Evaluasi penafsiran citra alos palsar resolusi 12,5 m slope corrected dan 50 meter dengan menggunakan metode manual dan digital dalam identifikasi penutupan lahan (studi kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi)

(1)

IDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN

(Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi)

NUR INDAH RISTIANA

E14061668

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

Resolusi 12,5 Meter Slope Corrected dan 50 Meter Dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital Untuk Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor,Cianjur dan Sukabumi). Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH dan M. BUCE SALEH.

Citra ALOS PALSAR merupakan satelit penginderaan jauh permukaan bumi milik Jepang yang diluncurkan oleh Japan Exploration Agency (JAXA) pada bulan Januari 2006. Citra ALOS PALSAR didefinisikan sebagai sistem sensor gelombang mikro aktif yang menyediakan sumber energinya sendiri, sehingga dapat beroperasi siang dan malam dan mempunyai kemampuan menembus awan. Sensor ALOS PALSAR memiliki resolusi spasial 12,5 m dan 50 m.

Pada Bainnaura 2010, pemanfaatan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter untuk identifikasi penutupan lahan hanya memperjelas bentuk objek namun tidak menambah jumlah. Oleh karena itu, diadakan penelitian lebih lanjut dalam mengkaji kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected untuk mengidentifikasi penutupan lahan pada daerah bergunung. Diharapkan dengan penambahan proses slope-correction pada citra, akan menambah jumlah penutupan lahan yang diidentifikasi.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Analisis kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dan 50 m dilakukan secara manual dan digital. Analisis manual dilakukan secara visual yang dilihat dari kenampakan citra berdasarkan elemen interpretasinya, sedangkan analisis digital dilakukan dengan analisis diskriminan dan separabilitas. Evaluasi keberhasilan penafsiran visual dilakukan dengan uji akurasi (akurasi kappa dan akurasi umum).

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara visual citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dapat diklasifikasikan dalam 11 kelas tutupan lahan, yaitu badan air, bandar udara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, pemukiman, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering dan sawah dengan nilai akurasi kappa 95,97% dan akurasi umum 96,70%, sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter secara manual (visual) diperoleh 10 kelas yakni badan air, bandara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, permukiman, perkebunan karet, perkebunan sawit, pertanian lahan kering dan sawah, sementara akurasi keseluruhan untuk hasil interpretasi visual yaitu sebesar 95,60% dan kappa akurasi sebesar 94,58%.

Hasil analisis secara digital pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter

slope corrected maupun 50 meter diperoleh 6 kelas tutupan lahan, yaitu badan air, vegetasi pohon, kebun campuran, pemukiman, perkebunan dan sawah dengan

proportion correct 55,5% dan 53,3%.


(3)

Interpretation Resolution 12.5 Meters Slope Corrected and 50 Meters Using Manual and Digital Methods for Identification of land cover (Case Studies in district of Bogor, Cianjur and Sukabumi). Thesis. Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by NINING PUSPANINGSIH and M. BUCE SALEH.

ALOS PALSAR image is a remote sensing satellite of the earth's surface, which was launched by Japan Exploration Agency (JAXA) in January 2006. ALOS PALSAR image is defined as an active microwave sensor system which provides its own energy source, so it can operate day and night and have the ability to penetrate clouds. ALOS PALSAR sensor has a spatial resolution of 12.5 m and 50 m.

In Bainnaura (2010), the utilization of ALOS PALSAR image resolution 12.5 meters for the identification of land cover only clarify the shape of the object but does not increase the number of objects. Therefore, further studies conducted in assessing the ability of ALOS PALSAR image resolution of 12.5 meters slope-corrected to identify the land cover in mountainous areas. Expected with the addition of slope correction to the image proses, will increase the number of land cover were identified.

This research was conducted in the district of Bogor, Cianjur and Sukabumi. Analysis of the ability of ALOS PALSAR image resolution 12.5 m and 50 m was done by manual and digital. Manual analysis was done visually seen from the appearance of the image based on the elements of interpretation, while digital analysis carried out by discriminant analysis and separabilitas. Evaluate the success made by accuracy test (kappa accuracy and overall accuracy).

The analysis showed that the visual image resolution of 12.5 meters ALOS PALSAR corrected slope can be classified into 11 land cover classes, namely water bodies, airports, forest, mixed farms, open land, settlements, plantations of rubber, oil palm plantations, tea plantations, dry land farming and rice field with a kappa value of 95.97% accuracy and overall accuracy of 96.70%, while the ALOS PALSAR image resolution of 50 meters visually obtained 10 classes which are water bodies, airport, forest, mixed farms, bare land, settlements, rubber plantations, oil palm plantations, rice fields and dry land agriculture, while the overall accuracy is equal to 95.60% and kappa accuracy of 94.58%.

The results of the analysis of digital on ALOS PALSAR image resolution of 12.5 meters and 50 meters corrected slope obtained six land cover classes, namely water bodies, vegetation trees, mixed farms, settlements, plantations and rice fields with the correct proportion 55.5% and 53.3 %.


(4)

Memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor Oleh :

NUR INDAH RISTIANA E14061668

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penafsiran Visual Citra Alos Palsar Resolusi 12,5 meter Slope Corrected dan 50 Meter dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital dalam Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada Perguruan Tinggi atau lembaga manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Nur Indah Ristiana NRP E14061668


(6)

Judul Penelitian :Evaluasi Penafsiran Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m Slope Corrected dan 50 Meter dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital dalam Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi)

Nama Mahasiswa : Nur Indah Ristiana

NIM : E14061668

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Dr. Dra. Nining Puspaningsih,M.Si Dr. Ir. M. Buce Saleh, M.Si

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS  

     

Tanggal Lulus :  

NIP. 19630612 199003 2014 NIP. 19571005 198303 1002


(7)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan R. Is Rismana, Ing. dan Ana Zaenah, S.H. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Paseban 05 Jakarta lulus tahun 2000, pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Jakarta lulus tahun 2003, pendidikan menengah atas di SMAN 4 Jakarta lulus tahun 2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di IPB melalui SPMB dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran 2009-2010 dan 2011 dan mata kuliah Geomatika dan Inderaja Kehutanan pada tahun ajaran 2010-2011. Penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB sebagai anggota bidang Kesekretariatan pada tahun 2008 dan Himpunan Mahasiswa Manajemen Hutan (FMSC) sebagai anggota Pengembangan Sumberdaya Manusia pada tahun 2009. Selain itu, penulis aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.

Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi dan KPH Cianjur, Jawa Barat pada tahun 2009 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HTI PT.Wirakarya Sakti Jambi pada tahun 2010.

Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Evaluasi Penafsiran Citra Alos Palsar Resolusi 12,5 Meter Slope Corrected dan 50 Meter dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital dalam Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi)” di bawah bimbingan Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.


(8)

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi dengan judul “Evaluasi Penafsiran Visual Citra Alos Palsar Resolusi 12,5 meter Slope Corrected dan 50 Meter dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital dalam Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi)".

Skripsi ini berisi tentang penggunaan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5

slope corrected dan 50 meter untuk indentifikasi penutupan lahan khususnya pada Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur serta evaluasinya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan penafsiran visual citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dalam mengidentifikasi tutupan lahan secara manual dan digital serta membandingkan penafsiran antara citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dalam mengidentifikasi tutupan lahan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Nining Puspaningsih, M.Si dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan pengarahan, ilmu, kesabaran, motivasi dan waktu selama penyusunan skripsi

2. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen penguji dan Ir.Ahmad Hadjib, MS selaku pimpinan ujian komprehensif

3. JICA dan JAXA atas kerjasama dan bantuanya dalam pengambilan data selama penelitian

4. Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya, M. Agr, Uus Saepul M, Edwine Setia P, S.Hut, Faris Salman,S.Hut, Risa Syarif, S.Hut atas segala ilmu, kesabaran dan pengarahan yang telah diberikan

5. Seluruh dosen dan staf Dept. Manajemen Hutan atas ilmu dan bantuannya 6. Ayahanda R. Is Rismana, Ibunda Ana Zaenah serta adik tercinta Firman

Risdian yang senantiasa tak pernah lelah memberikan dukungan serta kepercayaan dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis


(9)

8. Rekan satu bimbingan, Ratih Maharani dan Putu Ananta Wijaya atas kerjasama, dan semangatnya

9. Yohana Maria, Nur Illiyyina syarif, Syaiful Daulay, Putri Rahayu atas kerjasama dan bantuanya dalam pengambilan data penelitian

10. Ratih Puspitasari, Fatah Noor, Rizka Wulandari, Dian Nurhadiatin, Ahsana Riska, Fitri Amalia, Anom Kalbuadi, I Putu Indra Divayana, Khoeruzaman, Galih Radityo, Tantri Janiatri, Sri wahyuni, Putu Arimbawa, Aditya sani, Aditya Pradana, Eri S, Erry W, Monika T, Nuraini Erisa dan Keluarga besar Lab. RS dan GIS atas motivasi, dukungan, dan hari-hari yang penuh keceriaan, kebersamaan, dan kegilaan

11. Sahabat tersayang Lisa Marbun, Nining Maulana, Melyana Oktavia, Mutiara Rasvanelin, Ratih, Rizky Rahadikha, Febriyanto Kolanus, Harry Triatmojo, Eka Sumaryadi, Aronika Kaban, Tutia Rahmi, Mila Rahmania, Elvia Sari, Dian Wulansih yang selalu ada menjadi pendengar dan pemberi semangat dalam menyelesaikan skripsi

12. Seluruh teman Manajemen Hutan angkatan 43, Fakultas Kehutanan dan Sahabat Sylva Indonesia atas kebersamaannya selama ini

13. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2011


(10)

DAFTAR ISI ………...……...……..i

DAFTAR TABEL ………..….………iii

DAFTAR GAMBAR ……….…...………iv

BAB I PENDAHULUAN ………..…………..1

1.1 Latar Belakang………..……….….1

1.2 Tujuan Penelitian ………2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….3

2.1 Penginderaan Jauh (Remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) ……….………... 3

2.2 Citra RADAR ……….………... 4

2.2.1 Satelit ALOS……….……...………5

2.2.2 ALOS PALSAR……….…………...…………... 7

2.3 Koreksi Geometrik……….………… 2.3.1 Koreksi Kelerengan……… … ………8

…….……12

2.4 Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan……….... ….………..14

2.5 Interpretasi Citra ……….………17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………..……..………..19

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……….... 19

3.2 Bahan dan Alat ………... 19

3.3 Tahapan Penelitian ………..…….... 20

3.3.1 Pengumpulan Data………. …………21

3.3.2 Pra-pengolahan Citra ………..……….... 21

3.3.3 Interpretasi Awal………..………..27

3.3.4 Pengamatan lapangan……….……….….…..……..28

3.3.5 Analisis Hasil Pengamatan Lapangan……….……....29

BAB IV KONDISI UMUM………..……….30

4.1 Letak Geografis………...………30

4.2 Topografi……….……….30

4.3 Iklim ………30


(11)

4.5 Tanah………..31

4.6 Tutupan Lahan……….. ..……32

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………..… ..…………..33

5.1 Hasil Penafsiran Visual Awal Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 Meter Slope corrected………………..………..33

5.2 Hasil Verifikasi Objek di Lapangan dan Hasil Penafsiran Visual Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 Meter Slope corrected ……….... ……….35

5.3 Perbandingan Hasil Interpretasi Visual Citra ALOS PALSAR………..47..

5.3.1 Badan Air………..48..

5.3.2 Bandar udara………..49.

5.3.3 Hutan ……….... …………..50

5.3.4 Kebun Campuran ……….………….51

5.3.5 Lahan Terbuka………52

5.3.6 Pemukiman……….………53

5.3.7 Perkebunan Karet ……….………..53

5.3.8 Perkebunan Kelapa Sawit………..54..

5.3.9 Perkebunan Teh………55.

5.3.10 Pertanian Lahan Kering ………..….………..56

5.3.11 Sawah……….………56

5.4 Analisis Akurasi Hasil Interpretasi Visual………..59.

5.5 Interpretasi Citra Secara Digital……….62

5.5.1 Analisis Diskriminan……….……….62

5.5.2 Analisis Separabilitas………71

BAB VI KESIMPULAN………..……….75

6.1 Kesimpulan………75

6.2 Saran………...……..…... ..……76


(12)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Prinsip ALOS PALSAR………...………….8

2 Karakteristik polarisasi ALOS PALSAR………...………….8

3 Batas wilayah penelitian………... ………..30

4 Klasifikasi topografi di lokasi penelitian………...…….………3... 0

5 Luasan hasil interpretasi visual penutupan lahan…………...….………... ..34

6 Titik verifikasi awal………... ………35

7 Titik verifikasi lapangan………... ………36

8 Penutupan lahan setelah verifikasi………...……… .38

9 Luas penutupan lahan setelah verifikasi………...…………..47

10 Klasifikasi penutupan lahan dengan jumlah titik verifikasi...………..59

11 Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected………...………60

12 Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 m………...……..………61 13 Proses analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected………...… ………..65

14 Proses analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... …………..67

15 Hasil analisis separabilitas citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected………...………74


(13)

No Halaman

1 Geometri SAR (Sumber: Lee, J.S. and Eric Pottier. 2009) ... 6

2 Bentuk Instrumen PALSAR (Sumber: JAXA) ... 7

3 Georeferensi tie points ... 11

4 Georeferensi dari image terkoreksi ... 11

5 Perbedaan antara citra yang belum (atas) dan sudah (bawah) di koreksi nilai backscatternya ... 13

6 Peta lokasi penelitian ... 19

7 Diagram alir penelitian... 20

8 Empat scene citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter ... 21

9 Empat scene citra DEM ... 21

10 Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m Polarisasi HH (a), Polarisasi HV (b), Rasio HH/HV (c), dan Polarisasi HH,HV, Rasio HH/HV (d) ... 23

11 Subset citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ... 23

12 Subset DEM Provinsi Jawa Barat (a), Aspect DEM Provinsi Jawa Barat (b), Slope DEM Provinsi Jawa Barat (c) ... 24

13 Proses Slope correction menggunakan Erdas Model Builder ... 25

14 Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected (a), non slope corrected 1 : 50.000 (b), slope corrected 1 : 50.000 (c), Swipe antara citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected (d) ... 26

15 Tally Sheet ... 28

16 Peta hasil penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected ... 33

17 Peta hasil penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 34

18 Peta sebaran titik rencana verifikasi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected ... 36

19 Peta sebaran titik verifikasi lapangan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected ... 37

20 Peta hasil penafsiran setelah verifikasi pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected ... 46

21 Peta hasil penafsiran setelah verifikasi pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 47

22 Badan air pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Badan air pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... 49


(14)

23 Bandar udara pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected

(a), Bandar udara pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b)... 49 24 Hutan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a),

Hutan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... 51 25 Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope

corrected (a), Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... 51 26 Lahan tebuka pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected

(a), Lahan tebuka pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... 52 27 Pemukiman pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected

(a), Pemukiman pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... 53 28 Perkebunan karet pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope

corrected (a), Perkebunan karet pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... ... 54 29 Perkebunan kelapa sawit pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

slope corrected (a), Perkebunan kelapa sawit pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... 55 30 Perkebunan teh pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope

corrected (a), Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) 55

31 Pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... 56 32 Sawah pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a),

Pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) ... 57 33 Logika identifikasi penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR ... 58 34 Grafik perbandingan nilai digital polarisasi HH dan HV pada citra ALOS

PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected ... 63 35 Grafik perbandingan nilai digital polarisasi HH dan HV pada citra ALOS


(15)

1.1 Latar Belakang

Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Seiring bertambahnya waktu dan meningkatnya jumlah penduduk, terjadi perubahan penutupan lahan. Perubahan tersebut diperkirakan akan terus berlangsung, sehingga menyebabkan keterbatasan manusia dalam menganalisa berbagai data dan informasi tentang penutupan lahan. Untuk mengatasi keterbatasan ini, dibutuhkan teknologi baru yang dapat menyediakan data yang akurat, cepat dan efisien.

Teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis adalah solusi tepat untuk mendapatkan data dan informasi tentang penutupan lahan yang akurat, cepat dan efisien agar dapat merencanakan tata ruang wilayah yang tepat. Indonesia telah memanfaatkan citra penginderaan jauh, khususnya citra optik yang digunakan untuk melakukan pemantauan sumberdaya alam. Posisi geografis Indonesia yang berada pada daerah tropis menjadi salah satu kendala menggunakan data citra optik. Kendala yang terjadi berupa adanya awan dan asap yang seringkali mengganggu proses identifikasi dan pemantauan objek di permukaan bumi (Bainnaura 2010).

Saat ini telah tersedia suatu sistem penginderaan jarak jauh aktif (an active remote sensing system) yaitu Radar, singkatan dari Radio Detection And Ranging. Menurut Manual Interpretasi ALOS PALSAR (2011), Radar merupakan sistem yang menyediakan sumber energinya sendiri, sehingga dapat beroperasi siang dan malam dan mempunyai kemampuan menembus awan. Penggunaan citra radar untuk memetakan penutupan lahan telah menarik perhatian besar, karena citra radar memiliki kemampuan untuk melakukan perekaman dalam segala cuaca, baik pada siang atau malam hari, serta mampu mengatasi kendala tutupan awan dan asap. Penggunaan citra radar sebagai media penafsiran tutupan lahan di Indonesia sangat menguntungkan mengingat frekuensi tutupan awan di Indonesia cukup tinggi.


(16)

Salah satu satelit yang diluncurkan Pemerintah Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 adalah satelit ALOS (Advance land observing Satellite) dengan sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan sensor gelombang mikro aktif yang memiliki keistimewaan dapat menembus lapisan awan tebal. Dalam memanfaatkan citra PALSAR, penafsiran penutupan lahan terhadap objek yang terekam dalam citra dapat dilakukan dengan metoda penafsiran visual dan digital.

Menurut Bainnaura (2010) pemanfaatan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter untuk identifikasi penutupan lahan, hanya memberikan kemampuan dalam memperjelas bentuk objek sehingga lebih yakin dalam identifikasi penutupan lahan. Tidak ada penambahan objek dalam interpretasi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. Pada penelitian ini, penulis mencoba mengkaji kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dalam mengidentifikasi penutupan lahan karena kondisi areal pada studi kasus ini adalah daerah bergunung. Diharapkan dengan penambahan proses slope-correction pada citra dapat mengidentifikasi kelas penutupan lahan lebih banyak lagi.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengevaluasi kemampuan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dalam mengidentifikasi tutupan lahan secara manual dan digital.

2. Membandingkan penafsiran antara citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter

slope-corrected dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dalam mengidentifikasi tutupan lahan.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu acuan dalam penafsiran visual menggunakan citra ALOS PALSAR 12,5 meter slope corrected.


(17)

2.1 Penginderaan Jauh (Remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Manual of Remote Sensing atau penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillsesand dan Kiefer 1990). Tujuan utama dari pengideraan jauh adalah mengumpulkan data dan informasi tentang sumberdaya alam dan lingkungan (Lo 1996). Secara umum, penginderaan jauh saat ini diterima tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpulan data mentah, tetapi pemprosesan data mentah secara manual dan terotomatisasi, dan analisis citra serta pengkajian hasil informasi yang diperoleh.

Terdapat dua proses utama dalam pengideraan jauh, yaitu pengumpulan data dan analisis data (Lillesand dan Kiefer 1990). Menurut Handini (2009), analisis data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapangan. Hasil analisis yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi sumberdaya yang diindera. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut.

Menurut Purwadhi (2001), Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer dengan tiga karakteristik dasar, yaitu: (i) mempunyai fenomena aktual (variabel data non-lokasi) yang berhubungan dengan topik permasalahan di lokasi bersangkutan; (ii) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi; dan (iii) mempunyai dimensi waktu. Sedangkan menurut Rind (1992) dalam Prabowo et al. (2005), Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sekumpulan perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data-data geografis dan sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan, meng-updatde, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk data yang bereferensi geografis.


(18)

Menurut Aronoff (1989) sistem informasi geografis adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi (georeference) dalam hal pemasukan data, memanipulasi dan menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan. Penggunaan pengideraan jauh dan SIG dapat juga diintegrasikan dengan berbagai metode untuk mengambil keputusan terhadap penggunaan lahan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen yaitu (1) perangkat keras, (2) perangkat lunak, (3) data dan informasi geografi dan (4) manajemen (Gistut 1994 dalam Prahasta 2005).

2.2 Citra RADAR

RADAR merupakan singkatan dari Radio Detection And Ranging. Radar termasuk penginderaan jauh gelombang mikro aktif, yaitu penginderaan jauh dimana sensornya menyediakan energi atau cahayanya sendiri. Sistem radar merupaka gelombang yang merambat dari sensor dan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi lalu kemudian direkam pantulanya (Barret dan Curtais 1982).

Radar merupakan alat yang digunakan menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi keberadaan suatu objek dan juga menentukan posisinya Proses yang termasuk di dalamnya anatara lain mengirimksn pulsa energi pantulan yang diterima dari objek di dalam field of view system (Lillesand and Kiefer 1990).

Menurut Manual Penafsiran citra ALOS PALSAR (2011), terdapat beberapa pertimbangan penting digunakanya penginderaan jauh radar yaitu sumber energi yang digunakan dapat diatur terutama dalam kemampuanya menembus partikel seperti awan dan hujan serta dapat digunakan baik siang maupun malam, Citra dapat diproses menjadi citra rsolusi tinggi (3-10m), beberapa objek tertentu memiliki penamplan yang lebih jelas atau lebih mudah dibedakan dibandingkan dengan penampilan pada citra visible (cahaya tampak, optik) seperti : gumpalan es, gelombang laut, kelembapan tanah, biomas, objek-objek buatan (bangunan dan lain-lain), struktur geologi dan seterusnya.

Telah diutarakan diatas bahwa penginderaaan jauh sistem aktif yang menggunakan tenaga pada gelombang mikro yakni penginderaan jauh sistem radar. Oleh karena itu, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan dibangkitkan pada sensor. Sensor ini mengukur dan mencatat waktu


(19)

dari saat pemancaran hingga kembali ke sensor, di samping mengukur dan mencatat intensitas tenaga baliknya (Sutanto 1987).

Sensor radar dapat dipasang dipermukaan tanah, di pesawat terbang, maupun satelit. Keluarannya ada dua jenis, yaitu data non-citra dan citra radar. Data non-citra terdiri dari sistem radar Doppler untuk mengukur kecepatan kendaraan (kapal, pesawat terbang, satelit) dan radar Plan Position Indicator. Sistem radar Dopler menggunakan efek Doppler, yaitu perubahan frekuensi radiasi gelombang elektromagnetik yang disebabkan oleh gerak relative antara sumber radiasi dan penerimanya. Perubahan frekuensinya tergantung pada kecepatan relatif antara pemancar dan penerimanya. Perubahan frekuensi ini dapat terjadi dalam bentuk perubahan nada bunyi klakson atau sirine ambulans yang sedang melaju. Efek Doppler semacam ini disebut efek Doppler akustik, Nada bunyinya berubah pada saat mobil mendekati atau menjauhi kita. Disamping itu ada juga efek Doppler optic yang perubahannyabergantung atas kecepatan relative sumber cahaya dan pengamatnya, dan efek Doppler termal yang menyebabkan pelebaran garis-garis spektralnya. Efek Doppler pada gelombang radar terjadi dalam bentuk perubahan frekuensi sinyal yang dipancarkan oleh sensor dan yang dipantulkan kembali oleh objek (Paine 1981; Sabins 1978 dalam Sutanto 1987).

Sistem radar yang membuahkan citra radar dikembangkan oleh kalangan militer pada dasawarsa 1950-an untuk merekam daerah lawan dari samping. Karena perekamanya ke arah samping maka sistem radar ini disebut Side Looking Radar (SLR). Untuk memperjelas wahana yang digunakan maka sistem radar ini juga disebut Side Looking Airbone Radar. Dua istilah ini digunakan dengan makna yang sama, akan tetapi istilah SLAR lebih banyak digunakan (Avery dan Berlin 1985; Paine 1981 dalam Sutanto 1987).

2.2.1 Satelit ALOS

Menurut Manual Penafsiran citra ALOS PALSAR (2011), Satelit ALOS (Advance land observing Satellite) merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS yang memiliki ukuran panjang 4,5 m x lebar 3,5 m x tinggi 6,5 m , dengan massa sekitar 4 ton adalah salah satu satelit yang diluncurkan Pemerintah Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 adalah ALOS membawa 3 jenis sensor, yaitu PALSAR


(20)

(Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). AVNIR dan PRISM merupakan sensor optik sedangkan PALSAR merupakan sensor radar.

Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sebuah sistem radar yang mengindera secara menyamping dan dapat menghasilkan citra resolusi tinggi. Sebuah radar yang juga dapat mengakumulasi data. Melalui cara ini sebuah jalur permukaan bumi di iluminasi baik secara paralel maupun searah dengan jalur terbangnya. Dari data signal yang terekam selanjutnya diproses untuk menghasilkan citra radar. Jarak yang menyamping disebut dengan "range". Sehingga dikenal dengan near range (sapuan dekat) yaitu yang terdekat dengan nadir (titik dibawah sensor radar) dan far range (sapuan jauh) yaitu jarak terjauh dari sensor radar. Sedangkan yang searah jalur tebang disebut dengan azimuth. (Manual Penafsiran citra ALOS PALSAR 2011)

SAR merupakan teknik yang handal dan praktis untuk memperoleh resolusi spasial yang tinggi dan juga dapat diletakkan pada wahana satelit. SAR mensintesiskan apatureyang panjang dengan memanfaatkan pergerakan wahana (platform). Gelombang mikro (microwave) dapat menembus awan dan dapat digunakan pada pencitraan radar. Oleh karenanya SAR mempunyai kemampuan melakukan pencitraan baik siang maupun malam dan pada segala cuaca. SAR bersifat kompetitif dan komplementatif terhadap multispektral radiometer sebagai instrumen utama penginderaan jauh. Geometrik SAR ditunjukan pada Gambar 1.


(21)

2.2.2 ALOS PALSAR

JAXA (2006) menjelaskan bahwa sensor PALSAR meupakan sensor gelombang mikroaktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu

ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya yang dapat diatur pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan atau sapuan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Bentuk dari Instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan objeknya disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 1.

Gambar 2 Bentuk instrumen PALSAR (Sumber: JAXA).

Tabel 1 Prinsip ALOS PALSAR

Polarization HH or V HH+HV or

VV+VH HH or VV

HH+HV+V H+VV Incident angle 8 to 60deg 8 to 60deg 18 to 43 deg 8 to 30deg

Range resolution 7 to 44 m 14 to 88 m 100 m 24 to 89 m

Observation swath 40 to 70 km 40 to 70 km 250 to 350 km 20 to 65 km

Bir length 5 bits 5 bits 5 bits 3 or 5 bits

Data rate 240 Mbps 240 Mbps 120,240 Mbps 240 Mbps

NE sigma zero *2 <-23 dB(Swath Width 70km)

<-25 dB(Swath Width 60km) <-25 dB <-29 dB S/A *2 *3 >16 dB(Swath Width 70km)

>21 dB(Swath Width 60km) >21 dB >19 dB Radiometric

accuracy Scene : 1dB/orbit : 1.5 dB


(22)

Sensor PALSAR memiliki 4 jenis polarisasi yaitu HH, HV, VH, dan VV. Polarisasi merupakan arah rambat dari gelombang mikro aktif yang dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Sinyal radar dapat ditransmisikan dan diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Sinyal dapat disaring sedemikian rupa sehingga gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang datar (H) ataupun tegak lurus (V), sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang datar atau tegak lurus. Citra yang digunakan dalam penelitian ini hanya memiliki dua polarisasi yaitu HH dan HV. Karakteristik polarisasi PALSAR dijelaskan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik polarisasi PALSAR

Polarisasi Penjelasan

HH HV VH VV

Transmisi berupa gelombang horizontal

Antena hanya menerima gelombang pantul horizontal Transmisi berupa gelombang horizontal

Antena hanya menerima gelombang pantul vertikal Transmisi berupa gelombang vertikal

Antena hanya menerima gelombang pantul horizontal Transmisi berupa gelombang vertikal

Antena hanya menerima gelombang pantul vertikal

2.3 Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik atau biasa disebut rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi piksel pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus di-resampling kembali. Resampling adalah suatu proses melakukan interpolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya. (Jaya 2002)

Georeferensi adalah suatu proses memberikan koordinat peta pada citra yang sesungguhnya sudah planimetris. Sebagai contoh, pemberian sistem koordinat suatu peta hasil dijitasi peta atau hasil scanning citra. Hasil digitasi atau hasil scanning tersebut sesungguhnya sudah datar (planimetri), hanya saja belum mempunyai koordinat peta yang benar. Dalam hal ini, koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena semua sistem proyeksi


(23)

sangat terkait dengan koordinat peta. Registrasi citra ke citra melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah di georeferensi. Oleh karena itu, georeferensi semata-mata merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangakan grid dalam citra tidak berubah (Jaya 2002).

Terdapat sedikit perbedaan antara georeferensi dan rektifikasi. Georeferensi adalah proses penyamaan sistem koordinat dari peta ke citra, dari cita ke citra maupun dari peta ke peta, sedangkan rektifikasi adalah proses transformasi dari suatu sistem grid kedalam grid yang lain menggunakan persamaan tertentu. Jadi proses rektifikasi citra dengan peta akan meliputi proses georeferensi, karena sistem proyeksi berkaitan juga dengan sistem koodinat. Georeferensi dari citra ke citra tidak terektifikasi kalau citranya sama-sama belum di rektifikasi, dan sebaliknya bila salah satu citra sudah direktifikasi maka georeferensi citra ke citra sama dengan rektifikasi (Jaya 2007).

Kesalahan geometrik dipengaruhi oleh distorsi (kesalahan) yang timbul pada saat perekaman. Hal ini dipengaruhi oleh perputaran bumi ataupun bentuk dari permukaan bumi. Beberapa kesalahan ini kadang sudah dikoreksi oleh

supplier citra atau dapat dikoreksi secara geometris oleh pengguna. Koreksi geometrik dapat dilakukan dengan: (i) menggunakan titik kontrol (Ground Control Point) yang dicari pada citra lain yang sudah memiliki georeferensi, (ii) menggunakan titik (Ground Control Point) yang dapat dicari pada peta yang sudah memiliki georeferensi, (iii) memakai titik pengukuran yang diambil menggunakan GPS (Global Positioning System) pada lokasi-lokasi tertentu yang mudah dikenali pada citra. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan koreksi geometris antara lain adalah tingkat resolusi dan proyeksi yang digunakan data itu (Jaya 2007).

Menurut Jaya (2007) dalam koreksi geometrik, dikenal ada 2 jenis metode koreksi, yaitu:

a. Rektifikasi / perbaikan: proses mengkoreksi citra sesuai dengan koordinat peta, GPS atau citra lain yang sudah terkoreksi.

b. Ortho – Rektifikasi: proses koreksi geometrik dengan memasukkan data ketinggian permukaan dan informasi posisi platform satelit. Rektifikasi ortho


(24)

merupakan metode yang paling akurat akan tetapi prosesnya cukup rumit dan memerlukan data yang lebih banyak.

Analisa dalam koreksi geometrik dapat dilakukan dengan beberapa acuan, seperti titik-titik pojok (corner), titik referensi (tie points), dan georeferensi dengan citra terkoreksi.

a. Georeferensi citra raster dengan titik-titik pojok (corner)

Georeferensi umumnya dilakukan sebagai koreksi sementara dengan menggunakan informasi awal (header file) yang biasanya disertakan dalam setiap citra satelit. Pada dasarnya, georeferensi bukanlah metode koreksi geometris yang akurat. Hal ini dikarenakan informasi titik-titik pojok umumnya dihasilkan berdasarkan penghitungan posisi satelit pada saat citra direkam. Penting untuk diingat bahwa proses koreksi geometrik sedapat mungkin didasarkan pada posisi sebenarnya di lapangan atau peta lain dengan tingkat presisi yang tinggi (misalnya peta topografi/rupa bumi). Untuk melakukan georeferensi, terlebih dahulu dibutuhkan posisi geografis dari titik-titik pojok pada citra satelit.

b. Georeferensi citra dengan titik referensi (tie point)

Cara ini merupakan salah satu cara untuk mengkoreksi data citra dengan membuat titik-titik sekutu yang sama posisinya dengan titik-titik yang memiliki referensi atau disebut juga titik acuan. Posisi dari titik-titik acuan didapatkan dari informasi GPS atau diambil dari peta rupa bumi. Hal yang perlu diperhatikan dalam memilih titik acuan adalah bahwa sebaiknya titik-titik tersebut diambil pada daerah yang mudah dikenali baik pada citra maupun pada keadaan aslinya (alam), seperti perempatan jalan, pertigaan jalan, sehingga kekeliruan dalam menentukan titik sekutu bisa diminimalisasi. Selain itu, semakin banyak jumlah titik dan semakin menyebar distribusi titik-titik sekutu pada citra, akan semakin baik hasilnya dari proses koreksi geometrik yang dilakukan.


(25)

Gambar 3 Georeferensi tie points.

c. Georeferensi citra dengan citra lain yang telah terkoreksi

Secara prinsip, metode koreksi geometrik ini tidak jauh berbeda dengan metode sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah sumber informasi posisi titik sekutu. Pada metode yang akan diuraikan pada bagian ini, posisi geografis titik sekutu ditentukan dari citra satelit lain yang telah terkoreksi (reference image). Dalam hal ini amat penting untuk mengetahui presisi dari reference image

yang digunakan. Hal tersebut disebabkan, akurasi dan presisi geometrik yang dihasilkan metode ini tidak akan melebihi akurasi/presisi dari reference image.

Gambar 4 Georeferensi dari image terkoreksi.

Titik kontrol lapangan (GCP) adalah titik-titik yang letaknya pada suatu posisi piksel suatu citra yang koordinat petanya (referensinya) diketahui. GCP terdiri atas sepasang koordinat x dan y, yang terdiri atas koordinat sumber dan koordinat referensi. Koordinat-koordinat tersebut tidak dibatasi oleh adanya koordinat peta. Koreksi Geometrik merupakan proses yang mutlak dilakukan apabila posisi citra akan disesuaikan atau ditumpangsusunkan dengan peta-peta atau citra lainnya yang mempunyai sistem proyeksi peta.


(26)

Ada beberapa alasan atau pertimbangan, kenapa perlu melakukan rektifikasi, diantaranya adalah untuk:

1. membandingkan 2 citra atau lebih untuk lokasi tertentu 2. membangun SIG dan melakukan pemodelan spasial

3. meletakkan lokasi-lokasi pengambilan “training area” sebelum melakukan klasifikasi

4. membuat peta dengan skala yang teliti

5. melakukan overlay (tumpang susun) citra dengan data-data spasial lainnya 6. membandingkan citra dengan data spasial lainnya yang mempunyai skala

yang berbeda

7. membuat mozaik citra

8. melakukan analisis yang memerlukan lokasi geografis dengan presisi yang tepat.

2.3.1 Koreksi Kelerengan

Lereng yang dimaksud disini yaitu lereng permukaan secara makro atau lereng topografi daerah. Bagi lereng yang menghadap ke arah sensor lazim disebut lereng depan, maka pantulan tenaganya lebih besar dari lereng belakangnya (Sutanto 1987). Lereng termasuk salah satu faktor topografi. Efek topografi terjadi disebabkan oleh perubahan incident angle dengan kemiringan topografi radar. Topografi membatasi efek keakuratan hasil klasifikasi citra. Salah satu efek topografi adalah perbedaan kecerahan terlihat pada citra SAR medan berat (Bayer et al. 1991). Untuk memperbaiki efek topografi data ALOS PALSAR menggunakan algoritma model backscatter pada radar dan model elevasi digital. Koreksi kemiringan ini dilakukan untuk menguji klasifikasi tutupan lahan agar meningkatkan akurasi pemetaan hutan (Murthi 1996).

Pengaruh kemiringan lahan dan orientasinya terhadap nilai backscatter objek sangat besar. Oleh karena itu aplikasi citra radar untuk wilayah bergunung seringkali sulit dilakukan, seringkali dijumpai bukit yang relatif kurang bervegetasi akan tetapi memiliki nilai backscatter yang tinggi (Leclerc 2001). Untuk keperluan penafsiran, citra radar wilayah yang bergunung sebaiknya dilakukan koreksi nilai backscatternya terlebih dahulu. Koreksi seperti ini masih terus dikembangkan, antara lain dilakukan oleh JAXA untuk citra PALSAR.


(27)

Contoh perbedaan citra wilayah bergunung yang belum dan sudah dikoreksi nilai backscatternya akibat pengaruh kemiringan lahan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Perbedaan antara citra yang belum (atas) dan sudah (bawah) di koreksi nilai backscatternya.

Menurut Sun et al. (2002), untuk mengetahui koreksi kemiringan lahan perlu diketahui besar local incidence angle. Setelah diketahui besar local incidence angle, baru dapat diketahui besar nilai digital terkoreksi. Berikut adalah persamaan yang dipakai untuk mengetahui local incidence angle :

Keterangan : : local incidence angle

: incident angle of microwave (=34.3°) : local slope angle (menggunakan DEM)

: azimuth angle (=188.16°)

: aspect of slope (menggunakan DEM)

Setelah local incidence angle diketahui, maka koreksi kemiringan lahan dapat diperoleh dengan persamaan :

Keterangan : Rc = Nilai Digital terkoreksi R = Nilai Digital Asli

k = parameter koreksi kelerengan = local incidence angle


(28)

Menurut Trisakti (2005), orthorektifikasi adalah proses koreksi geometrik dengan memasukkan data ketinggian permukaan dan informasi posisi platform satelit. Rektifikasi ortho merupakan metode yang paling akurat akan tetapi prosesnya cukup rumit dan memerlukan data yang lebih banyak. Dalam melakukan slope correction, dibutuhkan citra yang sudah terorthorektifikasi agar pada saat citra dikoreksi kelerenganya berada pada posisi yang sesuai sehingga meminimalisir kesalahan pada penafsiran citra baik secara digital maupun manual.

2.4 Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan

Dalam klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ada beberapa informasi yang tidak dapat diperoleh dari data pengideraan jauh. Informasi mengenai penutupan lahan dapat secara langsung dikenali dari penutupan lahannya. Untuk menentukan penggunaan lahan diperlukan tambahan informasi untuk melengkapi data penutupan lahan.

Departemen Kehutanan secara rutin menerbitkan data penutupan dan penggunaan lahan. Pada tahun 2003 dan 2008 Diretorat planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra Landsat dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer dan sekunder) dan kondisi lahan (rawa/lahan kering).

Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan menggunakan 23 kelas, yaitu:

1 Hutan lahan kering primer 2 Hutan lahan kering sekunder 3 Hutan rawa primer

4 Hutan rawa sekunder 5 Hutan mangrove primer 6 Hutan mangrove sekunder 7 Hutan tanaman

8 Perkebunan 9 Semak belukar

10 Semak belukar rawa 11 Savanna/Padang rumput 12 Pertanian lahan kering

13 Pertanian lahan kering + semak 14 Sawah

15 Tambak 16 Permukiman 17 Transmigrasi 18 Land terbuka


(29)

19 Pertambangan 20 Tubuh air 21 Rawa

22 Awan

23 Bandar udara/Pelabuhan.

Berdasarkan Manual Penfsiran Citra ALOS PALSAR (2011), obyek (penutupan lahan) yang dapat dikenali adalah hutan lahan kering, hutan musim, hutan rawa, mangrove, hutan tanaman, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, kebun campuran, semak belukar, pertanian lahan kering, padang rumput, sawah, permukiman, lahan terbuka, bandar udara, tambak dan badan air.

Namun dari beberapa indikasi yang perlu kajian lebih lanjut, kemungkinan ke depan dapat ditingkatkan melalui penampakan topografi yang jelas pada citra ALOS PALSAR sehingga hutan lahan kering dibedakan menjadi hutan dataran, hutan perbukitan dan hutan pegunungan. Selain itu untuk tanaman dan perkebunan, mengingat faktor biomas mempunyai pengaruh yang cukup jelas pada citra ALOS PALSAR, kemungkinan dapat dibedakan menjadi kelas-kelas yang lebih muda dan tua. Sistem klasifikasi penutupan lahan dan hutan yang disarankan adalah :

1. Hutan Alam

1.1. Hutan Alam Lahan Kering

1.1.1. Hutan Alam Lahan Kering Dataran 1.1.2. Hutan Alam Lahan Kering Perbukitan 1.1.3. Hutan Alam Lahan Kering Pegunungan 1.1.4. Hutan Alpin

1.2. Hutan Rawa

1.2.1. Hutan Rawa Tawar 1.2.2. Hutan Rawa Gambut 1.3. Hutan Mangrove

1.4. Hutan Musim 2. Hutan Tanaman 2.1. Hutan Tanaman Jati

2.1.1. Hutan Tanaman Jati Muda 2.1.2. Hutan Tanaman Jati Tua 2.2. Hutan Tanaman Pinus


(30)

2.2.1.Hutan Tanaman Pinus Muda 2.2.2.Hutan Tanaman Pinus Tua 2.3. Hutan Tanaman Jenis lain

2.3.1. Hutan Tanaman Jenis lain Muda 2.3.2. Hutan Tanaman Jenis lain Tua 3. Hutan Terbakar

4. Semak belukar 5. Padang rumput 6. Perkebunan

6.1. Perkebunan Karet

6.1.1. Perkebunan Karet Muda 6.1.2. Perkebunan Karet Tua 6.2. Perkebunan Kelapa sawit

6.2.1. Perkebunan Kelapa sawit Muda 6.2.2. Perkebunan Kelapa sawit Tua 7. Kebun Campuran

8. Pertanian

8.1. Pertanian lahan kering 8.2. Sawah

9. Lahan terbuka 10. Lahan terbangun 10.1. Pemukiman 10.1.1. Perkotaan 10.1.2. Pedesaan

10.2. Bandar udara/Pelabuhan 11. Tambak

12. Badan air.

2.5 Interpretasi Citra

Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi interpretasi secara manual dan secara digital (Purwadhi, 2001). Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan


(31)

(spasial). Karakteristik objek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona, warna, bentuk, tekstur, pola, letak dan asosiasi kenampakan objek. Sedangkan interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik.

Estes dan Simonett (1975) mengatakan bahwa interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Pengalaman sangat menentukkan hasil interpretasi, karena persepsi pengenalan objek bagi oran-orang yang berpengalaman biasanya lebih konstan atau dengan kata lain pengenalan objek yang sama pada berbagai bentuk citra akan selalu sama. Misalkan pada citra A dianggap sebuah pemukiman, maka pada citra B atau C pun tetap bisa dikenal sebagai pemukiman walaupun agak sedikit berbeda dalam penampakannya. Penafsiran citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya.

Menurut Salman (2011), ada tiga hal penting yang perlu dilakukan dalam proses interpretasi, yaitu deteksi, identifikasi dan analisis. Deteksi citra merupakan pengamatan tentang adanya suatu objek, misalkan pendeteksian objek disebuah daerah dekat perairan. Identifikasi atau pengenalan merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup, misalnya mengidentifikasikan suatu objek berkotak2 sebagai tambak di sekitar perairan karena objek tersebut dekat dengan laut. Sedangkan analisis merupakan pengklasifikasian berdasarkan proses induksi dan deduksi, seperti penambahan informasi bahwa tambak tersebut adalah tambak udang dan dklasifikasikan sebagai daerah pertambakan udang.

Setelah serangkaian proses pra-pengolahan citra diatas, kemudian dilakukan penafsiran visual atau biasa disebut klasifikasi secara kualitatif. Penafsian ini merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra, berasal dari pengembangan penafsiran foto udara


(32)

dan umumnya menggunakan elemen penafsiran yang terdiri dari tone, tekstur, warna, pola, bentuk, ukuran, lokasi dan asosiasi. Setiap elemen penafsiran berasal dari proses tertentu, dan proses tersebut membutuhkan pemahaman mengenai bidang keilmuan tertentu. Secara garis besar bagaimana setiap elemen penafsiran harus dipahami melalui pengetahuan dalam bidang tertentu.

Menurut buku Manual Penafsiran citra ALOS PALSAR (2011), pada saat interpretasi citra radar, meskipun yang diinterpretasi adalah citra analog, interpreter harus tetap ingat bahwa tone yang tampak pada citra radar sangat berbeda dengan pencitraan mata manusia umumnya (sensor optik). Derajat keabu-abuan dari citra sangat tergantung pada kekuatan relatif dari backscatter gelombang mikro, kekasaran permukaan dan kondisi dielektrik lanskap.


(33)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 – Mei 2011. Pengambilan data lapangan dilakukan di Jawa Barat dengan lokasi administratif Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur seluas80 km x 80 km pada bulan Juli 2010 - Okober 2010 (Gambar 6). Sedangkan, proses pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan IPB di mulai bulan November 2010 sampai dengan Mei 2011.

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Alat

Alat – alat yang digunakan yaitu GPS, kompas, suunto (tandom),

tallysheet, kamera digital sebagai peralatan lapangan. Seperangkat komputer dengan software Erdas Imagine 9.1, ArcView 3.3, ArcGIS, Microsoft Excel 2010, Microsoft Word 2010, dan system pendukung untuk analisis data yaitu Ekstensi Image Analysis, Geoprocessing, Graticules and Measured Grid, Projection Utility Wizard, Spatial Analysis, XTools, dan Ekstensi IHMB-Jaya Versi 6.


(34)

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan yaitu Citra ALOS PALSAR dengan resolusi 12,5 meter dan 50 meter Provinsi Jawa Barat tahun perekaman 2009, Citra DEM Provinsi Jawa Barat tahun perekaman 2009, Manual Penafsiran Visual Citra ALOS PALSAR, Peta Daerah Administrasi Provinsi Jawa Barat, Peta Jaringan Jalan Provinsi Jawa Barat, dan Peta kerja pengamatan lapangan.

3.3 Tahapan Penelitian

Gambar 7 Diagram alir penelitian. Slope

Citra DEM Provinsi Jawa

Aspect

Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter

slopecorrected Citra ALOS PALSAR

resolusi 12,5 meter

Pra-Pengolahan Citra

Analisis Hasil Verifikasi Lapangan Analisis secara

visual Analisis secara digital

Akurasi Hasil Interpretasi Citra

Reklasifikasi Hasil Penafsiran

Hasil Penafsiran Awal Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Provinsi Hasil Penafsiran Awal Citra ALOS

PALSAR resolusi 12,5 meter

Verifikasi Lapangan Interpretasi Awal

Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Provinsi


(35)

3.3.1 Pengumpulan Data

Pada penelitian ini pengumplan data yang dilakukan meliputi pengumpulan bahan-bahan yang digunakan yang diperoleh dan interpretasi citra serta data observasi lapangan.

3.3.2 Pra-pengolahan Citra

3.3.2.1 Mosaik Citra

Mosaik merupakan suatu proses penggabungan dari beberapa citra secara bersamaan membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif. Citra kohesif yang dimaksud adalah citra yang dimana kekontrasanya konsisten, terorganisir, solid dan koordinatnya terinterkoneksi (Jaya 2007).

Pada penelitian ini, citra yang dimosaik adalah citra ALOS PALSAR resolusi12,5 meter Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 4 scene(Gambar 8) dan citra DEM Provinsi Jawa Barat terdiri dari 4 scene(Gambar9). Kedua citra tersebut dimosaik masing-masing menjadi satu lembar (scene) guna memudahkan proses pengolahan dan analisis citra. Mosaik dilakukan dengan menggunakan software Erdas Imagine.

Gambar 8 Empat scene citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter.


(36)

Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Provinsi Jawa Barat tidak perlu dimosaik karena data yang diterima telah dimosaik dan sudah ortofoto. Ortofoto adalah foto konvensional bertampalan, dengan proses rektifikasi differensial. Hasil proses ini dapat menghilangkan pergeseran letak gambar oleh kelerengan dan membuat skala peta selama tempat sama.

3.3.2.2Pembuatan Synthetic Band dan Citra Komposit

Data Citra satelit ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dan 50 m yang digunakan dalam penelitian ini hanya memiliki dua polarisasi yaitu HH dan HV. Gelombang HH ditembakkan secara horizontal oleh satelit, dan dipantulkan kembali menuju satelit secara horizontal. Gelombang HV ditembakkan secara horizontal dan dipantulkan kembali menuju satelit secara vertikal. Kedua polarisasi tersebut dapat diperlakukan sebagai band. Namun, citra tidak dapat diinterpretasi dengan baik secara visual apabila hanya memiliki dua band saja. Sehingga diperlukan band tambahan agar citra ALOS PALSAR dapat diinterpretasi secara visual dengan mudah. Dua band sebelumnya ada yaitu bandred dan green, dan band yang dibutuhkan adalah band blue. Dalam penelitian ini, dengan menggunakan Erdas Model Builder band ketiga yang dibuat adalah layer ratio antara HH dan HV.

Pembuatan Synthetic Band dan Citra Komposit ini diawali dengan layer stack. Layer stack merupakan proses menumpuk, menggabung dan dapat memisahkan masing-masing layer yang ada pada citra ALOS PALSAR ini. Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter yang ada dalam bentuk dua ayer yakni HH-HV. Untuk itu, kita memisahkan tiap layer terlebih dahulu untuk mendapatkan layer HH dan layer HV. Setelah didapat kedua layer tersebut dalam keadaan terpisah, lalu dibuatlah layer rasio HH/HV yakni dengan menggunakan Erdas Model Builder. Setelah didapat ratio HH/HV yang diperlukan, barulah kemudian dilakukan layer stacking dengan menggabungkan HH pada layer 1, HV pada layer 2 dan ratio HH-HV pada layer 3 (Gambar 10).

Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dapat diunduh secara gratis di situs ALOS Research and Application milik JAXA. Sama halnya dengan Citra DEM Provinsi Jawa Barat juga dapat diunduh secara gratis, sedangkan Citra


(37)

ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter belum bisa diunduh secara gratis di jejaring internet manapun.

(a) (b) (c)

(d)

Gambar 10 Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m Polarisasi HH (a), Polarisasi HV (b), Rasio HH/HV (c), dan Polarisasi HH,HV, Rasio HH/HV (d).

3.3.2.3 Pemotongan Citra Komposit

Setelah beberapa proses pengolahan citra diatas, selanjutnya dilakukan

subset dengan peta daerah penelitian (Gambar 11). Citra ALOS PALSAR dipotong dengan luasan 80 km x 80 km.


(38)

3.3.2.4 Koreksi Geometrik

Pada penelitian ini, citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter belum terektifikasi sedangkan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter sudah orthorektifikasi oleh karena itu citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter digunakan sebagai acuan untuk mengoreksi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter. Hasil citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter yang telah terkoreksi ini dilakukan

slope correction dengan menggunakan Erdas Model Builder. Pada Erdas Model Builder yang digunakan untuk mengoreksi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter adalah subset citra DEM Provinsi Jawa Barat, aspect citra DEM Provinsi Jawa Barat, slope citra DEM Provinsi Jawa Barat yang ditunjukkan pada Gambar 12.

(a) (b) (c)

Gambar 12Subset DEM Provinsi Jawa Barat (a),Aspect DEM Provinsi Jawa Barat (b), Slope DEM Provinsi Jawa Barat (c).

Slope correction dilakukan karena citra ALOS PALSAR 12,5 meter karena akurasi kelerengan dan topografi belum teruji. Koreksikemiringanini dilakukan untuk menguji klasifikasi tutupan lahandiharapkan agar dapat

meningkatkanakurasidalam mengidentifikasi tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR 12,5 meter. Beberapa tahap pengolahan slope correction menggunakan

Erdas Model Builder dapat dilihat pada Gambar 13 dan hasil dari slope correction


(39)

Keterangan :

EITHER 0 IF (( ($n2_temp ** 4) + (1 - (COS(34.3 * PI/180) ** 4) ))==0.00) OR $n1_subset_subset_new_mosaic_3_band(1) / (($n2_temp ** 4) + (1 - (COS(34.3 * PI/180) ** 4))) OTHERWISE

EITHER 0 IF (( ($n2_temp ** 4) + (1 - (COS(34.3 * PI/180) ** 4) ))==0.00) OR $n1_subset_subset_new_mosaic_3_band(2) / (($n2_temp ** 4) + (1 - (COS(34.3 * PI/180) ** 4))) OTHERWISE

EITHER 0 IF ( $n4_temp == 0.00) OR $n12_temp / $n4_temp OTHERWISE


(40)

(a)

(b) (c)

(d)

Gambar 14 Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected (a), non

slope corrected 1 : 50.000 (b),slope corrected 1 : 50.000 (c), swipe

antara citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slopecorrected (d).


(41)

3.3.3 Interpretasi Awal

Setelah citra selesai dikoreksi, lalu dilakukan interpretasi awal pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope correcteddan resolusi 50 meter. Kombinasi band yang digunakan adalah HH, HV, dan HH/HV. RGB yang digunakan yaitu HH pada red, HV pada green dan HH/HV pada blue.Interpretasi awal ini dilakukan untuk mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra dengan menggunakan elemen penafsiran yang terdiri dari tone, tekstur, warna, pola, bentuk, ukuran, lokasi dan asosiasi.

Pada penelitian ini, elemen penafsiran visual yang digunakan dalam menafsir citra ALOS PALSAR yaitu:

1.Warna : elemen warna yang dijumpai dalam citra Palsar adalah hijau, kuning, pink, ungu, biru dan putih

2. Tone : elemen tone yang dijumpai dalam citra Palsar hanya dua yaitu terang dan gelap

3. Tekstur : elemen tekstur yang dijumpai dalam citra Palsar adalah halus dan kasar

4. Bentuk : elemen bentuk dalam citra Palsar menunjukkan bentuk geometri dari objek atau deliniasinya. Biasanya hanya berbentuk persegi panjang, garis berbelok-belok, area tidak beraturan.

5. Ukuran : diartikan sebagai ukuran area yang dideliniasi.Elemen ini hanya dijumpai berukuran luas/besar dan kecil.

6. Pola : elemen ini diartikan sebagai pengaturan spasial. Biasanya yang dijumpai adalah pola mengelompok teratur, menyebar teratur dan menyebar tidak teratur.

7. Lokasi : elemen ini menunjukkan dimana dan pada kondisi apa sebuah objek penutupan lahan berada. Elemen ini terdiri dari berada pada daerah datar, pegunungan, pantai muara sungai.

8. Asosiasi : elemen ini menunjukkan hubungan antara keberadaan sebuah penutupan lahan dengan penutupan lahan lain atau dengan fenomena geografi, ekologis tertentu.


(42)

3.3.4 Pengamatan Lapangan

Pengamatan lapangan dilakukan setelah citra selesai diidentifikasi awal dan setelah dilakukan pembuatan lokasi titik pengamatan. Lokasi titik pengamatan dibuat dengan menggunakan Systematic Sampling with Random Start dengan bantuan Ekstensi IHMB-Jaya Versi 6 pada ArcView, yang kemudian di subset

dengan hasil buffer peta jaringan jalan selebar 1000 meter. Jumlah titik pengamatan pada masing-masing tutupan lahan disesuaikan berdasarkan luas tutupan lahan. Setelah selesai, dibuatlah peta kerja sebagai alat bantu pengamatan di lapangan. Peta kerja dibuat dengan overlay citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 meter, lokai titik pengamatan, peta administrasi Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dan hasil deliniasi penafsiran awal citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 meter Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Peta kerja tersebut di cetak di kertas A3 dengan sakala 1:150.000. Beberapa hal yang diamati di lapangan dicatat dalam Tally Sheet yang telah dibuat. Tally Sheet diisi dengan ID plot, jenis tutupan lahan, nomor foto, jenis vegetasi, tapak, topografi, fisiografi dan sketsa lapangan (Gambar 15).


(43)

3.3.3 Analisis Hasil Pengamatan Lapangan

Dalam mengevaluasi kemampuan penafsiran visual citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected untuk mengidentifikasi penutupan lahan di daerah penelitian digunakan metoda interpretasi secara manual dan digital. Analisis visual dilakukan berdasarkan penampakan citra dilihat dari elemen-elemen interpretasi. Sedangkan untuk interpretasi secara digital, dilakukan dengan menggunakan analisis diskriminan dan analisis separabilitas. Analisis diskriminan dilakukan dengan mengelempokan objek-objek penutupan lahan yg memiliki persamaan karakteristik ciri fisik dilapangan serta nilai digital pada polarisasi HH dan HV. Analisis ini dilakukan hingga objek tidak dapat dikelompokan kembali. Sedangkan analisis separabilitas dilakukan untuk melihat kelas keterpisahan antara hasil interpretasi visual dengan hasil observasi lapang yang diolah secara digital. Proses selanjutnya adalah analisis akurasi hasil interpretasi citra. Tujuan dilakukannya akurasi ini adalah untuk mengetahui tingkat ketepatanhasil interpretasi citra terhadap kondisi yang sebenarnya di lapangan. Keakuratan tersebut meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah, pemberian, nama secara benar, dan persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total.Untuk menghitung besarnya akurasi hasil klasifikasi dapat diuji dengan menggunakan matrik kesalahan

(confusion matrix). Rumus Kappa accuracy yang digunakan yaitu:

dimana:

= nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

= jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh


(44)

4.1 Letak Geografis

Lokasi penelitian secara geografis terletak antara 6°31'45'' - 7°14'52'' LS dan 106°34'39'' - 107°17'49'' BT, memiliki luas ±640.000 Ha. Secara administratif meliputi Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi dengan batasan wilayah yang ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Batas wilayah penelitian

Batas Bagian Daerah yang berbatasan

Sebelah Utara Kabupaten Tanggerang, Kota Bekasi, Kota

Depok, Kabupaten Purwakarta

Sebelah Barat Kabupaten Lebak

Sebelah Timur Kabupaten Bandung dan kabupaten Garut

Sebelah Selatan Samudra Indonesia

4.2 Topografi

Lokasi penelitian berada di wilayah daratan dengan tipe morfologi yang bervariasi, dari dataran rendah hingga dataran tinggi, sehingga membentuk bentangan-bentangan lereng. Lokasi ini terletak pada ketinggian 15 mdpl - 3000 mldp dengan klasifikasi keadan morfologi wilayah serta presentasenya sebagai berikut. Klasifikasi topografi lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi topografi di lokasi penelitian

Tipe Ketinggian Kelerengan Luas (%)

Morfologi (m dpl) (%) Bogor Cianjur Sukabumi

Dataran Rendah 15 - 100 0-2 29,28 18,7 9,4

Bergelombang 100 - 1000 2-15 42,62 25,3 22

Berbukit 1000 - 2000 15-40 19,53 41,8 42,7


(45)

4.3 Iklim

Iklim wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis yang sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2.500-5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 25°C. Kelembaban uddara 70%. Kecepatan angin cukup rendah dengan rata-rata 1,2 m/detik.

Secara umum Kabupaten Cianjur memiliki iklim tropis lembab dengan suhu udara minimum sebesar 180 C (Maret-April) sedangkan suhu maksimal adalah 240 C (Oktober-November) dengan kelembaban nisbih antara 80-90 %. Pada bulan November-Maret, angin bertiup ke arah tenggara yang biasanya berkaitan dengan musim hujan dan pada bulan Mei-September angin bertiup ke arah barat laut yang menandai terjadinya musim kemarau. Puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus, sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember-Januari.

Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B (oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan 144 hari. Suhu udara berkisar antara 20-30⁰C dengan kelembaban udara 85-89 %. Curah hujan antara 3000-4000 mm/tahun terdapat di daerah utara, sedangkan curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun terdapat di bagian tengah sampai selatan Kabupaten Sukabumi

4.4 Batuan

Secara umum wilayah daerah penelitian terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah-tanah yang relative subur.

4.5 Tanah

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Tanahnya terdiri dari Aluvial, Andosol, Grumosol, Laterit, Latosol, Podsolik, dan Regosol.


(46)

Wilayah Kabupaten Cianjur memiliki jenis tanah yang beragam antara lain: Alluvial, Andosol, Grumosol, Latosol, dan Podsolik. Sebagian besar wilayah Kabupaten Cianjur memiliki jenis tanah Latosol sedangkan jenis tanah dengan persentase terkecil adalah tanah Andosol.

Jenis tanah yang tersebar di Kabupaten Sukabumi sebagian besar didominasi oleh tanah Latosol dan Podsolik yang terutama tersebar pada wilayah bagian selatan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Sedangkan jenis tanah Andosol dan regosol umumnya terdapat di daerah pegunungan terutama daerah Gunung Salak dan Gunung Gede, dan pada daerah pantai dan tanah alluvial umumnya terdapat didaerah lembah dan daerah sungai.

4.6 Tutupan Lahan

Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat TM tahun 2005 Skala 1:100.000 oleh Bapeda Propinsi Jawa Barat (2007), penutupan lahan Kabupaten Bogor memiliki wilayah hutan seluas 48.403,7914 ha dan non hutan seluas 248.698,0763 ha.

Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat TM tahun 2005 Skala 1:100.000 oleh Bapeda Propinsi Jawa Barat (2007), penutupan lahan Kabupaten Cianjur memiliki wilayah hutan seluas 83.033,32 Ha dan non hutan seluas 267.114,68 ha.

Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat TM Tahun 2005 skala 1:100.000 oleh Bapeda Propinsi Jawa Barat (2007), penutupan lahan Kabupaten Sukabumi memiliki hutan seluas 62.118,6381 ha dan non hutan seluas 292.742,4162 ha.


(47)

5.1 Hasil Penafsiran Visual Awal Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 Meter Slope corrected dan 50 meter

Penafsiran awal dilakukan pada citra ALOS PALSAR tahun perekaman 2009 dengan luasan 80 km × 80 km dengan berpedoman kepada manual penafsiran citra ALOS PALSAR untuk mengenali penutupan lahan/hutan di Indonesia (JICA & Fahutan IPB 2010) dan juga dibantu dengan Google Earth. Penafsiran visual pada kedua citra meghasilkan 10 kelas penutupan lahan yang sama. Hasil penafsiran visual awal citra dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17 serta luasan nya dapat dilihat pada Tabel 5.

Gambar 16 Peta hasil penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter


(48)

Gambar 17 Peta hasil penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter.

Tabel 5 Luasan hasil interpretasi visual penutupan lahan Kelas Penutupan

Lahan

Resolusi 12,5 meter Resolusi 50 meter

Luas ( Ha) Persentase (%) Luas (Ha) Persentase(%)

Badan air 3.607,776 0,564 1.995,782 0,312

Badan udara 45,725 0,007 54,725 0,009

Hutan 127.991,149 19,999 118.803,278 18,563

Kebun campuran 222.037,447 34,693 236.983,164 37,029

Lahan terbuka 980,174 0,153 11.23,473 0,176

Permukiman 34.421,392 5,378 374.71,793 5,855

Perkebunan karet 5.680,506 0,888 6.680,506 1,044

Perkebunan kelapa sawit

7.960,720 1,244 8.260,720 1,291

Pertanian lahan kering

128.850,246 20,133 113.395,920 17,718

Sawah 108.424,865 16,941 115.230,639 18,005


(49)

Dalam interpretasi citra, interpreter akan selalu dihadapkan pada target atau objek yang terekam pada citra. Target-target tersebut umumnya berbentuk fitur-fitur yang menggambarkan kondisi lapangan dan jenis objek yang bersangkutan. Fitur-fitur yang ditemukan umumnya berupa titik, garis atau polygon. Untuk mendefinisikan atau memberikan nama terhadap objek-objek tersebut diperlukan sebuah aturan sehingga diperoleh hasil identifikasi yang konsisten. Megenali objek adalah kunci keberhasilan dalam interpretasi dan mendapatkan informasi melalui interpretasi visual.

5.2 Hasil Verifikasi Objek di Lapangan dan Hasil Penafsiran Visual Citra

ALOS PALSAR Resolusi 12,5 Meter Slope corrected

Setelah citra selesai diidentifikasi, kemudian didapat titik pengamatan yang dilakukan pada objek-objek yang telah ditentukan. Dengan menggunakan

Systematic Random Sampling Methods, didapat titik awal verifikasi sebanyak 403 titik. Berikut ditampilkan rincian titik verifikasi lapangan pada Tabel 6 dan peta titik verifikasi awal pada Gambar 18.

Tabel 6 Titik verifikasi awal

No Jenis Penutupan Lahan Jumlah

1 Badan air 5

2 Bandar udara 2

3 Hutan 72

4 Kebun campuran 72

5 Lahan terbuka 2

6 Pemukiman 86

7 Perkebunan karet 5

8 Perkebunan kelapa sawit 8

9 Pertanian lahan kering 50

10 Sawah 101


(50)

Gambar 18 Peta sebaran titik rencana verifikasi citra ALOS PALSAR 12,5 meter

Slope Corrected.

Beberapa hal yang diamati di lapangan dicatat dalam Tally Sheet yang telah dibuat. Pemotretan bentangan titik pengamatan yang menggambarkan kondisi penutupan lahan juga dilakukan sebagai alat bantu argumen hasil verifikasi. Setelah verifikasi lapangan ternyata hanya didapat 182 titik dari 403 titik yang direncanakan.

Tidak tercapainya target verifikasi dalam penelitian ini disebabkan karena beberapa hal yaitu kendala waktu dan letak topografi dari titik-titik tersebut. Peta jalan yang digunakan ketika melakukan perencanaan titik verifikasi sedikit berbeda dengan jalan sebenarnya di lapangan sehingga menyebabkan beberapa titik verifikasi tidak memiliki akses yang cukup untuk dikunjungi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan penambahan titik secara purposive pada tiap penutupan lahan ketika dibutuhkan. Rincian titik verifikasi lapangan dapat dilihat pada Tabel 7, peta sebaran titik verifikasi lapangan ditampilkan pada Gambar 19 dan deskripsi tutupan lahan yang ditemukan di lapangan di tampilkan pada Tabel 8.

Tabel 7 Titik verifikasi lapangan

No. Penutupan Lahan Jumlah

1 Badan air 3

2 Bandar udara 1

3 Hutan agathis 1

4 Hutan pinus 7

5 Hutan rasamala 1

6 Hutan tanaman campuran 3


(51)

Tabel 7 Lanjutan

No. Penutupan Lahan Jumlah

8 Kebun kacangpanjang 2

9 Kebun singkong 4

10 Lahan Terbuka 2

11 Padang rumput 2

12 Pemukiman 40

13 Perkebunan cokelat 2

14 Perkebunan karet 2

15 Perkebunan sawit muda 2

16 Perkebunan sawit tua 3

17 Perkebunan the 6

18 Pertanian lahan kering 15

19 Sawah bera 8

20 Sawah olah 15

21 Sawah siap panen 2

22 Sawah vegetative 19

23 Semak belukar 4

Jumlah 182

Gambar 19 Peta sebaran titik verifikasi lapangan citra ALOS PALSAR 12,5 m


(1)

76

Tabel 15 Hasil analisis separabilitas citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected

Penutupan Lahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Badan air 1 0 816.05 2000 2000 2000 2000 2000 1998.99 2000 2000 2000

Badan udara 2 816.05 0 2000 2000 2000 2000 2000 1993.68 2000 2000 1868.93

Hutan 3 2000 2000 0 1655.68 2000 2000 1328.93 2000 2000 2000 2000

Kebun campuran 4 2000 2000 1655.68 0 2000 2000 1721.61 1999.92 1660.88 1986.73 1998.99 Lahan terbuka 5 2000 2000 2000 2000 0 1999.92 2000 1869.27 1999.82 1997.30 1775.67 Pemukiman 6 2000 2000 2000 2000 1999.92 0 1999.83 1975.19 1999.99 1998.75 1999.98 Perkebunan karet 7 2000 2000 1328.9257 1721.61 2000 1999.83 0 1955.79 2000 1955.15 2000 Perkebunan sawit 8 1998.99 1993.68 2000 1999.92 1869.27 1974.185 1955.79 0 1925.96 1993.68 1668.01 Perkebunan teh 9 2000 2000 2000 1660.88 1999.82 1999.998 2000 1925.96 0 1888.16 1983.98 Pertanian lahan kering 10 2000 2000 2000 1986.73 1997.30 1954.948 1955.15 1993.68 1888.16 0 1866.13 Sawah 11 2000 1868.93 2000 1998.99 1775.67 1856.466 2000 1668.01 1983.98 1866.13 0

Tabel 16 Hasil analisis separabilitas citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter

Penutupan Lahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Badan air 1 0 1423.06 2000 2000 1999.99 2000 2000 2000 2000 1999.99

Badan udara 2 1423.06 0 2000 1925.87 1988.01 2000 1998.25 1811.95 1961.72 1884.27

Hutan 3 2000 2000 0 1789.99 2000 1999.98 1472.92 2000 1999.63 1996.47

Kebun campuran 4 2000 1925.87 1789.99 0 2000 1999.99 1751.12 1980.07 1885.24 1999.99 Lahan terbuka 5 1999.99 1988.01 2000 2000 0 2000 2000 1998.65 1999.99 1799.77 Pemukiman 6 2000 2000 1999.98 1999.99 2000 0 1994.25 2000 1885.65 1999.94 Perkebunan karet 7 2000 1998.25 1472.919 1751.12 2000 1994.25 0 1999.98 1953.88 1944.86 Perkebunan sawit 8 2000 1811.95 2000 1980.07 1998.65 2000 1999.98 0 1874.66 1694.15 Pertanian lahan kering 9 2000 1961.72 1999.63 1885.24 1999.99 1885.65 1953.88 1874.66 0 1818.57 Sawah 10 1999.9 1884.27 1996.47 1999.99 1999.77 1999.94 1944.86 1694.15 1818.57 0


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari analisis yang dilakukan diperoleh kesimpulan yaitu:

1. Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter secara manual dapat membedakan 11 kelas tutupan lahan yaitu: badan air, bandara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, permukiman, perkebunan karet, perkebunan sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering dan sawah. Akurasi keseluruhan hasil interpretasi visual yaitu sebesar 96.70% dan kappa akurasi sebesar 95.97%. 2. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter secara manual didapat sebanyak

10 kelas yakni badan air, bandara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, permukiman, perkebunan karet, perkebunan sawit, pertanian lahan kering dan sawah, sementara akurasi kesuluruhan untuk hasil interpretasi visual yaitu sebesar 95.60% dan kappa akurasi sebesra 94.58%.

3. Pada penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter secara digital (diskriminan), nilai proportion correctyang dihasilkan dengan 6 kelas tutupan lahan lebih tinggi dibandinkan nilai citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter yaitu masing-masing sebesar 55,5% dan 53.3%.

4. Pada proses analisis separabilitas, hasil pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 slope corrected mempunyai separabilitas sempurna lebih banyak dibandingkan dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter. Analisis separabilitas dapat dikatagorikan sebagai analisis secara digital karena analisis tersebut merupakan evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral disajikan pada citra. Namun pada separabilitas kelas tutupan lahan yang digunakan melalui penafsiran visual. Sehingga pada separabilitas menggunakan kedua unsur digital dan visual.

5. Pada saat dilakukan interpretasi secara manual dan digital, Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected lebih baik hasilnya apabila dibandingkan citra ALOS PALSAR 50 meter. Namun kekurangan yang dimiliki pada citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 meter slope corrected


(3)

78

yaitu dalam melakukan proses delineasi lebih sulit dilakukan dibanding mendelineasi citra ALOS PALSAR 50 meter.

6.2 Saran

1. Diperlukan ketelitian dalam menginterpretasi citra terutama dalam mengidentifikasi sawah dengan pertanian lahan kering, lahan terbuka, bandara, dan padang rumput pada citra ALOS PALSAR.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut khususnya terhadap kelas penutupan lahan hutan berdasarkan jenis tanamnya dan kelas penutupan lahan sawah berdasarkan fase tanamnya menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Akatsuka, S et al. 2009. Evaluation of slope correction effects on ALOS PALSAR mosaic data set in forest mapping in Indonesia and Malaysia. ACRS 2009, 18-23 Nov 2009, Beijing, China.

Aronoff, S. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective. Ottawa: WDI Publications.

Barret, EC. and LF, Curtais. 1982. Introduction to Environmental Remote Sensing. London : Chapman and Hole 2-6 Boundary Row London SE 1 8 HN

Bayer, T. et al. 1991. Terrain influences in SAR backscatter and attempts to their correction. IEEE Transaction on Geoscience and Remote Sensing, 19(3), 451-462

Berrios. 2004. Spatial analysis of differences betwee forest land use and forest cover using GIS and Remote Sensing: A case study in Telake Watershead Pasir District, East Kalimantan, Indonesia [thesis]. The Netherlands : International Institute for Geo-infornation Science and Earth Observation. Bainnaura, A. 2010. Aplikasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m

untuk Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Bogor dan Sukabumi) [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

CPLO. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. UI Press. Jakarta.

[ERDAS]. 2001. Accurary evaluation in Imagine OrthoRadar. http://www.erdas. com [30 Maret 2011]

[ERSDAC] Earth Remote Sensing Data Analysis Center. 2006 PALSAR Project: PALSAR sensor. http://www.palsar.ersdac.or.jp/e/about/sensor/ [29 Januari 2011].

Estes, JE dan Simonett, SD. 1975. Fundamental of Image Interpretatation:Manual of Remote Sensing. Vol 1, First Edition. R.G. Revees: ed-in-chief, American Society of Fotogrammetry, Falls Chourch, Virginia.

Sun, G. et al. 2002. Radiometrik Slope correction for forest biomass estimation from SAR data in Western Sayani Mountains. Remote sensing of environment , vol. 79, 279-87. Siberia.

Handini, M. 2009. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten Taman Nasional Gunung Halimun Salak: Studi Kasus di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah [skripsi]. Bogor;


(5)

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

[JAXA] Japan Aerospace Exploration Agency. 2006. Advance Land Observing Satellite ”DAICHI” (ALOS).

Jaya, INS. and S, Kobayashi. 1995. Classification of Detailed Forest Cover Types based upon the Separability Algorithm: A case study in the Yahiko Mountain and Shibata Forest Area. Journal of the Remote Sensing Society of Japan, 15 (1): 40-53

Jaya, INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geogafis untuk Kehutanan. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.

Jaya, INS. 2007. Analisis Citra Dijital: Perspektif Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Jensen, J. R. , 1986. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Persepective. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

[JICA] Japan International Cooperation Agency, Fakultas Kehutanan IPB. 2011. Manual Penafsiran Citra ALOS-PALSAR Untuk Mengenali Penutupan Lahan/Hutan di Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Laur, H. et al. 1998. Derivation of backscattering coefficient sigma0 in ESA ERS SAR PRI Products. ESA technical document ES-TN-RS-PM-HL09, lss.2 Rev5b.

Leclerc, G. et al. 2001. A simple method to account for topography in the radiometric correction of radar imagery. International Journal of Remote Sensing, 22 (17), 3553-3570.

Lee, J.S. and Eric P. 2009. Polarimetric Radar Imaging. Taylor and Francis Group. Boca Raton.

Lillesand, MT. dan RW, Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih bahasa. R. Dubhari. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Lo, CP. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Jakarta; Universitas Indonesia.

Murthi, SH. 1996. Koreksi Pengaruh Lereng terhadap Nilai Spectral Tanaman Karet Pada Citra Landsat Thematic Mapper. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Prabowo, DA. Nugroho, T. Palapa dan Ardiansyah, H. 2005. Modul Pengenalan GIS, GPS dan Remote Sensing. Jakarta: Dept. GIS, FWI.

Prahasta, E. 2005. Konsep-Konsep Dasar: Sistem Informasi Geografi. Bandung. Inforamtika.


(6)

Purwadhi, SH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta

Salman, F. 2011. Evaluasi Manual Penafsiran Visual Citra Alos Palsar Dalam Mengidentifikasi penutupan Lahan Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi 50 M [Skripsi]. Bogor : Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh; Jilid 1. Gajah Mada University Press. Jogyakarta.

Trisakti, B. 2005. Orthorektifikasi data citra resolusi tinggi (Aster dan Spot) menggunakan Aster DEM. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Wijaya, CI. 2004. Analisis Perubahan Lahan Kabupaten Cianjur Jawa Barat Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor


Dokumen yang terkait

Pendugaan biomassa atas permukaan pada tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) menggunakan citra alos palsar resolusi spasial 50 M dan 12,5 M (studi kasus di KPH Banyumas Barat)

0 3 69

Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi Rendah Studi Kasus Di Pulau Kalimantan

0 22 94

Aplikasi dan evaluasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m untuk identifikasi tutupan lahan: studi kasus di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas dan Ciamis

2 15 87

Perbandingan penafsiran visual antara Citra Alos Palsar Resolusi 50 m dengan Citra Landsat Resolusi 30 m dalam mengidentifikasi penutupan lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur)

0 5 180

Evaluasi manual penafsiran visual citra alos palsar dalam mengidentifikasi penutupan lahan menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M

3 12 72

Aplikasi dan Evaluasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m, Resolusi 12,5 m, dan Resolusi 6 m untuk Identifikasi Tutupan Lahan (studi kasus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Samosir)

0 3 145

Identifikasi Hutan Lahan Basah Menggunakan Citra ALOS PALSAR di Kalimantan Selatan

1 5 55

Aplikasi Citra ALOS PALSAR Multiwaktu Resolusi 50 m dalam Identifikasi Tutupan Lahan di Provinsi Lampung

0 2 136

Klasifikasi dan Detektsi Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 Meter di Wilayah Barat Provinsi Jambi.

0 9 70

Model Penduga Biomassa Hutan Alam Lahan Kering Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 M di Areal Kerja PT. Trisetia Intiga

0 5 165