02%), (h) kolam 2.716 ha ( 1,11%) dan lain-lain 9.324 ha (3,81%).

4.4.4 Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Ciamis pada tahun 2008 tercatat 1.542.003 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 619 jiwa/km2. Persebaran penduduk terkonsentrasi di wilayah yang relatif telah berkembang karena ketersediaan akses untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan. Penduduk dengan kepadatan rata-rata tinggi terdapat di Kecamatan Ciamis, Cikoneng, Kawali, Cihaurbeuti, Lumbung dan Baregbeg, sedangkan kecamatan lainnya mempunyai kepadatan penduduk yang relatif rendah.


(43)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Obyek di Lapangan

Hasil pengamatan lapangan yang dilakukan pada Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis diperoleh 121 titik pengamatan (Gambar 7). Titik pengamatan tersebut terbagi atas 17 obyek tutupan lahan yang ditunjukkan pada Tabel 4.


(44)

Tabel 4 Obyek-obyek tutupan lahan hasil pengamatan lapang

No Obyek tutupan lahan

Jumlah titik

pengamatan lapang Foto lapangan

1. Badan air 1

2. Hutan tanaman jati 1

3. Hutan tanaman mahoni 1

4. Hutan tanaman pinus bertumpangsari (KU I)

7

5. Hutan tanaman pinus kelas umur muda (KU II dan KU III)


(45)

Tabel 4 (lanjutan)

No Obyek tutupan lahan

Jumlah titik

pengamatan lapang Foto lapangan 6. Hutan tanaman pinus

kelas umur sedang (KU IV, V dan VI)

17

7. Hutan tanaman pinus kelas umur tua (KU VII dan KU VIII)

4

8. Kebun campuran 13

9. Kebun jati 2


(46)

Tabel 4 (lanjutan)

No Obyek tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapang

Foto lapangan

11. Pemukiman kota 10

12. Perkebunan karet 6

13. Perkebunan karet muda 2

14. Sawah diolah/digenangi air

3


(47)

Tabel 4 (lanjutan)

No Obyek tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapang

Foto lapangan

16. Sawah vegetatif 11

17. Sawah siap panen 3

Jumlah titik pengamatan lapangan 121

5.2 Nilai Kecerahan (Brightness Value) atau Nilai Digital (Digital Number) dan Analisis Diskriminan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m

Berdasarkan evaluasi grafis terhadap nilai kecerahan (brightness value) data citra ALOS PALSAR dari 17 jenis tutupan lahan yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa nilai kecerahan atau nilai digital band HH lebih tinggi daripada band HV di setiap kelas tutupan lahan baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. Gambar 8 menunjukkan variasi perbedaan rata-rata nilai kecerahan (brightness value) atau nilai digital (digital number) masing-masing kelas tutupan lahan pada band HH dan band HV citra ALOS PALSAR resolusi 50 m sedangkan Gambar 9 menunjukkan variasi perbedaan rata-rata nilai digital (digital number) masing-masing kelas tutupan lahan pada band HH dan band HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m.


(48)

Secara visual variasi nilai kecerahan pada citra ALOS PALSAR cukup besar. Hal ini disebabkan karena resolusi radiometrik pada citra ALOS PALSAR adalah sebesar 16 bit (rentang DN dari 0 sampai 65536) yang artinya variasi informasi yang diberikan citra ALOS PALSAR lebih tinggi dibandingkan citra lain yang sering digunakan untuk interpretasi tutupan lahan, yaitu citra Landsat, yang hanya mempunyai resolusi radiometrik 8 bit (rentang DN 0 sampai 255).


(49)

Gambar 8 Diagram batang nilai digital 17 kelas tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m.


(50)

(51)

Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar 7 dapat dilihat bahwa badan air mempunyai rata-rata nilai kecerahan atau nilai digital paling kecil baik pada band HH maupun HV pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang et al (2007) bahwa badan air memiliki nilai backscatter paling rendah dibandingkan dengan penutupan lainnya. Pada citra ALOS PALSAR 50 m, rata-rata nilai digital paling tinggi terdapat pada kelas tutupan lahan hutan tanaman jati sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m rata-rata nilai digital paling tinggi terdapat pada kelas tutupan lahan pemukiman kota. Semakin rendah nilai kecerahan suatu obyek pada citra maka tampilan tone-nya akan semakin gelap dan sebaliknya semakin tinggi nilai kecerahan suatu obyek pada citra maka tone-nya akan semakin terang. Besarnya nilai kecerahan atau nilai digital juga dipengaruhi oleh sifat dari masing-masing band. Band HH sensitif terhadap obyek yang memiliki orientasi horizontal, memiliki kekasaran dan topografi seperti pegunungan dan bangunan. Sedangkan band HV sensitif terhadap obyek yang memiliki orientasi vertikal seperti batang dan cabang pohon.

Kisaran nilai digital (digital number) atau nilai kecerahan (brightness value) tersebut menunjukkan keterpisahan antar kelas sehingga pengklasifikasian tutupan lahan dapat pula dilakukan dengan melihat nilai digital dari band HH dan HV yang dihasilkan oleh masing-masing obyek. Pengklasifikasian atau pengelompokkan berdasarkan nilai digital band HH dan HV ini dilakukan dengan metode analisis diskriminan dengan syarat terdapat minimal dua kali pengulangan disetiap obyek tutupan lahan yang akan dianalisis.

Pada Tabel 4 terlihat bahwa badan air, hutan tanaman jati dan hutan tanaman mahoni tidak memiliki pengulangan. Hutan tanaman jati dan hutan tanaman mahoni dapat dikelompokkan dalam satu kelas yaitu hutan tanaman, sedangkan badan air dapat diabaikan karena merupakan kelas terpisah dan tidak dapat dikelompokkan dengan obyek lainnya.

Proses analisis diskriminan pertama didapatkan 16 kelas dari 121 titik pengamatan. Hasil dari analisis diskriminan pada 16 kelas tutupan lahan tersebut untuk citra ALOS PALSAR 50 m didapatkan nilai proportion correct sebesar 0,250 atau 25%. Hal ini menjelaskan bahwa hanya sebanyak 30 titik atau 25%


(52)

dari seluruh titik pengamatan yang diklasifikasikan dengan benar, sedangkan nilai proportion correct pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m didapatkan sebesar 0,242 atau 24,2%. Hal ini menjelaskan bahwa hanya sebanyak 29 titik yang telah diklasifikasikan dengan benar. Hasil yang didapat masih pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun resolusi 12,5 m masih sangat rendah sehingga dilakukan pengelompokkan kembali.

Pada proses analisis diskriminan kedua dilakukan pengelompokkan ulang pada kelas klasifikasi tutupan lahan baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan mengelompokkan hutan tanaman pinus bertumpangsari, hutan tanaman pinus KU muda, hutan tanaman pinus KU sedang dan hutan tanaman pinus KU tua ke dalam kelompok hutan tanaman pinus, perkebunan karet persiapan dan perkebunan karet dikelompokkan dalam perkebunan karet, pemukiman desa dan kota dikelompokkan dalam pemukiman, sawah diolah/digenangi air, sawah baru tanam, sawah vegetatif dan sawah siap panen dikelompokkan menjadi sawah dan kebun jati dikelompokkan menjadi kebun campuran sehingga hanya didapatkan 7 kelas. Analisis diskriminan untuk 7 kelas pada citra ALOS PALSAR 50 m didapatkan nilai proportion correct sebesar 0,417 atau 41,7% yang artinya ada 50 titik dari 121 titik pengamatan di lapangan yang sudah diklasifikasikan dengan benar, sedangkan pada analisis diskriminan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m didapatkan proportion correct sebesar 0,400 atau 40% yang artinya 48 titik dari total titik pengamatan yang telah diklasifikasi dalam kelas yang sesuai. Berdasarkan analisis diskriminan didapatkan bahwa masih ada obyek yang dapat dikelompokkan dengan kelas yang berdekatan sehingga dilakukan kembali proses pengelompokkan.

Pada proses analisis diskriminan ketiga, 7 kelas yang ada dikelompokkan kembali menjadi 6 kelas yaitu dengan menggabungkan hutan tanaman pinus ke dalam kelas hutan tanaman. Proportion correct yang dihasilkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m adalah sebesar 0,533 atau 53,3% yang artinya ada 64 titik dari 121 titik pengamatan yang sudah diklasifikasikan dengan benar, sedangkan nilai proportion correct yang dihasilkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5


(53)

yang telah diklasifikasikan dengan benar. Pada analisis diskriminan ketiga berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bainnaura (2010) dan Puminda (2010), nilai proportion correct yang dihasilkan sudah cukup mewakili keterpisahan tiap obyek tutupan lahan meskipun demikian perlu dilakukan pengkelasan kembali karena masih ada kelas yang memiliki kemiripan nilai digital dengan kelas lainnya.

Pada analisis diskriminan keempat dilakukan penggabungan pada kelas hutan tanaman dan perkebunan karet menjadi kelas vegetasi pohon. Proportion correct yang dihasilkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m adalah sebesar 0,642 atau 64,2% yang berarti bahwa 77 titik yang diamati di lapangan sudah diklasifikasikan dalam kelas tutupan lahan yang benar berdasarkan nilai digitalnya, sedangkan pada analisis diskriminan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m menghasilkan proportion correct sebesar 0,650 atau ada sebanyak 78 titik yang telah diklasifikasikan dalam kelas tutupan lahan yang benar. Berdasarkan hasil pengkelompokkan 5 obyek yang didapat, dapat dilihat bahwa obyek-obyek tersebut sudah tidak dapat digabungkan menjadi kelas yang sama karena jenis tutupan lahannya yang sangat berbeda meskipun ada beberapa titik dari suatu obyek tutupan lahan yang nilai digitalnya dekat dengan tutupan lahan yang lain.

Hasil nilai proportion correct citra ALOS PALSAR resolusi 50 m pada analisis diskriminan pertama, kedua dan ketiga lebih tinggi dibandingkan nilai proportion correct citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m akan tetapi sebaliknya pada proses analisis diskriminan keempat, nilai proportion correct citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m lebih tinggi dibandingkan nilai proportion correct citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Hal ini menunjukkan bahwa pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m tingkat kebenaran dalam pengklasifikasian tutupan lahan menjadi 5 kelas lebih besar walaupun hasil akhir kelas tutupan lahan yang didapat sama dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Proses pengklasifikasian tutupan lahan dan besarnya proportion correct dengan metode analisis diskriminan dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.


(54)

Gambar 10 Proses pengklasifikasian tutupan lahan dengan metode analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. No. Kelas Tutupan Lahan

1. Badan Air 2. Hutan Tanaman

3. Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 4. Hutan Tanaman Pinus KU Muda 5. Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 6. Hutan Tanaman Pinus KU Tua 7. Kebun Campuran

8. Perkebunan Karet Muda 9. Perkebunan Karet 10. Pemukiman Desa 11. Pemukiman Kota

12. Sawah Diolah/Digenangi Air 13. Sawah Baru Tanam 14. Sawah Vegetatif 15. Sawah Siap Panen 16. Kebun Jati No. Kelas Tutupan Lahan

1. Badan Air 2. Hutan Tanaman Jati 3. Hutan Tanaman Mahoni

4. Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 5. Hutan Tanaman Pinus KU Muda 6. Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 7. Hutan Tanaman Pinus KU Tua 8. Kebun Campuran

9. Perkebunan Karet Muda 10. Perkebunan Karet 11. Pemukiman Desa 12. Pemukiman Kota

13. Sawah Diolah/Digenangi Air 14. Sawah Baru Tanam

15. Sawah Vegetatif 16. Sawah Siap Panen 17. Kebun Jati

Regroup ke-1 (16 kelas) N = 121

N Correct = 30

Proportion Correct = 0,250

No. Kelas Tutupan Lahan 1. Badan Air

2. Hutan Tanaman 3. Hutan Tanaman Pinus 4. Kebun Campuran 5. Perkebunan Karet 6. Pemukiman 7. Sawah

Regroup ke-2 (7 kelas) N = 121

N Correct = 50


(55)

Keterangan : = Alur regroup Gambar 10 (lanjutan).

No. Kelas Tutupan Lahan 1. Badan Air

2. Hutan Tanaman 3. Hutan Tanaman Pinus 4. Kebun Campuran 5. Perkebunan Karet 6. Pemukiman 7. Sawah

Regroup ke-2 (7 kelas) N = 121

N Correct = 50

Proportion Correct = 0,417

No. Kelas Tutupan Lahan 1. Badan Air

2. Hutan Tanaman 3. Kebun Campuran 4. Perkebunan Karet 5. Pemukiman 6. Sawah

Regroup ke-3 (6 kelas) N = 121

N Correct = 64

Proportion Correct = 0,533

No. Kelas Tutupan Lahan 1. Badan Air

2. Vegetasi Pohon 3. Kebun Campuran 4. Pemukiman 5. Sawah

Regroup ke-4 (5 kelas) N = 121

N Correct = 77

Proportion Correct = 0,642


(56)

Gambar 11 Proses pengklasifikasian tutupan lahan dengan metode analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. No. Kelas Tutupan Lahan

1. Badan Air 2. Hutan Tanaman

3. Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 4. Hutan Tanaman Pinus KU Muda 5. Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 6. Hutan Tanaman Pinus KU Tua 7. Kebun Campuran

8. Perkebunan Karet Muda 9. Perkebunan Karet 10. Pemukiman Desa 11. Pemukiman Kota

12. Sawah Diolah/Digenangi Air 13. Sawah Baru Tanam 14. Sawah Vegetatif 15. Sawah Siap Panen 16. Kebun Jati No. Kelas Tutupan Lahan

1. Badan Air 2. Hutan Tanaman Jati 3. Hutan Tanaman Mahoni

4. Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 5. Hutan Tanaman Pinus KU Muda 6. Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 7. Hutan Tanaman Pinus KU Tua 8. Kebun Campuran

9. Perkebunan Karet Muda 10. Perkebunan Karet 11. Pemukiman Desa 12. Pemukiman Kota

13. Sawah Diolah/Digenangi Air 14. Sawah Baru Tanam

15. Sawah Vegetatif 16. Sawah Siap Panen 17. Kebun Jati

Regroup ke-1 (16 kelas) N = 121

N Correct = 29

Proportion Correct = 0,242

No. Kelas Tutupan Lahan 1. Badan Air

2. Hutan Tanaman 3. Hutan Tanaman Pinus 4. Kebun Campuran 5. Perkebunan Karet 6. Pemukiman 7. Sawah

Regroup ke-2 (7 kelas) N = 121

N Correct = 49


(57)

Keterangan : = Alur regroup Gambar 11 (lanjutan).

No. Kelas Tutupan Lahan 1. Badan Air

2. Hutan Tanaman 3. Hutan Tanaman Pinus 4. Kebun Campuran 5. Perkebunan Karet 6. Pemukiman 7. Sawah

Regroup ke-2 (7 kelas) N = 121

N Correct = 49

Proportion Correct = 0,400

No. Kelas Tutupan Lahan 1. Badan Air

2. Hutan Tanaman 3. Kebun Campuran 4. Perkebunan Karet 5. Pemukiman 6. Sawah

Regroup ke-3 (6 kelas) N = 121

N Correct = 63

Proportion Correct = 0,525

No. Kelas Tutupan Lahan 1. Badan Air

2. Vegetasi Pohon 3. Kebun Campuran 4. Pemukiman 5. Sawah

Regroup ke-4 (5 kelas) N = 121

N Correct = 78

Proportion Correct = 0,650


(58)

5.3 Analisis Visual Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m

Analisis visual merupakan kegiatan mengamati citra secara visual dengan tujuan untuk mengindentifikasi obyek. Pada pengelompokan obyek yang homogen dalam satu kelas penggunaan lahan dilakukan secara manual berdasarkan elemen penafsiran dan titik koordinat yang diperoleh di lapangan.

Pada penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 50 m hanya dapat mengidentifikasi 6 kelas tutupan lahan yaitu badan air, hutan tanaman, kebun campuran, perkebunan karet, pemukiman dan sawah. Hal ini disebabkan karena pada penafsiran awal citra, tiap obyek umumnya diidentifikasi berdasarkan perbedaan warnanya.

Analisis visual citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi band HH-HV-HH/HV dalam format Red, Green, Blue dilakukan dengan meng-overlay-kan data titik hasil pengamatan di lapangan dengan citra tersebut. Elemen interpretasi masing-masing obyek tutupan lahan kemudian dianalisis untuk mengetahui ciri-ciri dari masing-masing obyek tutupan lahan, sehingga akan memudahkan penafsir ketika mengidentifikasi tutupan lahan di lokasi yang berbeda.

Badan air merupakan semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk dan lain-lain. Pada citra ALOS PALSAR, badan air memiliki ciri-ciri berwarna biru dengan tekstur halus dan bentuk yang memanjang dan berliku-liku pada sungai. Badan air sangat mudah diidentifikasi secara visual pada citra. Gambar 12 merupakan contoh tampilan badan air pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m.

Keterangan: skala 1:75000

Gambar 12 Badan air, (a) waduk, (b) sungai.

Hutan tanaman jati, hutan tanaman mahoni dan hutan tanaman pinus sangat


(59)

Ketiga obyek tersebut mempunyai ciri-ciri berwarna kuning kehijauan, tekstur halus, bentuknya poligon tidak beratur dan memiliki site datar dan bergelombang. Akan tetapi pada hutan tanaman bekas tebangan, trubusan dan KU (Kelas Umur) I memiliki warna biru dengan tone gelap (Gambar 13 (d)) sehingga dapat dengan mudah dibedakan.

Keterangan: skala 1:75000

Gambar 13 Hutan tanaman, (a) jati, (b) mahoni, (c) pinus dan (d) pinus KU I. Kebun campuran (Gambar 14 a) dan kebun jati (Gambar 14 b) memiliki tampilan berwarna hijau tua dengan tekstur kasar yang dipengaruhi oleh komposisi jenis dan umur tanaman yang berbeda-beda. Kebun campuran dan kebun jati umumnya sulit diidentifikasikan secara baik karena bercampur dengan pemukiman.

Keterangan: skala 1:75000

Gambar 14 (a) Kebun campuran, (b) kebun jati.

(a) (b) (c) (d)


(60)

Perkebunan karet kelas umur sedang sampai kelas umur tua (umur lebih dari 4 tahun) memiliki warna kuning kehijauan, tone terang dan bertekstur halus (Gambar 15 (a)), akan tetapi pada perkebunan karet bekas tebangan dan keret muda (1-3 tahun) memiliki warna biru mirip seperti hutan tanaman bekas tebangan, trubusan dan KU I (Gambar 15 (b)). Pada daerah bertopografi, perkebunan karet sulit dibedakan dengan hutan tanaman karena memiliki kenampakan yang sama pada citra (Gambar 15 (c)).

Keterangan: skala 1:75000

Gambar 15 Perkebunan karet (a) KU sedang – tua, (b) KU muda, (c) bertopografi.

Pemukiman pada daerah perkotaan (Gambar 16 a) umumnya memiliki warna kombinasi pink, kuning, hijau dan putih sedangkan pada pemukiman desa (Gambar 16 b) dengan kondisi vegetasi yang masih rapat memiliki warna yang didominasi hijau. Pemukiman desa lebih sulit diidentifikasi karena luasannya yang kecil dan berasosiasi dengan kebun campuran. Pemukiman biasanya memiliki jaringan jalan yang tinggi, sehingga jaringan jalan pada poligon pemukiman lebih rapat dan teratur dibandingkan dengan yang lainnya.

Keterangan: skala 1:75000

Gambar 16 Pemukiman (a) kota dan (b) desa.

(a)

(b)

(c)


(61)

Hasil analisis visual citra ALOS PALSAR 50 m pada kelas tutupan sawah didapatkan bahwa sawah irigasi dan sawah tadah hujan sulit dibedakan karena memiliki elemen interpretasi yang sama, yaitu berwarna biru dan mempunyai kesan pola berkotak-kotak. Sawah yang cenderung dapat dibedakan adalah sawah pada fase sedang diolah atau digenangi air. Fase sawah diolah/digenangi air (Gambar 17 a) berwarna biru dengan tone gelap dan tekstur halus, sedangkan fase sawah baru tanam (Gambar 17 b), sawah vegetatif (Gambar 17 c) dan sawah siap panen (Gambar 17 d) agak sulit dibedakan apabila tidak dilakukan pengamatan lapangan sebelumnya dan tidak adanya informasi tentang waktu tanam karena ketiga fase tersebut kenampakannya pada citra tidak konsisten dan hampir seragam. Ketiga fase (sawah baru tanam, sawah vegetatif dan sawah siap tanam) tersebut dapat dikelompokkan menjadi sawah bervegetasi.

Keterangan: skala 1:75000

Gambar 17 Fase kenampakan sawah (a) diolah/digenangi air, (b) baru tanam, (c) vegetatif dan (d) siap panen.

a b


(62)

Berdasarkan analisis visual terhadap citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dapat disimpulkan bahwa klasifikasi tutupan lahan secara visual pada daerah penelitian menghasilkan 9 kelas tutupan lahan yaitu badan air, hutan tanaman sedang-tua, hutan tanaman muda, kebun campuran, perkebunan karet sedang-tua, perkebunan karet muda, pemukiman, sawah diolah/digenangi air dan sawah bervegetasi dengan ciri-ciri elemen interpretasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Informasi tambahan sangat diperlukan dalam penafsiran citra khususnya pada kelas tutupan lahan yang memiliki tampilan yang sama secara visual dan sulit dibedakan. Informasi tambahan tersebut dapat berupa peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, informasi ketinggian tempat, serta peta sebaran dan kelas umur hutan tanaman.


(1)

No Tutupan Lahan HH HV

71 Pemukiman Desa 6430,31 3168,31

72 Pemukiman Desa 3901,00 1714,94

73 Pemukiman Desa 7592,13 3293,25

74 Pemukiman Desa 6916,44 2862,19

75 Pemukiman Desa 6213,81 2888,13

76 Pemukiman Desa 7745,15 3391,45

77 Pemukiman Desa 6783,31 2842,13

78 Pemukiman Desa 8475,44 3287,50

79 Pemukiman Desa 6618,94 2819,50

80 Pemukiman Desa 6909,06 3096,63

81 Pemukiman Desa 9663,13 3291,69

82 Pemukiman Desa 7049,44 2710,75

83 Pemukiman Desa 7759,63 3776,94

84 Pemukiman Desa 7511,65 3251,65

85 Pemukiman Desa 7765,44 3145,13

86 Pemukiman Desa 6466,75 2868,25

87 Pemukiman Kota 5322,25 2924,25

88 Pemukiman Kota 9795,31 3496,44

89 Pemukiman Kota 6822,38 3599,31

90 Pemukiman Kota 11828,19 2892,44

91 Pemukiman Kota 7237,06 2674,06

92 Pemukiman Kota 11933,13 5199,25

93 Pemukiman Kota 7163,75 2864,69

94 Pemukiman Kota 8562,75 3839,69

95 Pemukiman Kota 5706,56 2949,25

96 Pemukiman Kota 8461,31 3205,69

97 Sawah Diolah/Digenangi Air 2639,31 927,50

98 Sawah Diolah/Digenangi Air 6216,19 2690,31

99 Sawah Diolah/Digenangi Air 6495,88 1742,94

100 Sawah Baru Tanam 5894,13 1994,81

101 Sawah Baru Tanam 5598,94 2397,25

102 Sawah Baru Tanam 5951,56 2593,25

103 Sawah Baru Tanam 7477,88 3154,31

104 Sawah Baru Tanam 6199,19 2387,13


(2)

Lampiran 1 (lanjutan)

No Tutupan Lahan HH HV

106 Sawah Vegetatif 3789,95 1413,80

107 Sawah Vegetatif 4841,60 1910,00

108 Sawah Vegetatif 4804,31 1022,38

109 Sawah Vegetatif 4745,75 1561,88

110 Sawah Vegetatif 3557,38 1257,31

111 Sawah Vegetatif 6907,00 2630,88

112 Sawah Vegetatif 5607,31 2082,31

113 Sawah Vegetatif 5447,75 2684,56

114 Sawah Vegetatif 5848,32 2721,60

115 Sawah Vegetatif 5755,13 2505,31

116 Sawah Vegetatif 5198,56 1810,50

117 Sawah Siap Panen 3223,38 1315,13

118 Sawah Siap Panen 7746,69 2037,25

119 Sawah Siap Panen 6022,38 2388,00

120 Kebun Jati 6394,35 3149,10


(3)

No. Tutupan Lahan HH HV

1 Badan Air 2353,25 829,29

2 Hutan Tanaman Jati 5723,68 3417,98

3 Hutan Tanaman Mahoni 6552,84 3511,85

4 Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 6332,41 2029,92

5 Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 3639,75 1238,89

6 Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 4929,76 2646,98

7 Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 5689,87 2450,23

8 Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 4342,68 1578,63

9 Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 4045,80 1568,29

10 Hutan Tanaman Pinus Bertumpangsari 3958,61 1526,57

11 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 5548,45 2901,42

12 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 5706,81 2941,27

13 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 6059,92 3084,46

14 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 7380,50 3661,95

15 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 6398,80 3629,46

16 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 5957,69 2920,74

17 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 5912,49 2982,95

18 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 5001,45 2897,33

19 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 6054,85 3033,33

20 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 7148,16 3561,10

21 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 6324,27 3131,43

22 Hutan Tanaman Pinus KU Muda 6972,71 2887,43

23 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 7147,64 4298,94

24 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 6699,98 4131,84

25 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 6245,00 4069,55

26 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 6205,38 3429,47

27 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 7045,08 4045,47

28 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 7029,88 4073,86

29 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 6217,96 3475,37

30 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 6926,68 3646,38

31 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 7236,37 3767,75

32 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 5100,94 2664,26

33 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 4652,24 2185,31

34 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 6863,95 3802,72


(4)

Lampiran 2 (lanjutan)

No. Tutupan Lahan HH HV

36 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 5744,24 2712,06

37 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 7136,66 3793,10

38 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 7008,84 3687,43

39 Hutan Tanaman Pinus KU Sedang 5523,04 2849,03

40 Hutan Tanaman Pinus KU Tua 6509,62 3868,09

41 Hutan Tanaman Pinus KU Tua 6838,78 3438,18

42 Hutan Tanaman Pinus KU Tua 7010,28 3577,28

43 Hutan Tanaman Pinus KU Tua 6742,51 3536,47

44 Kebun Campuran 6147,32 2892,36

45 Kebun Campuran 6650,30 2713,69

46 Kebun Campuran 5588,13 2751,80

47 Kebun Campuran 8938,17 2949,96

48 Kebun Campuran 5202,67 2844,83

49 Kebun Campuran 6590,08 2854,46

50 Kebun Campuran 6063,72 2824,60

51 Kebun Campuran 6583,98 2778,72

52 Kebun Campuran 5343,90 2708,11

53 Kebun Campuran 6083,98 2949,59

54 Kebun Campuran 6392,56 2762,70

55 Kebun Campuran 5617,66 3173,80

56 Kebun Campuran 4738,31 2666,90

57 Kebun Jati 6236,20 3115,77

58 Kebun Jati 5107,50 2185,97

59 Pemukiman Desa 6837,13 2913,24

60 Pemukiman Desa 5930,05 2620,70

61 Pemukiman Desa 6055,21 2609,60

62 Pemukiman Desa 6058,61 2820,96

63 Pemukiman Desa 6158,00 2612,12

64 Pemukiman Desa 5933,21 2484,17

65 Pemukiman Desa 4744,24 1390,05

66 Pemukiman Desa 9495,65 2818,55

67 Pemukiman Desa 7019,06 3129,53

68 Pemukiman Desa 4787,08 2341,98

69 Pemukiman Desa 6204,45 2899,26


(5)

No. Tutupan Lahan HH HV

71 Pemukiman Desa 6716,23 3020,72

72 Pemukiman Desa 5516,77 2713,27

73 Pemukiman Desa 6767,63 2560,40

74 Pemukiman Desa 6135,68 2861,23

75 Pemukiman Desa 8420,03 2705,22

76 Pemukiman Desa 6407,24 1911,21

77 Pemukiman Desa 6200,14 2932,11

78 Pemukiman Desa 6655,05 2982,05

79 Pemukiman Desa 6229,05 2521,99

80 Pemukiman Desa 4994,64 2364,92

81 Pemukiman Kota 4891,69 2744,47

82 Pemukiman Kota 7993,64 3117,73

83 Pemukiman Kota 6017,89 3091,63

84 Pemukiman Kota 10245,63 2301,55

85 Pemukiman Kota 6050,59 2337,84

86 Pemukiman Kota 9275,70 3863,67

87 Pemukiman Kota 5655,54 2376,31

88 Pemukiman Kota 7572,23 3550,00

89 Pemukiman Kota 4931,18 2383,88

90 Pemukiman Kota 6242,32 2518,35

91 Perkebunan Karet 6245,75 3050,35

92 Perkebunan Karet 6591,34 3241,18

93 Perkebunan Karet 6971,02 3456,19

94 Perkebunan Karet 6356,46 3143,37

95 Perkebunan Karet 5605,29 3387,14

96 Perkebunan Karet 5633,73 3602,81

97 Perkebunan Karet Persiapan 4582,94 1881,46

98 Perkebunan Karet Persiapan 3176,07 1109,08

99 Sawah Baru Tanam 4722,22 1554,00

100 Sawah Baru Tanam 5285,73 2281,23

101 Sawah Baru Tanam 5287,58 2186,44

102 Sawah Baru Tanam 5772,77 2678,17

103 Sawah Baru Tanam 6040,54 2300,29

104 Sawah Baru Tanam 5708,68 2367,10


(6)

Lampiran 2 (lanjutan)

No. Tutupan Lahan HH HV

106 Sawah Diolah/Digenangi Air 4934,25 1977,61

107 Sawah Diolah/Digenangi Air 5417,81 1378,22

108 Sawah Siap Panen 2559,27 1095,84

109 Sawah Siap Panen 5734,55 1581,81

110 Sawah Siap Panen 4977,87 2112,66

111 Sawah Vegetatif 3524,65 1277,86

112 Sawah Vegetatif 4304,23 1728,86

113 Sawah Vegetatif 4141,29 905,97

114 Sawah Vegetatif 4476,67 1378,26

115 Sawah Vegetatif 2674,20 962,52

116 Sawah Vegetatif 5956,00 2413,82

117 Sawah Vegetatif 4845,75 1719,67

118 Sawah Vegetatif 4877,33 2272,52

119 Sawah Vegetatif 4866,04 2264,20

120 Sawah Vegetatif 4965,89 2236,81


Dokumen yang terkait

Pendugaan biomassa atas permukaan pada tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) menggunakan citra alos palsar resolusi spasial 50 M dan 12,5 M (studi kasus di KPH Banyumas Barat)

0 3 69

Evaluasi penafsiran citra alos palsar resolusi 12,5 m slope corrected dan 50 meter dengan menggunakan metode manual dan digital dalam identifikasi penutupan lahan (studi kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi)

3 16 93

Perbandingan penafsiran visual antara Citra Alos Palsar Resolusi 50 m dengan Citra Landsat Resolusi 30 m dalam mengidentifikasi penutupan lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur)

0 5 180

Penyusunan model pendugaan dan pemetaan biomassa permukaan pada tegakan jati (Tectona grandis Linn F) menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M dan 12,5 M (Studi kasus: KPH Kebonharjo perhutani unit 1 Jawa Tengah)

1 8 165

Evaluasi manual penafsiran visual citra alos palsar dalam mengidentifikasi penutupan lahan menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M

3 12 72

Aplikasi dan Evaluasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m, Resolusi 12,5 m, dan Resolusi 6 m untuk Identifikasi Tutupan Lahan (studi kasus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Samosir)

0 3 145

Aplikasi Citra ALOS PALSAR Multiwaktu Resolusi 50 m dalam Identifikasi Tutupan Lahan di Provinsi Lampung

0 2 136

Pendugaan biomassa tegakan jati menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 M dan 50 M dengan peubah backscatter, umur, dan tinggi pohon (Kasus KPH Kebonharjo PERUM PERHUTANI UNIT I Jawa Tengah

0 2 128

Model Spasial Pendugaan dan Pemetaan Biomassa di Atas Permukaan Tanah Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 12.5 M.

4 19 51

Klasifikasi dan Detektsi Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 Meter di Wilayah Barat Provinsi Jambi.

0 9 70